Bulan ini mereka tidak ke
Bandung. Jelas Ari tidak keberatan untuk terbenam dalam tumpukan buku
pelajaran, namun Vira sama sekali tidak minat pada beda antara vertebrata
dengan avertebrata. Bulan ini adalah bulan ulangan akhir semester.
Meski demikian, kegelisahan
mereka sama.
“Kak, kita bikin pernyataan
sikap yuk.”
Kernyitan. Terdengar asing di
telinganya Vira mengeluarkan istilah semacam itu.
“Vira bikin kayak gitu di
kelas sama teman-teman yang lain, supaya enggak ada anak yang dijauhin lagi…
Gitu kata Kak Bibe…” lanjut Vira sambil meremas-remas jemarinya. Tatapan tajam
sang kakak mengalihkan pandangannya ke lantai.
Malam itu mereka duduk
berhadapan di lantai kamar Ari. Kamar ini berukuran lebih kecil ketimbang kamar
di rumah yang dulu—sewaktu mereka masih tinggal bersama Papa. Papa memboyong
istri barunya ke rumah yang baru pula. Tanpa Papa, mereka hanya tinggal
beberapa minggu saja di rumah itu. Sampai Mama mengajak mereka untuk pindah
karena rumah mereka sebelumnya terlalu besar untuk mereka bertiga. Untung Mbak
Tutum tidak dibawa Papa juga.
Sementara mereka bertukar kata
pelan-pelan, nyanyian lembut sampai di telinga mereka. Sumbernya agak jauh dari
kamar itu, namun terdengar cukup jelas. Akhirnya Mama bernyanyi lagi setelah
berpisah dengan Papa. Mungkin ia bernyanyi untuk menyambut nyanyian senada yang
dilantunkan seorang pria dari kejauhan.
Tiada
pernah aku bahagia… Sebahagia kini oh kasih. Sepertinya ku bermimpi dan hampir
tak percaya hadapi kenyataan ini…
Mungkin hanya rasa
tertahankan, siapapun bisa tahu tanpa kuasa dicegah.
Belai
manja serta kecup sayang, kau curahkan penuh kepastian, hingga mampu
menghapuskan luka goresan cinta yang sekian lama sudah menyakitkan…
Ari pernah bilang sebelumnya
pada sang adik, “Mama jatuh cinta lagi.” Vira tidak memerhatikan, namun Ari
iya. Kulit Mama jadi lebih mulus dan wangi. Rambutnya lebih halus dan kemilau.
Wajahnya kian bercahaya. Mama jadi rajin ke pusat kebugaran. Memang Vira
bisanya hanya cemas lalu mencucurkan air mata tanpa awas akan keadaan. Adiknya
terlalu sering menonton potongan “Noktah Merah Perkawinan” di Youtube. Yang
kerap Ari sesalkan pada Vira adalah, mengapa adiknya yang bertampang imut-imut
itu seleranya bak eyang-eyang.
Kau
terangkan gelap mataku… Kau hilangkan resah hatiku… Kau hidupkan lagi cintaku,
yang tlah beku dan membiru…
Selanjutnya ia tak berusaha
meraba perasaan adiknya yang menggamang.
Kini
tetes air mata haru… menghiasi janji yang terpadu.
Karena begitulah pinta Mama.
Tuhan
jangan kau pisahkan apapun yang terjadi, ku ingin selalu dekat kekasihku…
Dan pria itu bukan Papa. Bukan
pria itu yang berduet menyanyikan “Begitulah Cinta” dengan Mama di sebuah acara
kampus belasan tahun lampau.
Mereka selalu ingat pada apa
yang pernah mama mereka bilang. Papa dan Mama sudah tidak bisa bersama lagi.
Papa lebih bahagia dengan Tante Amrin. Ari dan Vira sudah cukup membuat Mama
bahagia. Meski tidak lagi bersama, Papa dan Mama akan selalu mencintai mereka
dengan utuh.
“Adek, enggak apa-apa Mama
nikah lagi.” Kali ini Ari coba untuk bersikap dewasa. Dalam pemahamannya,
langkah awal menuju kedewasaan seorang kakak adalah bisa menenangkan sang adik.
“Mama sama Papa baru bisa rujuk kalau Mama udah dinikah lagi. Gitu hukumnya,
Dek.”
“Masak?” Vira mengusap bening
yang menggumpal di bawah matanya.
“Iya.” Makanya, baca buku
pelajaran Agama Islam, bukannya main game-game cupu melulu di laptop Mama,
batin Ari. Adiknya harus terus diberi peringatan agar
tidak malas belajar. Tidak semua orang diberi kemampuan untuk memahami materi
secara kilat lantas tersisa banyak waktu baginya untuk bermain—seperti Ari.
“Jadi Kak Ari pingin Mama
nikah lagi juga?” Vira kembali mencebik. Sesak di dadanya bergemuruh hingga ke
kepala, terus memompa. Ia mengusap matanya dengan lengan. Ia ingin bisa seteguh
kakaknya, sekaligus merasa agak terkhianati. Jadi tidak ada artinya peristiwa
dulu, ketika sang kakak memukuli eyang putra yang telah menyuruh mama mereka
tidak lama-lama menjanda.
“Enggak.” Enggak tahu. Hanya satu yang mengganjal Ari sebetulnya. Sukar baginya untuk membenci
sesama penggemar setan merah yang tak pernah melewatkan setiap derby.
Adiknya semakin merunduk. Muka
tenggelam di balik lutut. Pundak berguncang pelan. Sedu sedan membuat
perkataannya jadi tidak jelas. Ia luapkan pada kakaknya betapa ia iri pada
teman-temannya yang tidak harus punya orangtua tiri. Sepasang orangtua saja
cukup—tidak ada yang ketiga maupun yang keempat. Jika BKKBN saja bilang dua
anak cukup, mengapa tidak dengan dua orangtua?—tapi yang ini tidak dikatakan
Vira, ia bahkan tidak hapal apa kepanjangan BKKBN.
Ari mendorong adiknya dengan
decak kesal. “Cengeng!” Sedu Vira yang sempat menyurut kembali menderas, kali
ini semata karena perlakuan kakaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar