Selasa, 08 November 2011

Little Women

            Pencarian pertama yang kulakukan dengan laptop baruku—laptopku sendiri!—adalah mengenai keroncong. Sebelumnya aku sudah tahu kalau Keroncong Kemayoran terdiri dari banyak versi. Lain penyanyi, lain pula improvisasi terhadap lirik yang dinyanyikan. Selain versi asli lagu yang merupakan lagu khas Provinsi DKI Jakarta ini, yang aku dan Vira pernah bawakan di waktu lampau—dengan sedikit improvisasi dariku, ada juga versi Gesang maupun versi dwibahasa yang dibawakan Wieteke van Dort dan seorang pria yang aku belum tahu siapa.

            Ini membuatku lebih siap ketika Vira mengajakku menginap lagi di rumah eyangnya. Saat itu sudah sekitar sebulan lagi menuju Ramadhan.

            Malam itu Vira menuntunku lagi menuju kamar yang sama seperti sebelumnya. Namun tidak seperti sebelumnya, pencahayaan di dalam rumah lebih terang karena lampu-lampu utama dinyalakan.

Bahkan pada ruangan yang waktu itu hanya diterangi cahaya dari TV dan joystick, kali ini terang seutuhnya. Dengan jelas aku melihat anak laki-laki itu, kakaknya Vira. Tante Ri bersila di sebelahnya. Ia menyendokkan nasi dan potongan lauk dari piring di pangkuannya ke dalam mulut anak itu. Aku tidak tahu berapa usianya. Aku yakin adiknya sudah tidak harus disuapi lagi. Bocah itu terlalu larut dalam game.                            

“Oh ya, Kak Bibe belum kenalan sama Kak Ari ya?” Vira mendongak padaku. Ia menyeretku mendekati kakaknya.

Wanita itu menyuap makanan ke mulutnya sendiri dengan sendok yang sama dari piring yang sama. Ketika melihatku, ia tersenyum. Pipinya tidak terlihat gembung. “Wah, Kak Bibe mau nginep lagi?”

“Iya, Tante…” Aku menyengir.

Vira menepuk pundak Ari beberapa kali seraya memanggil namanya. Aku curiga kakaknya Vira ini autis. Anak itu menoleh. Gerakan alisnya menunjukkan kalau ia terusik, namun segera menghilang ketika adiknya bicara, “Kak, kenalin ini Kak Bibe.”

“Ayo, Ari, di-pause dulu bentar…” Kepala Tante Ri mendekat ke arah bocah itu.

Kepala bocah itu tengadah. Kuduga ia masih SD tingkat akhir atau SMP tingkat awal. Ia memandangku seolah aku orang asing—meski itu benar. Parasnya menyerupai Tante Ri.

Aku membungkuk lalu mengulurkan tangan. Ia menyambutnya. “Bibe…” kataku seramah mungkin. Lepas tangannya dari tanganku, lepas juga tatapan asingnya yang mengarah kembali ke layar TV. Permainan berlanjut. Ia bahkan tidak balas menyebut namanya.

“Eh… Sayang, ayo kenalannya yang baik. Namanya siapa, ayo kenalan yang baik sama Kak Bibe ya.” Tante Ri mengguncang pelan pundak Ari.

“Kan tadi Mama udah sebut nama aku,” rajuk bocah itu.

“Ayo Sayang…” Tante Ri mengangkat tangan ketika lengan dan pundak Ari bergerak-gerak hendak menggusah tangan tersebut disertai geraman.

Tante Ri menghembus nafas. Matanya naik ke arahku. “Maaf  ya Kak Bibe.”

“Enggak apa-apa Tante…” Tubuhku tegak lagi. Aku coba memaklumi tabiat anak laki-laki sepantaran Ari. Para bocah Uwak Tata juga sukar diatur.

Tapi Vira tidak suka. Ia memukul bagian atas punggung Ari. “Kak Ari jelek!” Lengan Ari balas menghalau tangan Vira yang sudah menjauh. “Kak Bibe, langsung ke kamar aja yuk…”

“Kak Bibenya sudah makan belum, Vira?” Suara Tante Ri yang kian jauh terdengar merdu.

“Kak Bibe udah makan?’ Sambil tetap jalan, Vira berbalik. Aku jawab sudah.

Sampai di kamar itu lagi. Vira yang menyalakan lampu, namun rupanya ia hanya hendak mengantarku. “Kak, aku ganti baju tidur dulu ya.” Air mukanya sudah kembali ceria. Betapa enaknya menjadi anak-anak.

Lagi, aku merasa kasihan pada anak itu. Kedua orangtuanya sudah berpisah, kakaknya autis… Kedua eyangnya tampak perhatian namun kemewahan ini hanya mengungkung jiwa gadis kecil nan malang itu.

Kutunggu Vira cukup lama. Kukira aku akan tidur sendirian saja. Sambil berbaring, aku khayalkan diriku punya kamar sebesar ruangan ini. Setelah aku kembali dari menggosok gigi di kamar mandi, Vira sudah duduk di atas kasur. Baju tidurnya berupa terusan dengan lengan gembung yang mengerut. Ujung terusannya semi lipit, dengan ringan akan terangkat apabila anak itu berputar. Rambutnya yang halus keriting mi tergerai.

Aku berencana untuk mengenalkan Wieteke van Dort padanya besok pagi saja—semoga kami punya cukup waktu untuk bersama. Namun tidak seperti malam menginap sebelumnya, persiapanku kali ini matang dan aku tidak akan membiarkan malam ini berlalu begitu saja meski aku sudah mengantuk berat. Malam menginap seharusnya jadi momen berkesan. Meski hanya diisi dengan perbincangan sebelum tidur belaka, maka perbincangan tersebut haruslah berkesan. Aku akan mengajarkannya bagaimana menghabiskan malam menginap yang berkualitas.

Aku akan memberi pengantar tidur yang indah: novel favoritku.

Saat kami memosisikan tubuh kami agar nyaman, sekadar basa-bisa aku sempat bertanya pada Vira. “Kak Ari itu kelas berapa, Vira?”

“Kelas VIII. Dia aksel lo, Kak.”

Aku kira ia sekolah di SLB. Tapi aksel ya, ya mungkin pantas, ha ha.

“Padahal dia nge-game terus, tapi nilai-nilainya enggak pernah jelek…”

“Oh ya? Vira juga gitu kan?”

Vira menggeleng. “Enggak… Vira enggak pinter kayak Kak Ari…”

Ia juga sepertinya bukan anak yang gemar membaca. Ia tidak tahu tentang novel yang aku bawa. Bacaan kesukaannya hanya sebuah majalah untuk anak perempuan. Ia harus tahu bahwa ada yang lebih indah dari sekadar gaun para putri dan peri-peri.

Aku ingin membacakannya dua bab dari novel favoritku ini.

Bab pertama, bab keempat sebetulnya, adalah mengenai keempat saudari March yang menceritakan pengalaman mereka pada suatu hari pada ibu mereka—mereka menyebutnya Marmee. Giliran Marmee bercerita, Marmee membalikkan cerita para putrinya dengan menambahkan hikmah yang bisa diambil dari situ. Sangat menyentuh.

Bab kedua, bab kesebelas sebetulnya, adalah mengenai keempat saudari March yang ingin menghabiskan satu minggu dalam liburan mereka dengan mengerjakan hanya hal-hal yang mereka sukai. Belum sampai seminggu, mereka mengalami kebosanan. Mereka menyadari bahwa kenikmatan dari hal-hal yang mereka sukai itu bisa diperoleh karena mereka tidak sepanjang waktu mendapatkannya. Bekerja membuat kesenangan terasa lebih berarti. Sangat menohok.

“Little Women” adalah novel favoritku sepanjang masa. Ketika membacanya, aku mengidentikkan diriku dengan Margaret March yang cantik, baik hati, dan menyukai kemewahan. Karakter yang tepat untuk Vira mungkin Beth March yang feminin dan lembut.

Banyak pelajaran yang bisa diambil dari novel ini. Aku tidak mengerti mengapa Mama malah menggemari “The Catcher in the Rye”. Menurutku novel satu itu hanya mendorong pembacanya untuk merutuki segala sesuatu—aku tidak membacanya sampai habis karena malas dengan bahasanya yang relatif kasar. Memang Jo March mamaku itu: aneh, serampangan, dan suka seenaknya. Mungkin Jo March akan menyukai “The Catcher in the Rye” juga kalau novel itu sudah terbit pada masanya.

Malah mataku sendiri yang sudah minta dipejamkan. Jadi begitu Bab 4 usai dibaca, novel itu aku tutup. Vira mengangkat tubuhnya yang sedari tadi bersandar padaku.”Enak ya Kak, punya banyak saudara di rumah…” ujarnya.

“Iya,” sahutku. Kantukku berkurang sedikit meski kepalaku tetap terasa berat.

“Kak Bibe punya berapa saudara?” tanyanya.

“Kakak anak satu-satunya.”

“Oh…” Ia termenung. “Sepi ya Kak? Aku berdua sama Kak Ari aja suka sepi.”

Sebetulnya tidak juga. Hampir sepanjang hidupku, aku menghabiskan banyak waktu di luar rumah yang mana itu membuatku bertemu banyak orang juga.

“Atau… Gimana kalau Vira aja yang jadi adiknya Kak Bibe?” Akhirnya aku mengatakannya juga—hal yang sebenarnya aku ingin sampaikan sejak lama.

Ia mengangguk beberapa kali dengan antusias. “Kak Bibe mau jadi kakakku?”

Aku balas mengangguk-angguk. “Sisterhood hug…” Aku merentangkan lengan lalu menangkapnya. Ia tergelak.

“Vira, Vira besok ikut Kak Bibe pulang ya? Kan udah jadi adiknya Kak Bibe…” Aku memeluknya dengan gemas. Ia kegelian.

“Enggak! Kak Bibe aja yang ikut Vira pulang ke Jakarta…”

Malam yang begitu indah bagiku. Kami tidur berhadapan. Sambil memandang wajahnya, aku bayangkan jika aku benar-benar punya adik secantik dia. Aku ingin bisa membuat hidupnya lebih bahagia.

Rupanya aku sudah terlelap. Samar-samar aku mendengar suara tilawah lagi. Begitu kencang, tapi melenakan. Merdu sungguh. Namun aku lebih memilih untuk melanjutkan tidur. Lagi-lagi aku bangun kesiangan. Vira bangun tidak lama saat aku dalam proses mengumpulkan kesadaran.

“Vira, solat yuk.”

“Solat apa Kak, udah siang gini?” Ia menguap. Rambutnya berantakan.

“Solat subuh.”

“Ih, Kakak… Sekarang kan udah enggak subuh lagi?” Matanya menyipit ke arah tirai yang menahan terang cahaya matahari.

“Solat duha,” kilahku, cepat-cepat bangkit untuk berwudu. Vira diam saja di atas kasur. Ia sedang tidur-tiduran ketika aku kembali. Lepas solat, aku bertanya padanya, “Eh, aku suka denger ada yang ngaji pagi-pagi…”—meski aku baru dua kali menginap di rumah ini.

“Oh, itu pasti Kak Ari.” Ia mengubah posisi. Terlihat begitu bangga ketika berkata, “Kak Ari pernah juara azan. MTQ juga pernah.”

Aku kira ada yang sengaja menyetel kaset atau CD atau mp3… Atau mungkin itu anaknya pembantu rumah.

Anak laki-laki itu selalu solat subuh tepat waktu (“Kakakku hebat lo. Bisa bangun subuh sendiri, enggak usah dibangunin lagi.”). Ekskulnya di sekolah hanya marawis—ia vokal utama.

Vira meloncat dari tempat tidur. Tampaknya ia hendak keluar kamar. Tiba-tiba ia membungkuk beberapa saat. “Kak, liat deh, ada kotoran cicak!” Ia menunjuk ketika aku mendekat. “Kata Kak Ari, cicak itu makannya cuman sebutir nasi. Kotorannya aja sebesar butiran nasi.”

Jadi yang dimasukkan sama dengan yang dikeluarkan, hanya ganti warna, begitu? Aku tidak menyangka anak aksel berlogika sedangkal itu. Seharusnya ia bisa berpikir lebih canggih, bukan? Tidak sekadar menganggap kotoran cicak sebagai butiran nasi berwarna hitam? Kalau begitu apa yang dimakan tokek di rumahku?! Tapi aku sukar percaya kalau-kalau Vira terlalu bangga pada kakaknya sampai membual yang tidak-tidak, atau ia ternyata bocah iseng yang doyan berkelakar, atau ia terlalu polos dan percaya apa saja yang kakaknya katakan—kakaknya yang pembual, aku cenderung pada ini.

“Oh iya? Vira percaya?”

Vira tampak geli. “Kak Ari itu emang suka bercanda!” Ia berdiri lagi lalu meneruskan perjalanannya keluar kamar. Saat masih di ambang pintu, ia sempat memberitahuku, “Cita-cita Kak Ari jadi kiai…”

Pasti bercanda.

Saat sarapan, aku bisa melihat interaksi sesungguhnya di antara kakak-beradik itu. Keduanya duduk bersebelahan sedang aku di depan mereka. Vira mengulurkan lengan pada sang kakak. Ia menunjuk sebuah bentol di lengannya itu. Aku curiga bentol itu dibuat oleh nyamuk yang terbawa dari rumahku—pasti sembunyi dulu di ranselku.

Ari meraih lengan adiknya. “Kakak tusuk ya?” Vira mengangguk. Senyum tidak lepas dari wajah anak itu. Ari menekan-nekan bentol itu dengan ujung kuku. Ekspresinya jenaka—khas bocah. Vira tampak sangat menikmati. Manis sekali mereka!

Ketika mereka berhenti, ekspresi wajah Ari yang teralih dari wajah adiknya jadi dingin lagi. Kontras benar dengan semula. Serius, anak ini aneh. Ia ternyata bisa menyuapi dirinya sendiri. Ia juga sama sekali tidak menunjukkan perhatian padaku. Dan ia tidak kelihatan seperti anak yang suka bercanda.

Sempat khawatir aku tak akan dapat kesempatan memperkenalkan Wieteke van Dort padanya, namun itu tak terjadi. Ada taman di samping rumah dengan meja dan kursi-kursi di tepinya. Kami duduk di sana. Aku menancapkan sebelah earphone dari pemutar mp3-ku ke lubang telinganya, sedang sebelah lagi ke lubang telingaku sendiri. Aku pilih lagu yang ingin aku perdengarkan padanya pertama kali.

“Hah, ini kan Keroncong Kemayoran!” serunya. Senyumku melebar. Lalu muncul kernyitan di wajahnya. “Bahasanya jadi aneh, Kak?”

“Itu bahasa Belanda,” terangku.

Setelah lagu itu habis, ia sangat menikmatinya, aku menjelaskan tentang Wieteke van Dort padanya. Wanita keturunan Belanda itu lahir di Surabaya dan tinggal di Indonesia sampai umur 14 tahun. Setelah itu, karena kebijakan Presiden Soekarno, ia dan keluarganya hijrah ke Den Haag. Namun Indonesia selalu di hatinya. Lagu-lagunya tidak hanya berbahasa Belanda, namun juga berbahasa Indonesia, bahkan dwibahasa seperti versi lain Keroncong Kemayoran ini yang judulnya berganti jadi “Indung Sayang”.

“Nah, dengerin yang ini deh, Vira…” Aku beralih ke judul lain. Ia terperangah lagi setelah menyimak lirik lagu nan kocak tersebut. “Geef mij maar nasi goreng…” Aku ikut bernyanyi saat bagian itu tiba.  “Ini aku nyatet liriknya.” Aku sudah mempersiapkannya dalam  notes.

Senang melihat ia tertarik. Matanya memindai lalu ia ikut menyanyikan satu bagian dengan mengacu pada teks yang tertera. “Geen lontong, sate babai en niets smaakt hier pedis. Geen trassi, srundeng, bandeng en geen tahu petis. Kwee lapis, onde-onde, geen ketela of bapao. Geen ketan, geen gula jawa, daarom ja, ik zeg nou. Nanananananana…

“Aduh bahasa Belandaku jelek…!” keluhnya, tapi tampaknya ia senang sekali belajar bahasa baru.

Kami memutar lagu tersebut beberapa kali dan berusaha melafalkan teks sebagaimana penyanyinya. Tantangan bagi lidah, namun pelepas tawa yang menyegarkan. Vira bilang ia ingin menyanyikan lagu ini pada penampilannya di kesempatan berikut. Sayang sekali aku belum menemukan lirik dari “Indung Sayang”, padahal kan seru kalau kami bisa duet menyanyikannya di panggung Kedai Buncong. Sekilas aku melihat senyum Tante Ice saat menyaksikan keasyikan kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain