Pencarian pertama yang kulakukan
dengan laptop baruku—laptopku sendiri!—adalah mengenai keroncong. Sebelumnya
aku sudah tahu kalau Keroncong Kemayoran terdiri dari banyak versi. Lain
penyanyi, lain pula improvisasi terhadap lirik yang dinyanyikan. Selain versi
asli lagu yang merupakan lagu khas Provinsi DKI Jakarta ini, yang aku dan Vira
pernah bawakan di waktu lampau—dengan sedikit improvisasi dariku, ada juga
versi Gesang maupun versi dwibahasa yang dibawakan Wieteke van Dort dan seorang
pria yang aku belum tahu siapa.
Ini membuatku lebih siap ketika Vira
mengajakku menginap lagi di rumah eyangnya. Saat itu sudah sekitar sebulan lagi
menuju Ramadhan.
Malam itu Vira menuntunku lagi
menuju kamar yang sama seperti sebelumnya. Namun tidak seperti sebelumnya,
pencahayaan di dalam rumah lebih terang karena lampu-lampu utama dinyalakan.
Bahkan
pada ruangan yang waktu itu hanya diterangi cahaya dari TV dan joystick, kali
ini terang seutuhnya. Dengan jelas aku melihat anak laki-laki itu, kakaknya
Vira. Tante Ri bersila di sebelahnya. Ia menyendokkan nasi dan potongan lauk
dari piring di pangkuannya ke dalam mulut anak itu. Aku tidak tahu berapa
usianya. Aku yakin adiknya sudah tidak harus disuapi lagi. Bocah itu terlalu
larut dalam game.
“Oh
ya, Kak Bibe belum kenalan sama Kak Ari ya?” Vira mendongak padaku. Ia
menyeretku mendekati kakaknya.
Wanita
itu menyuap makanan ke mulutnya sendiri dengan sendok yang sama dari piring
yang sama. Ketika melihatku, ia tersenyum. Pipinya tidak terlihat gembung.
“Wah, Kak Bibe mau nginep lagi?”
“Iya,
Tante…” Aku menyengir.
Vira
menepuk pundak Ari beberapa kali seraya memanggil namanya. Aku curiga kakaknya
Vira ini autis. Anak itu menoleh. Gerakan alisnya menunjukkan kalau ia terusik,
namun segera menghilang ketika adiknya bicara, “Kak, kenalin ini Kak Bibe.”
“Ayo,
Ari, di-pause dulu bentar…” Kepala Tante Ri mendekat ke arah bocah itu.
Kepala
bocah itu tengadah. Kuduga ia masih SD tingkat akhir atau SMP tingkat awal. Ia
memandangku seolah aku orang asing—meski itu benar. Parasnya menyerupai Tante
Ri.
Aku
membungkuk lalu mengulurkan tangan. Ia menyambutnya. “Bibe…” kataku seramah mungkin.
Lepas tangannya dari tanganku, lepas juga tatapan asingnya yang mengarah
kembali ke layar TV. Permainan berlanjut. Ia bahkan tidak balas menyebut
namanya.
“Eh…
Sayang, ayo kenalannya yang baik. Namanya siapa, ayo kenalan yang baik sama Kak
Bibe ya.” Tante Ri mengguncang pelan pundak Ari.
“Kan
tadi Mama udah sebut nama aku,” rajuk bocah itu.
“Ayo
Sayang…” Tante Ri mengangkat tangan ketika lengan dan pundak Ari bergerak-gerak
hendak menggusah tangan tersebut disertai geraman.
Tante
Ri menghembus nafas. Matanya naik ke arahku. “Maaf ya Kak Bibe.”
“Enggak
apa-apa Tante…” Tubuhku tegak lagi. Aku coba memaklumi tabiat anak laki-laki
sepantaran Ari. Para bocah Uwak Tata juga sukar diatur.
Tapi
Vira tidak suka. Ia memukul bagian atas punggung Ari. “Kak Ari jelek!” Lengan
Ari balas menghalau tangan Vira yang sudah menjauh. “Kak Bibe, langsung ke
kamar aja yuk…”
“Kak
Bibenya sudah makan belum, Vira?” Suara Tante Ri yang kian jauh terdengar
merdu.
“Kak
Bibe udah makan?’ Sambil tetap jalan, Vira berbalik. Aku jawab sudah.
Sampai
di kamar itu lagi. Vira yang menyalakan lampu, namun rupanya ia hanya hendak
mengantarku. “Kak, aku ganti baju tidur dulu ya.” Air mukanya sudah kembali
ceria. Betapa enaknya menjadi anak-anak.
Lagi,
aku merasa kasihan pada anak itu. Kedua orangtuanya sudah berpisah, kakaknya
autis… Kedua eyangnya tampak perhatian namun kemewahan ini hanya mengungkung
jiwa gadis kecil nan malang itu.
Kutunggu
Vira cukup lama. Kukira aku akan tidur sendirian saja. Sambil berbaring, aku
khayalkan diriku punya kamar sebesar ruangan ini. Setelah aku kembali dari
menggosok gigi di kamar mandi, Vira sudah duduk di atas kasur. Baju tidurnya
berupa terusan dengan lengan gembung yang mengerut. Ujung terusannya semi
lipit, dengan ringan akan terangkat apabila anak itu berputar. Rambutnya yang
halus keriting mi tergerai.
Aku
berencana untuk mengenalkan Wieteke van Dort padanya besok pagi saja—semoga
kami punya cukup waktu untuk bersama. Namun tidak seperti malam menginap
sebelumnya, persiapanku kali ini matang dan aku tidak akan membiarkan malam ini
berlalu begitu saja meski aku sudah mengantuk berat. Malam menginap seharusnya
jadi momen berkesan. Meski hanya diisi dengan perbincangan sebelum tidur
belaka, maka perbincangan tersebut haruslah berkesan. Aku akan mengajarkannya
bagaimana menghabiskan malam menginap yang berkualitas.
Aku
akan memberi pengantar tidur yang indah: novel favoritku.
Saat
kami memosisikan tubuh kami agar nyaman, sekadar basa-bisa aku sempat bertanya
pada Vira. “Kak Ari itu kelas berapa, Vira?”
“Kelas
VIII. Dia aksel lo, Kak.”
Aku
kira ia sekolah di SLB. Tapi aksel ya, ya mungkin pantas, ha ha.
“Padahal
dia nge-game terus, tapi nilai-nilainya enggak pernah jelek…”
“Oh
ya? Vira juga gitu kan?”
Vira
menggeleng. “Enggak… Vira enggak pinter kayak Kak Ari…”
Ia
juga sepertinya bukan anak yang gemar membaca. Ia tidak tahu tentang novel yang
aku bawa. Bacaan kesukaannya hanya sebuah majalah untuk anak perempuan. Ia
harus tahu bahwa ada yang lebih indah dari sekadar gaun para putri dan
peri-peri.
Aku
ingin membacakannya dua bab dari novel favoritku ini.
Bab
pertama, bab keempat sebetulnya, adalah mengenai keempat saudari March yang
menceritakan pengalaman mereka pada suatu hari pada ibu mereka—mereka
menyebutnya Marmee. Giliran Marmee bercerita, Marmee membalikkan cerita para
putrinya dengan menambahkan hikmah yang bisa diambil dari situ. Sangat
menyentuh.
Bab
kedua, bab kesebelas sebetulnya, adalah mengenai keempat saudari March yang
ingin menghabiskan satu minggu dalam liburan mereka dengan mengerjakan hanya
hal-hal yang mereka sukai. Belum sampai seminggu, mereka mengalami kebosanan.
Mereka menyadari bahwa kenikmatan dari hal-hal yang mereka sukai itu bisa
diperoleh karena mereka tidak sepanjang waktu mendapatkannya. Bekerja membuat
kesenangan terasa lebih berarti. Sangat menohok.
“Little
Women” adalah novel favoritku sepanjang masa. Ketika membacanya, aku
mengidentikkan diriku dengan Margaret March yang cantik, baik hati, dan
menyukai kemewahan. Karakter yang tepat untuk Vira mungkin Beth March yang
feminin dan lembut.
Banyak
pelajaran yang bisa diambil dari novel ini. Aku tidak mengerti mengapa Mama
malah menggemari “The Catcher in the Rye”. Menurutku novel satu itu hanya
mendorong pembacanya untuk merutuki segala sesuatu—aku tidak membacanya sampai
habis karena malas dengan bahasanya yang relatif kasar. Memang Jo March mamaku
itu: aneh, serampangan, dan suka seenaknya. Mungkin Jo March akan menyukai “The
Catcher in the Rye” juga kalau novel itu sudah terbit pada masanya.
Malah
mataku sendiri yang sudah minta dipejamkan. Jadi begitu Bab 4 usai dibaca,
novel itu aku tutup. Vira mengangkat tubuhnya yang sedari tadi bersandar
padaku.”Enak ya Kak, punya banyak saudara di rumah…” ujarnya.
“Iya,”
sahutku. Kantukku berkurang sedikit meski kepalaku tetap terasa berat.
“Kak
Bibe punya berapa saudara?” tanyanya.
“Kakak
anak satu-satunya.”
“Oh…”
Ia termenung. “Sepi ya Kak? Aku berdua sama Kak Ari aja suka sepi.”
Sebetulnya
tidak juga. Hampir sepanjang hidupku, aku menghabiskan banyak waktu di luar
rumah yang mana itu membuatku bertemu banyak orang juga.
“Atau…
Gimana kalau Vira aja yang jadi adiknya Kak Bibe?” Akhirnya aku mengatakannya
juga—hal yang sebenarnya aku ingin sampaikan sejak lama.
Ia
mengangguk beberapa kali dengan antusias. “Kak Bibe mau jadi kakakku?”
Aku
balas mengangguk-angguk. “Sisterhood hug…” Aku merentangkan lengan lalu
menangkapnya. Ia tergelak.
“Vira,
Vira besok ikut Kak Bibe pulang ya? Kan udah jadi adiknya Kak Bibe…” Aku
memeluknya dengan gemas. Ia kegelian.
“Enggak!
Kak Bibe aja yang ikut Vira pulang ke Jakarta…”
Malam
yang begitu indah bagiku. Kami tidur berhadapan. Sambil memandang wajahnya, aku
bayangkan jika aku benar-benar punya adik secantik dia. Aku ingin bisa membuat
hidupnya lebih bahagia.
Rupanya
aku sudah terlelap. Samar-samar aku mendengar suara tilawah lagi. Begitu
kencang, tapi melenakan. Merdu sungguh. Namun aku lebih memilih untuk
melanjutkan tidur. Lagi-lagi aku bangun kesiangan. Vira bangun tidak lama saat
aku dalam proses mengumpulkan kesadaran.
“Vira,
solat yuk.”
“Solat
apa Kak, udah siang gini?” Ia menguap. Rambutnya berantakan.
“Solat
subuh.”
“Ih,
Kakak… Sekarang kan udah enggak subuh lagi?” Matanya menyipit ke arah tirai
yang menahan terang cahaya matahari.
“Solat
duha,” kilahku, cepat-cepat bangkit untuk berwudu. Vira diam saja di atas
kasur. Ia sedang tidur-tiduran ketika aku kembali. Lepas solat, aku bertanya
padanya, “Eh, aku suka denger ada yang ngaji pagi-pagi…”—meski aku baru dua
kali menginap di rumah ini.
“Oh,
itu pasti Kak Ari.” Ia mengubah posisi. Terlihat begitu bangga ketika berkata,
“Kak Ari pernah juara azan. MTQ juga pernah.”
Aku
kira ada yang sengaja menyetel kaset atau CD atau mp3… Atau mungkin itu anaknya
pembantu rumah.
Anak
laki-laki itu selalu solat subuh tepat waktu (“Kakakku hebat lo. Bisa bangun
subuh sendiri, enggak usah dibangunin lagi.”). Ekskulnya di sekolah hanya
marawis—ia vokal utama.
Vira
meloncat dari tempat tidur. Tampaknya ia hendak keluar kamar. Tiba-tiba ia
membungkuk beberapa saat. “Kak, liat deh, ada kotoran cicak!” Ia menunjuk
ketika aku mendekat. “Kata Kak Ari, cicak itu makannya cuman sebutir nasi.
Kotorannya aja sebesar butiran nasi.”
Jadi
yang dimasukkan sama dengan yang dikeluarkan, hanya ganti warna, begitu? Aku
tidak menyangka anak aksel berlogika sedangkal itu. Seharusnya ia bisa berpikir
lebih canggih, bukan? Tidak sekadar menganggap kotoran cicak sebagai butiran
nasi berwarna hitam? Kalau begitu apa yang dimakan tokek di rumahku?! Tapi aku
sukar percaya kalau-kalau Vira terlalu bangga pada kakaknya sampai membual yang
tidak-tidak, atau ia ternyata bocah iseng yang doyan berkelakar, atau ia
terlalu polos dan percaya apa saja yang kakaknya katakan—kakaknya yang pembual,
aku cenderung pada ini.
“Oh
iya? Vira percaya?”
Vira
tampak geli. “Kak Ari itu emang suka bercanda!” Ia berdiri lagi lalu meneruskan
perjalanannya keluar kamar. Saat masih di ambang pintu, ia sempat
memberitahuku, “Cita-cita Kak Ari jadi kiai…”
Pasti
bercanda.
Saat
sarapan, aku bisa melihat interaksi sesungguhnya di antara kakak-beradik itu.
Keduanya duduk bersebelahan sedang aku di depan mereka. Vira mengulurkan lengan
pada sang kakak. Ia menunjuk sebuah bentol di lengannya itu. Aku curiga bentol
itu dibuat oleh nyamuk yang terbawa dari rumahku—pasti sembunyi dulu di
ranselku.
Ari
meraih lengan adiknya. “Kakak tusuk ya?” Vira mengangguk. Senyum tidak lepas
dari wajah anak itu. Ari menekan-nekan bentol itu dengan ujung kuku.
Ekspresinya jenaka—khas bocah. Vira tampak sangat menikmati. Manis sekali
mereka!
Ketika
mereka berhenti, ekspresi wajah Ari yang teralih dari wajah adiknya jadi dingin
lagi. Kontras benar dengan semula. Serius, anak ini aneh. Ia ternyata bisa
menyuapi dirinya sendiri. Ia juga sama sekali tidak menunjukkan perhatian
padaku. Dan ia tidak kelihatan seperti anak yang suka bercanda.
Sempat
khawatir aku tak akan dapat kesempatan memperkenalkan Wieteke van Dort padanya,
namun itu tak terjadi. Ada taman di samping rumah dengan meja dan kursi-kursi
di tepinya. Kami duduk di sana. Aku menancapkan sebelah earphone dari pemutar
mp3-ku ke lubang telinganya, sedang sebelah lagi ke lubang telingaku sendiri.
Aku pilih lagu yang ingin aku perdengarkan padanya pertama kali.
“Hah,
ini kan Keroncong Kemayoran!” serunya. Senyumku melebar. Lalu muncul kernyitan
di wajahnya. “Bahasanya jadi aneh, Kak?”
“Itu
bahasa Belanda,” terangku.
Setelah
lagu itu habis, ia sangat menikmatinya, aku menjelaskan tentang Wieteke van
Dort padanya. Wanita keturunan Belanda itu lahir di Surabaya dan tinggal di
Indonesia sampai umur 14 tahun. Setelah itu, karena kebijakan Presiden
Soekarno, ia dan keluarganya hijrah ke Den Haag. Namun Indonesia selalu di
hatinya. Lagu-lagunya tidak hanya berbahasa Belanda, namun juga berbahasa
Indonesia, bahkan dwibahasa seperti versi lain Keroncong Kemayoran ini yang
judulnya berganti jadi “Indung Sayang”.
“Nah,
dengerin yang ini deh, Vira…” Aku beralih ke judul lain. Ia terperangah lagi
setelah menyimak lirik lagu nan kocak tersebut. “Geef mij maar nasi goreng…” Aku ikut bernyanyi saat bagian itu
tiba. “Ini aku nyatet liriknya.” Aku
sudah mempersiapkannya dalam notes.
Senang
melihat ia tertarik. Matanya memindai lalu ia ikut menyanyikan satu bagian
dengan mengacu pada teks yang tertera. “Geen
lontong, sate babai en niets smaakt hier pedis. Geen trassi, srundeng, bandeng
en geen tahu petis. Kwee lapis, onde-onde, geen ketela of bapao. Geen ketan,
geen gula jawa, daarom ja, ik zeg nou. Nanananananana…
“Aduh
bahasa Belandaku jelek…!” keluhnya, tapi tampaknya ia senang sekali belajar
bahasa baru.
Kami
memutar lagu tersebut beberapa kali dan berusaha melafalkan teks sebagaimana
penyanyinya. Tantangan bagi lidah, namun pelepas tawa yang menyegarkan. Vira
bilang ia ingin menyanyikan lagu ini pada penampilannya di kesempatan berikut.
Sayang sekali aku belum menemukan lirik dari “Indung Sayang”, padahal kan seru
kalau kami bisa duet menyanyikannya di panggung Kedai Buncong. Sekilas aku
melihat senyum Tante Ice saat menyaksikan keasyikan kami berdua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar