Selasa, 29 November 2011

Jazz

Tidak hampir setiap minggu aku keluar dengan Om Yan. Memang sejak beberapa bulan terakhir ini kami habiskan waktu bersama beberapa kali dalam sebulan. Aku yakin itu tidak sering. Tidak sesering aku pulang ke rumah Tante As, maksudnya, meski memang lebih sering dari kunjunganku ke kantor Papa.

Aku masih agak malas main ke kantor Papa lagi sejak aku membawa Manda ke sana. Tujuan kami hanya mengantar undangan untuk wartawan koran Papa agar meliput pra persiapan BMC. Apes benar papaku sedang di sana. Sementara Manda sudah turun teras, Papa menarik tanganku yang jalan belakangan. “Itu siapa?”

Untung saja ia tidak sampai tanya: Kenapa rambutnya panjang? Kenapa dikuncir? Kenapa warna bajunya kayak badut?

“Yang jelas bukan No-baa…” sergahku. “Tadi kan udah kenalan, namanya Man-daa…”

Kok namanya kayak perempuan?

Hanya Om Yan yang gemar menanyakan hubunganku dengan Manda, yang sebetulnya biasa-biasa saja. Kami hanya suka meniru tingkah pasangan yang kami lihat sedang larut dalam dunia mereka sendiri. Ini sangat menghibur. Kalau kami lihat Om Yan dan Tante Ri seperti itu juga, pasti kami akan bersemangat untuk menjadikan mereka target operasi kami.

“Kayak gimana contohnya?” tanya Om Yan saat aku cerita, itupun karena ia menyinggung.

Aku cerita tentang pasangan sukarelawan bernama Gozi dan Nana. Saat sedang bertugas menyebarkan publikasi, motor yang mereka naiki selip. Nana tidak terluka, namun lengan Gozi merah-merah. Sepanjang pertemuan setelahnya, Nana memijati lengan Gozi. Aku dan Manda yang memerhatikan pun beraksi. Manda menyodorkan lengannya padaku lalu merengek manja, “Lenganku sakit…” Dengan menahan geli, aku meraih lengannya lalu pura-pura memijat. “Sini Sayang, cup cup cup,” lalu aku tidak bisa menahan tawa. Suasana pertemuan jadi kendor. Gozi dan Nana mesem.

Setelah beberapa kali ke sana-sini bareng Manda, aku merasakan keuntungan dari bekerja dalam kemitraan. Secara Manda bermotor, itu memudahkan mobilitasku yang lebih mampu berpikir strategis daripada dia. Dalam tim kecil kami, bisa dikatakan kalau akulah otak sedang ia kakinya.

Namun aku dan Om Yan lebih banyak bertukar cerita tentang keluarga—meski aku harap sesekali ia menceritakan Tante Ri juga. Ia cerita kalau dulu kedua orangtuanya juga suka berpergian. Dan ia selalu menganggap keduanya orangtua hebat karena mampu mempertahankan kedekatan dengan anak-anak mereka meski sering sibuk.

Mendengar ceritanya lebih jauh, aku seolah diingatkan untuk mengubah perspektif terhadap kedua orangtuaku juga. Pada Papa yang selalu mendekapku erat, seakan tak mau lepas lagi, setiap sebelum dan sesudah pergi bertugas untuk waktu lama. Pada Mama yang seolah punya radar sehingga tahu aku sedang di rumah kami atau di rumah Tante As—ia akan pulang ke mana aku berada, seolah aku rumahnya.

Aku juga ingin bisa lebih menyayangi mereka.

Justru ketika keinginan itu tengah tersulut, dan itu berkat perbincangan dengan Om Yan, Mama malah menginterogasiku tentang pria itu.

“Udah, jangan keseringan jalan-jalan lagi sama Om Yan.”

“Kenapa?” tanyaku. “Karena bukan muhrim?”

“Sini Bibe, Mama kasih tahu…” Mendengar nada Mama, aku katupkan mulut. “Mama enggak masalah kamu mau semirip apapun sama Tante As, tapi Mama enggak suka kamu ikut-ikutan materialistis.”

Duh. Aku tidak mau meneruskan ini. Kesedihan menyergapku sekonyong-konyong. Aku tak mengerti mengapa mereka tidak bisa berhenti menjelek-jelekkan satu sama lain. Memang selama ini Tante As yang berjasa membuat pencitraan Mama jadi buruk di mataku. Namun Mama sama saja. “Siapa yang materialistis?” sanggahku.

“Jangan dikira Mama enggak tahu ke mana aja kamu pergi sama Om Yan…”

“Om Yan yang ngajak…” sergahku. Meski seringnya aku yang kasih referensi.

“Ya udah, Mama enggak larang kamu, cuman kasih tahu. Yang penting Bibe sadar buat tahu diri, ngerti? Enggak baik habis-habisan duit orang, Bibe.”

Setelah diperingatkan begitu sama Mama, aku bergeming saja di atas kasur. Melihat bayangan gembil pipiku di cermin, aku matikan lampu. Hal ini tidak sampai membuatku menangis, tapi dahiku tidak bisa berhenti berkerut. Memangnya sudah berapa banyak uang Om Yan yang kuhabiskan? Aku tidak pernah mengeluarkan dompet sekalipun setiap bersamanya. Toh ia melakukannya dengan sukarela bukan? Bukankah kami sedang dalam permainan ayah-anak? Mengapa seorang anak harus memikirkan berapa yang sang ayah keluarkan untuk dirinya?

Ayahku yang ini royal kok. Ia pernah cerita padaku kalau ia tak pernah memasak makanannya sendiri. Ia sering mencari tempat makan yang kondusif baginya untuk mengobrol dengan seseorang meski orang itu tak ia kenal lalu menraktirnya, sekadar untuk mencipta kehangatan lebih. Ia membayar setiap hal sehingga ia tidak perlu mengerjakannya dengan tangan sendiri.

Tapi tidak bisa kupungkiri juga kalau ada sejumput kesadaran yang coba menyentakku. Bagaimanapun juga, semua ini hanya pura-pura. Tidak pantas aku memanfaatkannya sedemikian rupa… Ah tidak. Aku tidak memanfaatkannya. Aku menyayanginya. Ia hanya seorang sahabat yang kelewat baik, meski aku tidak pernah akan bisa balas menraktirnya. Ia hanya ingin menemani malam-malamku yang kadang mau tak mau aku isi dalam kesendirian.

Toh sampai sekarang pun aku belum menyimpan nomor ponselnya di buku teleponku. Jangan biarkan kemajuan teknologi malah membuat kita jadi orang yang suka mengingkari janji. Lebih baik menoreh janji tanpa teknologi tapi sungguh ditepati. Kami masih menentukan pertemuan berikutnya di pertemuan terakhir.

Ya. Aku masih menepatinya. Sekaligus aku ingin konfirmasi dari Om Yan. “Om suka bilang sama Mama kalau ketemu aku?”

“Seringnya iya.” Ia sedang mengemudi. Malam ini kami menembus gelap dan dingin lagi demi mencari suasana yang pas untuk berbagi. Ia menoleh. “Kenapa, Bibe?”

“Besok-besok enggak usah bilang aja Om…”

“Kenapa?”

“Biar aku yang bilang sendiri aja…”

“Ooh…” Ia diam sebentar. “Kenapa?”

“Auh. Enggak kenapa-kenapa.”

“Ha ha ha…” Tawanya renyah sekali, disusul pertanyaan lembut, “Ada apa Bibe?”

“Enggak apa-apa…” Tapi itu dusta. “Selama ini aku ngerepotin Om ya?”

“Kenapa repot?”

“Iya… Kalau jalan sama Om Yan, aku enggak pernah bayar sendiri…”

“Ah, enggak kok. Bibe kan udah saya anggap anak sendiri… Ya Bibe?”

Seakan ada saluran lain menyampaikan suaranya yang mengatakan padaku untuk tidak usah khawatir. Maka aku membalas senyumnya. Dan menganggap ucapan Mama silam hari hanya sekadar kesungkanan biasa atas kebaikan orang lain.

Selagi aku mengamati kerlap-kerlip pemandangan malam di luar jendela, paduan instrumen musik dari speaker mobil menyentakku. Om Yan tidak pernah menyetel musik selama perjalanan kami. Tangan nya yang satu tetap pegang kemudi sementara tangan lainnya menjentikkan jari.

            Gotta get you into my life, into my life…

            Bahunya bergoyang pelan ke kanan, ke kirin, ke kanan lagi…

Gotta get you into my life, into my life…

Ia terus mengulang bait itu, lalu ikut melantunkan bagian tak berkata dengan mulut mengerucut.

            I was alone and took a ride, didn’t know what I would find there…

            Aku tergelak menyaksikan gayanya yang kocak.

Another road or maybe eye to see another side there…  Uh, and then I suddenly see you, uh, and then I tell you that I need you every single day of my life…  

            “Aku suka enggak ngerti jazz Om!” seruku, berusaha menyaingi volume lagu. Maka ia pun mengecilkannya.

            “Maaf, apa Bibe?”

            “Kayaknya jazz itu musik paling rumit ya Om…” Sering aku menyetel KLCBS keras-keras di rumah, namun aku tidak kunjung bisa menikmati jenis musik yang satu ini. “Kadang aku pusing dengernya, soalnya nadanya enggak beraturan.” Demikian pun dengan musik Om Yan. “Enggak gampang ngena iramanya.”

            “Iya, seperti pikiran kita, gitu juga kan… Pinginnya bebas. Lepas dari segala macam urusan. Iya enggak?”

            “Ya… Kadang-kadang sih…”

            “Ya, kadang-kadang kita cuman butuh ngerasa bebas sejenak buat penyegaran…”

            “Ya…”

            “Makanya nada-nadanya kedengarannya kayak yang bebas gitu ya Be? Kayak yang enggak ada aturannya?”

            Aku tercengang.

            Telunjuknya menekan-nekan layar di samping kemudi lagi. Kali ini ia memperdengarkanku contoh dari musik yang tadi aku anggap tidak beraturan itu. Ia menyenandungkan melodi tambahan dengan menirukan suatu alat musik. Di sela-sela itu, ia berkata, “Ayo Bibe. Tinggal pilih instrumen yang Bibe suka.”

Aku berpikir. Lalu aku mulai bersenandung juga. Tapi melodi yang ke luar dari mulutku kok terdengar seperti melodi lagu tertentu.

“Enggak apa-apa, teruskan,” katanya.

Maka sepanjang sisa perjalanan itu kami bermusik dengan mulut. Sampai kami lupa pada tujuan kami. Hanya sebuah makan malam biasa dengan topik obrolan yang kerap melayangkan empatiku pada orangtuaku.

“Eh Yah, gimana rasanya kalau punya anak kayak aku?”

“Kaget. Tahu-tahu anaknya udah sebesar ini.”

“Aah… Bukan itu! Lagian Om juga enggak kelihatan kayak bapak-bapak kok.”

“Oh iya?”

“Gimana kalau Om jadi kakakku aja? Kalau jadi kakak-adik ngapain aja ya Om?”

“Berantem.”

“Hah?”

“Iya. Dulu saya sama adik saya sukanya berantem.”

“Tapi adiknya Om kan perempuan?”

“Iya. Jago berantem juga lo. Mau berantem sama saya Bibe?”

Aku menggeleng.

Aku simak kenangannya akan hubungan antara ayahnya dengan adik perempuannya. Kadang ia berpikir apakah ia bisa melakukan itu denganku. Aku sih mau-mau saja.

“Kalau gitu, apa yang kita lakuin habis ini?” tanyaku.

“Sebentar… Saya mikir dulu ayah saya bakal ngapain…” Ia memejamkan mata sementara aku memandanginya dengan penuh minat. “Mm… Pulang ke rumah dan nonton TV? Eh, salah, ayah saya nonton sambil nemenin adik saya ngerjain PR.”

“Tapi aku enggak suka ngerjain PR,” rajukku.

“Adik saya suka lo. PR saya aja dikerjain.”

“Masak?”

Dulu Om Yan jarang bersungguh-sungguh mengikuti pelajaran di sekolah. “Yang penting itu jalankan apa yang kamu suka dengan sungguh-sungguh, dan kasih manfaat ke orang lain dengan itu,” ujarnya.

Dan sulit baginya untuk kemudian menerima piano sebagai bukan lagi sekadar permainan, tapi juga pelajaran. Sebelum berangkat ke Amerika, Om Yan digembleng keras sekali oleh guru pianonya. Setiap latihannya selalu diakhiri dengan jari-jari yang lemas. Piano yang biasanya jadi pelarian mau tak mau juga jadi siksaan. Tapi karena passion-nya di situ, ujung-ujungnya ia kembali juga. Malah kini ia mengajar di almamaternya.

            Ganti ia menanyakan kabar Tante As padaku. Ini merupakan topik yang cukup rajin ia lontarkan dalam setiap pertemuan kami. Perubahan yang terjadi pada seorang ibu hamil sama-sama merupakan hal menakjubkan bagi kami. Semakin besar kandungan Tante As, semakin tubuhnya condong ke belakang saat berjalan. Kadang ia mengeluh karena merasa dirinya malah jadi jelek saat hamil.

            “Mungkin tantenya Bibe ingin bilang kalau sebenarnya dia jadi cantik sekali, tapi secara enggak langsung. Bayinya perempuan kan?”

            “Iya.”

            “Biasanya kalaubayinya perempuan, ibunya juga jadi cantik.”

            Aku harap hatinya juga akan lebih cantik.

            Aku tidak bisa menolak ketika Om Yan ingin membelikan oleh-oleh untuk tanteku. Ketika akan turun dari mobil, ada dua tas plastik di atas pangkuanku. Yang satu berisi kardus berisi kudapan dari Om Yan untuk Tante As, yang satu lagi berisi berbagai macam kue yang diwadahi dengan cantik. Sudah dua kali ini aku dan ibunya Om Yan bertukar kue bikinan sendiri. Aku hendak membuka pintu ketika Om Yan menyebut namaku. Jadi aku menoleh dan sebuah kecupan berlabuh di pipiku.

            Sekonyong-konyong aku merasa panas dingin.

            “Ayahnya Om suka gitu juga sama adiknya Om?”

            “…ibu saya selalu begitu setiap saya mau pamit.”

            Aku ragu hendak balas mengecupnya di pipi juga atau tidak. Kemudian aku putuskan untuk menempelkan keningku di punggung tangannya seperti biasa.

            Aku bukannya tidak pernah dicium papaku sendiri seperti itu. Rasanya beda, tentu saja. Papaku bau kopi sedang Om Yan begitu wangi…

Aku menjadi salah tingkah sepanjang perjalananku menuju pintu rumah Tante As. Tuh kan, ia memang spesial. Tapi tadi kami belum menentukan pertemuan selanjutnya. Ah sudahlah. Aku yakin bagaimanapun caranya aku dan dia bakal bertemu lagi entah kapan dan di mana, mestinya dalam rentang waktu tak terlampau lama.

Begitu masuk ke dalam rumah, suasana sontak berbeda. Aku meletakkan bawaanku di atas meja pantri. “Oleh-oleh lagi,” kataku dengan nada ceria. Ia sedang mengerjakan sesuatu di sofa cokelat mudanya. Aku melongok sedikit lantas terkejut melihatnya merajut. Kudekati lagi ia. Mengapa ia merajut jajar genjang? “Enggak usah protes. Baru diajarin Tante Tiwi tadi.”

“Aku juga enggak bisa ngerajut kok.”

“Bawa apa tadi?”

“Oleh-oleh…”

“Tante kan sudah bilang, enggak usah kasih-kasih itu lagi.”

“Ibu hamil kan harus banyak makan…” Dan ia melakukannya. Tubuhnya sudah mulai membulat seakan ia tak ingat lagi kalau dulu kurus selalu menjadi tujuannya.

Aku dengar lagi setiap prasangka negatifnya  tentang Om Yan, tapi tidak aku dengarkan. Seandainya ia mau lebih mengenal Om Yan, ia juga akan jatuh hati. Lagi-lagi malam itu aku yang habiskan oleh-olehnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain