Melihatnya pakai turtleneck rajutan
lagi, entah mengapa tubuhku rasanya meleleh. Warnanya merah hati dan aku
bertanya-tanya apakah hatiku lebih merah dari itu. Ia terlihat lebih menawan
ketimbang saat ia pakai blazer, kaos lengan panjang, maupun kaos MU.
Astaga. Ia kan dua-puluhan tahun
lebih tua.
Aku menutup pintu mobil dengan malu.
“Kenapa? Kok lesu?” tegurnya dengan
hangat ketika melihatku yang melunglai.
“Eh, emang kelihatan gitu ya Om?”
“Hmm… Sekarang enggak lagi. Siap
jalan?” Ia sudah memegang tuas gigi mobilnya.
“Si-ap!”
Mobilnya pun menembus gerimis.
“Kenapa sih kok sukanya
hujan-hujanan?” tegur Om Yan lagi. Memang tadi aku menuju mobilnya dari
sekolahku tanpa berpayung.
“Asik Om.”
“Enggak sakit? Enggak pusing?”
“Enggak Om.”
“Kuat ya Bibe…”
“Seru lo Om. Cobain deh,
hujan-hujanan.”
“Ha ha ha… Dulu saya sakit-sakitan
Bibe, makanya enggak biasa kena hujan.”
“Hm…”
“Sekarang enggak ayah-ayahan lagi?”
“Oh iya lupa.” Kutepuk jidat. “Nah,
Ayah, ke mana kita jalan-jalan hari ini?”
“Jadi ke Dago Pakar enggak?”
Aku mengangguk disertai gumaman
setuju. Lalu aku mengangkat tas plastik dari pangkuanku. Ada beberapa dua wadah
plastik di dalamnya. Masing-masing berisi jenis kue kering yang berbeda. “Oh ya
Ayah, aku boleh titip ini sama ibunya Ayah?”
“Hm, apa itu Nak?”
“Ini… Aku cobain bikin kue sendiri,
ngikutin yang kemarin dibilangin ibunya Ayah itu lo… Habis kemarin enak banget
sih kuenya…” Coba tebak, berapa jam yang aku habiskan di rumah Uwak Tata untuk
menjadikan ini semua?
“Wow. Baik sekali Bibe… Terima kasih
ya.”
“Kalau
boleh aku minta komentarnya entar, he he.”
“Oh. Oke Bibe. Entar Ayah sampaikan…
Taruh aja di belakang ya?”
“Oke.” Aku menurut.
Seseorang bisa mengemudi dengan
tenang lalu sontak menghardik disertai makian karena kecerobohan pengemudi lain—begitulah
papaku. Tapi Om Yan tetap tenang saat kegegabahan pengendara lain nyaris
menyerempet mobilnya.
Barulah saat kami sudah sampai
tujuan, ia turun sekalian mengamati bodi mobilnya. “Enggak ada apa-apa kok
Bibe.” Senyumnya seakan aku yang lebih was-was akan mobilnya. Harusnya kan dia!
Langit
telah berhenti menurunkan air begitu kami sampai di tujuan. Tapi Om Yan tetap
membawa payung panjangnya untuk berjaga-jaga. Kami tak terlalu memerhatikan
jalan maupun dua-tiga pengunjung lainnya yang berpapasan, karena lebih asyik
dengan perkataan satu sama lain. Memang nuansa hijau seperti ini sangat
mendukung untuk itu! Udara lembap sekaligus sejuk. Kami hanya butuh suasana oke
untuk berbagi kata.
“Ayah
sabar banget ya, ngendarainnya,” kataku.
“Oya?”
Ia terlihat geli. “Dulu pas masih belajar saya sering nyerempet orang juga
soalnya, padahal di tempat saya satunya enggak sepadat di sini lalu lintasnya.”
Aku
membulatkan mulut.
“Eh
Bibe katanya ada cowok yang suka bareng-bareng Bibe terus ya?”
Aku
tak mengerti itu siapa.
Memang
ada beberapa teman cowok yang dekat denganku, tapi kalau yang suka bareng
terus… “Siapa Om?”
“Katanya
sukarelawan BMC juga?”
“Ha?”
Suatu
ketika Om Yan mengobrol dengan Teh Icih. Obrolan mereka menjurus pada para
sukarelawan yang mulai terhimpun, hingga
pasangan-pasangan yang terlihat di kalangan tersebut. Salah satunya aku dan
Manda.
Kami
memang sepaket—ini istilah Manda—dalam melaksanakan setiap tugas kepanitiaan
BMC. Manda sangat bersemangat dalam kegiatan ini, sampai ia lupa kalau acara
ini bakal melibatkan pianis pujaannya. Ia bahkan sudah tidak merengek ingin
ketemu Ardian Hayyra lagi. Namun aku tahu kalau ia hanya kurang percaya diri
sehingga selalu mengajakku bareng. Lagipula kadang kami suka iseng berlagak bak
sepasang kekasih hanya untuk memarodikan perilaku pasangan kekasih betulan yang
ada di komunitas ini. Tapi itu semua hanya untuk main-main saja, sungguh!
Ia
tertawa saja menanggapi pembelaanku. “Kapan-kapan diajak main ke rumah saya
boleh, Bibe. Pingin kenal aja, cowoknya Bibe kayak gimana….”
Kalau
papaku sendiri sih mana sudi!
“Eh,
dia bukan cowok aku!” Aku menyangkal meski kenyataannya memang sungguh
demikian. Tapi tentunya Manda akan senang sekali kalau dibawa ke rumah Om Yan.
Aku harus memastikan dulu apa ia masih menggemari Ardian Hayyra atau tidak…
“Eh… Kalau Ayah sendiri gimana?” kataku lagi.
“Apa
nih?”
“Aku
kan pingin punya ibu juga, Yah. Sama saudara betulan…”
Mulutnya
sedikit terbuka seakan ia tercengang. “Mau ibu yang seperti apa?” suaranya agak
berbisik.
Aku
berpikir sebentar untuk menentukan apa sebaiknya aku bermain-main atau langsung
saja. Lalu aku putuskan untuk… “…jujur Om, aku penasaran banget nih… tentang Om
Yan sama… Tante Ri. He he…”
“Ooh…”
Mulutnya mengatup, mengulas sedikit senyum. “Baik… Kenapa? Kok penasaran?”
“Iya…
Enggak apa-apa… Kan waktu itu pernah diajak nengok aku, terus pernah sempat
ngomongin juga kan, sama Mama sama uwakku…”
Ia
tertawa pelan. “Iya Bibe, sesekali kami ketemu, ya cuman untuk nostalgia aja.”
“Dulu
pacarnya Om ya?”
Ia
mendengus. “Ya… Sempet. Mau cerita yang kayak gimana sih?” tanyanya lembut.
“He
he he…” Rasanya jadi tidak enak begini, ingin mengorek kehidupan asmara orang.
Padahal
aku sudah putuskan untuk mengakhiri persinggungan ini, tapi ia melanjutkan,
“Dia teman saya dari SD, Bibe. Setelah SMA, jadi dekat, gitu aja.”
“Oh…
Dekat yang spesial?” Aku tidak dapat menahan diri untuk menggodanya. “Dari dulu
sampai sekarang?”
“Ya
enggak… Saya kan enggak mungkin ganggu orang menikah Bibe…”
“Katanya
si tante udah pisah…”
“Iya…”
Kedua alis Om Yan terangkat sedikit.
“Adakah
cinta lama bersemi kembali?”
Ia
memandangku, seakan tak habis pikir akan kekukuhanku menggodanya. Namun tidak
tampak tanda-tanda ia jadi senewen atau apa. Hanya seperti tengah menghadapi
kebandelan seorang anak dengan sabar saja.
“Sebenarnya
begini Bibe…” Ia meraih tanganku, mengangkatnya ke atas, kontan aku berputar,
seperti orang menari. Rok rempel kelabuku sedikit terangkat. Ia menarik
tanganku lagi. Lantas aku tersipu ketika menyadari bahwa ia hendak mengajakku
berdansa. Ia mengenggam kedua tanganku, lalu membuatku berayun-ayun sedikit.
Hanya sebentar, tapi cukup membuatku mendapat perasaan baru. “Sudah cukup?” Ia
membungkuk dengan gaya melayani yang sopan.
“Cerita
lagi Yah…”
Tubuhnya
tegak lagi. Kedua tanganku kembali digenggam dan ditariknya. Ia melepas satu
tanganku, aku berayun ke samping, lalu berputar lagi. Ia yang penuh rahasia
namun tak ingin mengecewakanku pun bercerita.
Saat-saat berkesan, saat ku
dikenalkan, dengan seanggun mawar yang sedang mekar.
Ada
luapan bahagia yang turut mengangkat perasaanku.
Bagaikan terjebak, hatiku pun
meledak. Yang tak pernah terjadi, kini kualami sejak kehadirannya.
Seolah
ingin diberitahunya seluruh dunia: hei, aku sedang gembira!
Burung-burung bernyanyi, alam
berwarna-warni, mentari di ujung rambutnya…
Dan
gumpalan itu membesar lalu membuncah ke mana-mana, menggerakkan para
pasangan,para pengasong, para orangtua dan anak, para petugas, para lainnya,
mengetahui beginilah rasanya bersukacita.
Inikah tanda-tandanya bunga asmara,
ingin bersemi sekali lagi?Tanda-tandanya bunga asmara, ingin bersemi di dalam
hati ini sekali.. lagi?
Kusadari
bahwa aku mulai menyayanginya. Bukan, bukan sejenis perasaan aneh yang bikin
debaran di dada tak karuan lanjut melayangkan angan-angan. Tapi suatu perasaan
yang lebih besar, yang dapat menguap luas-luas. Aku hanya ingin ia mengecap
indahnya sebuah ikatan dengan orang yang selamanya ia cintai.
Namun
aku tak berani mengatakannya. Saat kami bertatapan, aku ingin ia bisa membaca
apa yang kupikirkan tentangnya lewat mataku. Aku ingin ia tahu setiap harapanku
untuknya.
Entah
apakah ia dapat. Ia merangkulku setelah itu, seolah apabila ia punya anak maka
aku adalah anaknya sungguhan. Seandainya ia papaku sungguhan, mungkin aku akan
risi. Tapi ia berbeda. Tidak terasa sebegini nyaman dengan papaku sendiri. Aku
ingin balas memeluk untuk menyalurkan kecintaanku pada seorang ayah melaluinya.
“Kita
pulang yuk Bibe? Sudah mau gelap?”
Aku
mendongak. Mendung ditambah naungan tajuk yang mengesankan suasana demikian
sebetulnya. Kuturuti kata-katanya, daripada suasana keburu mencekam. Semakin
lama waktu yang kami lalui bersama, semakin ia bukan sekadar pengganti orangtua
yang tidak bisa menemani makan malam. Ia bisa menjadi sespesial Tante As.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar