Rabu, 30 November 2011

Masak Bareng

Persiapan BMC berjalan lamban minggu-minggu ini—bahkan sering tidak ada yang mesti dikerjakan sama sekali. Meski demikian, kata Teh Icih, kami harus tetap siaga. Jangan terlena sampai jadi gelagapan ketika momennya tiba. Kami bakal sangat dirusuhkan. Aku harap itu tidak menggangguku dalam persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Tapi aku sendiri sampai sekarang belum memutuskan hendak meneruskan ke mana. Biarlah itu jadi urusan nanti saja.

Dengan demikian, aku pun tidak sering berjumpa Manda lagi. Terakhir kali bersua, kami menonton konser di CCF. Kami pulang larut sekali karena ia hendak menikmati panorama Bandung di waktu malam dulu. Jelas esoknya aku bangun kesiangan. Aku putuskan untuk sekalian bolos saja he he. Entah bagaimana dengannya.

Aku lebih kangen ketemu Om Yan ketimbang ketemu Manda lagi. Setiap melihat pemberitaan tentangnya di media, aku maklum kalau ia punya semakin banyak acara. Ia semakin dikenal publik Indonesia. Aku pertimbangkan untuk mengontak melalui media sosialnya lagi.

Tapi sebelum aku benar-benar niat untuk mewujudkannya, itu sudah tidak diperlukan. Uwak Tata menyuruhku mengantar kue ke rumah Tante Zahra. Dengan menggunakan motor Uwak Tata, suatu petang di akhir minggu aku berkendara ke kompleks perumahan tanteku yang dosen itu. Seperti rumah-rumah di kompleks perumahan Om Yan, rumah-rumah di sini juga enak dilihat.

Ketika melihat sebuah mobil hitam, panjang, dan besar terparkir di depan pagar rumah Tante Zahra, hatiku langsung girang. Aku familier sangat dengan nomor plat yang menempel di bempernya.

Ketika mendekat, aku lihat tanteku sedang mengobrol bersama Om Yan di kursi teras. Pintu di samping Tante Zahra terbuka lebar.

Aku menyalami mereka. Tante Zahra menyuruhku langsung masuk ke dalam rumah. Aku ingin setidaknya menyapa para sepupuku, tapi sepertinya mereka ada di lantai dua. Aku hanya bertemu dengan suami Tante Zahra yang sedang membaca buku di ruang tengah. Ketika aku keluar lagi, rupanya Om Yan sudah hendak pamit. Tante Zahra menyuruhku memanggil suaminya. Kalau begitu, aku pun sekalian saja.

Om Yan sempat menegurku ketika kami berjalan ke luar halaman rumah yang tidak luas itu. Basa-basi sebentar dan tahu-tahu saja ia sudah menyambungkan pembicaraan dengan Manda lagi.

“Kapan main ke rumah lagi, Bibe?” tanyanya ramah. Ia membuka pintu mobilnya sedang aku memakai helm.

“Kapan ya Om?” balasku dengan tanya lagi, namun memendam sedikit semangat. Aku senang kalau bisa bertemu dengan ibunya Om Yan lagi, sekaligus membalas kue buatannya yang lezat itu silam hari.

“Ajak juga cowoknya Bibe.” Senyumnya makin manis.

“Ah, siapa?”

“Siapa aja boleh ha ha… Ayo, Ayah kan harus kenal sama cowok yang lagi dekat sama Bibe…”

Ya ampun, ia masih ingat saja! Sebagaimana aku suka merongrongnya terkait Tante Ri, ia balas merongrongku dengan cowok yang diisukan dekat denganku selama kegiatan persiapan BMC. Dasar, Om Yan ini kerjanya menggosip dengan Teh Icih saja.

Ia baru benar-benar masuk mobilnya setelah kami menentukan waktu yang tepat untuk mendatangi rumahnya lagi.

“Oke, moga-moga dia bisa ya Om,” sahutku.

“Sip.” Setelah ia menutup pintu mobil, barulah motor yang kukendarai melesat.

Begitu aku bisa duduk di lantai lagi, aku mengirim sms pada Manda. Aku ajak dia main ke rumahku dan aku punya kejutan untuknya. Kutambahkan emoticon dengan mata berkedip. He, rumahku, padahal rumah Om Yan. “Kapan?” Ia balik tanya. Jumat sore, besok, jawabku, bisa deh, bisa bisa bisa… Ia tidak balas. Kalau ia tidak bisa, aku mungkin akan pergi dengan ditemani camilan sarat vitamin saja untuk ibunya Om Yan. Aku akan mempraktikkan cara membuat semacam skutel dengan kentang, brokoli, dan keju yang pernah Uwak Tata tunjukkan padaku.

Pada hari yang dijanjikan, Manda baru mengirim sms padaku lagi beberapa lama setelah Jumatan. Ia bertanya apakah aku sudah di rumah. Aku bilang kalau yang kumaksud kemarin bukan rumahku—ke mana ia biasa mengantarku pulang, melainkan ke rumah yang lain. Adonan skutel baru saja kumasukkan ke dalam pinggan tahan panas. Aku tanya apakah ia mau main dulu di rumah Uwak Tata, aku berikan alamatnya. Ia setuju. “Sampai ketemu Sayang :-*” Aku tergelak karena balasannya. Ketika kami saling menggoda dan genit pada satu sama lain, itu hanya pretensi. Tapi ia memang orang yang baik.

Setelah putar-putar sebentar, Manda sampai ke rumah uwakku. Ia bilang ia baru saja ujian. Kemarin ia belum bisa memastikan kapan ujiannya selesai sehingga masih ragu untuk menanggapi ajakanku. Tidak mengapa, kataku, ia ada waktu luang saja aku bersyukur. Ia bermain dengan Rifky yang juga baru pulang dari sekolah sementara aku bersiap. Terdengar canda Manda pada Uwak Tata. Ia sebenarnya orang yang mudah akrab dengan orang lain, tapi entah mengapa dalam kepanitiaan BMC ini ia selalu ingin bareng aku. Uwak Tata juga orang yang terbuka pada orang baru. Karena sungkan mengajak teman main ke rumah sendiri maupun ke rumah Tante As, maka aku mengajak siapapun yang ingin main ke rumahku ke rumah ini. Hanya karena tidak cukup kamar saja di rumah kecil ini sehingga aku jarang menginap.

“Mana kejutannya, Be?” tagih Manda. Ia menghampiriku di dapur. “Ini ya?” tanyanya lagi begitu aku mengeluarkan pinggan tahan panas dalam oven. 

“Bukan,” kataku. “Habis ashar kita pergi ya.”

Aku baru ngeh kalau ia semakin gembil dan cokelat saja. Padahal sewaktu SMA ia tirus, putih, cakep, dan bersinar seperti pangeran. Betapa gejolak dunia kampus dapat mengubah seorang insan. Aku penasaran akan seperti apa aku setelah jadi mahasiswa nanti. Yang jelas sepertinya aku tidak bakal menyusul ke kampus Manda.

Setelah menumpang solat ashar di rumah Uwak Tata, kami pun hendak berangkat.

 “Dadah sama Teh Bibe sama pacarnya,” titah Uwak Tata pada Rifky. Manda tertawa. Ia sudah duduk di atas motor. Aku menaruh bawaanku yang berupa skutel dalam wadah tupperware dalam tas plastik di belakang tubuhnya.

“Ah Uwak mah sok ngagosip wae da,” omelku sembari duduk di atas motor.

Melajulah kami.

“Mau ke rumah siapa emangnya Bong?” Manda suka memplesetkan namaku jadi “Bibong”, masih lebih aman ketimbang yang lain. Waktu SD aku pernah membocorkan kepala anak sekelasku karena memplesetkan namaku jadi panggilan tak senonoh. Sekarang aku bersyukur ia jadi juara olimpiade.

“Ada deh, kan kejutan…”

Rumah Om Yan sebenarnya masih satu wilayah dengan rumahku. Jika rumahku ada di punggung bukit, maka rumahnya terletak di lembah.

Manda terus menebak-nebak. Sebisa mungkin aku berkilah.

Begitu motor berhenti, kepala Manda mendongak. Ia amat-amati rumah berarsitektur zadul itu. Seperti kunjungan sebelumnya, aku bermaksud masuk lewat samping rumah. Ia tidak jadi meninggalkan helm di motor begitu melihatku membawa helmku serta.

Pintu yang kutuju terbuka sedikit. Aku mengetuk pelan seraya melontar salam. Manda yang masih terbengong-bengong mengamati eksterior jadi makin bengong lagi begitu melihat siapa yang melebarkan bukaan pintu untuk kami.

“Hei Bibe, kirain enggak jadi datang,” sambut Om Yan ramah. Manda baru berhenti mencolek punggungku ketika Om Yan mengajaknya berjabat tangan.

“Manda… Om..”

“Panggil Yan aja. Ayo, langsung duduk aja…” Ia menggiring kami ke ruang terdekat, ruang makan. Di sana kami duduk.

Ketika Om Yan undur sebentar, suara Manda nyaris berupa bisikan. “Be, aku enggak percaya…” Kepalanya sedikit bergoyang.

“Percaya aja deh. Om Yan itu teman mamaku kok.”

“Om Yan…?”

Om Yan datang lagi. Sebagaimana kunjungan sebelumnya, ia hanya mengenakan oblong dan celana pendek saja. Aku geli dengan sikap Manda ketika Om Yan mulai menanyainya macam-macam. Lama-lama sikap cowok itu mulai rileks, bahkan ikut terbahak sesekali.

“Aku bawa makanan lagi buat ibunya Om,” kataku begitu percakapan sempat terisi hening. Kusodorkan bungkusan yang kubawa.

Om Yan mengeluarkan isinya. “Wah, terima kasih ya Bibe. Ibu juga tadi kayaknya mau masak tuh...”

“Ibu ke mana Om?”

“Tadi lagi mandi. Mungkin sebentar lagi selesai…”

“Eh ya Om, Manda bisa main piano juga lo Om. “Aku menepuk punggung Manda pelan. Manda menoleh padaku seakan aku telah membuka rahasia terbesarnya.

“Oh ya?”

“Saya udah lama enggak main Om. Enggak tahu masih ingat cara mainnya apa enggak.” Manda mengusap-usap tengkuknya.

“Kalau mau main, ada piano tuh…”

Aku menepuk punggung Manda lagi. Ketika ia menoleh, aku memberinya tatapan meyakinkan. Kami mengikuti Om Yan menuju ruangan lain yang masih bersisian dengan taman. Ada sebuah grand piano berwarna hitam. Manda memandangnya dengan takjub.

Aku lihat ia agak gugup ketika meletakkan jari-jarinya di atas tuts. Apalagi dengan aku dan Om Yan mengapit tak jauh dari samping kiri dan kanannya. Om Yan berdiri sedang aku menumpu kedua lenganku di atas badan piano. Manda coba memainkan melodi sederhana seperti “Twinkle Twinkle Little Star”. “Saya biasa mainin aja Om, soalnya adik-adik saya suka,” katanya malu-malu.

“Oh ya? Hebat, pasti adiknya senang sekali ya.” Manda agak tersipu namun ia berusaha menyembunyikannya. “Punya adik berapa, Manda?”

“Lima.”

“Lima?”

“Aku selalu pingin punya adik sampai lima orang,” kataku. Sudah lama aku tidak menyentuh impiku yang satu itu.

Manda mengarahkan kembali pandangannya pada tuts-tuts piano. Dengan canggung, jari-jarinya merangkai sebuah melodi lagi. Lama-lama susunan itu terdengar lancar. Aku seperti pernah mendengarnya, namun tidak terlalu familier. Lain hal dengan Om Yan. Ia menatap Manda dengan kagum. “Hebat,” katanya lagi.

“Saya baru bisa yang ini aja Om. Yang lainnya agak susah ngikutin.” Manda menunduk saat mengucapkan itu, namun ia terlihat puas.

“Enggak apa-apa. Ini bikinnya aja sampai sebelas tahun kok.”

“Ah yang benar Om?”

“Iya.” Nada Om Yan meyakinkan. Aku jadi ingat, tapi aku lupa pernah membaca di mana, karier Om Yan sebagai musisi jazz profesional memang baru melejit setelah usianya mendekati kepala tiga. Pada waktu itu ia menggubah musik yang membuatnya jadi incaran para produser. Perlu kerja keras benar untuk mengasah bakatnya agar jadi emas paling diburu.

Obrolan kami disela dengan hadirnya sosok paling ingin kujumpa sore itu. Ia sosok tinggi semampai yang membuat Manda sempat bertanya-tanya padaku, “Manggilnya Bu, Nenek, apa Tante?”

“Aku sih kemarin manggilnya ‘Ibu’ aja,” sebagaimana Om Yan, toh itu memang sebutan paling umum untuk seorang wanita.

“Ini siapa?” tanyanya pada Manda yang seketika mencium tangannya. Kelembutannya diwarnai keheranan.

“Saya temannya Bibe, Bu” jawab Manda, berusaha sesopan mungkin. Melihat sosok anggun berbalut blus biru muda itu, kian kentara kejengahan Manda.

“Teman spesial, hm?” Ibunya Om Yan melirikku. Aku sontak menggeleng-geleng. OmYan menjelaskan pada ibunya soal proyek BMC. Di sanalah aku dan Manda sejak mula kompak membantu dalam tim.

“Manda udah ada kok,” kataku. Aku bukan sekadar menggoda, tapi memang Manda suka cerita tentang teman cewek sekampusnya yang manis manja. “Oh ya, Bu, kemarin makasih lagi kuenya…” kataku. Aku sendiri masih tidak kuasa mengendalikan segan ketika bicara dengan wanita itu. Sekilas-sekilas, aku menangkap wajah Om Yan di wajahnya. “Aku bawa lagi, he he…”

“Oh, baik sekali Bibe.” Ia berbalik. “Kita cicipi sama-sama ya…” Aku menggiringnya menuju tempat di mana aku meletakkan bawaanku. Ketika kupikir wanita itu tidak awas, aku memberi isyarat pada Manda agar mengikuti kami. “Sudah minum belum?” tegur ibunya Om Yan. Memasuki ruang makan, sudah tersaji minuman untuk kami di meja. “Si Bibik bikin apa ini?” Wanita itu berhenti sejenak di tepi meja untuk mengamati. “Diminum dulu ya?” katanya.

Aku dan Manda menurut. Kami duduk di kursi lalu menuangkan segelas jeruk nipis untuk diri kami masing-masing. Aku menawari Om Yan tapi ia menggeleng dengan senyum. Ia malah membukakan wadah berisi skutel yang aku bawa untuk ibunya.

Sang ibu mengambilkan pisau, garpu, dan piring kecil untuk kami semua. Ia menjumput sedikit masakanku. Aku mengamatinya dengan sedikit deg-degan. Aku seperti kontestan dalam program kompetisi masak di TV saja, sedang ia jurinya. “Hm… Kejunya agak banyak ya Bibe? Bagus lo brokoli, banyak vitamin C-nya.”

Aku merasa sedikit lega.

“Sudah dicoba sendiri makanannya belum?” tanyanya padaku.

Aku mengangguk. Kuambil sepotong untuk diriku sendiri. Aku ambilkan juga untuk Manda. Namun Om Yan ingin mengambilkan untuk dirinya sendiri saja. Aku merasa tersentuh ketika ia mengambil banyak. Katanya, “Yang sebelumnya enak juga lo Bibe.”

“Oh ya?’ sambutku sumringah.

“Kalau bikin lagi, adonannya diaduk lebih kental lagi ya,” ucap ibunya Om Yan. Ia tidak menambah lagi. Meski demikian aku merasa kritiknya sangat berharga.

“Ibu katanya mau bikin kue juga?” tegur Om Yan pada ibunya.

“Bibe sama Manda mau bantu?” Wanita itu menoleh pada kami. Aku lekas mengangguk.

 Manda memandang saja dengan matanya yang cokelat besar. Ia sibuk mengunyah. “Apa?” tanyanya agak telat. Mendadak aku merasa agak malu dengan sikapnya. Ibunya Om Yan tersenyum saja.

“Satu sekolah juga dengan Bibe?”

“Dulu iya.” Manda lalu menyebutkan di mana ia kuliah sekarang. Ibunya Om Yan menyebutkan beberapa nama pengajar di kampus Manda yang lambat-lambat Manda kenali juga. Semuanya dosen tua. Ternyata dulu ibunya Om Yan mengajar juga, tapi bukan di kampus Manda. Di sana ada sains dan teknologi tapi tidak ada fakultas kedokteran, sebab. Ibunya Om Yan kan mengajar para dokter—baik yang masih calon maupun sudah disumpah.

Ketika ibunya Om Yan beranjak, Manda menyorongkan piringnya padaku. “Tambah Bong.”

“Saya buatkan minuman lagi, mau?” Gerakan tangan Manda tertahan ketika wanita itu menengok kami.

“Boleh Bu.” Aku mengangguk. Aku duga ia akan membuatkan teh herbal seperti dulu lagi. Aku menyukainya.

“Saya bikinkan pakai chamomile ya. Suka?”

“Suka-suka aja Bu…” Sesungguhnya aku tak mengerti sama sekali soal racikan teh herbal. Manda minta potongan skutel yang besar di piringnya.

Selanjutnya kami membantu ibunya Om Yan memasak kue. Wanita itu hendak membuat puding lapis biskuit dan bola-bola cokelat dari biskuit. Katanya, dua jenis kudapan ini selalu dapat membungkam kenakalan para cucunya.

Cara Manda menanggapi cerita sang nenek justru lebih baik daripada aku. Sementara aku berkonsentrasi meratakan adonan dalam loyang—aku tidak mau memberi hasil mengecewakan pada wanita itu—dengan santainya Manda bercakap. Meski kadang gaya Manda agak luwes, namun tawanya bisa kedengaran sangat gahar. Ibunya Om Yan terlihat agak kaget ketika Manda begitu. Tapi keanggunannya lekas kembali karena Manda tetap telaten dalam mengocok telur.

Om Yan tidak ikut membantu kami. Ia hanya mengamati dari kursi yang ia duduki sambil nimbrung pembicaraan para juru masak. Candaannya sering telak. Sebetulnya ia pria yang sangat lucu. Tangannya sesekali berhenti memasukkan camilan ke dalam mulut.

“Yang itutuh, makannya dulu paling susah. Sekarang apa aja dimakan.” Wanita itu menuding anaknya yang mesem-mesem saja.

Semuanya dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari sejam. Setelahnya, aku, Manda dan Om Yan sedikit bersenang-senang dengan menonton sebuah videoklip yang Om Yan dan kawan-kawannya buat pada awal dekade 90-an. Videoklip yang awalnya dalam format VHR itu sudah dikonversi menjadi mp3 sehingga kami bisa menyaksikannya lewat komputer tablet Om Yan. Videoklip tersebut tidak dipublikasikan. Mereka membuatnya hanya untuk bersenang-senang.

Hanya ada enam sosok di sana: lima pemuda dan seorang gadis. Semuanya berwajah Indonesia. Pengambilan gambarnya hanya makan satu hari dan satu latar. Mereka muncul bergantian. Menampilkan pose dan mimik jenaka yang menjadikan videoklip ini atraktif—selain karena aransemennya. Semua berpakaian necis namun khas zaman itu. Begitupun model rambut Om Yan: lurus dengan poni belah tengah! Jelas raut wajahnya terlihat lebih segar dan ekspresif. Sementara empat pemuda lain memainkan alat musik dengan sikap sok tak acuh, hanya sesekali ditampilkan jemari ramping Om Yan menekan tuts kibor. Lebih banyak yang ditampilkan adalah lirikan nakalnya pada sang gadis berambut ombak dengan gaun putih lebar—membuat Manda sesekali tergelak. Wajah mereka mendapat porsi tampil cukup banyak. Maklumlah, sang gadis menggambarkan sosok yang diceritakan dalam lagu tersebut, “Dreandara”,  sedang Om Yan sang vokalis.

Aku baru ngeh kalau ibunya Om Yan juga turut menyaksikan dari belakang kepala kami. Dreandara yang asli. “Apa ini?” tegurnya. Om Yan mendongak. Ia menjawab hanya dengan senyum. Kepalanya keburu diusap sang ibu.

Jingga mulai membayang hingga ke bagian dalam rumah yang belum dicahayai lampu. Aku dan Manda putuskan untuk lekas pulang setelah menunaikan solat maghrib. Namun pinta ibunya Om Yan membuat kami tak dapat melewatkan makan malam yang disajikan. Tumis bilis asam pedas yang dimakan bersama sayur labu teri sungguh memuaskan lidah.

Ibunya Om Yan sudah memindahkan skutelku ke wadah lain. Wadah tupperware-ku sendiri sudah dicucikan pembantunya. Ia bertanya berapa jumlah Manda bersaudara. “Tujuh Bu, sama ada kakak satu.” Wanita itu membungkuskan sekitar selusin potong puding lapis biskuit untuk Manda. “Semuanya entar dibagi ya?” Manda mengangguk sambil menyengir. Aku juga dibungkuskan. “Bibe mau kasih siapa aja?”

“Sedikit aja Bu.”

Kami tidak hanya diberi kudapan yang tadi kami bikin bersama. Sepertinya ia tidak pernah kehabisan stok kudapan. Kami jadi merasa tidak enak karena hendak dibawakan banyak. “Enggak apa-apa. Saya ini dari dulu memang sukanya masak, tapi yang ngabisin selalu orang lain.”

“Iya, kalau lagi enggak ada camilan, ambil di sini aja,” tambah Om Yan. Maka aku dan Manda pun pasrah. Eh tunggu. Om Yan sudah berganti baju. Ia tampil lebih rapi, licin, bersih, dan wangi ketimbang tadi.

“Mau pergi juga Om?” tanya Manda.

“Iya. Biasa… Mau nengokin keponakan…” Ia kancingkan jam tangannya.

Ibunya Om Yan menyiapkan bawaan yang lebih banyak dan beragam untuk Om Yan. Sepertinya suplai makanan untuk seminggu. Om Yan pernah cerita padaku kalau adiknya tidak telaten dalam membuat makanan kecil.

Jadi baik aku dan Manda maupun Om Yan sama-sama pamit pada sang ibu. Sementara aku dan Manda hanya mencium punggung tangan wanita itu, Om Yan mencium pipinya dengan mesra. Rasanya iri melihat kelekatan Om Yan dengan ibunya. Aku ingin mengetahui bagaimana pandangan Manda mengenai ini. Ketika aku menoleh padanya, ia balas menoleh padaku. Seakan bisa membaca pikiran satu sama lain, kompak kami menuju keluar halaman rumah.

            Kami lambaikan tangan pada Om Yan yang sudah masuk ke mobilnya, juga pada sang ibu yang mengantar putranya sampai teras. Setelah hampir keluar dari kompleks perumahan itu, Manda berkata padaku, “Ibunya Om Yan masih cantik banget. Aku pingin punya nenek kayak gitu, Bong.”

            Aku tertawa saja mendengarnya. Fakta bahwa Om Yan punya saudara kembar serta Dreandara adalah nama ibunya Om Yan, juga membuatnya terkesan. Ia bertanya-tanya apakah ia bisa minta langsung pada Ardian Hayyra jika yang bersangkutan menghasilkan karya lagi.

            “Eh Bong,” kata Manda lagi, “tipe kamu itu sebenarnya yang kayak Ardian Hayyra ya?”

            Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. “Enggak. Aku udah punya kriteria sendiri dong, buat cowok idamanku,” elakku.

            “Oh gitu ya. Harus yang sesuai kriteria?”

            “Iya!”

            “Lo, dulu kamu bukannya pernah dekat sama siapa gitu, adik kelas?”

            “Ah itu hanya selingan. Enggak penting.”

            “Sesuai kriteria?”

            “Enggak!” Aku merasa ia mulai menggangguku.

            “Jadi enggak harus sesuai kriteria?”

            Mau sesuai kriteria apa tidak, untuk sekarang ini respons Papa tidak akan seterbuka Om Yan. Itu yang aku tidak harapkan. Ia juga masih belum bosan bertanya kapan aku akan menutupi rambutku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain