Persiapan
BMC berjalan lamban minggu-minggu ini—bahkan sering tidak ada yang mesti
dikerjakan sama sekali. Meski demikian, kata Teh Icih, kami harus tetap siaga.
Jangan terlena sampai jadi gelagapan ketika momennya tiba. Kami bakal sangat
dirusuhkan. Aku harap itu tidak menggangguku dalam persiapan ujian masuk
perguruan tinggi. Tapi aku sendiri sampai sekarang belum memutuskan hendak
meneruskan ke mana. Biarlah itu jadi urusan nanti saja.
Dengan
demikian, aku pun tidak sering berjumpa Manda lagi. Terakhir kali bersua, kami
menonton konser di CCF. Kami pulang larut sekali karena ia hendak menikmati
panorama Bandung di waktu malam dulu. Jelas esoknya aku bangun kesiangan. Aku
putuskan untuk sekalian bolos saja he he. Entah bagaimana dengannya.
Aku
lebih kangen ketemu Om Yan ketimbang ketemu Manda lagi. Setiap melihat
pemberitaan tentangnya di media, aku maklum kalau ia punya semakin banyak
acara. Ia semakin dikenal publik Indonesia. Aku pertimbangkan untuk mengontak
melalui media sosialnya lagi.
Tapi
sebelum aku benar-benar niat untuk mewujudkannya, itu sudah tidak diperlukan.
Uwak Tata menyuruhku mengantar kue ke rumah Tante Zahra. Dengan menggunakan
motor Uwak Tata, suatu petang di akhir minggu aku berkendara ke kompleks
perumahan tanteku yang dosen itu. Seperti rumah-rumah di kompleks perumahan Om
Yan, rumah-rumah di sini juga enak dilihat.
Ketika
melihat sebuah mobil hitam, panjang, dan besar terparkir di depan pagar rumah
Tante Zahra, hatiku langsung girang. Aku familier sangat dengan nomor plat yang
menempel di bempernya.
Ketika
mendekat, aku lihat tanteku sedang mengobrol bersama Om Yan di kursi teras.
Pintu di samping Tante Zahra terbuka lebar.
Aku
menyalami mereka. Tante Zahra menyuruhku langsung masuk ke dalam rumah. Aku
ingin setidaknya menyapa para sepupuku, tapi sepertinya mereka ada di lantai
dua. Aku hanya bertemu dengan suami Tante Zahra yang sedang membaca buku di
ruang tengah. Ketika aku keluar lagi, rupanya Om Yan sudah hendak pamit. Tante
Zahra menyuruhku memanggil suaminya. Kalau begitu, aku pun sekalian saja.
Om
Yan sempat menegurku ketika kami berjalan ke luar halaman rumah yang tidak luas
itu. Basa-basi sebentar dan tahu-tahu saja ia sudah menyambungkan pembicaraan
dengan Manda lagi.
“Kapan
main ke rumah lagi, Bibe?” tanyanya ramah. Ia membuka pintu mobilnya sedang aku
memakai helm.
“Kapan
ya Om?” balasku dengan tanya lagi, namun memendam sedikit semangat. Aku senang
kalau bisa bertemu dengan ibunya Om Yan lagi, sekaligus membalas kue buatannya
yang lezat itu silam hari.
“Ajak
juga cowoknya Bibe.” Senyumnya makin manis.
“Ah,
siapa?”
“Siapa
aja boleh ha ha… Ayo, Ayah kan harus kenal sama cowok yang lagi dekat sama
Bibe…”
Ya
ampun, ia masih ingat saja! Sebagaimana aku suka merongrongnya terkait Tante
Ri, ia balas merongrongku dengan cowok yang diisukan dekat denganku selama
kegiatan persiapan BMC. Dasar, Om Yan ini kerjanya menggosip dengan Teh Icih
saja.
Ia
baru benar-benar masuk mobilnya setelah kami menentukan waktu yang tepat untuk
mendatangi rumahnya lagi.
“Oke,
moga-moga dia bisa ya Om,” sahutku.
“Sip.”
Setelah ia menutup pintu mobil, barulah motor yang kukendarai melesat.
Begitu
aku bisa duduk di lantai lagi, aku mengirim sms pada Manda. Aku ajak dia main
ke rumahku dan aku punya kejutan untuknya. Kutambahkan emoticon dengan mata
berkedip. He, rumahku, padahal rumah Om Yan. “Kapan?” Ia balik tanya. Jumat
sore, besok, jawabku, bisa deh, bisa bisa
bisa… Ia tidak balas. Kalau ia tidak bisa, aku mungkin akan pergi dengan
ditemani camilan sarat vitamin saja untuk ibunya Om Yan. Aku akan mempraktikkan
cara membuat semacam skutel dengan kentang, brokoli, dan keju yang pernah Uwak
Tata tunjukkan padaku.
Pada
hari yang dijanjikan, Manda baru mengirim sms padaku lagi beberapa lama setelah
Jumatan. Ia bertanya apakah aku sudah di rumah. Aku bilang kalau yang kumaksud
kemarin bukan rumahku—ke mana ia biasa mengantarku pulang, melainkan ke rumah
yang lain. Adonan skutel baru saja kumasukkan ke dalam pinggan tahan panas. Aku
tanya apakah ia mau main dulu di rumah Uwak Tata, aku berikan alamatnya. Ia
setuju. “Sampai ketemu Sayang :-*” Aku tergelak karena balasannya. Ketika kami
saling menggoda dan genit pada satu sama lain, itu hanya pretensi. Tapi ia
memang orang yang baik.
Setelah
putar-putar sebentar, Manda sampai ke rumah uwakku. Ia bilang ia baru saja
ujian. Kemarin ia belum bisa memastikan kapan ujiannya selesai sehingga masih
ragu untuk menanggapi ajakanku. Tidak mengapa, kataku, ia ada waktu luang saja
aku bersyukur. Ia bermain dengan Rifky yang juga baru pulang dari sekolah
sementara aku bersiap. Terdengar canda Manda pada Uwak Tata. Ia sebenarnya
orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi entah mengapa dalam kepanitiaan
BMC ini ia selalu ingin bareng aku. Uwak Tata juga orang yang terbuka pada
orang baru. Karena sungkan mengajak teman main ke rumah sendiri maupun ke rumah
Tante As, maka aku mengajak siapapun yang ingin main ke rumahku ke rumah ini.
Hanya karena tidak cukup kamar saja di rumah kecil ini sehingga aku jarang
menginap.
“Mana
kejutannya, Be?” tagih Manda. Ia menghampiriku di dapur. “Ini ya?” tanyanya
lagi begitu aku mengeluarkan pinggan tahan panas dalam oven.
“Bukan,”
kataku. “Habis ashar kita pergi ya.”
Aku
baru ngeh kalau ia semakin gembil dan cokelat saja. Padahal sewaktu SMA ia
tirus, putih, cakep, dan bersinar seperti pangeran. Betapa gejolak dunia kampus
dapat mengubah seorang insan. Aku penasaran akan seperti apa aku setelah jadi
mahasiswa nanti. Yang jelas sepertinya aku tidak bakal menyusul ke kampus
Manda.
Setelah
menumpang solat ashar di rumah Uwak Tata, kami pun hendak berangkat.
“Dadah sama Teh Bibe sama pacarnya,” titah
Uwak Tata pada Rifky. Manda tertawa. Ia sudah duduk di atas motor. Aku menaruh
bawaanku yang berupa skutel dalam wadah tupperware dalam tas plastik di
belakang tubuhnya.
“Ah
Uwak mah sok ngagosip wae da,” omelku sembari duduk di atas motor.
Melajulah
kami.
“Mau
ke rumah siapa emangnya Bong?” Manda suka memplesetkan namaku jadi “Bibong”,
masih lebih aman ketimbang yang lain. Waktu SD aku pernah membocorkan kepala
anak sekelasku karena memplesetkan namaku jadi panggilan tak senonoh. Sekarang
aku bersyukur ia jadi juara olimpiade.
“Ada
deh, kan kejutan…”
Rumah
Om Yan sebenarnya masih satu wilayah dengan rumahku. Jika rumahku ada di
punggung bukit, maka rumahnya terletak di lembah.
Manda
terus menebak-nebak. Sebisa mungkin aku berkilah.
Begitu
motor berhenti, kepala Manda mendongak. Ia amat-amati rumah berarsitektur zadul
itu. Seperti kunjungan sebelumnya, aku bermaksud masuk lewat samping rumah. Ia tidak
jadi meninggalkan helm di motor begitu melihatku membawa helmku serta.
Pintu
yang kutuju terbuka sedikit. Aku mengetuk pelan seraya melontar salam. Manda
yang masih terbengong-bengong mengamati eksterior jadi makin bengong lagi
begitu melihat siapa yang melebarkan bukaan pintu untuk kami.
“Hei
Bibe, kirain enggak jadi datang,” sambut Om Yan ramah. Manda baru berhenti
mencolek punggungku ketika Om Yan mengajaknya berjabat tangan.
“Manda…
Om..”
“Panggil
Yan aja. Ayo, langsung duduk aja…” Ia menggiring kami ke ruang terdekat, ruang
makan. Di sana kami duduk.
Ketika
Om Yan undur sebentar, suara Manda nyaris berupa bisikan. “Be, aku enggak
percaya…” Kepalanya sedikit bergoyang.
“Percaya
aja deh. Om Yan itu teman mamaku kok.”
“Om
Yan…?”
Om
Yan datang lagi. Sebagaimana kunjungan sebelumnya, ia hanya mengenakan oblong
dan celana pendek saja. Aku geli dengan sikap Manda ketika Om Yan mulai
menanyainya macam-macam. Lama-lama sikap cowok itu mulai rileks, bahkan ikut
terbahak sesekali.
“Aku
bawa makanan lagi buat ibunya Om,” kataku begitu percakapan sempat terisi
hening. Kusodorkan bungkusan yang kubawa.
Om
Yan mengeluarkan isinya. “Wah, terima kasih ya Bibe. Ibu juga tadi kayaknya mau
masak tuh...”
“Ibu
ke mana Om?”
“Tadi
lagi mandi. Mungkin sebentar lagi selesai…”
“Eh
ya Om, Manda bisa main piano juga lo Om. “Aku menepuk punggung Manda pelan.
Manda menoleh padaku seakan aku telah membuka rahasia terbesarnya.
“Oh
ya?”
“Saya
udah lama enggak main Om. Enggak tahu masih ingat cara mainnya apa enggak.”
Manda mengusap-usap tengkuknya.
“Kalau
mau main, ada piano tuh…”
Aku
menepuk punggung Manda lagi. Ketika ia menoleh, aku memberinya tatapan
meyakinkan. Kami mengikuti Om Yan menuju ruangan lain yang masih bersisian
dengan taman. Ada sebuah grand piano berwarna hitam. Manda memandangnya dengan
takjub.
Aku
lihat ia agak gugup ketika meletakkan jari-jarinya di atas tuts. Apalagi dengan
aku dan Om Yan mengapit tak jauh dari samping kiri dan kanannya. Om Yan berdiri
sedang aku menumpu kedua lenganku di atas badan piano. Manda coba memainkan
melodi sederhana seperti “Twinkle Twinkle Little Star”. “Saya biasa mainin aja
Om, soalnya adik-adik saya suka,” katanya malu-malu.
“Oh
ya? Hebat, pasti adiknya senang sekali ya.” Manda agak tersipu namun ia
berusaha menyembunyikannya. “Punya adik berapa, Manda?”
“Lima.”
“Lima?”
“Aku
selalu pingin punya adik sampai lima orang,” kataku. Sudah lama aku tidak
menyentuh impiku yang satu itu.
Manda
mengarahkan kembali pandangannya pada tuts-tuts piano. Dengan canggung,
jari-jarinya merangkai sebuah melodi lagi. Lama-lama susunan itu terdengar
lancar. Aku seperti pernah mendengarnya, namun tidak terlalu familier. Lain hal
dengan Om Yan. Ia menatap Manda dengan kagum. “Hebat,” katanya lagi.
“Saya
baru bisa yang ini aja Om. Yang lainnya agak susah ngikutin.” Manda menunduk
saat mengucapkan itu, namun ia terlihat puas.
“Enggak
apa-apa. Ini bikinnya aja sampai sebelas tahun kok.”
“Ah
yang benar Om?”
“Iya.”
Nada Om Yan meyakinkan. Aku jadi ingat, tapi aku lupa pernah membaca di mana,
karier Om Yan sebagai musisi jazz profesional memang baru melejit setelah
usianya mendekati kepala tiga. Pada waktu itu ia menggubah musik yang
membuatnya jadi incaran para produser. Perlu kerja keras benar untuk mengasah
bakatnya agar jadi emas paling diburu.
Obrolan
kami disela dengan hadirnya sosok paling ingin kujumpa sore itu. Ia sosok
tinggi semampai yang membuat Manda sempat bertanya-tanya padaku, “Manggilnya
Bu, Nenek, apa Tante?”
“Aku
sih kemarin manggilnya ‘Ibu’ aja,” sebagaimana Om Yan, toh itu memang sebutan
paling umum untuk seorang wanita.
“Ini
siapa?” tanyanya pada Manda yang seketika mencium tangannya. Kelembutannya
diwarnai keheranan.
“Saya
temannya Bibe, Bu” jawab Manda, berusaha sesopan mungkin. Melihat sosok anggun
berbalut blus biru muda itu, kian kentara kejengahan Manda.
“Teman
spesial, hm?” Ibunya Om Yan melirikku. Aku sontak menggeleng-geleng. OmYan
menjelaskan pada ibunya soal proyek BMC. Di sanalah aku dan Manda sejak mula
kompak membantu dalam tim.
“Manda
udah ada kok,” kataku. Aku bukan sekadar menggoda, tapi memang Manda suka
cerita tentang teman cewek sekampusnya yang manis manja. “Oh ya, Bu, kemarin
makasih lagi kuenya…” kataku. Aku sendiri masih tidak kuasa mengendalikan segan
ketika bicara dengan wanita itu. Sekilas-sekilas, aku menangkap wajah Om Yan di
wajahnya. “Aku bawa lagi, he he…”
“Oh,
baik sekali Bibe.” Ia berbalik. “Kita cicipi sama-sama ya…” Aku menggiringnya
menuju tempat di mana aku meletakkan bawaanku. Ketika kupikir wanita itu tidak
awas, aku memberi isyarat pada Manda agar mengikuti kami. “Sudah minum belum?”
tegur ibunya Om Yan. Memasuki ruang makan, sudah tersaji minuman untuk kami di
meja. “Si Bibik bikin apa ini?” Wanita itu berhenti sejenak di tepi meja untuk
mengamati. “Diminum dulu ya?” katanya.
Aku
dan Manda menurut. Kami duduk di kursi lalu menuangkan segelas jeruk nipis
untuk diri kami masing-masing. Aku menawari Om Yan tapi ia menggeleng dengan
senyum. Ia malah membukakan wadah berisi skutel yang aku bawa untuk ibunya.
Sang
ibu mengambilkan pisau, garpu, dan piring kecil untuk kami semua. Ia menjumput
sedikit masakanku. Aku mengamatinya dengan sedikit deg-degan. Aku seperti
kontestan dalam program kompetisi masak di TV saja, sedang ia jurinya. “Hm…
Kejunya agak banyak ya Bibe? Bagus lo brokoli, banyak vitamin C-nya.”
Aku
merasa sedikit lega.
“Sudah
dicoba sendiri makanannya belum?” tanyanya padaku.
Aku
mengangguk. Kuambil sepotong untuk diriku sendiri. Aku ambilkan juga untuk
Manda. Namun Om Yan ingin mengambilkan untuk dirinya sendiri saja. Aku merasa
tersentuh ketika ia mengambil banyak. Katanya, “Yang sebelumnya enak juga lo
Bibe.”
“Oh
ya?’ sambutku sumringah.
“Kalau
bikin lagi, adonannya diaduk lebih kental lagi ya,” ucap ibunya Om Yan. Ia
tidak menambah lagi. Meski demikian aku merasa kritiknya sangat berharga.
“Ibu
katanya mau bikin kue juga?” tegur Om Yan pada ibunya.
“Bibe
sama Manda mau bantu?” Wanita itu menoleh pada kami. Aku lekas mengangguk.
Manda memandang saja dengan matanya yang
cokelat besar. Ia sibuk mengunyah. “Apa?” tanyanya agak telat. Mendadak aku
merasa agak malu dengan sikapnya. Ibunya Om Yan tersenyum saja.
“Satu
sekolah juga dengan Bibe?”
“Dulu
iya.” Manda lalu menyebutkan di mana ia kuliah sekarang. Ibunya Om Yan
menyebutkan beberapa nama pengajar di kampus Manda yang lambat-lambat Manda
kenali juga. Semuanya dosen tua. Ternyata dulu ibunya Om Yan mengajar juga,
tapi bukan di kampus Manda. Di sana ada sains dan teknologi tapi tidak ada
fakultas kedokteran, sebab. Ibunya Om Yan kan mengajar para dokter—baik yang
masih calon maupun sudah disumpah.
Ketika
ibunya Om Yan beranjak, Manda menyorongkan piringnya padaku. “Tambah Bong.”
“Saya
buatkan minuman lagi, mau?” Gerakan tangan Manda tertahan ketika wanita itu
menengok kami.
“Boleh
Bu.” Aku mengangguk. Aku duga ia akan membuatkan teh herbal seperti dulu lagi.
Aku menyukainya.
“Saya
bikinkan pakai chamomile ya. Suka?”
“Suka-suka
aja Bu…” Sesungguhnya aku tak mengerti sama sekali soal racikan teh herbal.
Manda minta potongan skutel yang besar di piringnya.
Selanjutnya
kami membantu ibunya Om Yan memasak kue. Wanita itu hendak membuat puding lapis
biskuit dan bola-bola cokelat dari biskuit. Katanya, dua jenis kudapan ini
selalu dapat membungkam kenakalan para cucunya.
Cara
Manda menanggapi cerita sang nenek justru lebih baik daripada aku. Sementara
aku berkonsentrasi meratakan adonan dalam loyang—aku tidak mau memberi hasil
mengecewakan pada wanita itu—dengan santainya Manda bercakap. Meski kadang gaya
Manda agak luwes, namun tawanya bisa kedengaran sangat gahar. Ibunya Om Yan
terlihat agak kaget ketika Manda begitu. Tapi keanggunannya lekas kembali
karena Manda tetap telaten dalam mengocok telur.
Om
Yan tidak ikut membantu kami. Ia hanya mengamati dari kursi yang ia duduki
sambil nimbrung pembicaraan para juru masak. Candaannya sering telak.
Sebetulnya ia pria yang sangat lucu. Tangannya sesekali berhenti memasukkan
camilan ke dalam mulut.
“Yang
itutuh, makannya dulu paling susah. Sekarang apa aja dimakan.” Wanita itu
menuding anaknya yang mesem-mesem saja.
Semuanya
dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari sejam. Setelahnya, aku, Manda dan Om
Yan sedikit bersenang-senang dengan menonton sebuah videoklip yang Om Yan dan
kawan-kawannya buat pada awal dekade 90-an. Videoklip yang awalnya dalam format
VHR itu sudah dikonversi menjadi mp3 sehingga kami bisa menyaksikannya lewat
komputer tablet Om Yan. Videoklip tersebut tidak dipublikasikan. Mereka
membuatnya hanya untuk bersenang-senang.
Hanya
ada enam sosok di sana: lima pemuda dan seorang gadis. Semuanya berwajah
Indonesia. Pengambilan gambarnya hanya makan satu hari dan satu latar. Mereka
muncul bergantian. Menampilkan pose dan mimik jenaka yang menjadikan videoklip
ini atraktif—selain karena aransemennya. Semua berpakaian necis namun khas
zaman itu. Begitupun model rambut Om Yan: lurus dengan poni belah tengah! Jelas
raut wajahnya terlihat lebih segar dan ekspresif. Sementara empat pemuda lain
memainkan alat musik dengan sikap sok tak acuh, hanya sesekali ditampilkan
jemari ramping Om Yan menekan tuts kibor. Lebih banyak yang ditampilkan adalah
lirikan nakalnya pada sang gadis berambut ombak dengan gaun putih lebar—membuat
Manda sesekali tergelak. Wajah mereka mendapat porsi tampil cukup banyak.
Maklumlah, sang gadis menggambarkan sosok yang diceritakan dalam lagu tersebut,
“Dreandara”, sedang Om Yan sang vokalis.
Aku
baru ngeh kalau ibunya Om Yan juga turut menyaksikan dari belakang kepala kami.
Dreandara yang asli. “Apa ini?” tegurnya. Om Yan mendongak. Ia menjawab hanya
dengan senyum. Kepalanya keburu diusap sang ibu.
Jingga
mulai membayang hingga ke bagian dalam rumah yang belum dicahayai lampu. Aku
dan Manda putuskan untuk lekas pulang setelah menunaikan solat maghrib. Namun
pinta ibunya Om Yan membuat kami tak dapat melewatkan makan malam yang
disajikan. Tumis bilis asam pedas yang dimakan bersama sayur labu teri sungguh
memuaskan lidah.
Ibunya
Om Yan sudah memindahkan skutelku ke wadah lain. Wadah tupperware-ku sendiri
sudah dicucikan pembantunya. Ia bertanya berapa jumlah Manda bersaudara. “Tujuh
Bu, sama ada kakak satu.” Wanita itu membungkuskan sekitar selusin potong
puding lapis biskuit untuk Manda. “Semuanya entar dibagi ya?” Manda mengangguk
sambil menyengir. Aku juga dibungkuskan. “Bibe mau kasih siapa aja?”
“Sedikit
aja Bu.”
Kami
tidak hanya diberi kudapan yang tadi kami bikin bersama. Sepertinya ia tidak
pernah kehabisan stok kudapan. Kami jadi merasa tidak enak karena hendak
dibawakan banyak. “Enggak apa-apa. Saya ini dari dulu memang sukanya masak,
tapi yang ngabisin selalu orang lain.”
“Iya,
kalau lagi enggak ada camilan, ambil di sini aja,” tambah Om Yan. Maka aku dan
Manda pun pasrah. Eh tunggu. Om Yan sudah berganti baju. Ia tampil lebih rapi,
licin, bersih, dan wangi ketimbang tadi.
“Mau
pergi juga Om?” tanya Manda.
“Iya.
Biasa… Mau nengokin keponakan…” Ia kancingkan jam tangannya.
Ibunya
Om Yan menyiapkan bawaan yang lebih banyak dan beragam untuk Om Yan. Sepertinya
suplai makanan untuk seminggu. Om Yan pernah cerita padaku kalau adiknya tidak
telaten dalam membuat makanan kecil.
Jadi
baik aku dan Manda maupun Om Yan sama-sama pamit pada sang ibu. Sementara aku
dan Manda hanya mencium punggung tangan wanita itu, Om Yan mencium pipinya
dengan mesra. Rasanya iri melihat kelekatan Om Yan dengan ibunya. Aku ingin
mengetahui bagaimana pandangan Manda mengenai ini. Ketika aku menoleh padanya,
ia balas menoleh padaku. Seakan bisa membaca pikiran satu sama lain, kompak
kami menuju keluar halaman rumah.
Kami lambaikan tangan pada Om Yan
yang sudah masuk ke mobilnya, juga pada sang ibu yang mengantar putranya sampai
teras. Setelah hampir keluar dari kompleks perumahan itu, Manda berkata padaku,
“Ibunya Om Yan masih cantik banget. Aku pingin punya nenek kayak gitu, Bong.”
Aku tertawa saja mendengarnya. Fakta
bahwa Om Yan punya saudara kembar serta Dreandara adalah nama ibunya Om Yan,
juga membuatnya terkesan. Ia bertanya-tanya apakah ia bisa minta langsung pada
Ardian Hayyra jika yang bersangkutan menghasilkan karya lagi.
“Eh Bong,” kata Manda lagi, “tipe
kamu itu sebenarnya yang kayak Ardian Hayyra ya?”
Aku tidak begitu mengerti apa
maksudnya. “Enggak. Aku udah punya kriteria sendiri dong, buat cowok idamanku,”
elakku.
“Oh gitu ya. Harus yang sesuai
kriteria?”
“Iya!”
“Lo, dulu kamu bukannya pernah dekat
sama siapa gitu, adik kelas?”
“Ah itu hanya selingan. Enggak
penting.”
“Sesuai kriteria?”
“Enggak!” Aku merasa ia mulai
menggangguku.
“Jadi enggak harus sesuai kriteria?”
Mau sesuai kriteria apa tidak, untuk
sekarang ini respons Papa tidak akan seterbuka Om Yan. Itu yang aku tidak
harapkan. Ia juga masih belum bosan bertanya kapan aku akan menutupi rambutku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar