Selasa, 22 November 2011

Permainan Ayah-Anak Kali Kedua

Ini adalah kali kedua kami berperan sebagai ayah dan anak. Om Yan dan aku. Pagi ini aku sengaja pulang ke rumah hanya untuk mengambil gitar. Papa sudah di rumah, menghirup kopi dan mengemut roti panggang. Sebelum ia mengajak adu mulut lebih panjang mengenai aturan tinggal di rumah Tante As, aku cepat-cepat pamit ke sekolah.

Kami sepakat untuk piknik lagi          

Ada yang ingin aku tunjukkan pada Om Yan.

Ia menjemputku sepulang sekolah. Mobilnya terlihat bercahaya. Aku ingat kecurigaan Tante As. Ia bilang, Om Yan menyingkirkan botol-botol minuman keras dan ceceran abu rokok dari mobilnya sebelum menjemputku.

Setahu Mama, Om Yan hanya merokok tapi Mama sendiri belum pernah lihat Om Yan merokok—hanya tahu dari bungkus rokok dalam ranselnya saja.

Pintu mobil kubuka. Kulihat sosok tampannya yang selalu necis dan menebar harum.

Gara-gara kecurigaan Tante As itu memang aku pernah sampai bermimpi melihat botol-botol minuman keras bergelimpangan di jok belakang mobil Om Yan.

“Eh Ayah, dulu katanya suka nyanyi-nyanyi sama Mama?” singgungku ketika perjalanan sudah dimulai. Perlu diingat dan digarisbawahi bahwa ayah yang ini tidak ada ikatan pernikahan dengan yang kusebut Mama. “Sukanya nyanyi lagu apaan sih?” Secara Mama menyukai rock zadul, berarti Om Yan juga menyukai jenis yang sama, tapi jenis yang Om Yan usung kini malah jazz. Bagaimana ia bisa berubah haluan?

Ketika ia membicarakan preferensi musiknya bersama Mama dulu, aku membayangkan sepasang anak SMA duduk di balik dinding kumuh. Mereka masih pakai seragam, Om Yan dan mamaku dua puluhan tahun lampau.

Wajah Om Yan muda sama menawannya sekarang, meski kenyataannya tak begitu di foto yang pernah aku temukan. Model rambut Om Yan harusnya lebih pendek dari sekarang. Ia memakai jaket dengan model yang sedang tren pada masa itu sementara mamaku menggunakan jaket apapun yang bisa dipinjamnya dari Om Mayong. Kalaupun pada waktu itu Mama merupakan cewek yang mengikuti tren rambut, hal itu tak kan kentara karena ia selalu menguncirnya jadi ekor kuda. Cerita Uwak Tata, sewaktu di sekolah menengah Mama adalah tipe cewek yang memotong poninya sendiri dan dengan cuek tetap pergi sekolah meski hasilnya asimetris.

Ketika mamaku dengan picik mengklasifikasikan mana lagu bermutu dan mana yang tidak, dengan santainya Om Yan bilang, “Aku sih enggak peduli siapa yang nyanyi, yang penting musiknya.”

            Ia menutup nostalgianya dengan tanya, “Bibe ngerti lagu-lagu lama? Dikira cuman doyan keroncong.”

            “Aku dengerin segala macem musik kok, Yah,” ucapku, meski lagu-lagu yang ada di playlist-ku relatif sama dengan yang ada di playlist kebanyakan remaja seumuranku. “Termasuk lagu-lagunya Mama juga. Tapi jangan bilang-bilang Mama lo Yah.” Aku mulai terbiasa memanggilnya ‘Ayah’, tidak menyangka begini mudah.

            “Coba, senengnya lagu yang mana?” tanya Om Yan dengan nada menguji.

Aku angankan beat kibor nan rancak mengisi udara disusul nada rendah lalu melodi khas 80-an.  O indahnya, suasana… Bila ku tahu siapa namanya…” Kutiru vokal Mus Mujiono dengan lagunya, “Keraguan”.

            Tertunduk malu, dia tersenyum simpul melirik kehadiranku di sana… Ooo… “ sambung Om Yan. Ia melirikku dengan pancaran mata yang hangat oleh senyum.

            Aku melanjutkan,

Ku berharap ia menyapa, mengajakku tertawa bersama, menyibak duka di dalam hati ini, menyambut pertemuan dengannya… Bilakah terjadi, semua angan ini? Kuharapkan…

            Ia memainkan jari-jarinya di atas kemudi. Tubuhnya bergerak-gerak pelan. Kami telah sampai di bagian reff. 

Adakah bayangan diriku mengisi hari-hari di dalam gerak dan langkahnya?

            Kusambung segera, sembari mengikuti gerakannya seolah memang ada musik memenuhi rongga mobil ini,

            Walau jarak memisahkan diriku dengan dirinya…

            …ku tak akan peduli semoga waktu kan berpihak…

            …kepadaku…

            “Mau diteruskan Bibe?” Aku mengangguk. Kali ini ia yang mulai,

            Fantasiku kian menjulang, membawaku terbang ke awan.  Semesta ada, kelelahan menerpa, melepas sribu candaku dengannya  Biarkan semua, seperti adanya… Kuharapkan…

Sesekali ia mengalihkan pandang padaku. Lalu kami menyanyikan reff bersama. Tubuh kami terus bergoyang mengikuti irama yang seolah-olah ada. Ia menepuk-nepuk kemudi dengan sebelah tangannya. Sesekali kami bertukar pandang, terutama pada bagian, “…di saat… kuragu… akan perhatianmu…

Aku terbahak ketika ia ikut bersuara “ahaw!” di tengah-tengah lagu. Memang seperti itu yang ada dalam versi Mus Mujiono yang aku dengarkan. Ada versi lain lagu ini yang dibawakan oleh Tri Utami.

“Kata Mama, Bibe paling anti sama lagu-lagu gini…? Ternyata fasih banget nyanyinya…”

“Ha ha ha…” Aku tergelak-gelak.

Kesampaian juga inginku mendengar Om Yan menyanyi lagi.

 “Jadi ke Dago Tea House nih?”

Aku mengangguk.

“Sudah bawa bekal?”

Aku terperangah. Aku hanya ingat bawa gitar. Padahal saat janjian, aku bilang padanya kalau aku ingin membawa bekal sendiri.

“Tikar?”

Aku mulai geli lagi.

“Ayah… Kita cari meja sama kursi aja di sana…”

“Tapi rasanya enggak afdol kalau enggak bawa sesuatu..”

“Aku bawa gitar?”

“Hmmm….” Dahi Om Yan berkerut. Di pelataran Kartika Sari mobilnya masuk.

Aku hanya bisa terpana di depan deretan kudapan yang rentan mengucurkan liur. Di sampingku Om Yan menunjuk-nunjuk, “Gimana kalau yang ini? Suka?”

Kalau sama orangtuaku sendiri memang aku biasa merengek minta dibelikan ini-itu. Aku tahu Om Yan lebih berduit. Dan kali ini dia sedang menjalankan perannya sebagai ayahku, meski bohong-bohongan… Jadilah anak yang manja, Bibe, ayahmu kaya raya…

Tanpa menungguku selesai berpikir, Om Yan sudah memanggil seorang pelayan untuk membungkuskan ini dan itu. Aku rasa sebaiknya aku menunjuk paling tidak satu… atau dua… tiga… tujuh…?

Siang menjelang petang ini cerah sekali. Mata kami sama-sama terpicing ketika mendaki jalan memasuki kawasan Dago Tea House. Sayup-sayup hawa dingin menerpa. Kami menuju salah satu tempat duduk untuk menikmati kudapan.

Di tengah obrolan hangat kami, sehangat sinar mentari petang yang menyoroti, aku teringat prasangka buruk Tante As lagi. Seolah diam-diam Om Yan mengincar sesuatu dariku. Saat itu aku hanya bisa meyakinkan tanteku itu kalau Om Yan sudah dianggap bagai saudara sendiri oleh para sepupu Mama. Tante As saja yang tidak pernah gaul dengan keluarga besarnya sendiri.

Sejauh ini aku selalu merasa nyaman dan aman-aman saja di dekat Om Yan. Entah dari mana aku punya perasaan bahwa ia adalah tipe orang yang jauh dari hidung belang meski di usianya yang sudah kepala empat begini masih melajang.

Aku memang tidak tahu secara pasti bagaimana hubungan Om Yan dengan Tante Ri, bagaimana lika-likunya, dan seterusnya. Mendengar cerita tentang mereka dari Mama, aku merasa mereka mungkin saja sebetulnya diciptakan untuk satu sama lain, namun ada sedikit kendala dalam perjalanan hidup mereka sehingga mereka tidak bisa bersatu semudah itu. Nah, kini mereka dipertemukan lagi. Mungkinkah ini sudah suratan takdir? Kalau Om Yan sopir truk, ia akan mengganti tulisan “Kutunggu Jandamu” di pantat truknya dengan “2 Hati 1 7an.” Aku akan senang sekali kalau suatu saat mereka menikah.

 “Ayah, kapan aku bisa ketemu sama Ibu?” Kalimat ini begitu saja meluncur dari mulutku.

“Bibe mau ketemu sama Ibu?” Ia menoleh dengan senyum terkembang. “Hm… Entar Ayah atur deh.”

Aku terkesima. “Hah, beneran ada, Ayah? Siapa? Tante Ri?”

Dahinya berkerut karena godaanku itu namun tawa disirat ekspresi wajahnya. “Maunya sama siapa?”

            Setelah kudapan habis, kami berjalan-jalan di kompleks tersebut. Sekalian mencari tempat untuk solat ashar sih. Setelahnya, aku kira tiba saatnya gitarku beraksi. Aku menggiringnya ke amfiteater. Ia berjalan di belakangku.

“Ayah duduk aja…”

Ia duduk di bangku ketiga dari depan.

“Aku pingin tahu komentar Ayah sama lagu bikinanku. Tapi jangan diketawain ya, Yah.”

Yah, belum apa-apa ia sudah ketawa. Aku merengut. Ia mengganti tawanya dengan senyum pengertian. “Ayo?”

Aku menggenjreng gitarku. “Liriknya masih belum pasti sih, Yah…”

Ia diam saja. Tangannya menopang dagu.

Setiap hari aku bertambah besar. Sedikit-sedikit ada perubahan. Semua karena aku rajin makan. Makanan bergizi yang mereka berikan.

Aku melihat ekspresinya. Menyenangkan. Aku menggenjreng gitarku dengan kekuatan lebih. Pelan, aku goyangkan juga tubuhku ke kanan dan kiri.

Sering berpikir mreka terlalu bawel. Melarangku melakukan ini itu. Tapi ku mencoba untuk memaklumi. Mreka ingin ku lebih baik dari mereka.

Tak bisa lari, selalu begitu. Inilah proses yang membentuk diriku. Tak perlu ragu, biarlah begini. Suatu hari aku kan dewasa…

Kali ini hanya kepalaku saja yang miring ke kanan dan ke kiri. Setiap kali melihat senyumnya, bertambah semangatku dalam melantunkan lagu ini.

Hai… Dunia… Sambutlah diriku… Ku… kan bersamamu… hingga akhir… waktuku… Hai… Dunia… Jangan sesatkanku… Biarkanku… memilih… jalanku…

Genjrengan terakhir. Ia berdiri lalu bertepuk tangan sembari menuruni amfiteater. “Lagunya cantik, Bibe.”

“Tapi aku kagok sama liriknya…”

“Saya juga enggak bisa bikin lirik, Bibe. Lirik bikinan Bibe bagus sekali.” Ia duduk di bangku keramik paling depan. “Inspirasinya dari mana, Bibe?”

Ah. Ini pertanyaan yang amat menggugah. “Pas lagi belajar Biologi, Om, eh, Ayah.” Aku duduk di sampingnya. “Aku terkesan aja pas diingetin bu guru kalau tumbuhan bakal tumbuh baik kalau kita merawatnya dengan baik juga. Tapi waktu itu lagunya belum jadi. Baru ketemu bentuknya pas aku lihat ada peminta-minta lagi main sama anaknya di pinggir jalan raya.” Aku selalu tersenyum setiap kali mengingat kejadian tersebut, apalagi saat mengamatinya langsung. Sayang, saat itu aku belum mendapat SLR.

Aku memainkan gitarku lagi. Kali ini aku memetiknya hingga terdengar melodi dari sebuah lagu favoritku yang dibawakan Om Yan dan grup mahasiswa-Berklee-asal-Indonesia-nya.

            Dreandara, masih kau seperti yang biasa, saat ku terpikat si dia, di lampu merah, berlanjut di sekolah…” nyanyiku sembari mengamati perubahan ekspresi wajahnya.

“Bibe pinter main gitar ya…”

Wajahku berseri. Aku mengulik sendiri lagu barusan. Balasku, “Itu lagu kesukaanku lo, Yah. Inspirasinya dapet dari mana?”

“Itu puisi bikinan ayah saya.” Lalu Om Yan cerita. Sejak mula studinya di luar negeri, ayah Om Yan rutin menyurati anaknya itu meski Om Yan sendiri tidak pandai menulis balasannya. Kadang balasannya hanya berupa kartu pos dengan kalimat “aku rindu Ayah” di baliknya. Dan dalam surat-suratnya itu, ayahnya selalu menyelipkan kisah-kisah pertemuan dengan ibunya sebelum keduanya menikah. Puisi itu termasuk ke dalamnya.

“Jadi… Dreandara itu ibunya Ayah?” tukasku

Om Yan mengangguk.

Lalu ayahnya meninggal namun ia tidak bisa menemani ayahnya itu saat detik-detik terakhir. Saat ia baru sempat pulang ke rumah, ayahnya sudah keburu dimakamkan.

Suatu kali ia kangen ayahnya, ia baca lagi surat-surat ayahnya, dan menemukan puisi itu. Lalu lagu itu datang begitu saja. Ia segera menyentuh pianonya dan menggubah. Ia sendiri yang kemudian menyanyikan lagu itu saat rekaman dengan suaranya yang lembut dan membius, meski kadang agak serak.

“Menurutku Dreandara itu cewek yang dingin sampai-sampai cowok yang diceritain dalam lagu ini jadi hampir putus asa. Padahal sebetulnya Dreandara cuman enggak bisa nunjukin perasaannya aja. Dia sangat sulit dimengerti dan subtil. Makanya aku ngerasa… puisi bikinan ayahnya Ayah… indah aja.”

Dia hanya tersenyum. “Begitu ya?”

Aku melepas pandanganku pada makhluk-makhluk Tuhan yang mengintip di balik bangunan. Pada pepohonan hijau… Pada angkasa biru yang dilekati awan-awan putih… Pada piknikku bersama Papa dan Mama belasan tahun lalu.

Saat itu kami berada sekian kilometer jauhnya ke utara dari tempatku dan Om Yan kini. Pertengahan jalan antara Dago Pakar dan Maribaya. Kami belum sempat menggelar tikar ketika tiba-tiba ada orang hanyut di sungai. Papaku dengan sigap menyerbu sumber berita. Mama membantunya menghimpun keterangan. Aku sempat hilang. Piknik keluarga yang kacau.

Yang benar saja. Sejak kapan mendung mengusir cerah? Guntur memecah langit dan tumpahlah deras hujan ke tanah. Aku sempat cemberut. Sebelah tangan Om Yan melontar payung ke atas lantas menangkapnya lagi. “Untung bawa ini.”

Aku tersenyum mengingat kami sempat main air saat berwudu untuk solat ashar tadi.

“Ayo payungan, Bibe. Entar sakit.”

Aku tercenung. Lalu menggeleng.

Aku melangkah saja di bawah hujan. Sempat aku menoleh ke belakang dan mendapati Om Yan terpana. Tapi dengan cuek aku melanjutkan langkahku. “Ayo Ayah, kita pulang…” Aku menantinya lekas memaklumiku. Kata Quran juga, hujan itu rahmat. Mengapa kita harus menghindarinya? Disambut dong…

Ketika aku menoleh lagi ke belakang, ia sedang memantik rokok. Tante As benar, Om Yan merokok. Tapi tak ada seserpih abu rokok pun pernah aku temukan dalam mobilnya.

Ia berjalan mengikutiku dengan payung besar terbuka di atas kepalanya. Lama-lama riang hati menggerakkan lengan dan kakiku untuk menari. Kurasakan tas gitar yang kugendong bergesekkan dengan punggungku. Tapi aku tidak akan membuatnya sama seperti dalam adegan film he he.

Sampai juga kami di tujuan. Om Yan membuka pintu mobil, tapi ditahannya ketika melihat aku mematung saja di sisi mobil lainnya. Mulutnya masih mengapit puntung rokok.

“Kenapa, Bibe?” Suaranya ditelan deru hujan.

Aku basah. Dan… aku semakin merapatkan kedua belah lengan di depan tubuhku… pakaian dalamku jadi tercetak jelas di balik seragam sekolah.

Dadaku berdebar. Pertama, aku akan membasahi jok mobilnya. Kedua, uuuhhh… aku harap ia tidak memperhatikanku… bagaimana kalau ia sampai melihat pakaian dalamku dan… Terngiang-ngiang prasangka buruk Tante As yang kini terasa bagai peringatan. Sejenak aku dilanda ketakutan. Bodohnya aku… Tidak menyadari hal ini sebelumnya! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aku jadi ingin menyalahkan mamaku atas warisan tingkah impulsifnya ini.

Aku mengernyitkan dahi. Aku beranikan diri menatap matanya. “Maaf, Om… Entar mobilnya jadi becek…” Aku mulai memikirkan gagasan hina macam meletakkan plastik di atas jok yang bakal kududuki. Atau mungkin sebaiknya aku pulang sendiri saja…

Om Yan membuang puntung rokoknya. “Enggak apa-apa, masuk aja…” Tubuhnya menghilang ke bawah. Pintu di depan tubuhku dibukanya dari dalam. “Ayo masuk…”

Lalu aku cerita padanya tentang Mama yang mengajariku kalau bermain hujan dapat membuat kita kebal dari penyakit. Mama juga yang mengajariku lagu “Singing in the Rain”. Sebelum aku hapal liriknya, hanya senandungku saja yang mengiringi Mama menyanyikan lagu itu dengan riangnya. Tubuh kami dengan cepat sama kuyup oleh hujan.

Ia berdecak. Menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tawa renyah. “Hahaha… Mama Bibe itu emang suka ada-ada aja…”

“Tapi sebetulnya bener juga sih Om. Aku termasuk jarang sakit-sakitan…” Aku merapatkan kedua belah lengan ke depan tubuhku lagi seraya membungkuk. Dinginnya AC yang menyembur dari celah-celah di depanku ini lama-lama bisa membunuhku!

Tiap kali Om Yan menoleh padaku untuk mengatakan sesuatu, dengan cergas aku menangkap pandangannya juga—kalau-kalau ia coba-coba ambil kesempatan melahap penampilanku yang rawan ini… Aduh… Aku jadi merasa serba salah begini… Memalukan! Perasaanku tak karuan.

Titik-titik hujan masih saja menimpa kaca jendela mobil yang tengah melaju turun di jalan Ir. H. Juanda. Mobil Om Yan masuk ke pelataran salah satu factory outlet. Parkir. Aku bingung tapi masih sempat menangkap mata Om Yan yang akhirnya mengamatiku juga. Ia tidak mungkin melakukannya di sini kan?!

“Bibe mau ikut masuk juga?”

“Eh. Kenapa Om?”

Gerakan mata dan mimik wajahnya mengisyaratkan sesuatu.

“…mau beli baju?”

“Iya. Buat Bibe. Masuk angin lo entar.”

“E—eh… enggak usah, Om. Langsung pulang aja enggak… apa-apa kok! Basah-basahan kayak gini mah udah biasa!”

“Ukurannya Bibe?”

He… Ukuran apa?!

“Eng… enggak tahu…” Aku jadi sungkan memanggilnya “ayah”. Oh… Seandainya yang ada di hadapanku ini ayahku betulan tentu aku tidak bakalan semalu ini!

Aku tidak mau memandangnya lagi. Aku menunduk saja pada kakiku yang terasa gatal akibat kaos kaki basah. Aku mendengar gerakan tubuhnya mengambil payung di belakang, pintu mobil yang dibuka, lalu ditutup.

Aku menghembuskan nafas lega. Bodoh. Sejenak pikiranku hampa sebelum aliran pikiran berseliweran lagi di dalamnya. Hah… Aku merasa tenang tapi ada sebagian kecil dariku yang tetap waspada.

Ia kembali dengan menjinjing tas kertas merah marun besar. Setelah ia duduk lagi di sampingku, diserahkannya tas itu padaku. Aku menerimanya di pangkuan. Sekilas aku mengintip sesuatu yang tebal dan hitam di dalamnya.

“Mau ganti baju di dalem atau…? Kamar mandinya agak jauh di dalam sih…” Sepertinya ia bisa membaca keengganan di wajahku.

Maka ia memutar kunci mobilnya lagi, atret, sebelah tangannya terangkat ke atas pada tukang parkir yang mendekat, dan mobil yang kami tumpangi ini pun telah parkir lagi di sudut dengan dua sisi dinding mengapit bagian depan dan kanan mobil.

“Di sini aja ya?” Senyumnya seakan solusinya ini cerdas. Tanpa menungguku bersuara, dia ke luar dari mobil dengan payungnya lagi. Kepalaku mengikuti tubuhnya yang memutar mobil lewat belakang. Ia berhenti tepat di tengah sisi mobil satunya dengan posisi memunggungi jendela. Aku beranjak pindah ke atas jok pengemudi. Aku harap kaca mobil ini benar-benar terlihat gelap dari luar sehingga aku benar-benar aman untuk berganti pakaian. Mataku tetap awas pada punggung pria jangkung tersebut—kalau tahu-tahu dia berbalik!

Aku keluarkan isi di dalam tas. Yang tebal dan hitam tadi rupanya sweater rajutan. Bawahannya… rok tartan? Semoga tidak keminian—aku tidak biasa pakai rok kecuali rok seragam sekolah! Apakah ukuran pinggangnya sesuai dengan ukuran pinggangku?! Entahlah. Aku sendiri penasaran mencobanya. Aku berusaha berganti pakaian secepat kilat. Huah, sweater ini nyaman benar dipakai… Ukuran pinggang rok tartan ini sepertinya lebih besar dari ukuran pinggangku namun untungnya tertahan di bagian pinggul. Aku tarik-tarik ke bawah untuk memastikan bahwa ia tak akan merosot.

Selesai. Aku pindah lagi ke jok samping pengemudi. Aku mengetuk-ngetuk jendela. Om Yan menoleh. Aku melingkarkan telunjuk dengan jari—seakan ia dapat melihatnya.

Setelah ia duduk di sampingku lagi, berkali-kali aku minta maaf padanya. Juga maaf karena aku telah berprasangka yang bukan-bukan padanya—tapi tentu saja aku tidak mengemukakan alasan satu ini.

Ia hanya tersenyum dan dengan santainya bilang, “Loh, Bibe, hari ini kan saya jadi ayah kamu?”

Sekitar setengah jam kemudian, ia baru menyadari kalau ada sesuatu yang kurang. Ada sandal jepit di belakang, kata Om Yan, namun aku mencegahnya untuk mengambil. Om Yan tadi tidak kepikiran untuk membeli ganti kaos kaki dan sepatuku yang basah juga. Ah. Tidak perlu. Lagipula kami sudah sampai di depan rumah Tante As.

Hujan memang tinggal rintik-rintik, namun Om Yan bersikeras memayungiku supaya aku tidak kebasahan lagi.

Ia mengantarku sampai ke pintu depan. Belum sampai aku menginjak keset, terdengar bunyi kunci diputar dan muka jutek Tante As menyambut kami.

Sebelum suasana jadi tidak enak, aku cepat-cepat menggiring Tante As masuk ke dalam rumah sambil teriak, “Makasih banyak, Ayah!” Sementara itu, aku baru menyadari ada Papa dalam jarak beberapa meter dari kami. Namun aku tidak menghiraukannya.

Sementara aku terus mendorong Tante Zaha ke ruangan dalam, aku tahu Papa akan menyambut Om Yan, berbasa-basi sebentar tanpa potensi konflik apa-apa, dan aku dengar suara mobil menjauh. Om Yan sudah pergi.

Pandangan Tante As seperti dia bakal melumatku. “Manggil apa kamu tadi sama dia?”

“Mau tau aja,” balasku tak kalah judes.

Ia menjauh dariku lalu menghempaskan diri ke sofa. Aku menyusulnya. Aku terus memandanginya dengan harapan ia bakal merasa risih juga dan menghentikan sikap sok dinginnya itu.

Ia berkata pelan, “Papa Bibe udah di sini dari jam empatan… Dari tadi di ruang tamu.”

“O…” Kubulatkan mulut dan mata—berharap dia bakal geli dengan mimik itu. Sayup-sayup azan maghrib terdengar. Tante As masih bertahan dengan ekspresi wajah menusuk. Apalagi ketika ia memerhatikan pakaian yang kukenakan.

“Aku enggak ingat pernah beliin Bibe baju ini.” Sebagian besar pakaianku memang Tante Zaha yang belikan. Seleranya jauh lebih baik dari Mama.

“Dibeliin Om Yan,” kataku nyaris berbisik. Tante As terlihat makin senewen.

“Kenapa dia enggak sekalian beliin kamu bagpipe?”

“Hah? Mana ada FO jual kayak gituan?”

“…udah, beres-beres sana. Balik pulang sama Papa.”

“Tante ngusir aku?” Aku mencebik.

“Enggak. Cuman kasihan sama papanya Bibe. Bikinin kopi lagi tuh.”

Aku menuruti Tante Zaha. Saat aku sampai di ruang tamu lagi, aku tahu cangkir yang kubawa ternyata cangkir kelima. Aku penasaran apakah keempat cangkir sebelumnya Tante As yang bikinkan atau tanteku itu suruh Papa membikin sendiri. Aku cenderung pada yang kedua.

Setelah menumpang solat maghrib, Papa hendak pulang segera.

“Makan dulu? Tapi seduh sendiri ya?”

“Udah ada sayur di rumah. Atau… Dik Zaha yang mau ikut makan di rumah?” Zaha adalah nama lain tanteku. Hampir semua orang yang mengenalnya, yang aku tahu, memanggilnya dengan nama tersebut. Sebetulnya yang memanggilnya ‘As’ hanya Kakek—aku ikut-ikutan.

“Enggak usah. Masih ada kemarin yang Bibe bikinin.”

Papa meminta Tante Zaha meminjamiku baju hangat meski aku sudah merasa cukup dengan sweater dari Om Yan ini.

Tadinya aku sudah duduk mengangkang di atas Honda Astrea reyot Papa, dengan kedua belah tangan menarik-narik ujung rok ke depan, tapi Papa menyuruhku duduk menyamping saja. Papa mencantel ranselku di bagian depan motor sementara tas gitar aku gendong sendiri. Tas selempang Papa menjadi sekat di antara kami.

Motor yang kami naiki mulai batuk-batuk. Aku mengenakan helm lalu melambaikan tangan pada Tante As yang mengantar sampai di balik pagar. Ia merapatkan pashmina yang membalut setengah tubuhnya sebelum membalas. Sebetulnya aku kasihan meninggalkannya di rumah seluas itu. Semoga Om Pir cepat datang kembali untuk menemaninya…

“Tadi jalan ke mana saja sama Om Yan?” tanya Papa di tengah laju motor yang menembus angin malam.

“Kartika Sari, sama Dago Tea House…”

“Ngapain aja?”

“Mmm… Cuman jalan-jalan aja, ngobrol-ngobrol…”

“Bibe seneng jalan-jalan sama Om Yan?”

“Seneng…”

Hanya percik lelampu kota, lubang-lubang di jalan, deru mesin banyak kendaraan, dan sekian keramaian para makhluk pengisi gelap lain yang mengisi perjalanan kami. Mukaku menabrak jaket kulitnya. Tapi tidak lama—ia mendadak ngerem tadi karena ada ibu-ibu mau menyeberang. Aku bersyukur ia tak mengumpat.

“Tinggal di rumah Tante As enak, Bibe?”

Aku mengantuk. “Kasian Tante As enggak ada yang nemenin, Papa…” jawabku malas.

Ia tidak pernah menyinggung pakaian yang kukenakan pada malam itu, untunglah… Aku memejamkan mata. Terbayang sebuah rencana untuk mengajak Papa dan Mama piknik juga dengan membawa tikar, termos, roti lapis, dan SLR pemberian papaku tentu saja… Ah, tadi lupa kebawa.

“Bibe mau beli gorengan dulu enggak?”

“Enggak… Tadi udah kenyang makan Kartika Sari…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain