Tidak
hampir setiap minggu aku keluar dengan Om Yan. Memang sejak beberapa bulan
terakhir ini kami habiskan waktu bersama beberapa kali dalam sebulan. Aku yakin
itu tidak sering. Tidak sesering aku pulang ke rumah Tante As, maksudnya, meski
memang lebih sering dari kunjunganku ke kantor Papa.
Aku
masih agak malas main ke kantor Papa lagi sejak aku membawa Manda ke sana.
Tujuan kami hanya mengantar undangan untuk wartawan koran Papa agar meliput pra
persiapan BMC. Apes benar papaku sedang di sana. Sementara Manda sudah turun
teras, Papa menarik tanganku yang jalan belakangan. “Itu siapa?”
Untung
saja ia tidak sampai tanya: Kenapa
rambutnya panjang? Kenapa dikuncir? Kenapa warna bajunya kayak badut?
“Yang
jelas bukan No-baa…” sergahku. “Tadi kan udah kenalan, namanya Man-daa…”
Kok namanya kayak perempuan?
Hanya
Om Yan yang gemar menanyakan hubunganku dengan Manda, yang sebetulnya
biasa-biasa saja. Kami hanya suka meniru tingkah pasangan yang kami lihat
sedang larut dalam dunia mereka sendiri. Ini sangat menghibur. Kalau kami lihat
Om Yan dan Tante Ri seperti itu juga, pasti kami akan bersemangat untuk
menjadikan mereka target operasi kami.
“Kayak
gimana contohnya?” tanya Om Yan saat aku cerita, itupun karena ia menyinggung.
Aku
cerita tentang pasangan sukarelawan bernama Gozi dan Nana. Saat sedang bertugas
menyebarkan publikasi, motor yang mereka naiki selip. Nana tidak terluka, namun
lengan Gozi merah-merah. Sepanjang pertemuan setelahnya, Nana memijati lengan
Gozi. Aku dan Manda yang memerhatikan pun beraksi. Manda menyodorkan lengannya
padaku lalu merengek manja, “Lenganku sakit…” Dengan menahan geli, aku meraih
lengannya lalu pura-pura memijat. “Sini Sayang, cup cup cup,” lalu aku tidak
bisa menahan tawa. Suasana pertemuan jadi kendor. Gozi dan Nana mesem.
Setelah
beberapa kali ke sana-sini bareng Manda, aku merasakan keuntungan dari bekerja
dalam kemitraan. Secara Manda bermotor, itu memudahkan mobilitasku yang lebih
mampu berpikir strategis daripada dia. Dalam tim kecil kami, bisa dikatakan
kalau akulah otak sedang ia kakinya.
Namun
aku dan Om Yan lebih banyak bertukar cerita tentang keluarga—meski aku harap
sesekali ia menceritakan Tante Ri juga. Ia cerita kalau dulu kedua orangtuanya
juga suka berpergian. Dan ia selalu menganggap keduanya orangtua hebat karena
mampu mempertahankan kedekatan dengan anak-anak mereka meski sering sibuk.
Mendengar
ceritanya lebih jauh, aku seolah diingatkan untuk mengubah perspektif terhadap
kedua orangtuaku juga. Pada Papa yang selalu mendekapku erat, seakan tak mau
lepas lagi, setiap sebelum dan sesudah pergi bertugas untuk waktu lama. Pada
Mama yang seolah punya radar sehingga tahu aku sedang di rumah kami atau di
rumah Tante As—ia akan pulang ke mana aku berada, seolah aku rumahnya.
Aku
juga ingin bisa lebih menyayangi mereka.
Justru
ketika keinginan itu tengah tersulut, dan itu berkat perbincangan dengan Om
Yan, Mama malah menginterogasiku tentang pria itu.
“Udah,
jangan keseringan jalan-jalan lagi sama Om Yan.”
“Kenapa?”
tanyaku. “Karena bukan muhrim?”
“Sini
Bibe, Mama kasih tahu…” Mendengar nada Mama, aku katupkan mulut. “Mama enggak
masalah kamu mau semirip apapun sama Tante As, tapi Mama enggak suka kamu
ikut-ikutan materialistis.”
Duh.
Aku tidak mau meneruskan ini. Kesedihan menyergapku sekonyong-konyong. Aku tak
mengerti mengapa mereka tidak bisa berhenti menjelek-jelekkan satu sama lain.
Memang selama ini Tante As yang berjasa membuat pencitraan Mama jadi buruk di
mataku. Namun Mama sama saja. “Siapa yang materialistis?” sanggahku.
“Jangan
dikira Mama enggak tahu ke mana aja kamu pergi sama Om Yan…”
“Om
Yan yang ngajak…” sergahku. Meski seringnya aku yang kasih referensi.
“Ya
udah, Mama enggak larang kamu, cuman kasih tahu. Yang penting Bibe sadar buat
tahu diri, ngerti? Enggak baik habis-habisan duit orang, Bibe.”
Setelah
diperingatkan begitu sama Mama, aku bergeming saja di atas kasur. Melihat
bayangan gembil pipiku di cermin, aku matikan lampu. Hal ini tidak sampai
membuatku menangis, tapi dahiku tidak bisa berhenti berkerut. Memangnya sudah
berapa banyak uang Om Yan yang kuhabiskan? Aku tidak pernah mengeluarkan dompet
sekalipun setiap bersamanya. Toh ia melakukannya dengan sukarela bukan? Bukankah
kami sedang dalam permainan ayah-anak? Mengapa seorang anak harus memikirkan
berapa yang sang ayah keluarkan untuk dirinya?
Ayahku
yang ini royal kok. Ia pernah cerita padaku kalau ia tak pernah memasak
makanannya sendiri. Ia sering mencari tempat makan yang kondusif baginya untuk
mengobrol dengan seseorang meski orang itu tak ia kenal lalu menraktirnya,
sekadar untuk mencipta kehangatan lebih. Ia membayar setiap hal sehingga ia
tidak perlu mengerjakannya dengan tangan sendiri.
Tapi
tidak bisa kupungkiri juga kalau ada sejumput kesadaran yang coba menyentakku.
Bagaimanapun juga, semua ini hanya pura-pura. Tidak pantas aku memanfaatkannya
sedemikian rupa… Ah tidak. Aku tidak memanfaatkannya. Aku menyayanginya. Ia
hanya seorang sahabat yang kelewat baik, meski aku tidak pernah akan bisa balas
menraktirnya. Ia hanya ingin menemani malam-malamku yang kadang mau tak mau aku
isi dalam kesendirian.
Toh
sampai sekarang pun aku belum menyimpan nomor ponselnya di buku teleponku.
Jangan biarkan kemajuan teknologi malah membuat kita jadi orang yang suka
mengingkari janji. Lebih baik menoreh janji tanpa teknologi tapi sungguh
ditepati. Kami masih menentukan pertemuan berikutnya di pertemuan terakhir.
Ya.
Aku masih menepatinya. Sekaligus aku ingin konfirmasi dari Om Yan. “Om suka
bilang sama Mama kalau ketemu aku?”
“Seringnya
iya.” Ia sedang mengemudi. Malam ini kami menembus gelap dan dingin lagi demi
mencari suasana yang pas untuk berbagi. Ia menoleh. “Kenapa, Bibe?”
“Besok-besok
enggak usah bilang aja Om…”
“Kenapa?”
“Biar
aku yang bilang sendiri aja…”
“Ooh…”
Ia diam sebentar. “Kenapa?”
“Auh.
Enggak kenapa-kenapa.”
“Ha
ha ha…” Tawanya renyah sekali, disusul pertanyaan lembut, “Ada apa Bibe?”
“Enggak
apa-apa…” Tapi itu dusta. “Selama ini aku ngerepotin Om ya?”
“Kenapa
repot?”
“Iya…
Kalau jalan sama Om Yan, aku enggak pernah bayar sendiri…”
“Ah,
enggak kok. Bibe kan udah saya anggap anak sendiri… Ya Bibe?”
Seakan
ada saluran lain menyampaikan suaranya yang mengatakan padaku untuk tidak usah
khawatir. Maka aku membalas senyumnya. Dan menganggap ucapan Mama silam hari
hanya sekadar kesungkanan biasa atas kebaikan orang lain.
Selagi
aku mengamati kerlap-kerlip pemandangan malam di luar jendela, paduan instrumen
musik dari speaker mobil menyentakku. Om Yan tidak pernah menyetel musik selama
perjalanan kami. Tangan nya yang satu tetap pegang kemudi sementara tangan
lainnya menjentikkan jari.
Gotta get you into my life, into my life…
Bahunya bergoyang pelan ke kanan, ke
kirin, ke kanan lagi…
Gotta get you into my life,
into my life…
Ia
terus mengulang bait itu, lalu ikut melantunkan bagian tak berkata dengan mulut
mengerucut.
I
was alone and took a ride, didn’t know what I would find there…
Aku
tergelak menyaksikan gayanya yang kocak.
Another road or maybe eye to
see another side there… Uh, and then I
suddenly see you, uh, and then I tell you that I need you every single day of
my life…
“Aku suka enggak ngerti jazz Om!”
seruku, berusaha menyaingi volume lagu. Maka ia pun mengecilkannya.
“Maaf, apa Bibe?”
“Kayaknya jazz itu musik paling
rumit ya Om…” Sering aku menyetel KLCBS keras-keras di rumah, namun aku tidak
kunjung bisa menikmati jenis musik yang satu ini. “Kadang aku pusing dengernya,
soalnya nadanya enggak beraturan.” Demikian pun dengan musik Om Yan. “Enggak
gampang ngena iramanya.”
“Iya, seperti pikiran kita, gitu
juga kan… Pinginnya bebas. Lepas dari segala macam urusan. Iya enggak?”
“Ya… Kadang-kadang sih…”
“Ya, kadang-kadang kita cuman butuh
ngerasa bebas sejenak buat penyegaran…”
“Ya…”
“Makanya nada-nadanya kedengarannya
kayak yang bebas gitu ya Be? Kayak yang enggak ada aturannya?”
Aku tercengang.
Telunjuknya menekan-nekan layar di
samping kemudi lagi. Kali ini ia memperdengarkanku contoh dari musik yang tadi
aku anggap tidak beraturan itu. Ia menyenandungkan melodi tambahan dengan
menirukan suatu alat musik. Di sela-sela itu, ia berkata, “Ayo Bibe. Tinggal
pilih instrumen yang Bibe suka.”
Aku berpikir. Lalu aku mulai
bersenandung juga. Tapi melodi yang ke luar dari mulutku kok terdengar seperti
melodi lagu tertentu.
“Enggak apa-apa, teruskan,”
katanya.
Maka sepanjang sisa perjalanan
itu kami bermusik dengan mulut. Sampai kami lupa pada tujuan kami. Hanya sebuah
makan malam biasa dengan topik obrolan yang kerap melayangkan empatiku pada
orangtuaku.
“Eh Yah, gimana rasanya kalau
punya anak kayak aku?”
“Kaget. Tahu-tahu anaknya udah
sebesar ini.”
“Aah… Bukan itu! Lagian Om
juga enggak kelihatan kayak bapak-bapak kok.”
“Oh iya?”
“Gimana kalau Om jadi kakakku
aja? Kalau jadi kakak-adik ngapain aja ya Om?”
“Berantem.”
“Hah?”
“Iya. Dulu saya sama adik saya
sukanya berantem.”
“Tapi adiknya Om kan
perempuan?”
“Iya. Jago berantem juga lo.
Mau berantem sama saya Bibe?”
Aku menggeleng.
Aku simak kenangannya akan
hubungan antara ayahnya dengan adik perempuannya. Kadang ia berpikir apakah ia
bisa melakukan itu denganku. Aku sih mau-mau saja.
“Kalau gitu, apa yang kita
lakuin habis ini?” tanyaku.
“Sebentar… Saya mikir dulu
ayah saya bakal ngapain…” Ia memejamkan mata sementara aku memandanginya dengan
penuh minat. “Mm… Pulang ke rumah dan nonton TV? Eh, salah, ayah saya nonton
sambil nemenin adik saya ngerjain PR.”
“Tapi aku enggak suka ngerjain
PR,” rajukku.
“Adik saya suka lo. PR saya
aja dikerjain.”
“Masak?”
Dulu Om Yan jarang bersungguh-sungguh
mengikuti pelajaran di sekolah. “Yang penting itu jalankan apa yang kamu suka
dengan sungguh-sungguh, dan kasih manfaat ke orang lain dengan itu,” ujarnya.
Dan sulit baginya untuk
kemudian menerima piano sebagai bukan lagi sekadar permainan, tapi juga
pelajaran. Sebelum berangkat ke Amerika, Om Yan digembleng keras sekali oleh
guru pianonya. Setiap latihannya selalu diakhiri dengan jari-jari yang lemas.
Piano yang biasanya jadi pelarian mau tak mau juga jadi siksaan. Tapi karena
passion-nya di situ, ujung-ujungnya ia kembali juga. Malah kini ia mengajar di
almamaternya.
Ganti ia menanyakan kabar Tante As
padaku. Ini merupakan topik yang cukup rajin ia lontarkan dalam setiap
pertemuan kami. Perubahan yang terjadi pada seorang ibu hamil sama-sama
merupakan hal menakjubkan bagi kami. Semakin besar kandungan Tante As, semakin
tubuhnya condong ke belakang saat berjalan. Kadang ia mengeluh karena merasa
dirinya malah jadi jelek saat hamil.
“Mungkin tantenya Bibe ingin bilang
kalau sebenarnya dia jadi cantik sekali, tapi secara enggak langsung. Bayinya
perempuan kan?”
“Iya.”
“Biasanya kalaubayinya perempuan,
ibunya juga jadi cantik.”
Aku harap hatinya juga akan lebih
cantik.
Aku tidak bisa menolak ketika Om Yan
ingin membelikan oleh-oleh untuk tanteku. Ketika akan turun dari mobil, ada dua
tas plastik di atas pangkuanku. Yang satu berisi kardus berisi kudapan dari Om
Yan untuk Tante As, yang satu lagi berisi berbagai macam kue yang diwadahi
dengan cantik. Sudah dua kali ini aku dan ibunya Om Yan bertukar kue bikinan
sendiri. Aku hendak membuka pintu ketika Om Yan menyebut namaku. Jadi aku
menoleh dan sebuah kecupan berlabuh di pipiku.
Sekonyong-konyong aku merasa panas
dingin.
“Ayahnya Om suka gitu juga sama
adiknya Om?”
“…ibu saya selalu begitu setiap saya
mau pamit.”
Aku ragu hendak balas mengecupnya di
pipi juga atau tidak. Kemudian aku putuskan untuk menempelkan keningku di
punggung tangannya seperti biasa.
Aku bukannya tidak pernah dicium
papaku sendiri seperti itu. Rasanya beda, tentu saja. Papaku bau kopi sedang Om
Yan begitu wangi…
Aku
menjadi salah tingkah sepanjang perjalananku menuju pintu rumah Tante As. Tuh
kan, ia memang spesial. Tapi tadi kami belum menentukan pertemuan selanjutnya.
Ah sudahlah. Aku yakin bagaimanapun caranya aku dan dia bakal bertemu lagi
entah kapan dan di mana, mestinya dalam rentang waktu tak terlampau lama.
Begitu
masuk ke dalam rumah, suasana sontak berbeda. Aku meletakkan bawaanku di atas
meja pantri. “Oleh-oleh lagi,” kataku dengan nada ceria. Ia sedang mengerjakan
sesuatu di sofa cokelat mudanya. Aku melongok sedikit lantas terkejut
melihatnya merajut. Kudekati lagi ia. Mengapa ia merajut jajar genjang? “Enggak
usah protes. Baru diajarin Tante Tiwi tadi.”
“Aku
juga enggak bisa ngerajut kok.”
“Bawa
apa tadi?”
“Oleh-oleh…”
“Tante
kan sudah bilang, enggak usah kasih-kasih itu lagi.”
“Ibu
hamil kan harus banyak makan…” Dan ia melakukannya. Tubuhnya sudah mulai
membulat seakan ia tak ingat lagi kalau dulu kurus selalu menjadi tujuannya.
Aku
dengar lagi setiap prasangka negatifnya
tentang Om Yan, tapi tidak aku dengarkan. Seandainya ia mau lebih
mengenal Om Yan, ia juga akan jatuh hati. Lagi-lagi malam itu aku yang habiskan
oleh-olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar