Sabtu, 26 November 2011

Renang

Sebulan sudah cukup untuk membuat kangenku pada Vira tak tertahankan. Bahkan pada Ari juga. Andai saja ia mau lebih terbuka padaku. Meski pembawaan mereka berbeda, namun bagiku mereka sama-sama menggemaskan. Aku kangen dengan tawa terkekeh khas Vira yang memperlihatkan deretan giginya yang mungil dan rapi, juga pipi gembil ranumnya yang begitu mengundang untuk dicubit. Juga pada keanehan Ari meski itu menodai kerupawanannya. Kira-kira bocah absurd itu mau jadi adikku juga tidak ya?

Pada pertemuanku dengan Tante Ice sebelumnya, aku sempat mengobrol sedikit dengan eyang yang sangat perhatian para para cucunya itu. “Kak Bibe, anak-anak diajakin olahraga,” sarannya. “Eyang putranya tuh senengnya cuman golf sama tenis.” Pernah Ari diajak ke lapangan golf, tapi ia tak menemukan keasyikan sama sekali dalam permainan ini. Ia lekas bosan lalu merengek ingin pulang. Pernah juga ia diajak ke lapangan tenis, namun hentakan keras bola tenis sudah membuatnya jeri. Sudah sejak lama ia disekolahkan sepak bola oleh mamanya biar bisa olahraga dan bersosialisasi. Kali ini ia sangat menikmatinya, namun ia tidak juga pandai mengocok bola dengan kaki. Sementara itu, Vira hanya suka olah suara, tidak olah raga. Lari sedikit sudah membuat wajahnya merah.

“Kalau renang gimana, Tante?’ Aku berharap anak-anak itu tidak takut air.

“Boleh, dicoba. Kak Bibe besok mau nginep lagi?”

Kalau Vira mengajak. Dan ia melakukannya. Ia kelihatan girang ketika aku mengajaknya renang. “Aku masih punya pelampung, Kak Bibe! Entar aku bawa ya…”

“Kak Ari diajakin juga,” kata eyang putrinya.

“Iya! Iya! Entar Vira ajak Kakak!” jawabnya antusias. Syukurlah Vira ternyata senang main air. “Tapi Vira enggak bisa renang, Kak…”

“Enggak apa-apa, nanti Kakak ajarin yah?” Sepertinya akan lebih menyenangkan ketimbang kalau ia sudah bisa meluncur sendiri.

Meski kini Papa hampir selalu menetap di Bandung, namun ia malah tidak pernah mengajakku berenang bersama lagi. Namun kini baju renangku tidak akan menganggur lebih lama lagi!

Maka malam itu, sehabis bersenang-senang di Kedai Buncong, aku kembali merebahkan tubuh di atas kasur lebar dalam ruangan lebar itu lagi. Vira memperlihatkan baju renangnya padaku. Warnanya biru muda dengan bunga-bunga putih, dan ada rok pendek di sekeliling bagian pinggul. Sayang sekali keriaan di kolam tidak bisa segera dicicipi, masih harus menunggu sampai esok pagi.

Rencananya, besok kami akan menggunakan kolam renang sebuah hotel bintang lima yang memang bisa dimanfaatkan untuk umum juga. Harga tiket masuknya jauh lebih mahal daripada harga tiket masuk kolam renang yang dulu biasa aku dan Papa masuki—hanya kolam renang kampus namun tak kalah bagus. Tapi harga tiket masuk yang lebih mahal dari biasanya bukan persoalan, aku yakin nanti aku bakal dibayari.

“Ayo kita langsung tidur aja Vira, besok kan harus bangun pagi,” kataku. Ia menurut. Kami berbaring berhadapan dalam kegelapan dan kehangatan selimut.

Aku sudah hendak memejamkan mata ketika Vira berkata pelan padaku, “Kak Bibe, Vira boleh cerita sama Kakak?”

“Boleh dong. Tanya apa Sayang?” jawabku lembut.

“Mama Vira lagi punya pacar…” suaranya lebih menyerupai bisikan. Mendadak aku merasakan sensasi aneh di sekitar leherku. Sesuatu mendesak-desak ingin tahu bagaimana perkataan Vira selanjutnya. “Orangnya pernah ke rumah. Eyang-eyang juga udah kenal, kayaknya akrab…”  Suara Vira menggantung. Aku mengikutinya bangkit. Saling berhadapan dalam simpuh.

“Dari kapan Vira?”

“Udah rada lama, Kak…”

“Orangnya kayak gimana, Vira?”

“Kayak om-om…”

“Kalau kayak mas-mas, jangan-jangan itu malah kakaknya Vira lagi…”

“Ih Kak Ari mah belum jadi mas-mas kali, Kak.” Vira tampak sedikit terhibur. “Orangnya tinggi banget, lebih tinggi dari Papa.”

“Orangnya baik?”

“Mungkin.”

“Mungkin?” Aduh, sungguh mati aku ingin memastikan siapa orang tersebut. “Vira udah pernah ketemu kan?”

“Udah.” Ia mengangguk dengan nelangsa dan tanpa daya. “Udah pernah makan bareng juga.”

“Oh…”

“Kak Ari benci banget sama om itu. Tapi om itu ternyata suka MU juga.” Aku ingat kaos MU yang Om Yan pakai saat aku ke rumahnya di waktu silam. Oh, mungkinkah mungkinkah mungkinkah? “Orangnya ada di mana-mana Kak…”

“Maksudnya?”

Makin lirih saja suara Vira. Seperti ia menceritakan ini dengan berat, sesuatu yang sangat mengganjal perasaannya. “…di Bandung pernah ketemu… di Jakarta juga…” Om Yan kan rajin mengunjungi keluarga adiknya di Jakarta. Aku merasa tebakanku makin positif. Sudah tidak perlu memikirkan kemungkinan adanya orang lain lagi. “Eyang jugaada fotonya…”

Tahu-tahu ia turun dari tempat tidur, membuka pintu, lalu berlari keluar. Kukira ia ke lantai bawah. Namun tak lama. Ia kembali dengan membawa setumpuk foto-foto lama. Ia memilah-milah lalu menyorongkan satu kepadaku.

“Orangnya yang ini…” Ia menunjuk sebuah wajah yang sudah kukenali. Si ceking nan pucat yang pernah dipotret bersama Mama dan para sepupunya saat mereka masih muda. Dalam foto ini ia tampak lebih berseri.

Dua orang itu duduk bersebelahan. Posisi mereka agak berjarak, namun si pemuda menggenggam tangan si pemudi di pangkuannya. 

Ada beberapa orang di sekitar mereka yang tampak tidak sadar kalau mereka juga ikut dipotret. Semuanya memakai seragam SMA.

 “Om yang ini pacarnya Mama yang terakhir sebelum Mama sama Papa.” Vira melihat foto-foto lainnya dengan jemu. Ketika mamanya diboyong sang papa, foto-foto itu ditinggal begitu saja di rumah ini. “Besok Vira enggak mau pacaran banyak-banyak kayak Mama. Kalau entar pacaran, Vira maunya yang awet terus…”

“Vira,” kataku hati-hati, “Kak Bibe boleh tahu enggak, Papa sama Mama Vira pisahnya kenapa?”

Ia menggeleng. Isaknya mulai terdengar seiring dengan perubahan warna mukanya. “Enggak tahu… Tahu-tahu Papa sama Mama bilang kalau mereka enggak bakal sama-sama lagi…” Aku ingin memeluknya, tapi ia menepis.

“Papa sama Mama pernah bertengkar?”

“Enggak...” katanya disedak isak.

Padahal papa dengan mamaku saja pernah cekcok, atau saling mengatai di balik punggung masing-masing. Padahal mereka tidak pernah saling merangkul saat menonton TV seperti cerita Vira tentang papa dan mamanya saat keluarga mereka masih utuh.

Ia mengucek-ngucek matanya yang basah. “Gimana Kak Bibe… Gimana kalau Mama nikah lagi…?” tanyanya lirih. Membuatku jadi tega untuk mengakui kalau aku merestui seandainya Tante Ri akan menikah dengan Om Yan. Itu malah akan membuat luka anak ini semakin dalam.

“Iya… Kita berdoa aja buat kebaikan Mama Vira ya?” Aku mengusap-usap kepalanya yang menunduk. Beberapa lama kemudian, ia mulai lebih tenang. Senggukannya memelan. “Sekarang kita tidur aja ya? Besok kan harus bangun pagi…” Ia mengangguk dengan mulut masih mencebik.

Kami berbaring berhadapan lagi seperti mula. Aku terus membelai-belainya yang masih tampak muram. “Tapi omnya baik kan ya, sama Vira sama Kak Ari?” tanyaku lembut.

“Baik…” katanya di sela-sela senggukan yang muncul sesekali.

“Cocok enggak sama Mama?”

Mulutnya mencebik lagi. “Enggak. Mama tuh cocoknya cuman sama Papa!”

Jelas aku jadi tak enak hati. Aku berharap ia tidak marah padaku. “Iya, kalau enggak cocok, berarti enggak mungkin nikah sama Mama…” kataku supaya ia tenang lagi.

“Iya…” sambutnya dengan nada bersungut. “Aku cerita cuman sama Kakek Bibe. Kalau aku cerita sama teman-teman yang lain, mereka pasti bakal pada ngomongin aku.”

Membuatku berasumsi kalau Vira berteman secara berkelompok. Aku agak terkesan karena aku telah dipercaya. Lagipula, kalau aku cerita sama mamaku, aku bakal semakin diledeki punya bakat jadi wartawan gosip—jadi aku tak akan melakukannya. Kalau aku cerita sama Om Yan, aku tidak mau dianggap mencampuri urusan orang. Kalau aku cerita sama teman-temanku, mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini—mana aku tahu? Pintar juga Vira.

Ajaib, keesokan paginya Vira ceria seperti biasa. Tidak menyisa kegalauannya semalam. Yang lebih ajaib lagi, Ari mau ikut berenang.

Tidak banyak waktu bagi kami pagi itu—kecuali Ari yang biasa terjaga sebelum azan subuh berkumandang. Usai sarapan, Vira dan eyang putrinya agak rusuh menyiapkan perlengkapan berenang. Ari kalem saja, malah sibuk memainkan ponsel mamanya.

“Lo, jadi mau renang? Emang bisa renang?” tanya Tante Ri begitu Vira hendak pamit.

“Bisa! Entar diajarin Kak Bibe…”

“Hati-hati ya… Jangan nyusahin Kak Bibe lo…” Tante Ri menciumi kedua pipi anak bungsunya. Si sulung menerima gilirannya dengan enggan. Tante Ri tidak ikut menemani anak-anak ke kolam renang, hanya sang eyang putri saja.

Hiruk-pikuk suasana sekitar kolam renang menyulutkan gairahku. Meski ramainya bukan main, namun bagaimanapun caranya aku harus bisa mempraktekkan berbagai gaya yang kukuasai. Tapi yang terpenting adalah bisa mendapatkan cukup ruang bagi Vira untuk belajar berenang.

Aku selalu menyukai baju renangku. Bermerek beken dan mahal. Modelnya semi tertutup, bahannya tebal, serta warnanya merupakan kombinasi antara biru dongker dan nila. Gantungkan kacamata renang di leher dan aku semakin merasa keren.

“Ah! Vira lupa bawa kacamata renang…” rajuk gadis mungil yang sudah siap dengan pelampung donatnya itu. Aku lepaskan kacamata renang dari leherku, lalu kupakaikan di kepalanya. Ia tampak senang. Gadis mungil itu mencepol rambut ikal terangnya yang panjang.

Aku kira Ari akan pakai celana renang betulan. Rupanya ia hanya memakai celana selutut biasa. Warnanya kompak dengan warna baju renangku. Ia menunggui kami sambil berjongkok di pinggir kolam.

“Kita pemanasan dulu yuk!” ajakku. Kedua anak itu mengikuti setiap gerakanku. Ari hanya memperhatikanku setiap aku ganti gerakan. Ia juga mencari tempat yang agak jauh dari aku dan Vira begitu kami masuk ke dalam air yang setinggi pahaku.

Aku mengingat-ingat pelajaran awal yang diberikan guru les renangku dulu. Aku berhenti les renang begitu menguasai keempat gaya standar. “Gimana kalau kita coba latihan tahan nafas dulu?”

“Aaah… Aku mau berenang…” rengek Vira. Ia melihat seorang anak meluncur dituntun seorang dewasa. Vira tampaknya ingin membuat cipratan-cipratan besar juga. Aku menurut. Pelampung jadi tak berguna, toh ia merasa sudah berani. Sementara aku berjalan mundur sambil menarik tangannya, mukanya keluar masuk air begitu sering. Aku bermaksud memberitahunya untuk mengambil nafas tiap beberapa kali hitungan saja, tapi kuurungkan karena melihatnya kadung asyik dengan metode yang ia terapkan sendiri.

Lagak Ari tak kalah menarik. Aku tidak tahu ia berenang dengan gaya apa. Hanya pantatnya yang menyembul keluar dari air tapi toh ia bergerak maju juga. Seperti sebuah bola plastik yang dilemparkan ke kolam lalu mengambang dan berayun-ayun mengikuti gerakan air.

“Kak! Kak!” Vira menarik perhatianku lagi. Ia menunjuk lintasan yang sudah kami lalui. “Coba dari sana lagi yuk… Tapi entar pas di tengah-tengah Kakak lepasin tangan aku ya, aku mau cobain sendiri.”

“Oke,” kataku. Kacamata renang ia turunkan lagi ke depan matanya.

Kembali aku menarik tangannya sambil berjalan mundur. Kepala sesekali aku tolehkan ke belakang supaya kami tidak menabrak orang lain yang hendak melintas. Lalu aku lepaskan tangannya. Ia tenggelam. Kedua tangannya menggapai-gapai. Lekas kepalanya muncul di atas air dengan mulut megap-megap. Wajahnya sangat merah. Aku menggiringnya ke tepi. Sepertinya air kolam terminum olehnya. Aku memijat-mijat tengkuknya. Ia tersedak beberapa kali lalu memuntahkan air ke lubang-lubang yang ada.

Setelah sengalannya mereda, aku memberinya senyum simpatik. “Mau coba lagi?” tawarku.

Ia menggeleng cepat. Masih mengurut-urut lehernya. “Aku mau ke eyang dulu…”Ia mengembalikan kacamata renangku.  Aku membantunya menaiki kolam. Ia berlari ke arah Tante Ice yang siap menyambutnya dengan handuk besar.

Dengan gaya katak, aku berenang pelan ke arah Ari. Penuhnya kolam tidak memungkinkanku untuk meluncur dari sisi satu ke sisi yang lain, kecuali di kolam dalam. Namun aku lebih berminat untuk membantu si bola plastik. Mungkin aku bisa lebih mencairkan sikap dinginnya padaku.

Akhirnya kepalanya keluar dari air juga. Biasanya gelombang ombak di atas kepalanya agak ringan melayang, namun kini melekati sisi-sisi wajahnya. Warna kulitnya terlihat makin kontras dengan warna rambutnya yang hitam pekat. Bulu matanya yang dititiki air terlihat lebih panjang.

“Kamu tahu enggak? Gaya kamu itu namanya gaya bola plastik.”

“Bukan, ini gaya anjing laut,” katanya datar.

“Gaya anjing laut enggak kayak gitu,” ucapku. Kalau kolam renang sepi, aku biasa menciptakan berbagai gaya berenang sendiri. Gaya anjing laut yang kurancang tidak seperti itu.

“Anjing lautnya lagi nyundul bola,” balasnya.

“Iya, bolanya kan kamu.”

Ia tak acuh. Sekarang ia coba berenang dengan gaya yang wajar. Kejadiannya sama dengan Vira. Ada apa dengan kakak-beradik ini, mengapa mereka begitu kompak? Aku bantu mengangkat lengannya. Nafasnya tersengal-sengal, namun tak memerah seperti wajah adiknya. “Mau aku bantuin?”

“Enggak usah.” Ia menarik lengannya. Bersikap hendak mencoba lagi.

“Serius, bukan gitu caranya renang…”

“Ah bawel,” potongnya.

Setidaknya ku tlah mencoba. Sikap manja anak-anak ini tidak membuatku sangat senewen. Terendam dalam kolam renang selalu membuatku lebih rileks.

Aku menjauh sedikit dari Ari, hanya sampai tempat di mana aku bisa meluncur setidaknya beberapa meter. Kali ini aku hendak mempraktekkan gaya bebas. Kupasang kacamata renang di depan mataku. Baru beberapa meter berenang, aku dikagetkan sesosok tubuh yang menyambut tepat di depan mukaku saat aku hendak mengambil nafas. Apalagi karena ia sendiri bersuara, “hwa!” seakan memang bermaksud mengagetkanku.

Belum netral tarikan nafasku, ia menunjuk ke arah air yang berwarna lebih gelap. “Ke sana yuk.”

“Dalem di sana mah,” kataku. Aku tidak yakin tingginya bakal cukup, apalagi ia tidak mahir berenang. Ia kan hanya setinggi daguku, sementara dalamnya air di sana bisa sampai melebihi tinggi tubuhku.

Ia bergeser sedikit ketika seorang anak kecil hendak menyenggol tubuhnya. “Di sini rame banget,” keluhnya.

“Ya udah, aku pinjem pelampung ke Vira dulu ya…”

“Enggak usah...” Tersirat rasa hina di raut mukanya. “Kamu pegangin aku aja.”

Aku menurut. Tapi begitu kupegang lengannya, ia sontak berjengit seakan-akan sentuhanku menyetrum. Aku sendiri jadi ikut kaget. Ia menarik lengannya lekas-lekas. “Entar aja, pas di sana!” sergahnya.

“Oke…” kataku pasrah.

Ia berjalan menyusuri tepian dengan memegangi palang besi yang dipasang sepanjang di dinding atas kolam. Banyak orang yang berdiri menempel dinding, atau duduk di tepi dengan kaki menjuntai, sehingga sesekali Ari melepaskan pegangannya. Tidak sampai satu meter, aku mengiringinya dengan gaya mengambang—gaya anjing darat, kalau menurutku.

Tahu-tahu kepalanya menghilang. Kuraba dasar kolam dengan kakiku, hanya ujung jempolku yang mampu. Lekas kupasang kacamata renang pada tempatnya lalu menyelam. Di dalam air, aku lihat pipinya gembung menahan nafas. Ombak rambutnya melayang-layang ke atas. Kurengkuh tubuhnya lalu kuangkat ke atas permukaan air. Mulutnya seketika terbuka lebar, berusaha menelan udara sebanyak-banyaknya. Tangannya mencari-cari pegangan. Begitu dapat, ia terbatuk-batuk hebat. Tangannya menyibak poni panjang yang menutupi setengah mukanya, sekaligus mengusap simbah air dari sana. Sesaat aku merasa ada debaran di dadaku.

Astaga. Ia kan enam tahun lebih muda.

Vira dan eyang putrinya menyongsong kami dengan setengah berlari. “Ari kenapa?” tanya Tante Ice. Ia bersimpuh di tepi kolam. Punggungnya membungkuk ke bawah. Dengan handuk, ia berusaha mengusap-usap muka cucunya yang bukannya langsung naik ke darat itu. Tubuh Ari masih menempel di palang besi. Ia masih terbatuk sesekali. Bahkan bersin. “Kok dibawa ke kolam dalam? Ari kan enggak bisa renang?” cetus Tante Ice dengan nada panik yang membuatku merasa bersalah.

“Bisa!” Bocah itu malah menyalak. “Enakan latihan di kolam dalam, lebih seru!” Ekspresinya seperti hendak mengusir sang eyang yang justru mencemaskannya.

“Kak Ari, belajarnya di yang dangkal dulu, kalau udah lancar baru yang di dalam.”

“Enggak mau!” Ari bersikeras.

“Kak Bibe, tolong dijaga ya!” tegas Tante Ice.

Aku jadi makin mengkeret. “I—iya, Tante.”

Tante Ice dan Vira pun mundur. Tatapan tajam Ari melepas kepergian mereka yang sesekali masih menengok pada kami. Setelah mereka berlalu,barulah aku berani bersuara lagi, “Ya udah, sekarang Kak Bibe tarik tangan Ari pelan-pelan, terus Ari latihan kaki dulu ya…”

“Enggak ah.” Ia memutar tubuh. Ia lebih memilih untuk berpegangan pada palang besi saja lalu mencipratiku dengan sepasang kakinya yang berkecipak keras.

Aku menghembuskan nafas. Aku mencari-cari apakah Tante Ice masih mengawasi kami atau tidak. Situasi ini menggodaku untuk mengalihkan perhatian dari bocah arogan ini. Aku ingin latihan sendiri sebentar saja.

Jadi aku melakukan gaya punggung. Dengan mukaku yang masih timbul di atas permukaan air, aku berusaha mengarahkan mataku pada aktivitas Ari. Ternyata ia malah mengamatiku. Aku berhenti di tengah, lalu kembali padanya dengan gaya yang sama. “Ini gaya punggung,” kataku. “Kalau yang kayak kaki kamu tadi, namanya gaya bebas. Tapi yang baik itu seperti ini…” Luncuranku menjauh lagi darinya dengan kecipak lembut yang tidak membuat siapapun kecipratan. Aku kembali dengan gaya yang sama. “Paling tenang itu gaya katak,” kataku lalu menunjukkannya dengan bolak-balik seperti tadi. “Ada lagi namanya gaya kupu-kupu,” kataku setelah kembali. Baru saja aku mau menampilkannya, ia malah berusaha keluar dari kolam dengan menaiki palang besi. Ya sudahlah.

Ini kesempatan untuk berenang bebas. Namun aku jadi tidak tenang. Setelah insiden tadi, rasanya tidak pantas kalau aku memikirkan kepentinganku sendiri. Maka aku pun keluar dari air, tentu saja dengan menggunakan tangga. Mungkin sebaiknya aku ikut berjaga bersama Tante Ice saja. Sementara Tante Ice mengawasi dari darat, akulah yang bertugas di kolam.

Ranselku berada di samping kursi yang diduduki Tante Ice. Setelah minum beberapa teguk air dari botolku sendiri, aku bermaksud menyusul anak-anak itu ke kolam lagi. Mereka hendak main air di kolam dangkal—hanya setinggi lutut mereka. Namun Tante Ice malah menahanku. “Duduk-duduk aja dulu Kak Bibe,” katanya.

Sempat aku was-was. Jangan-jangan aku mau diperingatkan olehnya karena lalai dalam menjaga cucu-cucunya.

“Capek ya jagain anak-anak?” katanya lagi. Nada simpatiknya membuat perasaanku agak lega.

“Enggak juga kok Tan.”

“Makasih ya Kak Bibe, udah mau jagain.”

Aku mengangguk saja sambil tersenyum-senyum.

“Kak Bibe punya adik berapa?”

Aku menggeleng.

“Enggak ada? Kakak?’

Aku menggeleng lagi. “Saya anak tunggal, Tante.”

“Oo…” Tante Ice manggut-manggut. “Sama kayak anak saya, berarti, itu… mamanya anak-anak…” Ia menyelipkan beberapa helai-helai rambut lurusnya yang jatuh ke balik daun telinga.

Pantas saja aku tidak melihat ada wajah selain wajah Tante Ice, Om Radit, Tante Ri, maupun Ari dan Vira dalam potret-potret yang tergantung di dinding rumahnya.

“Tapi bisa ya dekat sama anak-anak. Pingin punya adik ya?”

Aku tersenyum malu-malu. “Paling… ya… suka ngurus sepupu aja Tante,” kataku.

            “Senang kok Tante, ada yang nemenin anak-anak…”

            “Cuman sebulan sekali Tante…”

            “Enggak apa-apa.. Ari tuh terutama, kan udah enggak mau deket sama kakeknya lagi.”

            “Kenapa Tante?’ tanyaku pelan.

            Tante Ice tersenyum kecil. “Gara-gara mamanya disuruh nikah lagi.” Wanita itu memandangku. “Kak Bibe udah tahu kan ya, papa-mamanya anak-anak udah enggak bareng lagi?”

            Aku tidak mau tahu bagaimana caranya ia tahu. Aku jadi tidak enak karena makin lama makin tahu banyak tentang hal ini. Tante Ice mengusap-usap rambutnya. “Kasihan lihat anak-anak jadi pada labil begitu. Enggak tahu kenapa, tahu-tahu mamanya bilang mau pisah aja. Sama orangtuanya sendiri aja, enggak jelas cerita sebabnya kenapa. Yah, macam-macamlah ya Kak Bibe, alasan orang pisah….”

            “I…ya… Katanya Tante Ri udah ada yang ngedeketin lagi, Tante…” Setelahnya aku merasa agak bersalah. Sepertinya aku sudah mengkhianati kepercayaan Vira.

            Tante Ice termenung sebentar. “Iya. Dari dulu yang ngedeketin memang banyak, Kak Bibe. Tapi yang benar-benar lengket ya sama papanya anak-anak itu… Sama dulu ada satu, sebelum papanya anak-anak…”

            Om Yan, tebakku.

            “…dari pas SMA. Pacarannya kayak yang udah mau serius aja, padahal masih SMA lo itu. Tapi emang, dari kecil kan udah tahu, sama keluarganya juga udah kenal baik. Cuman ya… masalah waktu aja. Pertimbangan lain kan juga banyak… Terus tahu-tahu pacarnya itu sekolah ke Amerika. Pas kuliah katanya masih jalan, masih baik-baik aja, masih telepon-teleponan. Hubungan sama keluarganya juga baik. Tapi anehnya itu lo, Kak Bibe, enggak pernah mau balik… Betah anaknya itu di sana…

            “Siapa Tante?”

            “Ya itu… Si Yan itu…”

            Nah, itu maksudku.

            Lanjut Tante Ice, “Katanya baliknya entar, kalau udah jadi orang. Tapi ya mamanya anak-anak keburu sama papanya anak-anak. Udah jalan, empat tahun apa ya, terus mau nikah katanya. Ya aku tanya emang sama si Yan itu udah putus? Katanya lama udah enggak kabar-kabaran lagi. Disuruh kontak sama keluarganya juga enggak mau. Ya udah, Tante yang kasih tahu…”

            “Terus gimana Tante?”

            “Padahal tadinya udah mau balik dia itu, tapi tahu mamanya anak-anak mau nikah sama yang lain, lah enggak jadi. Terus enggak tahu habis itu pernah pulang lagi apa enggak. Terakhir ketemu ya pas ayahnya meninggal itu, tapi waktu itu masih sama anak saya…”

            “Susah ya Tante, hubungan jarak jauh.” Kucoba untuk bersimpati. Juga pada kakak-beradik yang sedang saling menciprati itu.

            Tante Ice memandangku. “Ya mungkin emang belum jodoh aja… Tapi sekarang balikan lagi tuh. Kalau lagi enggak ada acara sama anak-anak, bilangnya mau jalan sama yang itu, tapi suka enggak bilang mau ke mana. Ah, kayak anak SMA aja…” Lututku ditoelnya.

            Aku tersenyum. “CLBK kali Tante…”

Berharap si tante cukup gaul untuk memahami istilah tersebut. Sepertinya iya, karena ia tidak mengkonfirmasi, malah menjawab, “Iya, mungkin ya Kak Bibe.” Tangan Tante Ice masih menempel di atas lututku yang ditopang lutut lainnya. “Tante sih enggak masalah… Cuman ya itu Kak Bibe, kalau lihat anak-anak, rasanya gimana… Enggak bisa lihat mama-papanya bareng lagi, enggak bisa sering-sering sama papanya juga. Kalau mamanya mau nikah lagi juga, ya gimana, kayaknya belum pada bisa nerima, padahal sudah berapa tahun ini… Pas papanya nikah lagi aja, ngamuknya habis-habisan si Ari itu…” Pandangan Tante Ice menerawang. Seperti sesaat pikirannya hilang. “…ah anak itu, eyangnya aja dikasari…” Keningnya berkerut. “Sekarang sih udah mau ketemu lagi sama papanya. Sekali-sekali main juga, ketemu sama istri papanya.”

“Kalau Vira gimana Tante?”

“…mungkin sebenarnya sama aja… Dia biasanya ikut-ikut kakaknya aja. Cuman kan Vira anaknya lebih halus dan perasa ya Kak Bibe, enggak temperamen kayak kakaknya.”

Duh. Aku memutuskan untuk netral saja ah. Di satu sisi, aku ingin Om Yan menikah dengan Tante Ri lalu merasakan jadi ayah sesungguhnya. Tante Ri masih cukup umur untuk melahirkan kan? Om Yan pasti bisa menjadi ayah yang baik juga buat Ari dan Vira. Tapi di sisi lain, aku rasa aku bisa memahami keberatan kakak-beradik itu atas perpecahan keluarga mereka.

Kami mengobrol terus, tapi untunglah bukan tentang masalah keluarga itu lagi, sampai sejoli kakak-beradik datang dengan bantalan jemari yang sudah mengeriput.

“Vira mau dimandiin eyang atau sama Kak Bibe?” tanya Tante Ice.

“Mandi sendiri dong, Yang!” Vira mengambil handuk dari eyangnya. Lalu aku dan dia bergandengan tangan menuju tempat bilas.

“Kak Bibe pintar renang ya?” tanyanya.

“Dulu Kak Bibe les soalnya, Vira.”

“Oo…”

“Vira mau les juga enggak? Biar pintar renang?”

Ia menggeleng. “Enggak ah. Vira enggak favorit renang.”

“Tahu enggak, gimana caranya papaku bisa renang?”

“Gimana?”

Nenekku membiasakan Papa berenang sejak kecil. Namun Papa tidak kunjung mahir. Suatu kali, nenekku sengaja mendorong Papa ke kolam dalam. Setelah beberapa lama membiarkan putranya megap-megap, barulah Nenek mengangkat Papa ke darat. Sejak itu Ali kecil bertekad kuat untuk bisa berenang.

“Tadi Kak Ari digituin juga ya Kak?”

Ah tidak. Itu sih murni inisiatifnya. Dasar pencari perkara.

Biasanya aku pulang sendiri dari rumah eyangnya Vira. Namun kali ini aku diantar sampai jalanan seberang gang menuju rumahku. Tentu saja tadinya aku ingin diantar ke rumah Tante As saja, namun Tante As tidak di rumah akhir minggu ini. Dan ia bukan tipe orang yang akan meninggalkan kunci pintu rumah di bawah karpet atau pot.

            “Mana rumahnya Kak Bibe?” tanya Vira begitu mobil yang dikemudikan Tante Ice ini berhenti di seberang jalan. Ia menurunkan jendela di sampingnya, berkali-kali melongok keluar.

            “Masih masuk lagi ke dalam…” kataku sambil membuka pintu.

            “Kapan-kapan boleh main?” Matanya membesar.

            Jangan…

            “Iya, kapan-kapan ya,” sahutku lalu menutup pintu. Akan kuajak mereka main kalau jalanan di depan rumah kami sudah melebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain