Minggu, 20 November 2011

Permainan Ayah-Anak Kali Pertama

Lazimnya kebanyakan keluarga normal, kami pun pernah ke kebun binatang. Aku sangat suka Papa menggendongku di pundaknya. Ketika itu usiaku 4 tahun, sudah cukup besar untuk digendong sebetulnya, tapi Papa sukarela saja melakukannya. “Papa, mau setinggi ituuu…” Aku menunjuk-nunjuk jerapah yang sedang meraup daun langsung dari dahan pohon.

“Ya enggak bisa…” kata papaku. “Minta gendong sama papa jerapah aja ya…”

“Mana papa jerapah?”

Atas pinta papaku, Mama harus sigap merekam tiap momen kami berdua dengan tustel. Kalau aku jalan hanya berdua dengan Papa pun, Papa senang sekali memotretku. Makanya aku jadi pintar bergaya. Segenit apapun, Papa tidak akan protes, beda sekali dengan sekarang. Setelah besar aku sadar jadi model bukanlah jalan hidupku.

“Ayo minta papa jerapah…” rengekku, berpikir kalau hewan itu mau saja menggendongku di atas kepalanya.

“Papa jerapahnya lagi encok…” kata mamaku. Kadang ia jadi musuhku karena suka menganggapku macam-macam saja.

Sementara itu penyeranta papaku berbunyi. Setelah membaca sejenak, Papa bilang pada Mama, “Panggilan tugas,” lalu nyengir sangat lebar ketika menyebutkan tempat mana kali ini yang akan ia tuju. “Berangkat entar malam dari Jakarta,” sambungnya.

“Ya udah cepet siap-siap…” kata Mama seolah kami ada di kamar, lemari di belakang Papa, jadi Papa bisa langsung berkemas.

Papa mendongak ke arahku yang masih menunjuk-nunjuk jerapah dengan antusias. “Bibe mau pulang sekarang?”

“Belum lihat gajah!” seruku.

Mama juga protes karena kami baru di sini setengah jam lalu. Papa menurunkanku. Melihat Papa masih tampak ragu, Mama berkata, “Udah pergi aja. Entar macet...” Untuk lebih menguatkan Papa, “Aku tahu kok dari sini pulangnya naik angkot apa,” dengan nada bercanda.

Setelah memberi segala dekap dan cium sekuat tenaga, ia pun pergi. Dan Mama tidak kuat kalau harus menggendongku, boro-boro di pundaknya.

Maka, seolah ia tidak tahu sama sekali bagaimana menjalankan sebuah keluarga, aku memberitahu Ayah Yan kalau kami harus ke kebun binatang. Setiap orangtua dan anak pernah melakukannya. Ini seperti pengukuhan ikatan di antara kami meski kami sadar benar kalau hubungan ini hanya jadi-jadian. Untuk senang-senang belaka.

Tapi kami tidak bisa melakukannya pada akhir minggu. Om Yan bilang kalau itu adalah waktu untuk para keponakannya. Betapa sayangnya ia pada mereka. Kalau ia punya anak sendiri, aku pikir ia akan jadi ayah yang baik.

Jadi kami sepakat untuk menggunakan hari biasa. Sepulang sekolah, aku lihat mobilnya sudah terparkir di seberang jalan. Ia sedang mengorek-ngorek komputer tabletnya ketika aku mengetuk kaca.

Sepanjang perjalanan, kami membicarakan apa saja yang biasa dilakukan bersama oleh ayah dan anak. Hal pertama adalah, “makan,” sebut kami serempak. Aku punya daftar berbagai kafe, kedai, restoran, dan berbagai nama tempat makan lainnya yang kelihatan wah untuk dikunjungi. Sebetulnya aku sudah menyusun daftar ini sejak lama, jauh sebelum aku sedekat ini dengan Om Yan, sebagai rujukan kalau aku dan teman-temanku ingin mencoba hal baru. Dua kali makan bersamanya, aku coba menandai poin-poin yang kira-kira sesuai dengan seleranya.

Lalu, “menanyakan pelajaran di sekolah”.

“Dulu itu pertanyaan yang paling saya hindari, Be.” Ia mengaku kalau dirinya tidak pernah jadi murid yang pintar secara akademis. “Kalau kata Einstein, ini seperti menyuruh ikan buat panjat tebing.” Tapi ikan yang ini pun tidak bisa hidup di sembarang air. “Enggak mungkin kan, ikan mas dilepasin ke laut?”

“Justru malah jadi pemacu Om, kalau sering ditanyain kayak gitu,” menurutku.

“Dengan senang hati Bibe. Gimana ulangan Kimia Bibe hari ini?”

Mengapa harus Kimia? Mengapa tidak Biologi atau Matematika? Aku tidak pernah dapat nilai bagus untuk ulangan Kimia! Aku jadi mengerti mengapa ini bukan sejenis pertanyaan yang disukai.

“Terus gimana kabarnya sama si Aa?”

“Heh?”

            “Pacar, Bibe? Ada kan?”

            Aku menggeleng. Bahkan Noba pun sudah terlupakan. Ia makin sibuk dengan basket sekarang, dengan kecengannya bersorak-sorai di pinggir lapangan. “Itu mah masih jauh Om.”

            “Ya enggak apa-apa…”

            “Oo…” Aku tiba-tiba mendapat ilham. “Tapi kalau entar ada cowok yang dekat sama aku, Om harus protect aku banget. Pura-pura jadi om sangar gitu Om.”         

            “Oh. Oke. Nungguin di ruang tamu, sarungan, pelihara kumis gede, bawa-bawa pentungan, gitu Bibe?”

            “Iya… Terus begitu dia mau ngajak salaman, Om harus menggeram, terus bentak-bentak, ‘Kamu mau apa sama putri saya?!’” Om Yan terlalu ramah untuk tipe ayah seperti ini, tapi aku yakin papaku yang asli bisa melakukannya dengan sangat baik. Setidaknya ia sudah punya kumis dan sarung.

            “Terus aku boleh curhat tentang temen-temenku?” tanyaku lagi.

            “Kenapa enggak Bibe? Saya justru seneng banget kalau ada yang mau cerita sama saya… Ayo, mau curhatin apa?”

            “Banyak. Entar deh!”

            Sebetulnya aku ingin ia membiarkanku coba mengendarai mobilnya, seperti Tante As. Sekali-dua kali aku pernah menyetir dari tempat kami menghabiskan waktu bersama sampai ke rumahnya kembali lalu memarkirkan mobilnya di garasi. Semua itu kulakukan tanpa meninggalkan lecet sedikit pun di bodi mobilnya! Dan ia menyudahi perjalanan menegangkan baginya itu dengan hembusan nafas lega. Tapi mobil Tante As berukuran kecil sedang mobil Om Yan lumayan besar. Aku ingin punya pengalaman mengendarai berbagai macam mobil.

            Mungkin ia bisa mengajariku main piano juga…

            Kami membeli makanan siap saji sebagai bekal piknik kami nanti, meski kami tidak bawa tikar. Ketika sudah di kebun binatang, pada mulanya kami malah membahas tentang musik Islami alih-alih mengamati para satwa. Beberapa alat musik ternyata merupakan hasil dari kebudayaan Islam pada masa jayanya.

Ia menceritakan tentang lawatannya ke Istanbul selama setengah tahun. Kota yang agak muram, begitu menurutnya, tapi ia sangat suka menyaksikan tarian darwis. Tarian yang koreografinya seperti hanya berputar-putar itu konon melambangkan simbol-simbol dalam Islam. Musik yang mengiringinya terdengar seperti zikir. 

Aku baru tahu ia juga punya kakak. Saat mengikuti pertukaran pelajar di SMA, sang kakak pernah menonton pertunjukan serupa. Saking hanyutnya dalam tarian tersebut, kakaknya jadi tertarik untuk mencoba namun tidak jadi. Ada yang bilang padanya kalau di dalam sepatu para darwis tersebut dimasukkan benda tajam seperti paku. Saat berputar-putar tersebut, mereka dalam keadaan tidak sadar,  merasa sudah menyatu dengan Ilahi, sehingga tidak kesakitan.

            Aku juga baru tahu kalau Abu Nawas yang tersohor itu ditengarai sebagai homoseksual.

            Kepadanya, aku keluarkan sebanyak mungkin pengetahuan dan opiniku tentang musik. Salah satunya adalah mengenai sebagian kalangan yang menganggap musik itu haram. Menurutku itu tidak masuk akal. Musik itu kan media. Bagaimanapun medianya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Ini tergantung bagaimana manusia yang memanfaatkannya. Makanya aku heran mengapa Facebook bisa diharamkan. Lama-lama buku pun bisa diharamkan—kalau yang bisa menulis hanya orang-orang sesat! Begitupun musik. Musik bisa jadi media penyampai kebaikan juga—sekali lagi, tergantung bagaimana manusia yang memanfaatkannya.

            Meski nyaris tidak bisa berhenti mengobrol, aku ingat untuk memanfaatkan SLR yang sudah aku bawa. Sampai sekarang aku belum terlalu jago memotret sebetulnya. Hampir seluruh anggota ekskul fotografi di sekolahku adalah cowok, dan tidak ada dari mereka yang tidak menggemari cewek cantik sebagai objek utama mereka. Aku masih belum bisa sejalan dengan mereka. Bagiku, memotret anak kecil lebih menarik. Orang dewasa juga bisa menarik sebetulnya. Apalagi ketika ekspresinya meniru bentuk muka satwa yang hendak dipotret bersamanya.

            “Paling suka sama orangutan,” katanya. “Kelihatannya senyum terus.”

            Lalu ia menyuruhku untuk dipotret ala dia tadi. Aku pilih kuda nil, tapi setelah ditunggu beberapa lama, tidak ada satu pun dari mereka yang mengangakan mulut. “Kalau gitu aku mau jadi lebah! Mukanya enggak kelihatan.” Aku menutup mukaku dengan kedua belah tangan. Ia memotretku dengan SLR-ku lalu tertawa ditahan melihat hasilnya. Di sebelah kandang ular, kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya sambil mendelikkan mata. Ia langsung sigap untuk mengambil gambarku.

            Dari segala satwa yang kami temui di kebun binatang, ada satwa yang sangat bikin Om Yan ngeri. Kecoak. Ia berjingkat-jingkat ketika satwa kecil itu berlarian di sekitar kakinya. Aku tergelak dan tidak mau kelewatan momen ini. Jariku cergas mengambil gambar. Inilah mengapa aku tidak akan pernah mengajaknya masuk ke rumahku sendiri. Waktu Tante As masih tinggal bersama kami, ia tidak akan segan-segan menewaskan setiap kecoak yang ia temui di lantai dengan injakan mautnya.

            Ketika petang menjelang, aku mengajaknya mampir ke Masjid Salman dulu sebelum pulang. Hanya ingin mencari tempat yang bersih untuk menunaikan solat ashar saja sebetulnya. Aku senang melihat ia melipat kaki celananya ke atas, lalu menggulung lengan atasannya, seraya memasuki tempat wudhu pria. Entah mengapa, ada kesenangan tersendiri ketika melihat seseorang yang tidak tampak religius sepertinya ternyata masih rela menunaikan solat. Kadang ada saja orang yang kita ketahui sebagai muslim namun menolak ikut solat ketika orang lain hendak solat. Apa susahnya sih meluangkan sejenak waktunya dari aktivitas duniawi?

            Dan ia ayahku. Ayahku yang soleh. Meski ayah jadi-jadian hi hi.

            Kami membeli kue cubit sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Bukan hanya nostalgia bagi Om Yan saja untuk menikmati kue berbentuk bundar atau bunga ini, tapi juga bagiku karena terakhir kali aku menikmatinya adalah waktu SD.

            Jadi aku minta diantar sampai rumah Tante As lagi. Di sisa perjalanan pulang, kami membicarakan rencana perjumpaan kami selanjutnya, tidak hanya untuk yang terdekat, tapi banyak hal yang kami ingin lihat dan lakukan bersama meski itu bukan aktivitas yang sama sekali beda dengan sebelumnya.

            Tante As sudah hapal deru mobil Om Yan. “Sama dia lagi?” Nadanya sinis. Ia tidak melihatku. Tubuhnya sedang bungkuk karena membersihkan bagian dalam sofa.

Aku maklum saja kalau ibu hamil berpembawaan sensitif. Kucing tetanggaku juga banyak tingkah kalau sedang hamil.

            “Tante, kalau lagi hamil, jangan judes-judes…”

            Tubuhnya menegak lalu berkacak pinggang. Ia melihatku dengan pandangan tak suka. Bertahun-tahun mendalami dinamika tabiat Tante As, yang aku baca ialah ia begitu bukan karena ucapanku barusan padanya, tapi lebih karena apa yang disinggungnya tadi. Ia tak suka Om Yan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain