Senin, 21 November 2011

Dandan

Vira masuk ke dalam kamar dengan membawa sebuah kotak ukuran sedang. Ini kali keempat aku menginap di rumah eyangnya. Ia sudah hapal lebih banyak lagu Wieteke van Dort. Dan ia tampaknya ingin agar aku menginap di rumah eyangnya setiap ia di Bandung.

            Selama para eyangnya masih menunjukkan wajah ramah padaku, aku tak keberatan. Aku tidak peduli dengan si bocah aneh meski aku ingin bisa dekat dengannya juga. Dan Tante Ri sendiri selalu menyambutku dengan baik. Ia tidak kelihatan ada di rumah malam ini.

            Kami berdua duduk di atas kasur. Vira membuka kotak ajaibnya. Bagian dalam terdiri dari tiga tingkat. Pada masing-masing tingkat terdapat warna-warna bergradasi serta perkakas mini untuk menghias paras.

            “Kak Bibe, Kak Bibe bisa make up kan?”

            Mamaku tidak bisa tapi tanteku bisa. Tantekulah yang selalu memulasku kalau aku ikut lomba yang mengharuskan penampilan fisik semenarik mungkin. Meski aku jarang mendandani diriku sendiri, aku kira aku masih ingat bagaimana pedoman Tante dalam memilih dan menorehkan warna di muka. Aku mengangguk.

            “Aku pingin di-make-up,” katanya dengan antusiasme terjaga. “Sama Mama belum boleh, tapi aku lihat temen-temenku ada yang pernah pake.”

            Itu pasti membuat mereka kelihatan menor.

            “Aku juga pingin kelihatan cantik, Kak.”

            Sudah belajar centil rupanya anak ini.

            “Vira udah cantik kok, enggak usah didandani juga…” kataku dengan (berharap terkesan) bijak.

Tapi tampaknya ia tidak mendengarkanku. Ia terus saja memandangku dengan penuh harap. “Ayo Kak Bibe, mumpung Mama lagi enggak ada. Aku cuman pingin tahu gimana aku kalau di-make-up. Nanti Kak Bibe fotoin aku juga yah.”

Tak enak menolak. “Ini punya siapa, Vira?” Aku teliti satu per satu perkakas mini dalam kotak tersebut. Berusaha mengingat fungsi dari masing-masing.

             “Punya Eyang…”

            “Boleh sama Eyang?”

            “Eyangnya udah bobo.”

            Bandel juga anak ini.

            “Tapi Vira mesti bersiin muka dulu ya… Ada susu sama pembersih enggak? Kapasnya juga…”

            Ia segera turun lagi dari tempat tidur dan lari ke lantai bawah. Sementara itu, aku menerka-nerka warna apa saja yang bagus untuk dipoleskan pada kulit Vira serta bagaimana memadukannya.

            Seingatku, Tante As memilih warna kuning sebagai alas bedak. Untuk warna bedaknya sendiri, ia biasa memilih warna setingkat lebih muda dari warna kulit. Bagian yang disapukan adalah seluruh wajah, telinga, dan leher. Warna peach atau aprikot menjadi pilihan Tante As untuk blush on, kadang agak keemasan sebagai dasar dengan cokelat pekat sebagai paduannya. Ia menggunakan warna lembut untuk eyeshadow seperti kuning muda, bronze, chopper, dan cokelat pekat agar wajah terkesan segar. Terakhir, warna lipstik harus mendekati warna kulit seperti cokelat susu, pink lembut, plum gelap, cokelat pekat, atau hanya lipgloss. Untuk kami yang berkulit gelap, warna kontras wajib dihindari.

            Tapi kulit Vira kan cerah merona.

            Ia datang membawa barang-barang yang kuminta. Aku menaikkan dagunya sedikit. Ia memejamkan mata dan tampak sangat menikmati ketika aku membersihkan wajahnya. “Mama kok belum kelihatan, Vira?” tanyaku basa-basi.

            “Mm… Enggak tahu. Lagi ke rumah temannya kali.”

            Jadi aku pikir, perlakuan untuk warna gelap berbeda dengan perlakuan untuk warna cerah. Jadi aku harus memilih warna-warna kontras.

            Ketika aku mulai mengoleskan alas bedak di wajah mulusnya yang lembap, aku mulai merasakan keasyikan dari permainan ini. “Mau warna apa, Vira?” tanyaku. Barangkali ia punya preferensi yang lebih baik.

            “Terserah Kak Bibe aja. Pokoknya aku harus jadi cantik ya Kak.”

            “Vira tuh udah cantik, enggak usah didandanin juga…” tegasku, dengan gemas memulas bedak di pipinya yang  tembam.. Ia tertawa dikulum. “Entar gimana kalau ketahuan Eyang?”

            “Enggak apa-apa.”

            “Jadi enggak bolehnya cuman sama Mama aja?”

            “Mmm.. Enggak juga sih…”

            “Hayo, ada Eyang!” Aku pura-pura terbelalak ke arah pintu.

            Ia sontak menoleh ke belakang. Lantas memukul pahaku karena tidak ada apapun di sana selain pintu yang tertutup. Aku tergelak.

            Sembari mendandaninya, aku menanyakan kabar teman-temannya yang ia suka ceritakan padaku. Ia menjawab dengan kurang nyaman karena bagaimanapun juga wajahnya berada dalam kendaliku. Tapi begitu tanganku lepas dari wajahnya, ia sendiri yang inisiatif bercerita. “Kak Bibe, tahu enggak?”

            “Apa?” kataku sembari meramu warna.

            “Minggu lalu aku sama Kak Ari jalan-jalan ke Mekarsari sama Papa, sama Mama juga!”

            “Waah…” Wajahku tampak ikut senang, namun dalam hati aku bertanya-tanya, lalu bagaimana hubungan Tante Ri dengan Om Yan? “Papa sama Mama balikan lagi?” tanyaku hati-hati.

            Vira menggeleng dengan senyum yang menyurut, “Enggak.. Papa kan udah nikah lagi sama Tante Amrin, udah punya adek bayi juga…“ namun kembali terbit seketika ia melanjutkan cerita mengenai kegembiraannya dengan sang kakak yang masih menyisa hingga sekarang.

            “Sudah!” kataku akhirnya. Merasa takjub dengan hasil karyaku sendiri, mestinya masih lebih bagus dari punya para siswi SMK jurusan tata rias.

            Ia menyodorkan ponselnya yang jauh lebih bagus dari milikku. Gila, anak SD sudah dikasih si beri hitam saja. Aku ingin tahu apakah aku boleh meminjamnya sebentar, sekadar untuk membaca kabar-kabar terbaru dari Twitter.. Aku memotretnya beberapa kali. Ketika melihat hasilnya, ia tercengang. “Aku kelihatan menor…” Ia tampak kecewa.

            Namun aku tak lantas terpengaruh. Aku memulas pewarna bibir berwarna merah menyala di bibirku lalu mengecup-ngecup udara. Sisa warna di ujung jari aku torehkan di atas dahinya. Ia memekik. “Biar kayak orang India,” kataku.

            “Aaah… Kak Bibe!” Ia merajuk. Ia lalu meraih kotak kosmetik di antara kami. Sembari mengacung-acungkan pemulas pipi, keusilan berkilat-kilat di matanya. “Sekarang gantian aku yang ngedandanin Kak Bibe!”

            “Pasti mau balas dendam nih…” Tapi aku biarkan saja ia meraba wajahku.

            “Enggak… Aku kan mau bikin Kak Bibe jadi cantik juga…” katanya lembut namun sarat maksud.

            Benar saja. Ia menggambar obat nyamuk di pipiku. Aku jadi kelihatan seperti Chibi Maruko Chan! Aku hampir teriak ketika sadar ia hendak membuat tompel juga. Segera aku ambil salah satu perkakas dan menyapukan ujungnya pada salah satu warna ternorak. Berikutnya, kami saling memegang wajah satu sama lain, menyuruh diam jika yang satu coba berkelit, dan tertawa-tawa sendiri karena hasil yang sudah ditorehkan. Alhasil wajah kami hancur tak karuan.

            Dengan tampang tak teridentifikasi seperti itu, kami memotret diri dengan ragam gaya dan ekspresi. Terkekeh sendiri karena hasilnya.

            “Iiih… Kak Bibe kayak Nenek Rombeng!” Telunjuknya menudingku.

            “Kalau gitu, kamu jadi Anak Rombengnya!” Aku menerjangnya. Ia memekik, tak tertangkap. Dengan lincah ia menyelamatkan diri ke luar tempat tidur. Kulihat ia berdiri di tepi dengan suatu gairah baru tersulut.

            “Kak Bibe, kita takut-takutin Kak Ari yuk!”

            “Eh? Jangan ah… Kasihan Kak Arinya.”

            “Enggak apa-apa!” abainya. Ia berlari kecil ke lemari di pojok ruangan. Kepalanya mendongak lalu turun, naik lagi, sampai di tengah, ia menarik sebuah kain putih terlipat. Tumpukan di atasnya berhamburan. Duh, aku harus bantu membereskannya nanti. Ia melebarkan kain tersebut. Mestinya seprai, tapi jangan-jangan kafan. Salah satu sisi kain ia hamparkan ke bagian atas tubuhnya, namun tidak sampai menutupi muka. Ia mengatur kain tersebut agar hanya memperlihatkan mukanya saja. Sesudahnya, mulutnya membulat. “Hoooo…” lolongnya pelan.

            Aku membungkuk di belakangnya, sementara ia berjalan menuju teritorial sang kakak. Seluruh tubuhku tertutup kain, jadi aku hanya berpedoman pada gerakan tubuhnya. Seperti sebelumnya, hanya mukanya saja yang terlihat.

            Sekali aku mengangkat kain sedikit agar bisa melihat keadaan di luar. Ternyata Ari tidak berada di teritorialnya seperti biasa. Vira menggiringku ke kamar lain di lantai dua itu. Ukurannya lebih kecil dari kamar yang biasa kami tiduri. Lampu kamar itu dimatikan, namun aku masih bisa melihat tubuh Ari yang sebagian tertutup selimut.

            “Hoooo… Hooo…” Vira mulai berulah. Ia mengangkat kedua lengannya ke depan, membuat bayangan-bayangan tak stabil di atas tubuh Ari. Ari menggumam kesal meski matanya masih terpejam. Ia membalik arah tidurnya.

            “Kak Ari…” Suaranya dibesar-besarkan agar terkesan horor, tapi bagiku kedengarannya lebih seperti seorang ibu sedang berakting sebagai gajah di depan balitanya.

            Aku menutup tubuhku dan berjongkok ketika mendengar Ari bersuara. “Aaah…. Adek ganggu aja!” erangnya kesal. Melalui kain yang tipis, samar-samar aku bisa melihatnya bangkit. “Kalau mau bangunin entar aja, jam dua…”

            “Hooo… Hooo…” Vira kukuh dengan perannya.

            Padahal aku tidak bergerak sama sekali. Sebisa mungkin aku tidak ingin bocah absurd itu melihaku dalam keadaan aneh begini. Namun samar-samar bayangan Ari mendekati lalu menyingkap kain yang menyelubungiku. Ia terperanjat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain