Minggu, 27 November 2011

Bunga Asmara Bersemi Lagi

            Melihatnya pakai turtleneck rajutan lagi, entah mengapa tubuhku rasanya meleleh. Warnanya merah hati dan aku bertanya-tanya apakah hatiku lebih merah dari itu. Ia terlihat lebih menawan ketimbang saat ia pakai blazer, kaos lengan panjang, maupun kaos MU.

            Astaga. Ia kan dua-puluhan tahun lebih tua.

            Aku menutup pintu mobil dengan malu.

            “Kenapa? Kok lesu?” tegurnya dengan hangat ketika melihatku yang melunglai.

            “Eh, emang kelihatan gitu ya Om?”

            “Hmm… Sekarang enggak lagi. Siap jalan?” Ia sudah memegang tuas gigi mobilnya.

            “Si-ap!”

            Mobilnya pun menembus gerimis.

            “Kenapa sih kok sukanya hujan-hujanan?” tegur Om Yan lagi. Memang tadi aku menuju mobilnya dari sekolahku tanpa berpayung.

            “Asik Om.”

            “Enggak sakit? Enggak pusing?”

            “Enggak Om.”

            “Kuat ya Bibe…”

            “Seru lo Om. Cobain deh, hujan-hujanan.”

            “Ha ha ha… Dulu saya sakit-sakitan Bibe, makanya enggak biasa kena hujan.”

            “Hm…”

            “Sekarang enggak ayah-ayahan lagi?”

            “Oh iya lupa.” Kutepuk jidat. “Nah, Ayah, ke mana kita jalan-jalan hari ini?”

            “Jadi ke Dago Pakar enggak?”

            Aku mengangguk disertai gumaman setuju. Lalu aku mengangkat tas plastik dari pangkuanku. Ada beberapa dua wadah plastik di dalamnya. Masing-masing berisi jenis kue kering yang berbeda. “Oh ya Ayah, aku boleh titip ini sama ibunya Ayah?”

            “Hm, apa itu Nak?”

            “Ini… Aku cobain bikin kue sendiri, ngikutin yang kemarin dibilangin ibunya Ayah itu lo… Habis kemarin enak banget sih kuenya…” Coba tebak, berapa jam yang aku habiskan di rumah Uwak Tata untuk menjadikan ini semua?

            “Wow. Baik sekali Bibe… Terima kasih ya.” 

“Kalau boleh aku minta komentarnya entar, he he.”

            “Oh. Oke Bibe. Entar Ayah sampaikan… Taruh aja di belakang ya?”

            “Oke.” Aku menurut.

            Seseorang bisa mengemudi dengan tenang lalu sontak menghardik disertai makian karena kecerobohan pengemudi lain—begitulah papaku. Tapi Om Yan tetap tenang saat kegegabahan pengendara lain nyaris menyerempet mobilnya.

            Barulah saat kami sudah sampai tujuan, ia turun sekalian mengamati bodi mobilnya. “Enggak ada apa-apa kok Bibe.” Senyumnya seakan aku yang lebih was-was akan mobilnya. Harusnya kan dia!

Langit telah berhenti menurunkan air begitu kami sampai di tujuan. Tapi Om Yan tetap membawa payung panjangnya untuk berjaga-jaga. Kami tak terlalu memerhatikan jalan maupun dua-tiga pengunjung lainnya yang berpapasan, karena lebih asyik dengan perkataan satu sama lain. Memang nuansa hijau seperti ini sangat mendukung untuk itu! Udara lembap sekaligus sejuk. Kami hanya butuh suasana oke untuk berbagi kata.

“Ayah sabar banget ya, ngendarainnya,” kataku.

“Oya?” Ia terlihat geli. “Dulu pas masih belajar saya sering nyerempet orang juga soalnya, padahal di tempat saya satunya enggak sepadat di sini lalu lintasnya.”

Aku membulatkan mulut.

“Eh Bibe katanya ada cowok yang suka bareng-bareng Bibe terus ya?”

Aku tak mengerti itu siapa.

Memang ada beberapa teman cowok yang dekat denganku, tapi kalau yang suka bareng terus… “Siapa Om?”

“Katanya sukarelawan BMC juga?”

“Ha?”

Suatu ketika Om Yan mengobrol dengan Teh Icih. Obrolan mereka menjurus pada para sukarelawan yang mulai terhimpun,  hingga pasangan-pasangan yang terlihat di kalangan tersebut. Salah satunya aku dan Manda.

Kami memang sepaket—ini istilah Manda—dalam melaksanakan setiap tugas kepanitiaan BMC. Manda sangat bersemangat dalam kegiatan ini, sampai ia lupa kalau acara ini bakal melibatkan pianis pujaannya. Ia bahkan sudah tidak merengek ingin ketemu Ardian Hayyra lagi. Namun aku tahu kalau ia hanya kurang percaya diri sehingga selalu mengajakku bareng. Lagipula kadang kami suka iseng berlagak bak sepasang kekasih hanya untuk memarodikan perilaku pasangan kekasih betulan yang ada di komunitas ini. Tapi itu semua hanya untuk main-main saja, sungguh!

Ia tertawa saja menanggapi pembelaanku. “Kapan-kapan diajak main ke rumah saya boleh, Bibe. Pingin kenal aja, cowoknya Bibe kayak gimana….”

Kalau papaku sendiri sih mana sudi!

“Eh, dia bukan cowok aku!” Aku menyangkal meski kenyataannya memang sungguh demikian. Tapi tentunya Manda akan senang sekali kalau dibawa ke rumah Om Yan. Aku harus memastikan dulu apa ia masih menggemari Ardian Hayyra atau tidak… “Eh… Kalau Ayah sendiri gimana?” kataku lagi.

“Apa nih?”

“Aku kan pingin punya ibu juga, Yah. Sama saudara betulan…”

Mulutnya sedikit terbuka seakan ia tercengang. “Mau ibu yang seperti apa?” suaranya agak berbisik.

Aku berpikir sebentar untuk menentukan apa sebaiknya aku bermain-main atau langsung saja. Lalu aku putuskan untuk… “…jujur Om, aku penasaran banget nih… tentang Om Yan sama… Tante Ri. He he…”

“Ooh…” Mulutnya mengatup, mengulas sedikit senyum. “Baik… Kenapa? Kok penasaran?”

“Iya… Enggak apa-apa… Kan waktu itu pernah diajak nengok aku, terus pernah sempat ngomongin juga kan, sama Mama sama uwakku…”

Ia tertawa pelan. “Iya Bibe, sesekali kami ketemu, ya cuman untuk nostalgia aja.”

“Dulu pacarnya Om ya?”

Ia mendengus. “Ya… Sempet. Mau cerita yang kayak gimana sih?” tanyanya lembut.

“He he he…” Rasanya jadi tidak enak begini, ingin mengorek kehidupan asmara orang.

Padahal aku sudah putuskan untuk mengakhiri persinggungan ini, tapi ia melanjutkan, “Dia teman saya dari SD, Bibe. Setelah SMA, jadi dekat, gitu aja.”

“Oh… Dekat yang spesial?” Aku tidak dapat menahan diri untuk menggodanya. “Dari dulu sampai sekarang?”

“Ya enggak… Saya kan enggak mungkin ganggu orang menikah Bibe…”

“Katanya si tante udah pisah…”

“Iya…” Kedua alis Om Yan terangkat sedikit.

“Adakah cinta lama bersemi kembali?”

Ia memandangku, seakan tak habis pikir akan kekukuhanku menggodanya. Namun tidak tampak tanda-tanda ia jadi senewen atau apa. Hanya seperti tengah menghadapi kebandelan seorang anak dengan sabar saja.

“Sebenarnya begini Bibe…” Ia meraih tanganku, mengangkatnya ke atas, kontan aku berputar, seperti orang menari. Rok rempel kelabuku sedikit terangkat. Ia menarik tanganku lagi. Lantas aku tersipu ketika menyadari bahwa ia hendak mengajakku berdansa. Ia mengenggam kedua tanganku, lalu membuatku berayun-ayun sedikit. Hanya sebentar, tapi cukup membuatku mendapat perasaan baru. “Sudah cukup?” Ia membungkuk dengan gaya melayani yang sopan.

“Cerita lagi Yah…”

Tubuhnya tegak lagi. Kedua tanganku kembali digenggam dan ditariknya. Ia melepas satu tanganku, aku berayun ke samping, lalu berputar lagi. Ia yang penuh rahasia namun tak ingin mengecewakanku pun bercerita.

Saat-saat berkesan, saat ku dikenalkan, dengan seanggun mawar yang sedang mekar.

Ada luapan bahagia yang turut mengangkat perasaanku.

Bagaikan terjebak, hatiku pun meledak. Yang tak pernah terjadi, kini kualami sejak kehadirannya.

Seolah ingin diberitahunya seluruh dunia: hei, aku sedang gembira!

Burung-burung bernyanyi, alam berwarna-warni, mentari di ujung rambutnya…

Dan gumpalan itu membesar lalu membuncah ke mana-mana, menggerakkan para pasangan,para pengasong, para orangtua dan anak, para petugas, para lainnya, mengetahui beginilah rasanya bersukacita.

Inikah tanda-tandanya bunga asmara, ingin bersemi sekali lagi?Tanda-tandanya bunga asmara, ingin bersemi di dalam hati ini sekali.. lagi?

Kusadari bahwa aku mulai menyayanginya. Bukan, bukan sejenis perasaan aneh yang bikin debaran di dada tak karuan lanjut melayangkan angan-angan. Tapi suatu perasaan yang lebih besar, yang dapat menguap luas-luas. Aku hanya ingin ia mengecap indahnya sebuah ikatan dengan orang yang selamanya ia cintai.

Namun aku tak berani mengatakannya. Saat kami bertatapan, aku ingin ia bisa membaca apa yang kupikirkan tentangnya lewat mataku. Aku ingin ia tahu setiap harapanku untuknya.

Entah apakah ia dapat. Ia merangkulku setelah itu, seolah apabila ia punya anak maka aku adalah anaknya sungguhan. Seandainya ia papaku sungguhan, mungkin aku akan risi. Tapi ia berbeda. Tidak terasa sebegini nyaman dengan papaku sendiri. Aku ingin balas memeluk untuk menyalurkan kecintaanku pada seorang ayah melaluinya.

“Kita pulang yuk Bibe? Sudah mau gelap?”

Aku mendongak. Mendung ditambah naungan tajuk yang mengesankan suasana demikian sebetulnya. Kuturuti kata-katanya, daripada suasana keburu mencekam. Semakin lama waktu yang kami lalui bersama, semakin ia bukan sekadar pengganti orangtua yang tidak bisa menemani makan malam. Ia bisa menjadi sespesial Tante As.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain