Aku
menoleh dari layar laptop dengan waspada. Suara Mama terdengar nyaring
sekaligus genit,“Bibe, malam Minggu enggak ke mana-mana nih?”
Sekian
minggu telah berlalu sejak operasi usus buntuku. Sekarang aku tidak mengalami
gangguan sakit perut lagi kecuali saat ingin buang air besar. Yang patut
disayangkan adalah aku tidak punya alasan kuat untuk berlama-lama tinggal di
rumah Tante As lagi. Apalagi saat Om Pir ada di sana. Apalagi saat Papa ada di
rumah. Itu titah papaku.
“Bibe,
kalau Om Pir lagi ada di rumah Tante As jangan sering-sering di sana dulu ya.”
“Kenapa?”
“Ya
ganggu aja. Om Pir sama Tante As kan enggak sering ketemu.”
“Iya.
Iya.”
Tapi
papaku sudah pergi lagi tadi sore. Kali ini ia ditugaskan meliput sebuah acara
di Moskow. Dengan segera Mama tampaknya sudah merasa kesepian lagi.
“Enggak
ke mana-mana Mama,” jawabku dengan intonasi wajar. Pandanganku kembali mengarah
pada tugas yang sedang kukerjakan.
“Ngapel
sama Mama yuk.”
“Beeeuh…”
Sudah jelas ia hendak mengajakku makan di luar karena ia tidak menyiapkan
makanan apapun untuk malam ini.
“Bibe
udah enggak suka sama keroncong lagi?” Mama tiduran di sofa di belakangku
sementara aku sendiri duduk di lantai dengan meja kaca rendah di atas
selonjoran kakiku.
“Masih-masih aja tuh,” jawabku tanpa
pikir.
“Kok sekarang dengerinnya jazz?”
Aku baru ngeh kalau sedari entah
kapan aku menyetel KLCBS keras-keras. Aku menanti-nanti lagu Ardian Hayyra
diputar lagi. Sejak yang pertama, itu pulalah yang terakhir kali.
Sebetulnya aku sudah mengunduh
beberapa lagunya. Yang kumaksud di sini bukannya lagu di mana ia hanya bermain
sebagai pengiring musisi jazz lain. Aku tidak melacak sampai ke sana. Ia
menghasilkan dua album yang menonjolkan komposisinya saja—meski ada satu album
lagi yang menghimpun kolaborasinya dengan belasan musisi beken. Tidak ada satu
pun nomor dalam kedua album tersebut yang berlirik. Komposisinya adalah sejenis
musik yang kalau didengarkan sekilas bakal membuat penikmat awam berkomentar,
“Ini lagu apaan sih?” Tapi kalau didengarkan sungguh-sungguh, musiknya mampu
membuai indra pendengaranmu dengan kenikmatan luar biasa. Sebuah nomornya
berjudul “Ayah”. Aku tidak mengerti mengapa ada setitik air mata di sudut
mataku saat membiarkan musik tersebut menguasai perasaanku.
Meski tidak terlalu terkenal di
Indonesia, aku menemukan forum berbahasa Indonesia yang membahas dirinya. Aku
kirasebagian besar dari mereka yang mengisi forum memang merupakan penikmat
permainan piano. Mendengarkan Ardian Hayyra yang bermain, yang tidak bisa main
piano jadi tambah ingin bisa main piano, yang bisa main piano jadi ingin bisa
memainkan komposisi-komposisinya. Ada juga yang menggemari pria tersebut hanya
karena fisiknya yang menawan. Aku menemukan banyak link untuk mengunduh mp3 dan
video penampilan pria tersebut dari forum ini juga. Aku sudah menengok salah
satu video penampilan nya—sebuah resital piano tunggal di Concertgebouw
Amsterdam. Menurut sang pengunggah, video itu diambil saat sang pianis belum
sungguh-sungguh terjun di belantika jazz.
Aku ingin tahu bagaimana komentar
mereka kalau aku mengunggah foto sang pianis saat masih SMA lalu mengatakan
kalau pria tersebut pernah menggendongku masuk mobilnya lalu beberapa hari
kemudian mengaku sebagai astronot. Ha ha ha. Aku sudah konfirmasi pada mamaku.
Ia adalah cowok bertampang kurang pribumi yang fotonya—bersama Mama dan para
sepupu mamaku—aku temukan di ruang buku kapan itu. Kakek buyutnya dari Jerman.
Selebihnya ia adalah Sunda, Betawi, dan Minang. Ia sendiri lahir dan menetap di
Boston hingga sekarang. Ia tinggal di Indonesia hanya selama masa pendidikan
wajibnya—dari SD sampai SMA. Ia punya dua kewarganegaraan, Indonesia dan AS.
“Ma, tahu enggak ini siapa?” Iseng
aku membuka foto sang pianis dalam pertunjukannya di Berlin Jazz Festival.
Sengaja kusimpan untuk sampul folder dalam flashdiskku yang khusus berisi
lagu-lagunya. Beberapa orang kulit hitam yang memainkan alat musik tiup menjadi
latar dirinya yang tampak larut bersama piano. Aku suka kemeja Hawaii yang ia
kenakan.
Kepala Mama di samping kepalaku. Ia
menyipitkan mata. “Om Yan bukan?”
“Dia ternyata pemain musik, Ma.”
“Tahu kok.”
“Mama enggak kasih tahu aku.”
“Kan Bibe udah tahu sendiri?”
“Ye!”
Tubuh Mama rebah lagi di sofa. “Be,
cobain ke Kedai Buaya itu yuk.”
“Hah? Buaya?”
“Itu lo, yang katanya adik kelas
Mama yang waktu itu besuk Bibe ada keroncong-keroncongnya gitu. Emang kamu
sebagai penggemar keroncong enggak penasaran?”
Aku menangkap sindiran dalam nada
Mama. “Yuk, ke sana,” sahutku.
***
Seperempat jam kemudian, aku, Mama,
dan sang motor lawas nan mungil menembus dinginnya Bandung malam. Kedai yang
dituju berada di wilayah Cibeunying. Kalau siang, suasana teduh pasti terasa di
sekitar kedai tersebut dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang kanan dan
kiri jalan. Lokasi kedai ini tidak persis di jalan besar namun tetap merupakan
sebuah kawasan ramai dengan adanya beberapa tempat makan lain.
Sampailah kami di muka kedai.
Seperti kata Tante Ri, ada gambar buaya di plangnya. Tepatnya: “Kedai”, enter,
gambar buaya, spasi, “Keroncong”. Tulisannya bersambung warna merah sedang
buaya berwarna hijau. Semua berkerlap-kerlip. Bagian bawah kanopi kedai juga
dihiasi rangkaian lampu-lampu kecil kerlap-kerlip. Begitu memasuki bagian
dalam, aku merasa berada di negara lain. Portugis? Nuansa temaram namun hangat
menyambut mata. Dinding berhiaskan potret-potret zadul. Aku membaca tulisan
“Jong Indische Stryken Tokkel Orkest – Soerabaja” pada salah satu potret hitam-putih
berisi sekelompok orang berblanglon dan berbeskap. Ada yang berkumis baplang.
Aku melihat karikatur wajah Gesang, Mus Mulyadi, dan Hetty Koes Endang di
potret-potret lain.
Di sisi kanan dan kiri ruangan, ada
sebuah meja panjang dan tinggi. Kursi-kursi tinggi tanpa sandaran berderet di
depannya. Di balik tiap meja ada beberapa pegawai kedai yang siap melayani
pesanan dan pembayaran. Masing-masing sisi sepertinya menyediakan menu dengan
cita rasa berbeda—kalau aku soroti daftar di dinding sebelah atas pada sisi
masing-masing. Ditulis pakai ejaan lama pula. Yang aku herankan mengapa
harganya tidak menyesuaikan dengan harga zadul pula. Sepiring nasi goreng
berharga 5 sen misal, bukannya 15.000 rupiah.
Aroma manis dan hangat tersesap ke
dalam indra penciuman. Terbayang adonan terigu mengembang dalam balutan
mentega. Hawa panas meliuk dari secangkir minuman yang dalam menu sini ditulis
“Badjigoer”. Ada yang sudah berkeroncong duluan nih di dalam perutku. Kalau tidak lekas diisi, bakal ada
pertunjukan keroncong luar-dalam.
Di seberang ruangan, dari arah
masuk, ada sebuah panggung rendah yang menampung berbagai alat musik—seperti
ukulele, gitar akustik, biola, seruling, cello, bass, akordion, kibor, dan
lain-lain yang aku tidak tahu—beserta pemainnya masing-masing. Sebuah penyangga
dengan mikrofon di puncaknya berdiri di tengah panggung—agak ke depan. Mulut
seorang pria tua di atas mikrofon tersebut. Sebuah langgam tengah ia nyanyikan
dengan vokal mendayu.
Bagian tengah ruangan diisi
meja-meja bulat dari kayu. Setiap meja dikelilingi beberapa kursi kayu dengan
sandaran rendah. Kursi-kursi yang mengisi ruang dekat panggung—hampir setengah
ruangan—terisi oleh para pria-wanita berumur. Jadi aku menarik kursi yang
letaknya di tengah agak belakang. Mama menarik kursi di sebelahku. Beberapa
saat kami hanya melihat-lihat.
Langgam usai dimainkan. Tepuk tangan
riuh menyambut turunnya sang vokalis. Tiba-tiba seorang pria di sisi kanan
menunjuk seseorang di tengah ruangan. “Ayo Pak Edi, ‘Bisikan Hati’-nya mana?” Gelak
tawa bermunculan.
“’Suci dalam Debu! Suci dalam
Debu!’” Seseorang yang lain berteriak.
“Oke, saya maju, tapi Pak Tarmin
yang pegang double bass!”
“Ayo, ayo… Kalau begitu saya tunjuk
Pak Sis ya. Kibor lagi, Pak Sis!”
Para lansia ini akan nge-jam. Oh
tidak. Sungguh terkesan aku dibuatnya.
Mama berdiri. Kontan aku menunjuk
suatu nama makanan yang harganya paling tinggi. “Kalau Mama beliin aku ini,
besok pagi aku yang nyuci deh.”
Tawa Mama tertahan. “Kalau Bibe
nyanyi di depan, Mama beliin itu, Mama juga yang nyuci.”
“Ya udah deh, yang mana aja, asal
kenyang,” kataku pasrah. Kuperhatikan mamaku mendekati salah satu meja. Ia
mengamat-amati menu yang tersedia. Seorang pelayan mendekatinya. Mereka
berbincang-bincang. Melihat ekspresi Mama yang meramah, sesekali tampak
menyimak dengan baik, dengan pancaran penuh maksud, aku mencium gelagat.
Insting reporter Mama bekerja. Bakal lama nih.
Kukembalikan pandanganku ke arah
panggung. Lalu kulihat ia, sebutir mutiara di tengah rongsok, seorang anak
perempuan. Ikal-ikal kecil kecokelatan menghias bagian atas dahinya yang putih
bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat dua di bawah telinga. Ujungnya
mengikal seperti pakis. Senyumnya menyejukkan. Terhalang meja, namun kukira ia
memakai terusan batik tanpa lengan. Hal itu terbukti ketika Pak Edi usai
bernyanyi lalu mengajak anak itu naik ke panggung. “Ayo sini, Sayang. Nah,
sekarang primadona cilik kita yang tampil.”
Bahu dan punggung anak itu disentuh
pria dan wanita yang mengapitnya. Mungkin mereka kakek dan neneknya. Senyumnya
menyirat sedikit grogi, namun ia melangkah juga dengan lincah ke panggung.
Seseorang menyerahkan mikrofon lain pada Pak Edi. Ia serahkan mikrofon tersebut
pada gadis kecil itu. “Mau nyanyi apa malam ini, Sayang?”
Malu-malu, gadis itu menjawab,
“’Mimpi Sedih’.”
“Lo, emang tadi malam habis mimpi
apa? Kok sedih?”
Tawa pelan terdengar dari gerombolan
para eyang tersebut. Gadis kecil itu terlihat makin tersipu-sipu. Ia tidak
terlihat mirip Tante Ri tapi mungkin saja ia anak Tante Ri. Bukankah tempo hari
wanita itu bilang kalau tidak ada anak kecil lain yang suka datang ke kedai ini
karena memang doyan keroncong? Aku mengingat-ingat nama gadis kecil itu. …ira…
Mira W.? Aku menyeruput sekoteng yang baru saja datang tapi Mama masih mengobrol
dengan pelayan di balik meja.
Tidak menggoda anak itu lebih lama,
Pak Edi menggantikan posisi PakMarto—aku asal sebut saja sih—pada perkusi.Suara
kibor menggema diiringi irama konstan dan lambat dari berbagai instrumen khas
keroncong.
Di
malam sepi, aku bermimpi, mimpi yang sedih…sekali. Kau akan pergi, tinggalkan
diriku. Aku menangis tersedu…
Ekspresi gadis kecil itu seperti
benar-benar akan menangis. Sepasang matanya yang mungil dan jernih membiaskan
lara.
Diriku…
tak pernah, lepas dari penderitaan… Mimpi yang kini terjadi. Kau… pergi setelah
aku serahkan kasih suci. Itulah nasib diriku…
Rupanya yang berdecak di atasku tadi
Mama. Secangkir minuman panas di tangan kanannya. Ia duduki kembali kursi di
sampingku. “Anak kecil nyanyinya udah yang kayak gitu.”
Angin meniup, membisikkan kata, yang sangat menusuk hati.
Angin meniup, membelai kalbuku, yang terurai tak berseri lagi…
Terlepas dari liriknya yang amat
sendu, Mama tampak terpukau dengan penghayatan dan kemerduan suara anak
tersebut.
Kalau
setelah ini mamaku tanya apakah aku bisa bernyanyi seperti itu, aku akan
menjawab tidak. Aku kan spesialis lagu genit macam “Lasamba Primadona”-nya
Krakatau. Itu lagu favoritku kala mengikuti lomba menyanyi. Begitu lulus SD,
aku sudah cukup sadar untuk tidak tampil serba merah lagi dengan membawakan
lagu tersebut. Simaklah penggalan liriknya, “ku melirikkan mata, agar semua pria tahu siapa, aku… sang primadona…
lihatlah padaku, manisnya senyumku, coba tengok langkahku, semua membuat rindu,
membuat pria luluh datang padaku… ku memang primadona, ku memang ratu pesta,
oyaya…”
Usai
menyanyi, apresiasi untuk anak itu lebih baik dari para penampil sebelumnya.
Mungkin karena ia masih kecil. Ia sudah hampir duduk lagi di kursinya semula,
tapi Pak Edi menyuruhnya naik lagi. Kasihan. Mereka tawar-menawar berapa lagu
lagi yang harus dinyanyikan gadis kecil yang menarik perhatian tersebut.
Kesepakatan dicapai. Anak itu akan menyanyi sekali lagi, solo, dan sekali lagi,
duet dengan Pak Marto—ternyata memang ada pria bernama demikian di ruangan ini.
Ia
nyanyikan “Sepasang Mata Bola” dengan begitu apik sampai aku mengunduh beragam
versi lagu tersebut sepulang dari kedai.
Ketika
akhirnya ia benar-benar boleh turun dari panggung, gadis kecil itu langsung
menuju salah satu meja pemesanan. Mamaku mendekatinya. Mereka mengobrol,
menoleh padaku, aku melambaikan tangan pada mereka dengan banyak tanda tanya di
atas kepala, mengobrol lagi, lalu Mama menggiring gadis kecil itu mendekatiku.
Seketika aku berdiri untuk menyambut.
“Halo,”
kataku seraya mengulurkan tangan. “Suara kamu tadi bagus deh.”
“Makasih,
Kak…” Gadis kecil itu tersenyum malu-malu.
Kami
berkenalan. Namanya Vira dengan huruf v di depan. Setelah itu, ia cepat-cepat
kembali ke kursinya. Kedua eyangnya memandangi kami. Mamaku tersenyum sopan
pada mereka. Mereka balas mengangguk dan tersenyum.
“Mama
ngapain dia tadi?” selidikku.
“Cuman
tanya-tanya dikit kok.” Ia mengambil potongan kue dari atas piringku,
mengunyahnya, lalu matanya menyipit. “Enak juga.”
Ketika
hasil liputan mamaku cetak, aku jadi tahu kalau kedai yang baru berdiri sekitar
setahun itu milik neneknya Vira bersama beberapa orang kawannya. Maksud mereka
sekadar mengakomodasi kegemaran sebagian besar dari mereka terhadap keroncong.
“Padahal Bu Icenya sendiri enggak suka-suka amat sama keroncong lo,” tambah
Mama—di luar tulisannya—padaku. Bu Ice itu nama neneknya Vira. Mama bertemu
langsung dengan wanita itu di kedainya pada suatu siang. “Off record ya, Be.”
Jangan
dulu tersinggung kalau dijuluki “buaya”. Bagi komunitas keroncong, itu adalah
suatu penghargaan untuk mereka yang memiliki musikalitas tinggi terhadap
keroncong. Asal sebutan ini bermuara pada lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang.
Bengawan Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Surakarta sedang buaya merupakan
satwa yang biasa dianggap merajai sungai. Biasanya pula, orang langsung
mengasosiasikan “Bengawan Solo” dengan keroncong sehingga gelar “buaya” sebagai
raja sungai pun disandangkan pada maestro keroncong. Beberapa tokoh yang
dikenal sebagai buaya keroncong Indonesia adalah Gesang dan Kusbini. Dengan
menghelat Keroncong Jam Session tiap bulan pada minggu kedua, pukul setengah
delapan malam sampai kantuk menerjang, komunitas penggemar keroncong di Kedai
Keroncong tampaknya ingin melahirkan buaya-buaya baru. Begitulah mamaku
menulis.
Mama
juga mengkaitkan kemunculan kedai ini terhadap animo kaum muda terhadap
keroncong. Ini bisa dibangkitkan dengan menyemai lebih banyak bibit muda
seperti Vira. Bisa-bisanya Mama terkesan mendukung kelestarian keroncong seperti
ini, padahal ia mencela-celaku saat mendengarkan musik tersebut.
Seperti
yang sudah kuungkap tadi, sesi nge-jam keroncong seperti malam yang kulalu
bersama Mama itu ternyata tidak berlangsung tiap minggu. Komunitas yang kemarin
hanya berkumpul sekali sebulan pada minggu kedua. “Biar gairah ngumpulnya lebih
terasa, ngumpulnya dibikin enggak sering-sering amat,” terang Mama. Meski
demikian, fasilitas di atas panggung tersedia bagi siapa sajayang ingin
memanfaatkannya kapan saja selama jam buka. “Mestinya dibikin gerakan Pemuda
Peduli Keroncong juga tuh Be. Ayo, Bibe rintis ya.”
“Bah.”
***
Namun
aku sungguh datang lagi pada sesi di bulan-bulan berikutnya. Mamaku sampai
komentar, “Mama miris Bibe doyannya nyanyi sama eyang-eyang.”
Aku
tipe orang yang bakal tetap jalan meski tidak ada teman. Kalau beruntung,
temanku ada yang mau menemani. Beruntung juga kalau aku bisa menempati kursi
kosong yang letaknya agak dekat dengan panggung.
Apakah
aku jadi benar-benar menyukai keroncong? Entahlah, yang jelas aku sudah hapal
lirik Keroncong Kemayoran lo.
Aku
tidak tahu ini berkat sugesti Mama apa bukan. Tapi memang hal menarik bagiku
untuk menonton pertunjukan musik secara live, apalagi keroncong, apalagi ada
Vira—sang biduanita muda—meski ia tidak selalu hadir.
Apalagi
kalau ada pengunjung berusia relatif muda yang sedang sial: digiring para
lansia ganas ini untuk mengisi panggung. Entah bisa bermusik atau tidak, suara
sumbang tidak jadi syarat bagi komunitas ini dalam mengapresiasi. Seorang
mas-mas pernah jadi korban. Ia sedang bercengkerama dengan teman-teman
sepantarannya ketika pembawa acara di panggung menunjuknya. “Mas yang itu!”
Meski suaranya sesekali hilang saat menyanyikan “Rayuan Pulau Kelapa”, namun
tepuk tangan riuh di akhir penampilannya tetap ia dapatkan. Setelahnya, terasa
kewaspadaan dari menuansai kumpulan anak muda itu—kalau-kalau salah satu dari
mereka akan ditunjuk lagi. Tapi, setelah dua kali aku menyaksikan ini, pada
tiap acara ini hanya satu orang di luar komunitas yang dikerjai.
Yang
waktu itu tidak mas-mas sial itu ketahui, ia sebenarnya bisa saja menerapkan
sistem acak-tunjuk—agar ada temannya yang bisa ikut jadi korban—sebagaimana
yang berlaku dalam komunitas tersebut. Setelah beberapa sesi kuhadiri, aku jadi
tahu kalau mereka menerapkan sistem tersebut untuk menentukan penampil pada
giliran berikut. Pada umumnya, orang-orang dalam komunitas ini sudah saling
kenal. Setelah ditunjuk, mereka akan menunjuk orang lainnya untuk menemani.
Yang menemani akan menunjuk orang lainnya lagi agar panggung makin ramai.
Sedang
menikmati penampil ke sekian, seorang kakek di meja sebelah mejaku menegur,
“Mbak, mau coba nyanyi juga?”
Sial.
Giliranku kena juga. Secara tidak ada yang benar-benar kukenal di sini, aku
tidak bisa balas tunjuk pada orang lain.
“Boleh…”
jawabku. Toh aku punya pengalaman, meski bukan keroncong.
Kunyanyikan
“Sepasang Mata Bola”—untung belum ada yang menyanyikan ini pada giliran-giliran
sebelumnya.
Apresiasi
yang kuterima cukup hangat. Aku kira aku bisa langsung turun. Mukaku sudah panas
karena malu. Tadi aku kurang bisa menyesuaikan dengan tempo pengiring yang
relatif lambat. Tapi seseorang menahanku tetap di panggung. Alamak. Aku merasa
bagai Vira dalam wujud yang lebih tua, cokelat, dan tinggi.
Pak
Edi lagi.
“Kok
sepertinya saya suka melihat adek ini. Penggemar keroncong juga ya, Mbak?”
Aku
menyengir saja.Tatapan para lansia yang tersenyum-senyum di bawah sana
membuatku grogi. Aku sempat lihat Vira tampak terpana menyaksikanku.
Selanjutnya
aku merasa diinterogasi. Aku ditanya masih sekolah atau tidak, sekolah di mana,
kelas berapa, pacarnya kok tidak dibawa, les menyanyi atau tidak, kok suaranya
merdu, ha ha ha. Dan membiarkan mereka tahu kalau pengetahuanku tentang
keroncong ternyata tidak seberapa. Pak Edi menyuruhku untuk lekas mendaftar
jadi anggota komunitas lalu tidak lupa membayar iuran tiap bulan. Seseorang
menyahut padanya, “Lah, ngapusi, kowe ki ra tau mbayar!” Aku tidak paham bahasa
Jawa, tapi sepertinya tadi Pak Edi hanya mendagel. Aku lihat beberapa orang
tertawa.
Lalu
Pak Edi menyuruh Vira naik ke panggung. “Nah ini, biar sesama buaya junior juga
tidak kalah kompak sama yang senior-senior… Sudah kenalan belum?” Aku merasa
menyusut jadi bocah seumuran Vira.
“Udah.”
Gaya Vira masih tetap malu-malu.
Lalu
ada yang menyuruh kami berduet. Meski terkesan pemalu, namun Vira mampu
bersikap profesional. Tampil di panggung ini adalah hal biasa baginya. Ia
menatapku dengan minat, seakan menanti jawaban apakah aku mau berduet
dengannya.
Aku
dan dia lalu berdiskusi sebentar dengan para pemain musik yang akan mengiringi
kami. Aku jujur pada mereka bahwa selain lagu-lagu wajib nasional dan Keroncong
Kemayoran aku tidak hapal judul-judul lain. Dengan kenes Vira mengatakan kalau
Keroncong Kemayoran adalah favoritnya. Kami sepakat memainkan lagu tersebut. Ia
yang menyanyikan bait pertama. Yang pengalaman yang duluan dong.
Biola
bermain, dilatari gerincing kerincing, menyusun keroncong. Vira menyanyi dengan
suara bak penyanyi seriosa.
Laju laju perahu laju, jiwa
manis indunglah disayang.Laju sekali, laju sekali ke Surabaya....
Kalau
dalam versi yang aku punya, bagian berikut dinyanyikan dengan amat
pas-pasan—sama sekali tanpa teknik—oleh suara kakek-kakek.
Buah dondong, buah kecapi, ini
keroncong lincah sekali.
Vira
menoleh padaku. Sinar matanya membuatku merasa bagai seorang penjelajah yang
akhirnya menemukan aliran deras sungai setelah tersesat berhari-hari dalam
rimba—meski irama keroncong ini sangat tenang dan menenteramkan.
Boleh lupa kain dan baju…
Aku
berusaha untuk tidak meniru intonasi kakek-kakek dalam keroncong yang sudah
berkali-kali kuhayati agar hapal liriknya tersebut.
Jiwa manis indung disayang…
Sorot
mata penuh keramahan itu beralih lagi pada penonton.
Janganlah lupa, janganlah lupa
kepada saya…
Kembali
giliranku. Aku mengikutinya mengedarkan tatap pada mereka yang menikmati duet
kami.
Buah dondong di pinggir kali,
ini keroncong lincah sekali.
Ketika
hanya instrumen yang dimainkan, kami sama-sama tidak bisa menahan tawa saat
berpandangan. Tapi kami tertawa pelan saja, lebih seperti desisan.
Selanjutnya
kami memodifikasi bait-bait yang sudah kami lantunkan sebelumnya. Seperti lirik
sebuah lagu dangdut, “kau yang memulai,
kau yang mengakhiri”, ia jua yang menutup duet kami dengan bait yang berupa
pantun.
Tepuk
tangan yang riuh menelan suaranya. Untung benar, kami tidak ditahan lebih lama
di panggung setelahnya. Aku hendak kembali ke kursiku semula. Di tengah lanskap
suara orang berkeroncong dan mengobrol, aku dengar suara anak kecil berteriak
padaku, “Kak Bibe! Duduk sini yuk…!”
Vira
melambaikan tangan padaku. Seperti biasa, sepasang eyang menemaninya. Namun
keduanya sedang asyik mengobrol dengan orang-orang yang berbeda. Aku mengambil
tas lalu menuruti ajakan anak tersebut.
Ia
terus memerhatikan hingga aku dalam posisi duduk yang nyaman. Senyum terulas
selalu di wajahnya. “Kakak datang sendirian aja?” tanyanya. Aku mengangguk.
Setelahnya ia seperti tidak tahu apa yang mau ia katakan lagi. Kepalanya
kembali lurus. Pandangannya agak menunduk. Malah kemudian eyangnya yang
menegurku. Kami berkenalan.
“Cuma
Vira sama kakaknya aja yang boleh panggil eyang. Panggil aja Tante Ice ya,”
katanya saat menjabat tanganku. Wanita mungil itu memang masih telihat muda.
Kulitnya sebening Tante Ri, kontras dengan turtleneck hitam ketat berlengan
panjang yang ia kenakan. Untaian mutiara—beberapa butir bersinar ditimpa cahaya
lampu—menjuntai dari leher hingga dadanya. Hanya sedikit semburat uban yang
menghiasi rambut hitamnya yang berpotongan bob pendek setelinga.
Sepasang
tangannya mendarat di bahu suaminya, mengarahkan tubuh besar pria berkumis dan
berambut galing itu padaku, “Ini Om Radit.” Uban di galing rambut pria itu juga
belum banyak.
Ganti
aku menjabat tangan Om Radit. “Bibe,” kataku seraya memberi cengiran lebar.
“Waktu
itu pernah datang sama mamanya ya? Wartawan PW?” tanya Om Radit. Sebelah
pipinya kembung dengan potongan roti yang baru saja ia suapkan ke dalam mulut.
Aku
mengangguk. “Tahu tempat ini juga kayaknya dari mamanya Vira, Om.” Vira kembali
memandangku. Aku menyebut nama Tante Ri sekaligus keterangan bahwa ia pernah
menjengukku saat opname setelah operasi usus buntu. Lalu aku ingat kalau yang
membersamai Tante Ri—yang sebetulnya tidak terlalu kenal dengan mamaku, jadi
kukira ia hanya menemani Om Yan saja—sempat kukira sebagai suaminya namun kata
Mama bukan. “Waktu itu Tante Ri datang sama temennya. Tante Ri sama temennya
itu adik kelasnya Mama pas SMA,” jelasku.
Om
Radit manggut-manggut sementara perhatian istrinya ada pada orang lain. Aku
lihat wajah Vira menyirat senang.
Semakin
larut, para eyang semakin bergairah. Sendiri atau berpasangan, mereka maju ke
depan panggung. Tarian mereka, banyak yang asal saja, mengikuti irama keroncong
yang konstan. Aku jadi mengenali tawa khas eyang-eyang itu bagaimana.
Komunitas
ini baru benar-benar bubar setelah pergantian hari. Saat itu tiba, biasanya
tinggal beberapa orang saja bercakap-cakap. Vira dan kedua eyangnya biasa
pulang sebelum pukul sepuluh—maksimal sebelas—malam. Aku sendiri biasa tahan
sampai sekitar pukul sebelas. Kalau motor sedang dibawa mamaku, Mama akan
menjemputku. Tapi kalau tidak, maka aku akan membawanya meski belum punya SIM
he he.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar