“Be, solat bareng yuk.”
“Udah tadi, Papa.”
“Solat lagi!”
“Ye!”
Petang itu aku hanya berdua papaku
di rumah. Mama sedang main ke rumah Uwak Tata. Itu tandanya, kami bakal punya penganan
lezat nanti malam. Uwak Tata suka masak. Ia rajin mencari resep baru untuk ia
praktikkan di waktu senggangnya. Bilangnya mau bantu, tapi biasanya Mama hanya
wira-wiri mengekor Uwak Tata ke sana ke mari sampai masakan Uwak Tata jadi.
Lalu Uwak Tata akan membungkuskan sebagian untuk Mama bawa pulang.
Mamaku membawa laptopnya serta, jadi
aku pinjam punya Papa. Ukurannya lebih besar dan hiburan di dalamnya lebih
beragam. Tapi aku tidak boleh menyimpan apapun yang menurutnya tidak penting di
sana. Arsipnya selalu bertambah jadi ia tidak mau kapasitas laptopnya terisi
kesia-siaan.
Seperti biasa, posisi favoritku saat
main laptop adalah duduk di lantai, meja rendah di atas kaki, sementara
punggung bersandar di sofa. Aku merasakan Papa duduk di belakangku, di atas
sofa. Ia meraih sejumput rambut lurus sebahuku, lalu mengelus-elusnya, entah.
“Habis creambath lagi sama Tante
As?”
“Iya.”Aduh, ia pasang apa sih ke
rambutku? “Halus ya? Harum ya?”
“Bibe jilbaban dong kayak Mama…”
Ia mengambil lagi sejumput rambutku.
Terserah deh mau diapakan.
“Enggak mau kayak Mama. Pake
jilbabnya berantakan.”
“Terus maunya kayak gimana?”
“Yang rapi, yang cantik.”
“Kapan tuh Papa bisa lihat Bibe
pakai jilbab yang rapi, yang cantik?”
“Enggak tahu deh.”
Sembari memberiku kuliah agama,
sepertinya Papa telah membuat rambutku jadi pancuran nonartistik ke berbagai
arah mata angin.
“Terus kapan kamu mau putusin
pacaran kamu, siapa itu, si Nobita?”
“No-baaa… Noba Dinowan.”
“Iya, Noba Nobita.”
“Itu mah Nobi!” Biasanya aku
melanjutkan dengan, “suatu saat pasti aku putusin kok Pa.” Aku sendiri tidak
tahu bagaimana enaknya mengakhiri hubungan ini. Aku masih menyapanya dengan
“hai, cowok!” sedang ia juga masih menyapaku dengan “hai, cewek!”
Pacar mana coba yang tanya sama
pasangannya, “Pacaran itu ngapain aja sih, Be?”
Aku menjawab dengan bingung, “Enggak
tahu. Aku juga baru pertama kali.” Kadang aku cubit kedua pipinya saking gemas
dengan tingkah polosnya.
Setidaknya ia sama tinggi dengan
papaku, tapi lebih putih dan menawan. Dulu ia adik kelasku, tapi sekarang kami
satu angkatan.
Aku sendiri sama bodoh dengannya.
Setelah beberapa kali curhat tentang kecengannya, ia baru menanyakan perasaanku
akan ini sekalian minta maaf kalau aku tersinggung. Aku malah balik tanya,
“Harus cemburu ya?”
“…harus,” ia menjawab, meski pasti
ia tidak mau kalau aku benar-benar marah padanya.
“Harus ngelabrak ya?”
“He he…”
Di lain waktu, ketika ingat dan
sempat, aku mendatangi kecengannya di kelas cewek itu.
Bibe si (mantan) kakak kelas sangar:
usia lebih tua; punya bekas jahitan; mengulang kelas; menyimpan sabuk hitam
karate; dan pernah hampir tiap Minggu pagi menari di RRI…
Aku bilang pada cewek itu kalau Noba
adalah cowok yang baik—kalau kata ini bisa disinonimkan dengan “polos”. Maka
cowok ini ingin pacaran agar ia bisa termotivasi untuk menjadi insan yang lebih
baik lagi, apalagi kalau pacarnya seperti si cewek.
Lalu aku bilang pada Noba kalau
semua beres. Aku harap ia lekas bersikap tegas pada cewek itu—yang mana
menegaskan pula kalau hubunganku dengannya dalam status “pacaran” sudah sirna.
Tapi aku tidak mau begitu saja
terkesan jadi anak-baik-Papa. “Ah bilang aja enggak boleh pacaran karena enggak
ada di agama.”
“Agama juga yang ngajarin untuk
rasional.” Papa melepas genggamannya dari rambutku. Nadanya melunak. “Untuk apa
buang tenaga dan waktu cuman untuk perasaan-perasaan yang enggak perlu?”
“Jangan ngomong gitu, entar aku
beneran kayak gitu lo!” Senang dikhotbahi? Tidak, kan? “Papa juga pacaran dulu
kan sama Mama sebelum nikah?”
“Papa enggak pernah minta Mama jadi
pacar Papa, tanya Mama.”
“Lah, emang sering jalan bareng itu
bukannya kelakuannya orang pacaran?” Aku
tahu…
“Kalau mau nikah kan harus dekat
dulu, gitu lo Be.” Suara Papa jadi kasar lagi. Ia mainkan lagi pula kunciranku
yang ia buat.
“Emang pas jalan bareng itu udah
kepikiran bakal nikah?” Papa tidak menjawab. Aku tanya lagi mengapa ia mau
menikah dengan Mama. “Mama kan aneh, Pa.”
“Heh!”
Kusadari bahwa biar kini aku jadi
lebih sering melihat Papa di rumah, namun itu tidak membuat perbincangan kami
tambah berkualitas.
“Blog kok isinya gambar doang…”
Perhatian Papa sudah ikut teralih ke layar laptop. Tapi nadanya masih terdengar
menggerutu. Dan yang membuatnya begitu adalah karena ia tahu halaman yang
sedang terbuka adalah milikku. Ada tulisan “Biang Beres” di pojok kiri
sebagaimana aku sering mengumandangkan jargonku pada orang-orang, “Bibe kan si
biang beres!”
“Ini tumblr Pa, emang buat
ngakomodasi gambar, enggak perlu tulisan panjang-panjang, yang penting ngena.
Generasi sekarang tuh cuman butuh sedikit disepet kayak gini!” repetku tanpa
beri ia kesempatan menyela.
Tidak semua orang bisa seperti
papaku yang bisa membuat tulisan panjang secara rutin lalu mendapat rentetan
komentar panjang—bahkan dari orang-orang yang sesungguhnya tak dikenal. Blog
papaku memuakkan.
“Cuma reblog-reblog gitu, ngambil
dari punya orang lain kan? Kreatiflah. Bikin gambar sama tulisan sendiri.”
“Ih!”
“Nulis kok dikit-dikit. Minimal 2500
kata per hari, gitu. Gantian Be, Papa mau ngerjain tugas.”
Seketika aku meloncat ke sofa,
bersila di sampingnya. “Gimana aku mau nulis banyak-banyak, kalau laptop aja
aku enggak punya…” Kalaupun pernah ada komputer lain di rumah ini, itu punya
Tante As dan aku tidak bisa menggunakannya kapanpun aku mau. “Kapan aku punya
laptop sendiri? HP-ku aja enggak bagus. Enggak pernah naik mobil kepunyaan
sendiri…”
“Ya entar, bangun rumah yang ada
garasinya dulu… Rumah di gang, mau punya mobil gimana…” gerutunya pelan.
Dan
di akhir cerita aku akan kena azab karena telah merongrong orangtua yang tidak
memberiku kemudahan duniawi.
“Lah biasanya Bibe pakai laptop
punya siapa?” Setelah membuka beberapa file, Papa menoleh padaku yang masih
mengerucutkan bibir.
“Ya punya siapa aja, yang enggak
kepakai!”
“Entar dibeliin laptop tahunya cuman
buat hiburan?”
“Ya udah, selamanya aku enggak punya
kesempatan buat nulis banyak-banyak.”
“Maunya laptop yang kayak gimana?”
“Yang baru, enggak mau yang seken.
Yang mahal.” Aku menyebut sebuah merek yang tenar karena kemahalannya.
“Ah kamu,” Papa berdecak, “yang
dilihat tuh kualitas, bukan harganya.”
Mungkin Papa memang ada niat untuk
membelikanku. Ia hanya ingin mengujiku saja. Aku mendapatkan benda merah tipis
itu di atas meja belajarku pada beberapa petang berikutnya. Charger-nya,
tasnya—semua menerbitkan kegiranganku. Satu yang paling kuharapkan adalah
kapasitas benda ini sanggup memuat koleksi hiburanku yang selama ini tersimpan
di milik Mama.
Mereknya memang tidak sesuai dengan
yang aku dambakan, tapi konon yang satu ini kualitasnya oke juga. Merek sejuta
umat. Biar ukuran mini, yang penting kapasitas maksi. Aku tak sabar untuk
mengeceknya. Aku meyakinkan diriku sendiri kalau benda ini memang menguarkan
bau toko, bukan apapun yang membuat benda ini jadi turun harga. Ketika aku
mengangkatnya, aku melihat secarik kertas bertulisan tangan Papa yang
bersambung-miring kanan.
Bibe, putri Papa,
Papa ambil lagi notebook ini kalau nanti terbukti Bibe malah tidak jadi
rajin menulis.
Ttd.
Papa
Ketika membaca isi beberapa carik
kertas yang menempel di pintu kulkas, aku jadi sebal dengan kesungguhan Papa
dalam menggugah kepenulisanku lagi. Kertas-kertas itu menampilkan beberapa
informasi mengenai sayembara menulis.
Waktu aku SD, aku memang rajin
mengirim puisi dan cerita pengalamanku ke sebuah majalah anak-anak atas
dorongan Papa. Papa senang sekali kalau tulisanku dimuat. Ia lalu meminta Mama
untuk menyimpannya. Ketika ia pulang, ia yang mengarsipkan. Waktu aku SMP, aku
sudah malas. Aku merasa majalah tersebut tidak untuk segmenku lagi.
Sesaat aku tercenung. Menulis fiksi
dan nonfiksi sama saja bagiku. Aku tidak biasa mengarang fiksi. Nonfiksi tanpa
riset bagai makan lalu dimuntahkan lagi dan bukannya dicerna lantas dikeluarkan
melalui dubur. Aku akan bikin memoar saja, sepertinya gampang, supaya papaku
tahu kalau hidupku bukan sekadar gambar dengan satu-dua kalimat menyentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar