Sebulan
sudah cukup untuk membuat kangenku pada Vira tak tertahankan. Bahkan pada Ari
juga. Andai saja ia mau lebih terbuka padaku. Meski pembawaan mereka berbeda,
namun bagiku mereka sama-sama menggemaskan. Aku kangen dengan tawa terkekeh
khas Vira yang memperlihatkan deretan giginya yang mungil dan rapi, juga pipi
gembil ranumnya yang begitu mengundang untuk dicubit. Juga pada keanehan Ari
meski itu menodai kerupawanannya. Kira-kira bocah absurd itu mau jadi adikku
juga tidak ya?
Pada
pertemuanku dengan Tante Ice sebelumnya, aku sempat mengobrol sedikit dengan
eyang yang sangat perhatian para para cucunya itu. “Kak Bibe, anak-anak
diajakin olahraga,” sarannya. “Eyang putranya tuh senengnya cuman golf sama
tenis.” Pernah Ari diajak ke lapangan golf, tapi ia tak menemukan keasyikan
sama sekali dalam permainan ini. Ia lekas bosan lalu merengek ingin pulang.
Pernah juga ia diajak ke lapangan tenis, namun hentakan keras bola tenis sudah
membuatnya jeri. Sudah sejak lama ia disekolahkan sepak bola oleh mamanya biar
bisa olahraga dan bersosialisasi. Kali ini ia sangat menikmatinya, namun ia
tidak juga pandai mengocok bola dengan kaki. Sementara itu, Vira hanya suka
olah suara, tidak olah raga. Lari sedikit sudah membuat wajahnya merah.
“Kalau
renang gimana, Tante?’ Aku berharap anak-anak itu tidak takut air.
“Boleh,
dicoba. Kak Bibe besok mau nginep lagi?”
Kalau
Vira mengajak. Dan ia melakukannya. Ia kelihatan girang ketika aku mengajaknya
renang. “Aku masih punya pelampung, Kak Bibe! Entar aku bawa ya…”
“Kak
Ari diajakin juga,” kata eyang putrinya.
“Iya!
Iya! Entar Vira ajak Kakak!” jawabnya antusias. Syukurlah Vira ternyata senang
main air. “Tapi Vira enggak bisa renang, Kak…”
“Enggak
apa-apa, nanti Kakak ajarin yah?” Sepertinya akan lebih menyenangkan ketimbang
kalau ia sudah bisa meluncur sendiri.
Meski
kini Papa hampir selalu menetap di Bandung, namun ia malah tidak pernah
mengajakku berenang bersama lagi. Namun kini baju renangku tidak akan
menganggur lebih lama lagi!
Maka
malam itu, sehabis bersenang-senang di Kedai Buncong, aku kembali merebahkan
tubuh di atas kasur lebar dalam ruangan lebar itu lagi. Vira memperlihatkan
baju renangnya padaku. Warnanya biru muda dengan bunga-bunga putih, dan ada rok
pendek di sekeliling bagian pinggul. Sayang sekali keriaan di kolam tidak bisa
segera dicicipi, masih harus menunggu sampai esok pagi.
Rencananya,
besok kami akan menggunakan kolam renang sebuah hotel bintang lima yang memang
bisa dimanfaatkan untuk umum juga. Harga tiket masuknya jauh lebih mahal
daripada harga tiket masuk kolam renang yang dulu biasa aku dan Papa
masuki—hanya kolam renang kampus namun tak kalah bagus. Tapi harga tiket masuk
yang lebih mahal dari biasanya bukan persoalan, aku yakin nanti aku bakal
dibayari.
“Ayo
kita langsung tidur aja Vira, besok kan harus bangun pagi,” kataku. Ia menurut.
Kami berbaring berhadapan dalam kegelapan dan kehangatan selimut.
Aku
sudah hendak memejamkan mata ketika Vira berkata pelan padaku, “Kak Bibe, Vira
boleh cerita sama Kakak?”
“Boleh
dong. Tanya apa Sayang?” jawabku lembut.
“Mama
Vira lagi punya pacar…” suaranya lebih menyerupai bisikan. Mendadak aku
merasakan sensasi aneh di sekitar leherku. Sesuatu mendesak-desak ingin tahu
bagaimana perkataan Vira selanjutnya. “Orangnya pernah ke rumah. Eyang-eyang
juga udah kenal, kayaknya akrab…” Suara
Vira menggantung. Aku mengikutinya bangkit. Saling berhadapan dalam simpuh.
“Dari
kapan Vira?”
“Udah
rada lama, Kak…”
“Orangnya
kayak gimana, Vira?”
“Kayak
om-om…”
“Kalau
kayak mas-mas, jangan-jangan itu malah kakaknya Vira lagi…”
“Ih
Kak Ari mah belum jadi mas-mas kali, Kak.” Vira tampak sedikit terhibur.
“Orangnya tinggi banget, lebih tinggi dari Papa.”
“Orangnya
baik?”
“Mungkin.”
“Mungkin?”
Aduh, sungguh mati aku ingin memastikan siapa orang tersebut. “Vira udah pernah
ketemu kan?”
“Udah.”
Ia mengangguk dengan nelangsa dan tanpa daya. “Udah pernah makan bareng juga.”
“Oh…”
“Kak
Ari benci banget sama om itu. Tapi om itu ternyata suka MU juga.” Aku ingat
kaos MU yang Om Yan pakai saat aku ke rumahnya di waktu silam. Oh, mungkinkah
mungkinkah mungkinkah? “Orangnya ada di mana-mana Kak…”
“Maksudnya?”
Makin
lirih saja suara Vira. Seperti ia menceritakan ini dengan berat, sesuatu yang
sangat mengganjal perasaannya. “…di Bandung pernah ketemu… di Jakarta juga…” Om
Yan kan rajin mengunjungi keluarga adiknya di Jakarta. Aku merasa tebakanku
makin positif. Sudah tidak perlu memikirkan kemungkinan adanya orang lain lagi.
“Eyang jugaada fotonya…”
Tahu-tahu
ia turun dari tempat tidur, membuka pintu, lalu berlari keluar. Kukira ia ke
lantai bawah. Namun tak lama. Ia kembali dengan membawa setumpuk foto-foto
lama. Ia memilah-milah lalu menyorongkan satu kepadaku.
“Orangnya
yang ini…” Ia menunjuk sebuah wajah yang sudah kukenali. Si ceking nan pucat yang
pernah dipotret bersama Mama dan para sepupunya saat mereka masih muda. Dalam
foto ini ia tampak lebih berseri.
Dua
orang itu duduk bersebelahan. Posisi mereka agak berjarak, namun si pemuda
menggenggam tangan si pemudi di pangkuannya.
Ada
beberapa orang di sekitar mereka yang tampak tidak sadar kalau mereka juga ikut
dipotret. Semuanya memakai seragam SMA.
“Om yang ini pacarnya Mama yang terakhir
sebelum Mama sama Papa.” Vira melihat foto-foto lainnya dengan jemu. Ketika
mamanya diboyong sang papa, foto-foto itu ditinggal begitu saja di rumah ini.
“Besok Vira enggak mau pacaran banyak-banyak kayak Mama. Kalau entar pacaran,
Vira maunya yang awet terus…”
“Vira,”
kataku hati-hati, “Kak Bibe boleh tahu enggak, Papa sama Mama Vira pisahnya
kenapa?”
Ia
menggeleng. Isaknya mulai terdengar seiring dengan perubahan warna mukanya.
“Enggak tahu… Tahu-tahu Papa sama Mama bilang kalau mereka enggak bakal
sama-sama lagi…” Aku ingin memeluknya, tapi ia menepis.
“Papa
sama Mama pernah bertengkar?”
“Enggak...”
katanya disedak isak.
Padahal
papa dengan mamaku saja pernah cekcok, atau saling mengatai di balik punggung
masing-masing. Padahal mereka tidak pernah saling merangkul saat menonton TV
seperti cerita Vira tentang papa dan mamanya saat keluarga mereka masih utuh.
Ia
mengucek-ngucek matanya yang basah. “Gimana Kak Bibe… Gimana kalau Mama nikah
lagi…?” tanyanya lirih. Membuatku jadi tega untuk mengakui kalau aku merestui
seandainya Tante Ri akan menikah dengan Om Yan. Itu malah akan membuat luka
anak ini semakin dalam.
“Iya…
Kita berdoa aja buat kebaikan Mama Vira ya?” Aku mengusap-usap kepalanya yang
menunduk. Beberapa lama kemudian, ia mulai lebih tenang. Senggukannya memelan.
“Sekarang kita tidur aja ya? Besok kan harus bangun pagi…” Ia mengangguk dengan
mulut masih mencebik.
Kami
berbaring berhadapan lagi seperti mula. Aku terus membelai-belainya yang masih
tampak muram. “Tapi omnya baik kan ya, sama Vira sama Kak Ari?” tanyaku lembut.
“Baik…”
katanya di sela-sela senggukan yang muncul sesekali.
“Cocok
enggak sama Mama?”
Mulutnya
mencebik lagi. “Enggak. Mama tuh cocoknya cuman sama Papa!”
Jelas
aku jadi tak enak hati. Aku berharap ia tidak marah padaku. “Iya, kalau enggak
cocok, berarti enggak mungkin nikah sama Mama…” kataku supaya ia tenang lagi.
“Iya…”
sambutnya dengan nada bersungut. “Aku cerita cuman sama Kakek Bibe. Kalau aku
cerita sama teman-teman yang lain, mereka pasti bakal pada ngomongin aku.”
Membuatku
berasumsi kalau Vira berteman secara berkelompok. Aku agak terkesan karena aku
telah dipercaya. Lagipula, kalau aku cerita sama mamaku, aku bakal semakin
diledeki punya bakat jadi wartawan gosip—jadi aku tak akan melakukannya. Kalau
aku cerita sama Om Yan, aku tidak mau dianggap mencampuri urusan orang. Kalau
aku cerita sama teman-temanku, mereka sama sekali tidak ada hubungannya dengan
ini—mana aku tahu? Pintar juga Vira.
Ajaib,
keesokan paginya Vira ceria seperti biasa. Tidak menyisa kegalauannya semalam.
Yang lebih ajaib lagi, Ari mau ikut berenang.
Tidak
banyak waktu bagi kami pagi itu—kecuali Ari yang biasa terjaga sebelum azan
subuh berkumandang. Usai sarapan, Vira dan eyang putrinya agak rusuh menyiapkan
perlengkapan berenang. Ari kalem saja, malah sibuk memainkan ponsel mamanya.
“Lo,
jadi mau renang? Emang bisa renang?” tanya Tante Ri begitu Vira hendak pamit.
“Bisa!
Entar diajarin Kak Bibe…”
“Hati-hati
ya… Jangan nyusahin Kak Bibe lo…” Tante Ri menciumi kedua pipi anak bungsunya.
Si sulung menerima gilirannya dengan enggan. Tante Ri tidak ikut menemani
anak-anak ke kolam renang, hanya sang eyang putri saja.
Hiruk-pikuk
suasana sekitar kolam renang menyulutkan gairahku. Meski ramainya bukan main,
namun bagaimanapun caranya aku harus bisa mempraktekkan berbagai gaya yang
kukuasai. Tapi yang terpenting adalah bisa mendapatkan cukup ruang bagi Vira
untuk belajar berenang.
Aku
selalu menyukai baju renangku. Bermerek beken dan mahal. Modelnya semi
tertutup, bahannya tebal, serta warnanya merupakan kombinasi antara biru
dongker dan nila. Gantungkan kacamata renang di leher dan aku semakin merasa keren.
“Ah!
Vira lupa bawa kacamata renang…” rajuk gadis mungil yang sudah siap dengan
pelampung donatnya itu. Aku lepaskan kacamata renang dari leherku, lalu
kupakaikan di kepalanya. Ia tampak senang. Gadis mungil itu mencepol rambut
ikal terangnya yang panjang.
Aku
kira Ari akan pakai celana renang betulan. Rupanya ia hanya memakai celana
selutut biasa. Warnanya kompak dengan warna baju renangku. Ia menunggui kami
sambil berjongkok di pinggir kolam.
“Kita
pemanasan dulu yuk!” ajakku. Kedua anak itu mengikuti setiap gerakanku. Ari
hanya memperhatikanku setiap aku ganti gerakan. Ia juga mencari tempat yang
agak jauh dari aku dan Vira begitu kami masuk ke dalam air yang setinggi
pahaku.
Aku
mengingat-ingat pelajaran awal yang diberikan guru les renangku dulu. Aku
berhenti les renang begitu menguasai keempat gaya standar. “Gimana kalau kita
coba latihan tahan nafas dulu?”
“Aaah…
Aku mau berenang…” rengek Vira. Ia melihat seorang anak meluncur dituntun
seorang dewasa. Vira tampaknya ingin membuat cipratan-cipratan besar juga. Aku
menurut. Pelampung jadi tak berguna, toh ia merasa sudah berani. Sementara aku
berjalan mundur sambil menarik tangannya, mukanya keluar masuk air begitu
sering. Aku bermaksud memberitahunya untuk mengambil nafas tiap beberapa kali
hitungan saja, tapi kuurungkan karena melihatnya kadung asyik dengan metode
yang ia terapkan sendiri.
Lagak
Ari tak kalah menarik. Aku tidak tahu ia berenang dengan gaya apa. Hanya
pantatnya yang menyembul keluar dari air tapi toh ia bergerak maju juga.
Seperti sebuah bola plastik yang dilemparkan ke kolam lalu mengambang dan
berayun-ayun mengikuti gerakan air.
“Kak!
Kak!” Vira menarik perhatianku lagi. Ia menunjuk lintasan yang sudah kami
lalui. “Coba dari sana lagi yuk… Tapi entar pas di tengah-tengah Kakak lepasin
tangan aku ya, aku mau cobain sendiri.”
“Oke,”
kataku. Kacamata renang ia turunkan lagi ke depan matanya.
Kembali
aku menarik tangannya sambil berjalan mundur. Kepala sesekali aku tolehkan ke
belakang supaya kami tidak menabrak orang lain yang hendak melintas. Lalu aku
lepaskan tangannya. Ia tenggelam. Kedua tangannya menggapai-gapai. Lekas
kepalanya muncul di atas air dengan mulut megap-megap. Wajahnya sangat merah.
Aku menggiringnya ke tepi. Sepertinya air kolam terminum olehnya. Aku
memijat-mijat tengkuknya. Ia tersedak beberapa kali lalu memuntahkan air ke
lubang-lubang yang ada.
Setelah
sengalannya mereda, aku memberinya senyum simpatik. “Mau coba lagi?” tawarku.
Ia
menggeleng cepat. Masih mengurut-urut lehernya. “Aku mau ke eyang dulu…”Ia
mengembalikan kacamata renangku. Aku
membantunya menaiki kolam. Ia berlari ke arah Tante Ice yang siap menyambutnya
dengan handuk besar.
Dengan
gaya katak, aku berenang pelan ke arah Ari. Penuhnya kolam tidak memungkinkanku
untuk meluncur dari sisi satu ke sisi yang lain, kecuali di kolam dalam. Namun
aku lebih berminat untuk membantu si bola plastik. Mungkin aku bisa lebih
mencairkan sikap dinginnya padaku.
Akhirnya
kepalanya keluar dari air juga. Biasanya gelombang ombak di atas kepalanya agak
ringan melayang, namun kini melekati sisi-sisi wajahnya. Warna kulitnya
terlihat makin kontras dengan warna rambutnya yang hitam pekat. Bulu matanya
yang dititiki air terlihat lebih panjang.
“Kamu
tahu enggak? Gaya kamu itu namanya gaya bola plastik.”
“Bukan,
ini gaya anjing laut,” katanya datar.
“Gaya
anjing laut enggak kayak gitu,” ucapku. Kalau kolam renang sepi, aku biasa
menciptakan berbagai gaya berenang sendiri. Gaya anjing laut yang kurancang
tidak seperti itu.
“Anjing
lautnya lagi nyundul bola,” balasnya.
“Iya,
bolanya kan kamu.”
Ia
tak acuh. Sekarang ia coba berenang dengan gaya yang wajar. Kejadiannya sama
dengan Vira. Ada apa dengan kakak-beradik ini, mengapa mereka begitu kompak?
Aku bantu mengangkat lengannya. Nafasnya tersengal-sengal, namun tak memerah seperti
wajah adiknya. “Mau aku bantuin?”
“Enggak
usah.” Ia menarik lengannya. Bersikap hendak mencoba lagi.
“Serius,
bukan gitu caranya renang…”
“Ah
bawel,” potongnya.
Setidaknya
ku tlah mencoba. Sikap manja anak-anak ini tidak membuatku sangat senewen. Terendam
dalam kolam renang selalu membuatku lebih rileks.
Aku
menjauh sedikit dari Ari, hanya sampai tempat di mana aku bisa meluncur
setidaknya beberapa meter. Kali ini aku hendak mempraktekkan gaya bebas.
Kupasang kacamata renang di depan mataku. Baru beberapa meter berenang, aku
dikagetkan sesosok tubuh yang menyambut tepat di depan mukaku saat aku hendak
mengambil nafas. Apalagi karena ia sendiri bersuara, “hwa!” seakan memang
bermaksud mengagetkanku.
Belum
netral tarikan nafasku, ia menunjuk ke arah air yang berwarna lebih gelap. “Ke
sana yuk.”
“Dalem
di sana mah,” kataku. Aku tidak yakin tingginya bakal cukup, apalagi ia tidak
mahir berenang. Ia kan hanya setinggi daguku, sementara dalamnya air di sana
bisa sampai melebihi tinggi tubuhku.
Ia
bergeser sedikit ketika seorang anak kecil hendak menyenggol tubuhnya. “Di sini
rame banget,” keluhnya.
“Ya
udah, aku pinjem pelampung ke Vira dulu ya…”
“Enggak
usah...” Tersirat rasa hina di raut mukanya. “Kamu pegangin aku aja.”
Aku
menurut. Tapi begitu kupegang lengannya, ia sontak berjengit seakan-akan
sentuhanku menyetrum. Aku sendiri jadi ikut kaget. Ia menarik lengannya
lekas-lekas. “Entar aja, pas di sana!” sergahnya.
“Oke…”
kataku pasrah.
Ia
berjalan menyusuri tepian dengan memegangi palang besi yang dipasang sepanjang
di dinding atas kolam. Banyak orang yang berdiri menempel dinding, atau duduk
di tepi dengan kaki menjuntai, sehingga sesekali Ari melepaskan pegangannya.
Tidak sampai satu meter, aku mengiringinya dengan gaya mengambang—gaya anjing
darat, kalau menurutku.
Tahu-tahu
kepalanya menghilang. Kuraba dasar kolam dengan kakiku, hanya ujung jempolku
yang mampu. Lekas kupasang kacamata renang pada tempatnya lalu menyelam. Di
dalam air, aku lihat pipinya gembung menahan nafas. Ombak rambutnya melayang-layang
ke atas. Kurengkuh tubuhnya lalu kuangkat ke atas permukaan air. Mulutnya
seketika terbuka lebar, berusaha menelan udara sebanyak-banyaknya. Tangannya
mencari-cari pegangan. Begitu dapat, ia terbatuk-batuk hebat. Tangannya
menyibak poni panjang yang menutupi setengah mukanya, sekaligus mengusap simbah
air dari sana. Sesaat aku merasa ada debaran di dadaku.
Astaga.
Ia kan enam tahun lebih muda.
Vira
dan eyang putrinya menyongsong kami dengan setengah berlari. “Ari kenapa?”
tanya Tante Ice. Ia bersimpuh di tepi kolam. Punggungnya membungkuk ke bawah.
Dengan handuk, ia berusaha mengusap-usap muka cucunya yang bukannya langsung
naik ke darat itu. Tubuh Ari masih menempel di palang besi. Ia masih terbatuk
sesekali. Bahkan bersin. “Kok dibawa ke kolam dalam? Ari kan enggak bisa
renang?” cetus Tante Ice dengan nada panik yang membuatku merasa bersalah.
“Bisa!”
Bocah itu malah menyalak. “Enakan latihan di kolam dalam, lebih seru!”
Ekspresinya seperti hendak mengusir sang eyang yang justru mencemaskannya.
“Kak
Ari, belajarnya di yang dangkal dulu, kalau udah lancar baru yang di dalam.”
“Enggak
mau!” Ari bersikeras.
“Kak
Bibe, tolong dijaga ya!” tegas Tante Ice.
Aku
jadi makin mengkeret. “I—iya, Tante.”
Tante
Ice dan Vira pun mundur. Tatapan tajam Ari melepas kepergian mereka yang
sesekali masih menengok pada kami. Setelah mereka berlalu,barulah aku berani
bersuara lagi, “Ya udah, sekarang Kak Bibe tarik tangan Ari pelan-pelan, terus
Ari latihan kaki dulu ya…”
“Enggak
ah.” Ia memutar tubuh. Ia lebih memilih untuk berpegangan pada palang besi saja
lalu mencipratiku dengan sepasang kakinya yang berkecipak keras.
Aku
menghembuskan nafas. Aku mencari-cari apakah Tante Ice masih mengawasi kami
atau tidak. Situasi ini menggodaku untuk mengalihkan perhatian dari bocah arogan
ini. Aku ingin latihan sendiri sebentar saja.
Jadi
aku melakukan gaya punggung. Dengan mukaku yang masih timbul di atas permukaan
air, aku berusaha mengarahkan mataku pada aktivitas Ari. Ternyata ia malah
mengamatiku. Aku berhenti di tengah, lalu kembali padanya dengan gaya yang
sama. “Ini gaya punggung,” kataku. “Kalau yang kayak kaki kamu tadi, namanya
gaya bebas. Tapi yang baik itu seperti ini…” Luncuranku menjauh lagi darinya
dengan kecipak lembut yang tidak membuat siapapun kecipratan. Aku kembali
dengan gaya yang sama. “Paling tenang itu gaya katak,” kataku lalu
menunjukkannya dengan bolak-balik seperti tadi. “Ada lagi namanya gaya
kupu-kupu,” kataku setelah kembali. Baru saja aku mau menampilkannya, ia malah
berusaha keluar dari kolam dengan menaiki palang besi. Ya sudahlah.
Ini
kesempatan untuk berenang bebas. Namun aku jadi tidak tenang. Setelah insiden
tadi, rasanya tidak pantas kalau aku memikirkan kepentinganku sendiri. Maka aku
pun keluar dari air, tentu saja dengan menggunakan tangga. Mungkin sebaiknya
aku ikut berjaga bersama Tante Ice saja. Sementara Tante Ice mengawasi dari
darat, akulah yang bertugas di kolam.
Ranselku
berada di samping kursi yang diduduki Tante Ice. Setelah minum beberapa teguk
air dari botolku sendiri, aku bermaksud menyusul anak-anak itu ke kolam lagi.
Mereka hendak main air di kolam dangkal—hanya setinggi lutut mereka. Namun
Tante Ice malah menahanku. “Duduk-duduk aja dulu Kak Bibe,” katanya.
Sempat
aku was-was. Jangan-jangan aku mau diperingatkan olehnya karena lalai dalam
menjaga cucu-cucunya.
“Capek
ya jagain anak-anak?” katanya lagi. Nada simpatiknya membuat perasaanku agak
lega.
“Enggak
juga kok Tan.”
“Makasih
ya Kak Bibe, udah mau jagain.”
Aku
mengangguk saja sambil tersenyum-senyum.
“Kak
Bibe punya adik berapa?”
Aku
menggeleng.
“Enggak
ada? Kakak?’
Aku
menggeleng lagi. “Saya anak tunggal, Tante.”
“Oo…”
Tante Ice manggut-manggut. “Sama kayak anak saya, berarti, itu… mamanya
anak-anak…” Ia menyelipkan beberapa helai-helai rambut lurusnya yang jatuh ke
balik daun telinga.
Pantas
saja aku tidak melihat ada wajah selain wajah Tante Ice, Om Radit, Tante Ri,
maupun Ari dan Vira dalam potret-potret yang tergantung di dinding rumahnya.
“Tapi
bisa ya dekat sama anak-anak. Pingin punya adik ya?”
Aku
tersenyum malu-malu. “Paling… ya… suka ngurus sepupu aja Tante,” kataku.
“Senang kok Tante, ada yang nemenin
anak-anak…”
“Cuman sebulan sekali Tante…”
“Enggak apa-apa.. Ari tuh terutama,
kan udah enggak mau deket sama kakeknya lagi.”
“Kenapa Tante?’ tanyaku pelan.
Tante Ice tersenyum kecil.
“Gara-gara mamanya disuruh nikah lagi.” Wanita itu memandangku. “Kak Bibe udah
tahu kan ya, papa-mamanya anak-anak udah enggak bareng lagi?”
Aku tidak mau tahu bagaimana caranya
ia tahu. Aku jadi tidak enak karena makin lama makin tahu banyak tentang hal
ini. Tante Ice mengusap-usap rambutnya.
“Kasihan lihat anak-anak jadi pada labil begitu. Enggak tahu kenapa, tahu-tahu
mamanya bilang mau pisah aja. Sama orangtuanya sendiri aja, enggak jelas cerita
sebabnya kenapa. Yah, macam-macamlah ya Kak Bibe, alasan orang pisah….”
“I…ya… Katanya Tante Ri udah ada
yang ngedeketin lagi, Tante…” Setelahnya aku merasa agak bersalah. Sepertinya
aku sudah mengkhianati kepercayaan Vira.
Tante Ice termenung sebentar. “Iya.
Dari dulu yang ngedeketin memang banyak, Kak Bibe. Tapi yang benar-benar
lengket ya sama papanya anak-anak itu… Sama dulu ada satu, sebelum papanya
anak-anak…”
Om Yan, tebakku.
“…dari pas SMA. Pacarannya kayak
yang udah mau serius aja, padahal masih SMA lo itu. Tapi emang, dari kecil kan
udah tahu, sama keluarganya juga udah kenal baik. Cuman ya… masalah waktu aja.
Pertimbangan lain kan juga banyak… Terus tahu-tahu pacarnya itu sekolah ke
Amerika. Pas kuliah katanya masih jalan, masih baik-baik aja, masih
telepon-teleponan. Hubungan sama keluarganya juga baik. Tapi anehnya itu lo,
Kak Bibe, enggak pernah mau balik… Betah anaknya itu di sana…
“Siapa Tante?”
“Ya itu… Si Yan itu…”
Nah, itu maksudku.
Lanjut Tante Ice, “Katanya baliknya
entar, kalau udah jadi orang. Tapi ya mamanya anak-anak keburu sama papanya
anak-anak. Udah jalan, empat tahun apa ya, terus mau nikah katanya. Ya aku
tanya emang sama si Yan itu udah putus? Katanya lama udah enggak kabar-kabaran
lagi. Disuruh kontak sama keluarganya juga enggak mau. Ya udah, Tante yang kasih
tahu…”
“Terus gimana Tante?”
“Padahal tadinya udah mau balik dia
itu, tapi tahu mamanya anak-anak mau nikah sama yang lain, lah enggak jadi.
Terus enggak tahu habis itu pernah pulang lagi apa enggak. Terakhir ketemu ya
pas ayahnya meninggal itu, tapi waktu itu masih sama anak saya…”
“Susah ya Tante, hubungan jarak
jauh.” Kucoba untuk bersimpati. Juga pada kakak-beradik yang sedang saling
menciprati itu.
Tante Ice memandangku. “Ya mungkin
emang belum jodoh aja… Tapi sekarang balikan lagi tuh. Kalau lagi enggak ada
acara sama anak-anak, bilangnya mau jalan sama yang itu, tapi suka enggak
bilang mau ke mana. Ah, kayak anak SMA aja…” Lututku ditoelnya.
Aku tersenyum. “CLBK kali Tante…”
Berharap
si tante cukup gaul untuk memahami istilah tersebut. Sepertinya iya, karena ia
tidak mengkonfirmasi, malah menjawab, “Iya, mungkin ya Kak Bibe.” Tangan Tante
Ice masih menempel di atas lututku yang ditopang lutut lainnya. “Tante sih
enggak masalah… Cuman ya itu Kak Bibe, kalau lihat anak-anak, rasanya gimana… Enggak
bisa lihat mama-papanya bareng lagi, enggak bisa sering-sering sama papanya
juga. Kalau mamanya mau nikah lagi juga, ya gimana, kayaknya belum pada bisa
nerima, padahal sudah berapa tahun ini… Pas papanya nikah lagi aja, ngamuknya
habis-habisan si Ari itu…” Pandangan Tante Ice menerawang. Seperti sesaat
pikirannya hilang. “…ah anak itu, eyangnya aja dikasari…” Keningnya berkerut.
“Sekarang sih udah mau ketemu lagi sama papanya. Sekali-sekali main juga,
ketemu sama istri papanya.”
“Kalau
Vira gimana Tante?”
“…mungkin
sebenarnya sama aja… Dia biasanya ikut-ikut kakaknya aja. Cuman kan Vira
anaknya lebih halus dan perasa ya Kak Bibe, enggak temperamen kayak kakaknya.”
Duh.
Aku memutuskan untuk netral saja ah. Di satu sisi, aku ingin Om Yan menikah
dengan Tante Ri lalu merasakan jadi ayah sesungguhnya. Tante Ri masih cukup
umur untuk melahirkan kan? Om Yan pasti bisa menjadi ayah yang baik juga buat
Ari dan Vira. Tapi di sisi lain, aku rasa aku bisa memahami keberatan
kakak-beradik itu atas perpecahan keluarga mereka.
Kami
mengobrol terus, tapi untunglah bukan tentang masalah keluarga itu lagi, sampai
sejoli kakak-beradik datang dengan bantalan jemari yang sudah mengeriput.
“Vira
mau dimandiin eyang atau sama Kak Bibe?” tanya Tante Ice.
“Mandi
sendiri dong, Yang!” Vira mengambil handuk dari eyangnya. Lalu aku dan dia
bergandengan tangan menuju tempat bilas.
“Kak
Bibe pintar renang ya?” tanyanya.
“Dulu
Kak Bibe les soalnya, Vira.”
“Oo…”
“Vira
mau les juga enggak? Biar pintar renang?”
Ia
menggeleng. “Enggak ah. Vira enggak favorit renang.”
“Tahu
enggak, gimana caranya papaku bisa renang?”
“Gimana?”
Nenekku
membiasakan Papa berenang sejak kecil. Namun Papa tidak kunjung mahir. Suatu
kali, nenekku sengaja mendorong Papa ke kolam dalam. Setelah beberapa lama membiarkan
putranya megap-megap, barulah Nenek mengangkat Papa ke darat. Sejak itu Ali
kecil bertekad kuat untuk bisa berenang.
“Tadi
Kak Ari digituin juga ya Kak?”
Ah
tidak. Itu sih murni inisiatifnya. Dasar pencari perkara.
Biasanya
aku pulang sendiri dari rumah eyangnya Vira. Namun kali ini aku diantar sampai
jalanan seberang gang menuju rumahku. Tentu saja tadinya aku ingin diantar ke
rumah Tante As saja, namun Tante As tidak di rumah akhir minggu ini. Dan ia
bukan tipe orang yang akan meninggalkan kunci pintu rumah di bawah karpet atau
pot.
“Mana rumahnya Kak Bibe?” tanya Vira
begitu mobil yang dikemudikan Tante Ice ini berhenti di seberang jalan. Ia
menurunkan jendela di sampingnya, berkali-kali melongok keluar.
“Masih masuk lagi ke dalam…” kataku
sambil membuka pintu.
“Kapan-kapan boleh main?” Matanya
membesar.
Jangan…
“Iya, kapan-kapan ya,” sahutku lalu
menutup pintu. Akan kuajak mereka main kalau jalanan di depan rumah kami sudah
melebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar