Senin, 28 November 2011

Sepasang Orangtua Saja Cukup

Bulan ini mereka tidak ke Bandung. Jelas Ari tidak keberatan untuk terbenam dalam tumpukan buku pelajaran, namun Vira sama sekali tidak minat pada beda antara vertebrata dengan avertebrata. Bulan ini adalah bulan ulangan akhir semester.

Meski demikian, kegelisahan mereka sama.

“Kak, kita bikin pernyataan sikap yuk.”

Kernyitan. Terdengar asing di telinganya Vira mengeluarkan istilah semacam itu.

“Vira bikin kayak gitu di kelas sama teman-teman yang lain, supaya enggak ada anak yang dijauhin lagi… Gitu kata Kak Bibe…” lanjut Vira sambil meremas-remas jemarinya. Tatapan tajam sang kakak mengalihkan pandangannya ke lantai.

Malam itu mereka duduk berhadapan di lantai kamar Ari. Kamar ini berukuran lebih kecil ketimbang kamar di rumah yang dulu—sewaktu mereka masih tinggal bersama Papa. Papa memboyong istri barunya ke rumah yang baru pula. Tanpa Papa, mereka hanya tinggal beberapa minggu saja di rumah itu. Sampai Mama mengajak mereka untuk pindah karena rumah mereka sebelumnya terlalu besar untuk mereka bertiga. Untung Mbak Tutum tidak dibawa Papa juga.

Sementara mereka bertukar kata pelan-pelan, nyanyian lembut sampai di telinga mereka. Sumbernya agak jauh dari kamar itu, namun terdengar cukup jelas. Akhirnya Mama bernyanyi lagi setelah berpisah dengan Papa. Mungkin ia bernyanyi untuk menyambut nyanyian senada yang dilantunkan seorang pria dari kejauhan.

Tiada pernah aku bahagia… Sebahagia kini oh kasih. Sepertinya ku bermimpi dan hampir tak percaya hadapi kenyataan ini…

Mungkin hanya rasa tertahankan, siapapun bisa tahu tanpa kuasa dicegah.

Belai manja serta kecup sayang, kau curahkan penuh kepastian, hingga mampu menghapuskan luka goresan cinta yang sekian lama sudah menyakitkan…

Ari pernah bilang sebelumnya pada sang adik, “Mama jatuh cinta lagi.” Vira tidak memerhatikan, namun Ari iya. Kulit Mama jadi lebih mulus dan wangi. Rambutnya lebih halus dan kemilau. Wajahnya kian bercahaya. Mama jadi rajin ke pusat kebugaran. Memang Vira bisanya hanya cemas lalu mencucurkan air mata tanpa awas akan keadaan. Adiknya terlalu sering menonton potongan “Noktah Merah Perkawinan” di Youtube. Yang kerap Ari sesalkan pada Vira adalah, mengapa adiknya yang bertampang imut-imut itu seleranya bak eyang-eyang.

Kau terangkan gelap mataku… Kau hilangkan resah hatiku… Kau hidupkan lagi cintaku, yang tlah beku dan membiru…

Selanjutnya ia tak berusaha meraba perasaan adiknya yang menggamang.

Kini tetes air mata haru… menghiasi janji yang terpadu.

Karena begitulah pinta Mama.

Tuhan jangan kau pisahkan apapun yang terjadi, ku ingin selalu dekat kekasihku…

Dan pria itu bukan Papa. Bukan pria itu yang berduet menyanyikan “Begitulah Cinta” dengan Mama di sebuah acara kampus belasan tahun lampau.

Mereka selalu ingat pada apa yang pernah mama mereka bilang. Papa dan Mama sudah tidak bisa bersama lagi. Papa lebih bahagia dengan Tante Amrin. Ari dan Vira sudah cukup membuat Mama bahagia. Meski tidak lagi bersama, Papa dan Mama akan selalu mencintai mereka dengan utuh.

“Adek, enggak apa-apa Mama nikah lagi.” Kali ini Ari coba untuk bersikap dewasa. Dalam pemahamannya, langkah awal menuju kedewasaan seorang kakak adalah bisa menenangkan sang adik. “Mama sama Papa baru bisa rujuk kalau Mama udah dinikah lagi. Gitu hukumnya, Dek.”

“Masak?” Vira mengusap bening yang menggumpal di bawah matanya.

“Iya.” Makanya, baca buku pelajaran Agama Islam, bukannya main game-game cupu melulu di laptop Mama, batin Ari. Adiknya harus terus diberi peringatan agar tidak malas belajar. Tidak semua orang diberi kemampuan untuk memahami materi secara kilat lantas tersisa banyak waktu baginya untuk bermain—seperti Ari.

“Jadi Kak Ari pingin Mama nikah lagi juga?” Vira kembali mencebik. Sesak di dadanya bergemuruh hingga ke kepala, terus memompa. Ia mengusap matanya dengan lengan. Ia ingin bisa seteguh kakaknya, sekaligus merasa agak terkhianati. Jadi tidak ada artinya peristiwa dulu, ketika sang kakak memukuli eyang putra yang telah menyuruh mama mereka tidak lama-lama menjanda. 

“Enggak.” Enggak tahu. Hanya satu yang mengganjal Ari sebetulnya. Sukar baginya untuk membenci sesama penggemar setan merah yang tak pernah melewatkan setiap derby.

Adiknya semakin merunduk. Muka tenggelam di balik lutut. Pundak berguncang pelan. Sedu sedan membuat perkataannya jadi tidak jelas. Ia luapkan pada kakaknya betapa ia iri pada teman-temannya yang tidak harus punya orangtua tiri. Sepasang orangtua saja cukup—tidak ada yang ketiga maupun yang keempat. Jika BKKBN saja bilang dua anak cukup, mengapa tidak dengan dua orangtua?—tapi yang ini tidak dikatakan Vira, ia bahkan tidak hapal apa kepanjangan BKKBN.

Ari mendorong adiknya dengan decak kesal. “Cengeng!” Sedu Vira yang sempat menyurut kembali menderas, kali ini semata karena perlakuan kakaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain