Ini
adalah kali kedua kami berperan sebagai ayah dan anak. Om Yan dan aku. Pagi ini
aku sengaja pulang ke rumah hanya untuk mengambil gitar. Papa sudah di rumah,
menghirup kopi dan mengemut roti panggang. Sebelum ia mengajak adu mulut lebih
panjang mengenai aturan tinggal di rumah Tante As, aku cepat-cepat pamit ke
sekolah.
Kami
sepakat untuk piknik lagi
Ada
yang ingin aku tunjukkan pada Om Yan.
Ia
menjemputku sepulang sekolah. Mobilnya terlihat bercahaya. Aku ingat kecurigaan
Tante As. Ia bilang, Om Yan menyingkirkan botol-botol minuman keras dan ceceran
abu rokok dari mobilnya sebelum menjemputku.
Setahu
Mama, Om Yan hanya merokok tapi Mama sendiri belum pernah lihat Om Yan
merokok—hanya tahu dari bungkus rokok dalam ranselnya saja.
Pintu
mobil kubuka. Kulihat sosok tampannya yang selalu necis dan menebar harum.
Gara-gara
kecurigaan Tante As itu memang aku pernah sampai bermimpi melihat botol-botol
minuman keras bergelimpangan di jok belakang mobil Om Yan.
“Eh
Ayah, dulu katanya suka nyanyi-nyanyi sama Mama?” singgungku ketika perjalanan
sudah dimulai. Perlu diingat dan digarisbawahi bahwa ayah yang ini tidak ada
ikatan pernikahan dengan yang kusebut Mama. “Sukanya nyanyi lagu apaan sih?”
Secara Mama menyukai rock zadul, berarti Om Yan juga menyukai jenis yang sama,
tapi jenis yang Om Yan usung kini malah jazz. Bagaimana ia bisa berubah haluan?
Ketika
ia membicarakan preferensi musiknya bersama Mama dulu, aku membayangkan
sepasang anak SMA duduk di balik dinding kumuh. Mereka masih pakai seragam, Om
Yan dan mamaku dua puluhan tahun lampau.
Wajah
Om Yan muda sama menawannya sekarang, meski kenyataannya tak begitu di foto
yang pernah aku temukan. Model rambut Om Yan harusnya lebih pendek dari
sekarang. Ia memakai jaket dengan model yang sedang tren pada masa itu
sementara mamaku menggunakan jaket apapun yang bisa dipinjamnya dari Om Mayong.
Kalaupun pada waktu itu Mama merupakan cewek yang mengikuti tren rambut, hal
itu tak kan kentara karena ia selalu menguncirnya jadi ekor kuda. Cerita Uwak
Tata, sewaktu di sekolah menengah Mama adalah tipe cewek yang memotong poninya
sendiri dan dengan cuek tetap pergi sekolah meski hasilnya asimetris.
Ketika
mamaku dengan picik mengklasifikasikan mana lagu bermutu dan mana yang tidak,
dengan santainya Om Yan bilang, “Aku sih enggak peduli siapa yang nyanyi, yang
penting musiknya.”
Ia menutup nostalgianya dengan
tanya, “Bibe ngerti lagu-lagu lama? Dikira cuman doyan keroncong.”
“Aku dengerin segala macem musik
kok, Yah,” ucapku, meski lagu-lagu yang ada di playlist-ku relatif sama dengan
yang ada di playlist kebanyakan remaja seumuranku. “Termasuk lagu-lagunya Mama
juga. Tapi jangan bilang-bilang Mama lo Yah.” Aku mulai terbiasa memanggilnya
‘Ayah’, tidak menyangka begini mudah.
“Coba, senengnya lagu yang mana?”
tanya Om Yan dengan nada menguji.
Aku
angankan beat kibor nan rancak mengisi udara disusul nada rendah lalu melodi
khas 80-an. “O indahnya, suasana… Bila ku tahu siapa namanya…” Kutiru vokal Mus
Mujiono dengan lagunya, “Keraguan”.
“Tertunduk
malu, dia tersenyum simpul melirik kehadiranku di sana… Ooo… “ sambung Om
Yan. Ia melirikku dengan pancaran mata yang hangat oleh senyum.
Aku melanjutkan,
Ku berharap ia menyapa,
mengajakku tertawa bersama, menyibak duka di dalam hati ini, menyambut
pertemuan dengannya… Bilakah terjadi, semua angan ini? Kuharapkan…
Ia memainkan jari-jarinya di atas
kemudi. Tubuhnya bergerak-gerak pelan. Kami telah sampai di bagian reff.
Adakah bayangan diriku mengisi
hari-hari di dalam gerak dan langkahnya?
Kusambung segera, sembari mengikuti
gerakannya seolah memang ada musik memenuhi rongga mobil ini,
Walau jarak memisahkan diriku dengan dirinya…
…ku tak akan peduli semoga waktu kan berpihak…
…kepadaku…
“Mau
diteruskan Bibe?” Aku mengangguk. Kali ini ia yang mulai,
Fantasiku kian menjulang, membawaku terbang
ke awan. Semesta ada, kelelahan menerpa,
melepas sribu candaku dengannya… Biarkan semua, seperti adanya… Kuharapkan…
Sesekali
ia mengalihkan pandang padaku. Lalu kami menyanyikan reff bersama. Tubuh kami
terus bergoyang mengikuti irama yang seolah-olah ada. Ia menepuk-nepuk kemudi
dengan sebelah tangannya. Sesekali kami bertukar pandang, terutama pada bagian,
“…di saat… kuragu… akan perhatianmu…”
Aku
terbahak ketika ia ikut bersuara “ahaw!” di tengah-tengah lagu. Memang seperti
itu yang ada dalam versi Mus Mujiono yang aku dengarkan. Ada versi lain lagu
ini yang dibawakan oleh Tri Utami.
“Kata
Mama, Bibe paling anti sama lagu-lagu gini…? Ternyata fasih banget nyanyinya…”
“Ha
ha ha…” Aku tergelak-gelak.
Kesampaian
juga inginku mendengar Om Yan menyanyi lagi.
“Jadi ke Dago Tea House nih?”
Aku
mengangguk.
“Sudah
bawa bekal?”
Aku
terperangah. Aku hanya ingat bawa gitar. Padahal saat janjian, aku bilang
padanya kalau aku ingin membawa bekal sendiri.
“Tikar?”
Aku
mulai geli lagi.
“Ayah…
Kita cari meja sama kursi aja di sana…”
“Tapi
rasanya enggak afdol kalau enggak bawa sesuatu..”
“Aku
bawa gitar?”
“Hmmm….”
Dahi Om Yan berkerut. Di pelataran Kartika Sari mobilnya masuk.
Aku
hanya bisa terpana di depan deretan kudapan yang rentan mengucurkan liur. Di
sampingku Om Yan menunjuk-nunjuk, “Gimana kalau yang ini? Suka?”
Kalau
sama orangtuaku sendiri memang aku biasa merengek minta dibelikan ini-itu. Aku
tahu Om Yan lebih berduit. Dan kali ini dia sedang menjalankan perannya sebagai
ayahku, meski bohong-bohongan… Jadilah anak yang manja, Bibe, ayahmu kaya raya…
Tanpa
menungguku selesai berpikir, Om Yan sudah memanggil seorang pelayan untuk
membungkuskan ini dan itu. Aku rasa sebaiknya aku menunjuk paling tidak satu…
atau dua… tiga… tujuh…?
Siang
menjelang petang ini cerah sekali. Mata kami sama-sama terpicing ketika mendaki
jalan memasuki kawasan Dago Tea House. Sayup-sayup hawa dingin menerpa. Kami
menuju salah satu tempat duduk untuk menikmati kudapan.
Di
tengah obrolan hangat kami, sehangat sinar mentari petang yang menyoroti, aku
teringat prasangka buruk Tante As lagi. Seolah diam-diam Om Yan mengincar sesuatu
dariku. Saat itu aku hanya bisa meyakinkan tanteku itu kalau Om Yan sudah
dianggap bagai saudara sendiri oleh para sepupu Mama. Tante As saja yang tidak
pernah gaul dengan keluarga besarnya sendiri.
Sejauh
ini aku selalu merasa nyaman dan aman-aman saja di dekat Om Yan. Entah dari
mana aku punya perasaan bahwa ia adalah tipe orang yang jauh dari hidung belang
meski di usianya yang sudah kepala empat begini masih melajang.
Aku
memang tidak tahu secara pasti bagaimana hubungan Om Yan dengan Tante Ri, bagaimana
lika-likunya, dan seterusnya. Mendengar cerita tentang mereka dari Mama, aku
merasa mereka mungkin saja sebetulnya diciptakan untuk satu sama lain, namun
ada sedikit kendala dalam perjalanan hidup mereka sehingga mereka tidak bisa
bersatu semudah itu. Nah, kini mereka dipertemukan lagi. Mungkinkah ini sudah
suratan takdir? Kalau Om Yan sopir truk, ia akan mengganti tulisan “Kutunggu
Jandamu” di pantat truknya dengan “2 Hati 1 7an.” Aku akan senang sekali kalau
suatu saat mereka menikah.
“Ayah, kapan aku bisa ketemu sama Ibu?”
Kalimat ini begitu saja meluncur dari mulutku.
“Bibe
mau ketemu sama Ibu?” Ia menoleh dengan senyum terkembang. “Hm… Entar Ayah atur
deh.”
Aku
terkesima. “Hah, beneran ada, Ayah? Siapa? Tante Ri?”
Dahinya
berkerut karena godaanku itu namun tawa disirat ekspresi wajahnya. “Maunya sama
siapa?”
Setelah kudapan habis, kami
berjalan-jalan di kompleks tersebut. Sekalian mencari tempat untuk solat ashar
sih. Setelahnya, aku kira tiba saatnya gitarku beraksi. Aku menggiringnya ke
amfiteater. Ia berjalan di belakangku.
“Ayah
duduk aja…”
Ia
duduk di bangku ketiga dari depan.
“Aku
pingin tahu komentar Ayah sama lagu bikinanku. Tapi jangan diketawain ya, Yah.”
Yah,
belum apa-apa ia sudah ketawa. Aku merengut. Ia mengganti tawanya dengan senyum
pengertian. “Ayo?”
Aku
menggenjreng gitarku. “Liriknya masih belum pasti sih, Yah…”
Ia
diam saja. Tangannya menopang dagu.
Setiap hari aku bertambah
besar. Sedikit-sedikit ada perubahan. Semua karena aku rajin makan. Makanan
bergizi yang mereka berikan.
Aku
melihat ekspresinya. Menyenangkan. Aku menggenjreng gitarku dengan kekuatan
lebih. Pelan, aku goyangkan juga tubuhku ke kanan dan kiri.
Sering berpikir mreka terlalu
bawel. Melarangku melakukan ini itu. Tapi ku mencoba untuk memaklumi. Mreka
ingin ku lebih baik dari mereka.
Tak bisa lari, selalu begitu.
Inilah proses yang membentuk diriku. Tak perlu ragu, biarlah begini. Suatu hari
aku kan dewasa…
Kali
ini hanya kepalaku saja yang miring ke kanan dan ke kiri. Setiap kali melihat
senyumnya, bertambah semangatku dalam melantunkan lagu ini.
Hai… Dunia… Sambutlah diriku…
Ku… kan bersamamu… hingga akhir… waktuku… Hai… Dunia… Jangan sesatkanku…
Biarkanku… memilih… jalanku…
Genjrengan
terakhir. Ia berdiri lalu bertepuk tangan sembari menuruni amfiteater. “Lagunya
cantik, Bibe.”
“Tapi
aku kagok sama liriknya…”
“Saya
juga enggak bisa bikin lirik, Bibe. Lirik bikinan Bibe bagus sekali.” Ia duduk
di bangku keramik paling depan. “Inspirasinya dari mana, Bibe?”
Ah.
Ini pertanyaan yang amat menggugah. “Pas lagi belajar Biologi, Om, eh, Ayah.”
Aku duduk di sampingnya. “Aku terkesan aja pas diingetin bu guru kalau tumbuhan
bakal tumbuh baik kalau kita merawatnya dengan baik juga. Tapi waktu itu
lagunya belum jadi. Baru ketemu bentuknya pas aku lihat ada peminta-minta lagi
main sama anaknya di pinggir jalan raya.” Aku selalu tersenyum setiap kali
mengingat kejadian tersebut, apalagi saat mengamatinya langsung. Sayang, saat
itu aku belum mendapat SLR.
Aku
memainkan gitarku lagi. Kali ini aku memetiknya hingga terdengar melodi dari
sebuah lagu favoritku yang dibawakan Om Yan dan grup
mahasiswa-Berklee-asal-Indonesia-nya.
“Dreandara, masih kau seperti yang biasa,
saat ku terpikat si dia, di lampu merah, berlanjut di sekolah…” nyanyiku
sembari mengamati perubahan ekspresi wajahnya.
“Bibe
pinter main gitar ya…”
Wajahku
berseri. Aku mengulik sendiri lagu barusan. Balasku, “Itu lagu kesukaanku lo,
Yah. Inspirasinya dapet dari mana?”
“Itu
puisi bikinan ayah saya.” Lalu Om Yan cerita. Sejak mula studinya di luar
negeri, ayah Om Yan rutin menyurati anaknya itu meski Om Yan sendiri tidak
pandai menulis balasannya. Kadang balasannya hanya berupa kartu pos dengan
kalimat “aku rindu Ayah” di baliknya. Dan dalam surat-suratnya itu, ayahnya
selalu menyelipkan kisah-kisah pertemuan dengan ibunya sebelum keduanya
menikah. Puisi itu termasuk ke dalamnya.
“Jadi…
Dreandara itu ibunya Ayah?” tukasku
Om
Yan mengangguk.
Lalu
ayahnya meninggal namun ia tidak bisa menemani ayahnya itu saat detik-detik
terakhir. Saat ia baru sempat pulang ke rumah, ayahnya sudah keburu dimakamkan.
Suatu
kali ia kangen ayahnya, ia baca lagi surat-surat ayahnya, dan menemukan puisi
itu. Lalu lagu itu datang begitu saja. Ia segera menyentuh pianonya dan
menggubah. Ia sendiri yang kemudian menyanyikan lagu itu saat rekaman dengan
suaranya yang lembut dan membius, meski kadang agak serak.
“Menurutku
Dreandara itu cewek yang dingin sampai-sampai cowok yang diceritain dalam lagu
ini jadi hampir putus asa. Padahal sebetulnya Dreandara cuman enggak bisa
nunjukin perasaannya aja. Dia sangat sulit dimengerti dan subtil. Makanya aku
ngerasa… puisi bikinan ayahnya Ayah… indah aja.”
Dia
hanya tersenyum. “Begitu ya?”
Aku
melepas pandanganku pada makhluk-makhluk Tuhan yang mengintip di balik
bangunan. Pada pepohonan hijau… Pada angkasa biru yang dilekati awan-awan
putih… Pada piknikku bersama Papa dan Mama belasan tahun lalu.
Saat
itu kami berada sekian kilometer jauhnya ke utara dari tempatku dan Om Yan
kini. Pertengahan jalan antara Dago Pakar dan Maribaya. Kami belum sempat menggelar
tikar ketika tiba-tiba ada orang hanyut di sungai. Papaku dengan sigap menyerbu
sumber berita. Mama membantunya menghimpun keterangan. Aku sempat hilang.
Piknik keluarga yang kacau.
Yang
benar saja. Sejak kapan mendung mengusir cerah? Guntur memecah langit dan
tumpahlah deras hujan ke tanah. Aku sempat cemberut. Sebelah tangan Om Yan
melontar payung ke atas lantas menangkapnya lagi. “Untung bawa ini.”
Aku
tersenyum mengingat kami sempat main air saat berwudu untuk solat ashar tadi.
“Ayo
payungan, Bibe. Entar sakit.”
Aku
tercenung. Lalu menggeleng.
Aku
melangkah saja di bawah hujan. Sempat aku menoleh ke belakang dan mendapati Om
Yan terpana. Tapi dengan cuek aku melanjutkan langkahku. “Ayo Ayah, kita
pulang…” Aku menantinya lekas memaklumiku. Kata Quran juga, hujan itu rahmat.
Mengapa kita harus menghindarinya? Disambut dong…
Ketika
aku menoleh lagi ke belakang, ia sedang memantik rokok. Tante As benar, Om Yan
merokok. Tapi tak ada seserpih abu rokok pun pernah aku temukan dalam mobilnya.
Ia berjalan
mengikutiku dengan payung besar terbuka di atas kepalanya. Lama-lama riang hati
menggerakkan lengan dan kakiku untuk menari. Kurasakan tas gitar yang kugendong
bergesekkan dengan punggungku. Tapi aku tidak akan membuatnya sama seperti
dalam adegan film he he.
Sampai
juga kami di tujuan. Om Yan membuka pintu mobil, tapi ditahannya ketika melihat
aku mematung saja di sisi mobil lainnya. Mulutnya masih mengapit puntung rokok.
“Kenapa,
Bibe?” Suaranya ditelan deru hujan.
Aku
basah. Dan… aku semakin merapatkan kedua belah lengan di depan tubuhku… pakaian
dalamku jadi tercetak jelas di balik seragam sekolah.
Dadaku
berdebar. Pertama, aku akan membasahi jok mobilnya. Kedua, uuuhhh… aku harap ia
tidak memperhatikanku… bagaimana kalau ia sampai melihat pakaian dalamku dan…
Terngiang-ngiang prasangka buruk Tante As yang kini terasa bagai peringatan.
Sejenak aku dilanda ketakutan. Bodohnya aku… Tidak menyadari hal ini
sebelumnya! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku jadi ingin menyalahkan mamaku atas warisan
tingkah impulsifnya ini.
Aku
mengernyitkan dahi. Aku beranikan diri menatap matanya. “Maaf, Om… Entar
mobilnya jadi becek…” Aku mulai memikirkan gagasan hina macam meletakkan
plastik di atas jok yang bakal kududuki. Atau mungkin sebaiknya aku pulang
sendiri saja…
Om
Yan membuang puntung rokoknya. “Enggak apa-apa, masuk aja…” Tubuhnya menghilang
ke bawah. Pintu di depan tubuhku dibukanya dari dalam. “Ayo masuk…”
Lalu
aku cerita padanya tentang Mama yang mengajariku kalau bermain hujan dapat
membuat kita kebal dari penyakit. Mama juga yang mengajariku lagu “Singing in
the Rain”. Sebelum aku hapal liriknya, hanya senandungku saja yang mengiringi
Mama menyanyikan lagu itu dengan riangnya. Tubuh kami dengan cepat sama kuyup
oleh hujan.
Ia
berdecak. Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tawa renyah. “Hahaha… Mama Bibe
itu emang suka ada-ada aja…”
“Tapi
sebetulnya bener juga sih Om. Aku termasuk jarang sakit-sakitan…” Aku
merapatkan kedua belah lengan ke depan tubuhku lagi seraya membungkuk.
Dinginnya AC yang menyembur dari celah-celah di depanku ini lama-lama bisa
membunuhku!
Tiap
kali Om Yan menoleh padaku untuk mengatakan sesuatu, dengan cergas aku
menangkap pandangannya juga—kalau-kalau ia coba-coba ambil kesempatan melahap
penampilanku yang rawan ini… Aduh… Aku jadi merasa serba salah begini…
Memalukan! Perasaanku tak karuan.
Titik-titik
hujan masih saja menimpa kaca jendela mobil yang tengah melaju turun di jalan
Ir. H. Juanda. Mobil Om Yan masuk ke pelataran salah satu factory outlet.
Parkir. Aku bingung tapi masih sempat menangkap mata Om Yan yang akhirnya
mengamatiku juga. Ia tidak mungkin melakukannya di sini kan?!
“Bibe
mau ikut masuk juga?”
“Eh.
Kenapa Om?”
Gerakan
mata dan mimik wajahnya mengisyaratkan sesuatu.
“…mau
beli baju?”
“Iya.
Buat Bibe. Masuk angin lo entar.”
“E—eh…
enggak usah, Om. Langsung pulang aja enggak… apa-apa kok! Basah-basahan kayak
gini mah udah biasa!”
“Ukurannya
Bibe?”
He…
Ukuran apa?!
“Eng…
enggak tahu…” Aku jadi sungkan memanggilnya “ayah”. Oh… Seandainya yang ada di
hadapanku ini ayahku betulan tentu aku tidak bakalan semalu ini!
Aku
tidak mau memandangnya lagi. Aku menunduk saja pada kakiku yang terasa gatal
akibat kaos kaki basah. Aku mendengar gerakan tubuhnya mengambil payung di
belakang, pintu mobil yang dibuka, lalu ditutup.
Aku
menghembuskan nafas lega. Bodoh. Sejenak pikiranku hampa sebelum aliran pikiran
berseliweran lagi di dalamnya. Hah… Aku merasa tenang tapi ada sebagian kecil
dariku yang tetap waspada.
Ia
kembali dengan menjinjing tas kertas merah marun besar. Setelah ia duduk lagi
di sampingku, diserahkannya tas itu padaku. Aku menerimanya di pangkuan.
Sekilas aku mengintip sesuatu yang tebal dan hitam di dalamnya.
“Mau
ganti baju di dalem atau…? Kamar mandinya agak jauh di dalam sih…” Sepertinya
ia bisa membaca keengganan di wajahku.
Maka
ia memutar kunci mobilnya lagi, atret, sebelah tangannya terangkat ke atas pada
tukang parkir yang mendekat, dan mobil yang kami tumpangi ini pun telah parkir
lagi di sudut dengan dua sisi dinding mengapit bagian depan dan kanan mobil.
“Di
sini aja ya?” Senyumnya seakan solusinya ini cerdas. Tanpa menungguku bersuara,
dia ke luar dari mobil dengan payungnya lagi. Kepalaku mengikuti tubuhnya yang
memutar mobil lewat belakang. Ia berhenti tepat di tengah sisi mobil satunya
dengan posisi memunggungi jendela. Aku beranjak pindah ke atas jok pengemudi.
Aku harap kaca mobil ini benar-benar terlihat gelap dari luar sehingga aku
benar-benar aman untuk berganti pakaian. Mataku tetap awas pada punggung pria
jangkung tersebut—kalau tahu-tahu dia berbalik!
Aku
keluarkan isi di dalam tas. Yang tebal dan hitam tadi rupanya sweater rajutan.
Bawahannya… rok tartan? Semoga tidak keminian—aku tidak biasa pakai rok kecuali
rok seragam sekolah! Apakah ukuran pinggangnya sesuai dengan ukuran
pinggangku?! Entahlah. Aku sendiri penasaran mencobanya. Aku berusaha berganti
pakaian secepat kilat. Huah, sweater ini nyaman benar dipakai… Ukuran pinggang
rok tartan ini sepertinya lebih besar dari ukuran pinggangku namun untungnya
tertahan di bagian pinggul. Aku tarik-tarik ke bawah untuk memastikan bahwa ia
tak akan merosot.
Selesai.
Aku pindah lagi ke jok samping pengemudi. Aku mengetuk-ngetuk jendela. Om Yan
menoleh. Aku melingkarkan telunjuk dengan jari—seakan ia dapat melihatnya.
Setelah
ia duduk di sampingku lagi, berkali-kali aku minta maaf padanya. Juga maaf
karena aku telah berprasangka yang bukan-bukan padanya—tapi tentu saja aku
tidak mengemukakan alasan satu ini.
Ia
hanya tersenyum dan dengan santainya bilang, “Loh, Bibe, hari ini kan saya jadi
ayah kamu?”
Sekitar
setengah jam kemudian, ia baru menyadari kalau ada sesuatu yang kurang. Ada
sandal jepit di belakang, kata Om Yan, namun aku mencegahnya untuk mengambil.
Om Yan tadi tidak kepikiran untuk membeli ganti kaos kaki dan sepatuku yang
basah juga. Ah. Tidak perlu. Lagipula kami sudah sampai di depan rumah Tante
As.
Hujan
memang tinggal rintik-rintik, namun Om Yan bersikeras memayungiku supaya aku tidak
kebasahan lagi.
Ia
mengantarku sampai ke pintu depan. Belum sampai aku menginjak keset, terdengar
bunyi kunci diputar dan muka jutek Tante As menyambut kami.
Sebelum
suasana jadi tidak enak, aku cepat-cepat menggiring Tante As masuk ke dalam
rumah sambil teriak, “Makasih banyak, Ayah!” Sementara itu, aku baru menyadari
ada Papa dalam jarak beberapa meter dari kami. Namun aku tidak menghiraukannya.
Sementara
aku terus mendorong Tante Zaha ke ruangan dalam, aku tahu Papa akan menyambut
Om Yan, berbasa-basi sebentar tanpa potensi konflik apa-apa, dan aku dengar
suara mobil menjauh. Om Yan sudah pergi.
Pandangan
Tante As seperti dia bakal melumatku. “Manggil apa kamu tadi sama dia?”
“Mau
tau aja,” balasku tak kalah judes.
Ia
menjauh dariku lalu menghempaskan diri ke sofa. Aku menyusulnya. Aku terus
memandanginya dengan harapan ia bakal merasa risih juga dan menghentikan sikap
sok dinginnya itu.
Ia
berkata pelan, “Papa Bibe udah di sini dari jam empatan… Dari tadi di ruang
tamu.”
“O…”
Kubulatkan mulut dan mata—berharap dia bakal geli dengan mimik itu. Sayup-sayup
azan maghrib terdengar. Tante As masih bertahan dengan ekspresi wajah menusuk.
Apalagi ketika ia memerhatikan pakaian yang kukenakan.
“Aku
enggak ingat pernah beliin Bibe baju ini.” Sebagian besar pakaianku memang
Tante Zaha yang belikan. Seleranya jauh lebih baik dari Mama.
“Dibeliin
Om Yan,” kataku nyaris berbisik. Tante As terlihat makin senewen.
“Kenapa
dia enggak sekalian beliin kamu bagpipe?”
“Hah?
Mana ada FO jual kayak gituan?”
“…udah,
beres-beres sana. Balik pulang sama Papa.”
“Tante
ngusir aku?” Aku mencebik.
“Enggak.
Cuman kasihan sama papanya Bibe. Bikinin kopi lagi tuh.”
Aku
menuruti Tante Zaha. Saat aku sampai di ruang tamu lagi, aku tahu cangkir yang
kubawa ternyata cangkir kelima. Aku penasaran apakah keempat cangkir sebelumnya
Tante As yang bikinkan atau tanteku itu suruh Papa membikin sendiri. Aku
cenderung pada yang kedua.
Setelah
menumpang solat maghrib, Papa hendak pulang segera.
“Makan
dulu? Tapi seduh sendiri ya?”
“Udah
ada sayur di rumah. Atau… Dik Zaha yang mau ikut makan di rumah?” Zaha adalah
nama lain tanteku. Hampir semua orang yang mengenalnya, yang aku tahu,
memanggilnya dengan nama tersebut. Sebetulnya yang memanggilnya ‘As’ hanya
Kakek—aku ikut-ikutan.
“Enggak
usah. Masih ada kemarin yang Bibe bikinin.”
Papa
meminta Tante Zaha meminjamiku baju hangat meski aku sudah merasa cukup dengan
sweater dari Om Yan ini.
Tadinya
aku sudah duduk mengangkang di atas Honda Astrea reyot Papa, dengan kedua belah
tangan menarik-narik ujung rok ke depan, tapi Papa menyuruhku duduk menyamping
saja. Papa mencantel ranselku di bagian depan motor sementara tas gitar aku
gendong sendiri. Tas selempang Papa menjadi sekat di antara kami.
Motor
yang kami naiki mulai batuk-batuk. Aku mengenakan helm lalu melambaikan tangan
pada Tante As yang mengantar sampai di balik pagar. Ia merapatkan pashmina yang
membalut setengah tubuhnya sebelum membalas. Sebetulnya aku kasihan
meninggalkannya di rumah seluas itu. Semoga Om Pir cepat datang kembali untuk
menemaninya…
“Tadi
jalan ke mana saja sama Om Yan?” tanya Papa di tengah laju motor yang menembus
angin malam.
“Kartika
Sari, sama Dago Tea House…”
“Ngapain
aja?”
“Mmm…
Cuman jalan-jalan aja, ngobrol-ngobrol…”
“Bibe
seneng jalan-jalan sama Om Yan?”
“Seneng…”
Hanya
percik lelampu kota, lubang-lubang di jalan, deru mesin banyak kendaraan, dan
sekian keramaian para makhluk pengisi gelap lain yang mengisi perjalanan kami.
Mukaku menabrak jaket kulitnya. Tapi tidak lama—ia mendadak ngerem tadi karena
ada ibu-ibu mau menyeberang. Aku bersyukur ia tak mengumpat.
“Tinggal
di rumah Tante As enak, Bibe?”
Aku
mengantuk. “Kasian Tante As enggak ada yang nemenin, Papa…” jawabku malas.
Ia
tidak pernah menyinggung pakaian yang kukenakan pada malam itu, untunglah… Aku
memejamkan mata. Terbayang sebuah rencana untuk mengajak Papa dan Mama piknik
juga dengan membawa tikar, termos, roti lapis, dan SLR pemberian papaku tentu
saja… Ah, tadi lupa kebawa.
“Bibe
mau beli gorengan dulu enggak?”
“Enggak…
Tadi udah kenyang makan Kartika Sari…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar