Lazimnya kebanyakan keluarga
normal, kami pun pernah ke kebun binatang. Aku sangat suka Papa menggendongku
di pundaknya. Ketika itu usiaku 4 tahun, sudah cukup besar untuk digendong
sebetulnya, tapi Papa sukarela saja melakukannya. “Papa, mau setinggi ituuu…”
Aku menunjuk-nunjuk jerapah yang sedang meraup daun langsung dari dahan pohon.
“Ya enggak bisa…” kata papaku.
“Minta gendong sama papa jerapah aja ya…”
“Mana papa jerapah?”
Atas pinta papaku, Mama harus
sigap merekam tiap momen kami berdua dengan tustel. Kalau aku jalan hanya
berdua dengan Papa pun, Papa senang sekali memotretku. Makanya aku jadi pintar
bergaya. Segenit apapun, Papa tidak akan protes, beda sekali dengan sekarang.
Setelah besar aku sadar jadi model bukanlah jalan hidupku.
“Ayo minta papa jerapah…”
rengekku, berpikir kalau hewan itu mau saja menggendongku di atas kepalanya.
“Papa jerapahnya lagi encok…”
kata mamaku. Kadang ia jadi musuhku karena suka menganggapku macam-macam saja.
Sementara itu penyeranta
papaku berbunyi. Setelah membaca sejenak, Papa bilang pada Mama, “Panggilan
tugas,” lalu nyengir sangat lebar ketika menyebutkan tempat mana kali ini yang
akan ia tuju. “Berangkat entar malam dari Jakarta,” sambungnya.
“Ya udah cepet siap-siap…”
kata Mama seolah kami ada di kamar, lemari di belakang Papa, jadi Papa bisa
langsung berkemas.
Papa mendongak ke arahku yang
masih menunjuk-nunjuk jerapah dengan antusias. “Bibe mau pulang sekarang?”
“Belum lihat gajah!” seruku.
Mama juga protes karena kami
baru di sini setengah jam lalu. Papa menurunkanku. Melihat Papa masih tampak
ragu, Mama berkata, “Udah pergi aja. Entar macet...” Untuk lebih menguatkan
Papa, “Aku tahu kok dari sini pulangnya naik angkot apa,” dengan nada bercanda.
Setelah memberi segala dekap
dan cium sekuat tenaga, ia pun pergi. Dan Mama tidak kuat kalau harus
menggendongku, boro-boro di pundaknya.
Maka, seolah ia tidak tahu
sama sekali bagaimana menjalankan sebuah keluarga, aku memberitahu Ayah Yan kalau
kami harus ke kebun binatang. Setiap orangtua dan anak pernah melakukannya. Ini
seperti pengukuhan ikatan di antara kami meski kami sadar benar kalau hubungan
ini hanya jadi-jadian. Untuk senang-senang belaka.
Tapi kami tidak bisa
melakukannya pada akhir minggu. Om Yan bilang kalau itu adalah waktu untuk para
keponakannya. Betapa sayangnya ia pada mereka. Kalau ia punya anak sendiri, aku
pikir ia akan jadi ayah yang baik.
Jadi kami sepakat untuk
menggunakan hari biasa. Sepulang sekolah, aku lihat mobilnya sudah terparkir di
seberang jalan. Ia sedang mengorek-ngorek komputer tabletnya ketika aku
mengetuk kaca.
Sepanjang perjalanan, kami
membicarakan apa saja yang biasa dilakukan bersama oleh ayah dan anak. Hal
pertama adalah, “makan,” sebut kami serempak. Aku punya daftar berbagai kafe,
kedai, restoran, dan berbagai nama tempat makan lainnya yang kelihatan wah
untuk dikunjungi. Sebetulnya aku sudah menyusun daftar ini sejak lama, jauh
sebelum aku sedekat ini dengan Om Yan, sebagai rujukan kalau aku dan teman-temanku
ingin mencoba hal baru. Dua kali makan bersamanya, aku coba menandai poin-poin
yang kira-kira sesuai dengan seleranya.
Lalu, “menanyakan pelajaran di
sekolah”.
“Dulu itu pertanyaan yang
paling saya hindari, Be.” Ia mengaku kalau dirinya tidak pernah jadi murid yang
pintar secara akademis. “Kalau kata Einstein, ini seperti menyuruh ikan buat
panjat tebing.” Tapi ikan yang ini pun tidak bisa hidup di sembarang air.
“Enggak mungkin kan, ikan mas dilepasin ke laut?”
“Justru malah jadi pemacu Om,
kalau sering ditanyain kayak gitu,” menurutku.
“Dengan senang hati Bibe.
Gimana ulangan Kimia Bibe hari ini?”
Mengapa harus Kimia? Mengapa
tidak Biologi atau Matematika? Aku tidak pernah dapat nilai bagus untuk ulangan
Kimia! Aku jadi mengerti mengapa ini bukan sejenis pertanyaan yang disukai.
“Terus gimana kabarnya sama si
Aa?”
“Heh?”
“Pacar, Bibe? Ada kan?”
Aku menggeleng. Bahkan Noba pun
sudah terlupakan. Ia makin sibuk dengan basket sekarang, dengan kecengannya
bersorak-sorai di pinggir lapangan. “Itu mah masih jauh Om.”
“Ya enggak apa-apa…”
“Oo…” Aku tiba-tiba mendapat ilham.
“Tapi kalau entar ada cowok yang dekat sama aku, Om harus protect aku banget.
Pura-pura jadi om sangar gitu Om.”
“Oh. Oke. Nungguin di ruang tamu,
sarungan, pelihara kumis gede, bawa-bawa pentungan, gitu Bibe?”
“Iya… Terus begitu dia mau ngajak
salaman, Om harus menggeram, terus bentak-bentak, ‘Kamu mau apa sama putri
saya?!’” Om Yan terlalu ramah untuk tipe ayah seperti ini, tapi aku yakin
papaku yang asli bisa melakukannya dengan sangat baik. Setidaknya ia sudah
punya kumis dan sarung.
“Terus aku boleh curhat tentang
temen-temenku?” tanyaku lagi.
“Kenapa enggak Bibe? Saya justru
seneng banget kalau ada yang mau cerita sama saya… Ayo, mau curhatin apa?”
“Banyak. Entar deh!”
Sebetulnya aku ingin ia membiarkanku
coba mengendarai mobilnya, seperti Tante As. Sekali-dua kali aku pernah
menyetir dari tempat kami menghabiskan waktu bersama sampai ke rumahnya kembali
lalu memarkirkan mobilnya di garasi. Semua itu kulakukan tanpa meninggalkan
lecet sedikit pun di bodi mobilnya! Dan ia menyudahi perjalanan menegangkan
baginya itu dengan hembusan nafas lega. Tapi mobil Tante As berukuran kecil
sedang mobil Om Yan lumayan besar. Aku ingin punya pengalaman mengendarai
berbagai macam mobil.
Mungkin ia bisa mengajariku main
piano juga…
Kami membeli makanan siap saji
sebagai bekal piknik kami nanti, meski kami tidak bawa tikar. Ketika sudah di
kebun binatang, pada mulanya kami malah membahas tentang musik Islami alih-alih
mengamati para satwa. Beberapa alat musik ternyata merupakan hasil dari
kebudayaan Islam pada masa jayanya.
Ia menceritakan tentang
lawatannya ke Istanbul selama setengah tahun. Kota yang agak muram, begitu
menurutnya, tapi ia sangat suka menyaksikan tarian darwis. Tarian yang
koreografinya seperti hanya berputar-putar itu konon melambangkan simbol-simbol
dalam Islam. Musik yang mengiringinya terdengar seperti zikir.
Aku baru tahu ia juga punya
kakak. Saat mengikuti pertukaran pelajar di SMA, sang kakak pernah menonton
pertunjukan serupa. Saking hanyutnya dalam tarian tersebut, kakaknya jadi
tertarik untuk mencoba namun tidak jadi. Ada yang bilang padanya kalau di dalam
sepatu para darwis tersebut dimasukkan benda tajam seperti paku. Saat
berputar-putar tersebut, mereka dalam keadaan tidak sadar, merasa sudah menyatu dengan Ilahi, sehingga
tidak kesakitan.
Aku juga baru tahu kalau Abu Nawas
yang tersohor itu ditengarai sebagai homoseksual.
Kepadanya, aku keluarkan sebanyak
mungkin pengetahuan dan opiniku tentang musik. Salah satunya adalah mengenai
sebagian kalangan yang menganggap musik itu haram. Menurutku itu tidak masuk
akal. Musik itu kan media. Bagaimanapun medianya, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Ini tergantung bagaimana manusia yang
memanfaatkannya. Makanya aku heran mengapa Facebook bisa diharamkan. Lama-lama
buku pun bisa diharamkan—kalau yang bisa menulis hanya orang-orang sesat!
Begitupun musik. Musik bisa jadi media penyampai kebaikan juga—sekali lagi,
tergantung bagaimana manusia yang memanfaatkannya.
Meski nyaris tidak bisa berhenti
mengobrol, aku ingat untuk memanfaatkan SLR yang sudah aku bawa. Sampai
sekarang aku belum terlalu jago memotret sebetulnya. Hampir seluruh anggota
ekskul fotografi di sekolahku adalah cowok, dan tidak ada dari mereka yang
tidak menggemari cewek cantik sebagai objek utama mereka. Aku masih belum bisa
sejalan dengan mereka. Bagiku, memotret anak kecil lebih menarik. Orang dewasa
juga bisa menarik sebetulnya. Apalagi ketika ekspresinya meniru bentuk muka
satwa yang hendak dipotret bersamanya.
“Paling suka sama orangutan,”
katanya. “Kelihatannya senyum terus.”
Lalu ia menyuruhku untuk dipotret
ala dia tadi. Aku pilih kuda nil, tapi setelah ditunggu beberapa lama, tidak
ada satu pun dari mereka yang mengangakan mulut. “Kalau gitu aku mau jadi
lebah! Mukanya enggak kelihatan.” Aku menutup mukaku dengan kedua belah tangan.
Ia memotretku dengan SLR-ku lalu tertawa ditahan melihat hasilnya. Di sebelah
kandang ular, kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya sambil mendelikkan mata.
Ia langsung sigap untuk mengambil gambarku.
Dari segala satwa yang kami temui di
kebun binatang, ada satwa yang sangat bikin Om Yan ngeri. Kecoak. Ia
berjingkat-jingkat ketika satwa kecil itu berlarian di sekitar kakinya. Aku
tergelak dan tidak mau kelewatan momen ini. Jariku cergas mengambil gambar.
Inilah mengapa aku tidak akan pernah mengajaknya masuk ke rumahku sendiri.
Waktu Tante As masih tinggal bersama kami, ia tidak akan segan-segan menewaskan
setiap kecoak yang ia temui di lantai dengan injakan mautnya.
Ketika petang menjelang, aku
mengajaknya mampir ke Masjid Salman dulu sebelum pulang. Hanya ingin mencari
tempat yang bersih untuk menunaikan solat ashar saja sebetulnya. Aku senang
melihat ia melipat kaki celananya ke atas, lalu menggulung lengan atasannya,
seraya memasuki tempat wudhu pria. Entah mengapa, ada kesenangan tersendiri
ketika melihat seseorang yang tidak tampak religius sepertinya ternyata masih
rela menunaikan solat. Kadang ada saja orang yang kita ketahui sebagai muslim
namun menolak ikut solat ketika orang lain hendak solat. Apa susahnya sih
meluangkan sejenak waktunya dari aktivitas duniawi?
Dan ia ayahku. Ayahku yang soleh.
Meski ayah jadi-jadian hi hi.
Kami membeli kue cubit sebelum
melanjutkan perjalanan pulang. Bukan hanya nostalgia bagi Om Yan saja untuk
menikmati kue berbentuk bundar atau bunga ini, tapi juga bagiku karena terakhir
kali aku menikmatinya adalah waktu SD.
Jadi aku minta diantar sampai rumah
Tante As lagi. Di sisa perjalanan pulang, kami membicarakan rencana perjumpaan
kami selanjutnya, tidak hanya untuk yang terdekat, tapi banyak hal yang kami
ingin lihat dan lakukan bersama meski itu bukan aktivitas yang sama sekali beda
dengan sebelumnya.
Tante As sudah hapal deru mobil Om
Yan. “Sama dia lagi?” Nadanya sinis. Ia tidak melihatku. Tubuhnya sedang
bungkuk karena membersihkan bagian dalam sofa.
Aku maklum saja kalau ibu
hamil berpembawaan sensitif. Kucing tetanggaku juga banyak tingkah kalau sedang
hamil.
“Tante, kalau lagi hamil, jangan
judes-judes…”
Tubuhnya menegak lalu berkacak
pinggang. Ia melihatku dengan pandangan tak suka. Bertahun-tahun mendalami
dinamika tabiat Tante As, yang aku baca ialah ia begitu bukan karena ucapanku
barusan padanya, tapi lebih karena apa yang disinggungnya tadi. Ia tak suka Om
Yan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar