Minggu, 06 November 2011

Menulis

            “Be, solat bareng yuk.”

            “Udah tadi, Papa.”

            “Solat lagi!”

            “Ye!”

            Petang itu aku hanya berdua papaku di rumah. Mama sedang main ke rumah Uwak Tata. Itu tandanya, kami bakal punya penganan lezat nanti malam. Uwak Tata suka masak. Ia rajin mencari resep baru untuk ia praktikkan di waktu senggangnya. Bilangnya mau bantu, tapi biasanya Mama hanya wira-wiri mengekor Uwak Tata ke sana ke mari sampai masakan Uwak Tata jadi. Lalu Uwak Tata akan membungkuskan sebagian untuk Mama bawa pulang.

            Mamaku membawa laptopnya serta, jadi aku pinjam punya Papa. Ukurannya lebih besar dan hiburan di dalamnya lebih beragam. Tapi aku tidak boleh menyimpan apapun yang menurutnya tidak penting di sana. Arsipnya selalu bertambah jadi ia tidak mau kapasitas laptopnya terisi kesia-siaan.

            Seperti biasa, posisi favoritku saat main laptop adalah duduk di lantai, meja rendah di atas kaki, sementara punggung bersandar di sofa. Aku merasakan Papa duduk di belakangku, di atas sofa. Ia meraih sejumput rambut lurus sebahuku, lalu mengelus-elusnya, entah.

            “Habis creambath lagi sama Tante As?”

            “Iya.”Aduh, ia pasang apa sih ke rambutku? “Halus ya? Harum ya?”

            “Bibe jilbaban dong kayak Mama…”

            Ia mengambil lagi sejumput rambutku. Terserah deh mau diapakan.

            “Enggak mau kayak Mama. Pake jilbabnya berantakan.”

            “Terus maunya kayak gimana?”

            “Yang rapi, yang cantik.”

            “Kapan tuh Papa bisa lihat Bibe pakai jilbab yang rapi, yang cantik?”

            “Enggak tahu deh.”

            Sembari memberiku kuliah agama, sepertinya Papa telah membuat rambutku jadi pancuran nonartistik ke berbagai arah mata angin.

            “Terus kapan kamu mau putusin pacaran kamu, siapa itu, si Nobita?”

            “No-baaa… Noba Dinowan.”

            “Iya, Noba Nobita.”

            “Itu mah Nobi!” Biasanya aku melanjutkan dengan, “suatu saat pasti aku putusin kok Pa.” Aku sendiri tidak tahu bagaimana enaknya mengakhiri hubungan ini. Aku masih menyapanya dengan “hai, cowok!” sedang ia juga masih menyapaku dengan “hai, cewek!”

            Pacar mana coba yang tanya sama pasangannya, “Pacaran itu ngapain aja sih, Be?”

            Aku menjawab dengan bingung, “Enggak tahu. Aku juga baru pertama kali.” Kadang aku cubit kedua pipinya saking gemas dengan tingkah polosnya.

            Setidaknya ia sama tinggi dengan papaku, tapi lebih putih dan menawan. Dulu ia adik kelasku, tapi sekarang kami satu angkatan.

            Aku sendiri sama bodoh dengannya. Setelah beberapa kali curhat tentang kecengannya, ia baru menanyakan perasaanku akan ini sekalian minta maaf kalau aku tersinggung. Aku malah balik tanya, “Harus cemburu ya?”

            “…harus,” ia menjawab, meski pasti ia tidak mau kalau aku benar-benar marah padanya.

            “Harus ngelabrak ya?”

            “He he…”

            Di lain waktu, ketika ingat dan sempat, aku mendatangi kecengannya di kelas cewek itu. 

            Bibe si (mantan) kakak kelas sangar: usia lebih tua; punya bekas jahitan; mengulang kelas; menyimpan sabuk hitam karate; dan pernah hampir tiap Minggu pagi menari di RRI…

            Aku bilang pada cewek itu kalau Noba adalah cowok yang baik—kalau kata ini bisa disinonimkan dengan “polos”. Maka cowok ini ingin pacaran agar ia bisa termotivasi untuk menjadi insan yang lebih baik lagi, apalagi kalau pacarnya seperti si cewek.

            Lalu aku bilang pada Noba kalau semua beres. Aku harap ia lekas bersikap tegas pada cewek itu—yang mana menegaskan pula kalau hubunganku dengannya dalam status “pacaran” sudah sirna.

            Tapi aku tidak mau begitu saja terkesan jadi anak-baik-Papa. “Ah bilang aja enggak boleh pacaran karena enggak ada di agama.”

            “Agama juga yang ngajarin untuk rasional.” Papa melepas genggamannya dari rambutku. Nadanya melunak. “Untuk apa buang tenaga dan waktu cuman untuk perasaan-perasaan yang enggak perlu?”

            “Jangan ngomong gitu, entar aku beneran kayak gitu lo!” Senang dikhotbahi? Tidak, kan? “Papa juga pacaran dulu kan sama Mama sebelum nikah?”

            “Papa enggak pernah minta Mama jadi pacar Papa, tanya Mama.”

            “Lah, emang sering jalan bareng itu bukannya kelakuannya orang pacaran?” Aku tahu…

            “Kalau mau nikah kan harus dekat dulu, gitu lo Be.” Suara Papa jadi kasar lagi. Ia mainkan lagi pula kunciranku yang ia buat.

            “Emang pas jalan bareng itu udah kepikiran bakal nikah?” Papa tidak menjawab. Aku tanya lagi mengapa ia mau menikah dengan Mama. “Mama kan aneh, Pa.”

            “Heh!”

            Kusadari bahwa biar kini aku jadi lebih sering melihat Papa di rumah, namun itu tidak membuat perbincangan kami tambah berkualitas.

            “Blog kok isinya gambar doang…” Perhatian Papa sudah ikut teralih ke layar laptop. Tapi nadanya masih terdengar menggerutu. Dan yang membuatnya begitu adalah karena ia tahu halaman yang sedang terbuka adalah milikku. Ada tulisan “Biang Beres” di pojok kiri sebagaimana aku sering mengumandangkan jargonku pada orang-orang, “Bibe kan si biang beres!”

            “Ini tumblr Pa, emang buat ngakomodasi gambar, enggak perlu tulisan panjang-panjang, yang penting ngena. Generasi sekarang tuh cuman butuh sedikit disepet kayak gini!” repetku tanpa beri ia kesempatan menyela.

            Tidak semua orang bisa seperti papaku yang bisa membuat tulisan panjang secara rutin lalu mendapat rentetan komentar panjang—bahkan dari orang-orang yang sesungguhnya tak dikenal. Blog papaku memuakkan.

            “Cuma reblog-reblog gitu, ngambil dari punya orang lain kan? Kreatiflah. Bikin gambar sama tulisan sendiri.”

            “Ih!”

            “Nulis kok dikit-dikit. Minimal 2500 kata per hari, gitu. Gantian Be, Papa mau ngerjain tugas.”

            Seketika aku meloncat ke sofa, bersila di sampingnya. “Gimana aku mau nulis banyak-banyak, kalau laptop aja aku enggak punya…” Kalaupun pernah ada komputer lain di rumah ini, itu punya Tante As dan aku tidak bisa menggunakannya kapanpun aku mau. “Kapan aku punya laptop sendiri? HP-ku aja enggak bagus. Enggak pernah naik mobil kepunyaan sendiri…”

            “Ya entar, bangun rumah yang ada garasinya dulu… Rumah di gang, mau punya mobil gimana…” gerutunya pelan.

Dan di akhir cerita aku akan kena azab karena telah merongrong orangtua yang tidak memberiku kemudahan duniawi.

            “Lah biasanya Bibe pakai laptop punya siapa?” Setelah membuka beberapa file, Papa menoleh padaku yang masih mengerucutkan bibir.

            “Ya punya siapa aja, yang enggak kepakai!”

            “Entar dibeliin laptop tahunya cuman buat hiburan?”

            “Ya udah, selamanya aku enggak punya kesempatan buat nulis banyak-banyak.”

            “Maunya laptop yang kayak gimana?”

            “Yang baru, enggak mau yang seken. Yang mahal.” Aku menyebut sebuah merek yang tenar karena kemahalannya.

            “Ah kamu,” Papa berdecak, “yang dilihat tuh kualitas, bukan harganya.”

            Mungkin Papa memang ada niat untuk membelikanku. Ia hanya ingin mengujiku saja. Aku mendapatkan benda merah tipis itu di atas meja belajarku pada beberapa petang berikutnya. Charger-nya, tasnya—semua menerbitkan kegiranganku. Satu yang paling kuharapkan adalah kapasitas benda ini sanggup memuat koleksi hiburanku yang selama ini tersimpan di milik Mama.

            Mereknya memang tidak sesuai dengan yang aku dambakan, tapi konon yang satu ini kualitasnya oke juga. Merek sejuta umat. Biar ukuran mini, yang penting kapasitas maksi. Aku tak sabar untuk mengeceknya. Aku meyakinkan diriku sendiri kalau benda ini memang menguarkan bau toko, bukan apapun yang membuat benda ini jadi turun harga. Ketika aku mengangkatnya, aku melihat secarik kertas bertulisan tangan Papa yang bersambung-miring kanan. 

 

Bibe, putri Papa,

Papa ambil lagi notebook ini kalau nanti terbukti Bibe malah tidak jadi rajin menulis.

 

Ttd.

Papa

 

            Ketika membaca isi beberapa carik kertas yang menempel di pintu kulkas, aku jadi sebal dengan kesungguhan Papa dalam menggugah kepenulisanku lagi. Kertas-kertas itu menampilkan beberapa informasi mengenai sayembara menulis.

            Waktu aku SD, aku memang rajin mengirim puisi dan cerita pengalamanku ke sebuah majalah anak-anak atas dorongan Papa. Papa senang sekali kalau tulisanku dimuat. Ia lalu meminta Mama untuk menyimpannya. Ketika ia pulang, ia yang mengarsipkan. Waktu aku SMP, aku sudah malas. Aku merasa majalah tersebut tidak untuk segmenku lagi.

            Sesaat aku tercenung. Menulis fiksi dan nonfiksi sama saja bagiku. Aku tidak biasa mengarang fiksi. Nonfiksi tanpa riset bagai makan lalu dimuntahkan lagi dan bukannya dicerna lantas dikeluarkan melalui dubur. Aku akan bikin memoar saja, sepertinya gampang, supaya papaku tahu kalau hidupku bukan sekadar gambar dengan satu-dua kalimat menyentak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain