Kamis, 03 November 2011

Kedai Buaya Keroncong

Aku menoleh dari layar laptop dengan waspada. Suara Mama terdengar nyaring sekaligus genit,“Bibe, malam Minggu enggak ke mana-mana nih?”

Sekian minggu telah berlalu sejak operasi usus buntuku. Sekarang aku tidak mengalami gangguan sakit perut lagi kecuali saat ingin buang air besar. Yang patut disayangkan adalah aku tidak punya alasan kuat untuk berlama-lama tinggal di rumah Tante As lagi. Apalagi saat Om Pir ada di sana. Apalagi saat Papa ada di rumah. Itu titah papaku.

“Bibe, kalau Om Pir lagi ada di rumah Tante As jangan sering-sering di sana dulu ya.”

“Kenapa?”

“Ya ganggu aja. Om Pir sama Tante As kan enggak sering ketemu.”

“Iya. Iya.”

Tapi papaku sudah pergi lagi tadi sore. Kali ini ia ditugaskan meliput sebuah acara di Moskow. Dengan segera Mama tampaknya sudah merasa kesepian lagi.

“Enggak ke mana-mana Mama,” jawabku dengan intonasi wajar. Pandanganku kembali mengarah pada tugas yang sedang kukerjakan.

“Ngapel sama Mama yuk.”

“Beeeuh…” Sudah jelas ia hendak mengajakku makan di luar karena ia tidak menyiapkan makanan apapun untuk malam ini.

“Bibe udah enggak suka sama keroncong lagi?” Mama tiduran di sofa di belakangku sementara aku sendiri duduk di lantai dengan meja kaca rendah di atas selonjoran kakiku.

            “Masih-masih aja tuh,” jawabku tanpa pikir.

            “Kok sekarang dengerinnya jazz?”

            Aku baru ngeh kalau sedari entah kapan aku menyetel KLCBS keras-keras. Aku menanti-nanti lagu Ardian Hayyra diputar lagi. Sejak yang pertama, itu pulalah yang terakhir kali.

            Sebetulnya aku sudah mengunduh beberapa lagunya. Yang kumaksud di sini bukannya lagu di mana ia hanya bermain sebagai pengiring musisi jazz lain. Aku tidak melacak sampai ke sana. Ia menghasilkan dua album yang menonjolkan komposisinya saja—meski ada satu album lagi yang menghimpun kolaborasinya dengan belasan musisi beken. Tidak ada satu pun nomor dalam kedua album tersebut yang berlirik. Komposisinya adalah sejenis musik yang kalau didengarkan sekilas bakal membuat penikmat awam berkomentar, “Ini lagu apaan sih?” Tapi kalau didengarkan sungguh-sungguh, musiknya mampu membuai indra pendengaranmu dengan kenikmatan luar biasa. Sebuah nomornya berjudul “Ayah”. Aku tidak mengerti mengapa ada setitik air mata di sudut mataku saat membiarkan musik tersebut menguasai perasaanku.

            Meski tidak terlalu terkenal di Indonesia, aku menemukan forum berbahasa Indonesia yang membahas dirinya. Aku kirasebagian besar dari mereka yang mengisi forum memang merupakan penikmat permainan piano. Mendengarkan Ardian Hayyra yang bermain, yang tidak bisa main piano jadi tambah ingin bisa main piano, yang bisa main piano jadi ingin bisa memainkan komposisi-komposisinya. Ada juga yang menggemari pria tersebut hanya karena fisiknya yang menawan. Aku menemukan banyak link untuk mengunduh mp3 dan video penampilan pria tersebut dari forum ini juga. Aku sudah menengok salah satu video penampilan nya—sebuah resital piano tunggal di Concertgebouw Amsterdam. Menurut sang pengunggah, video itu diambil saat sang pianis belum sungguh-sungguh terjun di belantika jazz.

            Aku ingin tahu bagaimana komentar mereka kalau aku mengunggah foto sang pianis saat masih SMA lalu mengatakan kalau pria tersebut pernah menggendongku masuk mobilnya lalu beberapa hari kemudian mengaku sebagai astronot. Ha ha ha. Aku sudah konfirmasi pada mamaku. Ia adalah cowok bertampang kurang pribumi yang fotonya—bersama Mama dan para sepupu mamaku—aku temukan di ruang buku kapan itu. Kakek buyutnya dari Jerman. Selebihnya ia adalah Sunda, Betawi, dan Minang. Ia sendiri lahir dan menetap di Boston hingga sekarang. Ia tinggal di Indonesia hanya selama masa pendidikan wajibnya—dari SD sampai SMA. Ia punya dua kewarganegaraan, Indonesia dan AS.

            “Ma, tahu enggak ini siapa?” Iseng aku membuka foto sang pianis dalam pertunjukannya di Berlin Jazz Festival. Sengaja kusimpan untuk sampul folder dalam flashdiskku yang khusus berisi lagu-lagunya. Beberapa orang kulit hitam yang memainkan alat musik tiup menjadi latar dirinya yang tampak larut bersama piano. Aku suka kemeja Hawaii yang ia kenakan.

            Kepala Mama di samping kepalaku. Ia menyipitkan mata. “Om Yan bukan?”

            “Dia ternyata pemain musik, Ma.”

            “Tahu kok.”

            “Mama enggak kasih tahu aku.”

            “Kan Bibe udah tahu sendiri?”

            “Ye!”

            Tubuh Mama rebah lagi di sofa. “Be, cobain ke Kedai Buaya itu yuk.”

            “Hah? Buaya?”

            “Itu lo, yang katanya adik kelas Mama yang waktu itu besuk Bibe ada keroncong-keroncongnya gitu. Emang kamu sebagai penggemar keroncong enggak penasaran?”

            Aku menangkap sindiran dalam nada Mama. “Yuk, ke sana,” sahutku.

***

            Seperempat jam kemudian, aku, Mama, dan sang motor lawas nan mungil menembus dinginnya Bandung malam. Kedai yang dituju berada di wilayah Cibeunying. Kalau siang, suasana teduh pasti terasa di sekitar kedai tersebut dengan keberadaan pepohonan rindang sepanjang kanan dan kiri jalan. Lokasi kedai ini tidak persis di jalan besar namun tetap merupakan sebuah kawasan ramai dengan adanya beberapa tempat makan lain.

            Sampailah kami di muka kedai. Seperti kata Tante Ri, ada gambar buaya di plangnya. Tepatnya: “Kedai”, enter, gambar buaya, spasi, “Keroncong”. Tulisannya bersambung warna merah sedang buaya berwarna hijau. Semua berkerlap-kerlip. Bagian bawah kanopi kedai juga dihiasi rangkaian lampu-lampu kecil kerlap-kerlip. Begitu memasuki bagian dalam, aku merasa berada di negara lain. Portugis? Nuansa temaram namun hangat menyambut mata. Dinding berhiaskan potret-potret zadul. Aku membaca tulisan “Jong Indische Stryken Tokkel Orkest – Soerabaja” pada salah satu potret hitam-putih berisi sekelompok orang berblanglon dan berbeskap. Ada yang berkumis baplang. Aku melihat karikatur wajah Gesang, Mus Mulyadi, dan Hetty Koes Endang di potret-potret lain.

            Di sisi kanan dan kiri ruangan, ada sebuah meja panjang dan tinggi. Kursi-kursi tinggi tanpa sandaran berderet di depannya. Di balik tiap meja ada beberapa pegawai kedai yang siap melayani pesanan dan pembayaran. Masing-masing sisi sepertinya menyediakan menu dengan cita rasa berbeda—kalau aku soroti daftar di dinding sebelah atas pada sisi masing-masing. Ditulis pakai ejaan lama pula. Yang aku herankan mengapa harganya tidak menyesuaikan dengan harga zadul pula. Sepiring nasi goreng berharga 5 sen misal, bukannya 15.000 rupiah.

            Aroma manis dan hangat tersesap ke dalam indra penciuman. Terbayang adonan terigu mengembang dalam balutan mentega. Hawa panas meliuk dari secangkir minuman yang dalam menu sini ditulis “Badjigoer”. Ada yang sudah berkeroncong duluan nih di dalam perutku.  Kalau tidak lekas diisi, bakal ada pertunjukan keroncong luar-dalam.

            Di seberang ruangan, dari arah masuk, ada sebuah panggung rendah yang menampung berbagai alat musik—seperti ukulele, gitar akustik, biola, seruling, cello, bass, akordion, kibor, dan lain-lain yang aku tidak tahu—beserta pemainnya masing-masing. Sebuah penyangga dengan mikrofon di puncaknya berdiri di tengah panggung—agak ke depan. Mulut seorang pria tua di atas mikrofon tersebut. Sebuah langgam tengah ia nyanyikan dengan vokal mendayu.

            Bagian tengah ruangan diisi meja-meja bulat dari kayu. Setiap meja dikelilingi beberapa kursi kayu dengan sandaran rendah. Kursi-kursi yang mengisi ruang dekat panggung—hampir setengah ruangan—terisi oleh para pria-wanita berumur. Jadi aku menarik kursi yang letaknya di tengah agak belakang. Mama menarik kursi di sebelahku. Beberapa saat kami hanya melihat-lihat.

            Langgam usai dimainkan. Tepuk tangan riuh menyambut turunnya sang vokalis. Tiba-tiba seorang pria di sisi kanan menunjuk seseorang di tengah ruangan. “Ayo Pak Edi, ‘Bisikan Hati’-nya mana?” Gelak tawa bermunculan.

            “’Suci dalam Debu! Suci dalam Debu!’” Seseorang yang lain berteriak.

            “Oke, saya maju, tapi Pak Tarmin yang pegang double bass!”

            “Ayo, ayo… Kalau begitu saya tunjuk Pak Sis ya. Kibor lagi, Pak Sis!”

            Para lansia ini akan nge-jam. Oh tidak. Sungguh terkesan aku dibuatnya.

            Mama berdiri. Kontan aku menunjuk suatu nama makanan yang harganya paling tinggi. “Kalau Mama beliin aku ini, besok pagi aku yang nyuci deh.”

            Tawa Mama tertahan. “Kalau Bibe nyanyi di depan, Mama beliin itu, Mama juga yang nyuci.”

            “Ya udah deh, yang mana aja, asal kenyang,” kataku pasrah. Kuperhatikan mamaku mendekati salah satu meja. Ia mengamat-amati menu yang tersedia. Seorang pelayan mendekatinya. Mereka berbincang-bincang. Melihat ekspresi Mama yang meramah, sesekali tampak menyimak dengan baik, dengan pancaran penuh maksud, aku mencium gelagat. Insting reporter Mama bekerja. Bakal lama nih.

            Kukembalikan pandanganku ke arah panggung. Lalu kulihat ia, sebutir mutiara di tengah rongsok, seorang anak perempuan. Ikal-ikal kecil kecokelatan menghias bagian atas dahinya yang putih bersih. Rambutnya yang panjang sebahu diikat dua di bawah telinga. Ujungnya mengikal seperti pakis. Senyumnya menyejukkan. Terhalang meja, namun kukira ia memakai terusan batik tanpa lengan. Hal itu terbukti ketika Pak Edi usai bernyanyi lalu mengajak anak itu naik ke panggung. “Ayo sini, Sayang. Nah, sekarang primadona cilik kita yang tampil.”

            Bahu dan punggung anak itu disentuh pria dan wanita yang mengapitnya. Mungkin mereka kakek dan neneknya. Senyumnya menyirat sedikit grogi, namun ia melangkah juga dengan lincah ke panggung. Seseorang menyerahkan mikrofon lain pada Pak Edi. Ia serahkan mikrofon tersebut pada gadis kecil itu. “Mau nyanyi apa malam ini, Sayang?”

            Malu-malu, gadis itu menjawab, “’Mimpi Sedih’.”

            “Lo, emang tadi malam habis mimpi apa? Kok sedih?”

            Tawa pelan terdengar dari gerombolan para eyang tersebut. Gadis kecil itu terlihat makin tersipu-sipu. Ia tidak terlihat mirip Tante Ri tapi mungkin saja ia anak Tante Ri. Bukankah tempo hari wanita itu bilang kalau tidak ada anak kecil lain yang suka datang ke kedai ini karena memang doyan keroncong? Aku mengingat-ingat nama gadis kecil itu. …ira… Mira W.? Aku menyeruput sekoteng yang baru saja datang tapi Mama masih mengobrol dengan pelayan di balik meja.

            Tidak menggoda anak itu lebih lama, Pak Edi menggantikan posisi PakMarto—aku asal sebut saja sih—pada perkusi.Suara kibor menggema diiringi irama konstan dan lambat dari berbagai instrumen khas keroncong.

            Di malam sepi, aku bermimpi, mimpi yang sedih…sekali. Kau akan pergi, tinggalkan diriku. Aku menangis tersedu…

            Ekspresi gadis kecil itu seperti benar-benar akan menangis. Sepasang matanya yang mungil dan jernih membiaskan lara.

            Diriku… tak pernah, lepas dari penderitaan… Mimpi yang kini terjadi. Kau… pergi setelah aku serahkan kasih suci. Itulah nasib diriku…

            Rupanya yang berdecak di atasku tadi Mama. Secangkir minuman panas di tangan kanannya. Ia duduki kembali kursi di sampingku. “Anak kecil nyanyinya udah yang kayak gitu.”

            Angin meniup, membisikkan kata, yang sangat menusuk hati. Angin meniup, membelai kalbuku, yang terurai tak berseri lagi…

            Terlepas dari liriknya yang amat sendu, Mama tampak terpukau dengan penghayatan dan kemerduan suara anak tersebut.

Kalau setelah ini mamaku tanya apakah aku bisa bernyanyi seperti itu, aku akan menjawab tidak. Aku kan spesialis lagu genit macam “Lasamba Primadona”-nya Krakatau. Itu lagu favoritku kala mengikuti lomba menyanyi. Begitu lulus SD, aku sudah cukup sadar untuk tidak tampil serba merah lagi dengan membawakan lagu tersebut. Simaklah penggalan liriknya, “ku melirikkan mata, agar semua pria tahu siapa, aku… sang primadona… lihatlah padaku, manisnya senyumku, coba tengok langkahku, semua membuat rindu, membuat pria luluh datang padaku… ku memang primadona, ku memang ratu pesta, oyaya…

Usai menyanyi, apresiasi untuk anak itu lebih baik dari para penampil sebelumnya. Mungkin karena ia masih kecil. Ia sudah hampir duduk lagi di kursinya semula, tapi Pak Edi menyuruhnya naik lagi. Kasihan. Mereka tawar-menawar berapa lagu lagi yang harus dinyanyikan gadis kecil yang menarik perhatian tersebut. Kesepakatan dicapai. Anak itu akan menyanyi sekali lagi, solo, dan sekali lagi, duet dengan Pak Marto—ternyata memang ada pria bernama demikian di ruangan ini.

Ia nyanyikan “Sepasang Mata Bola” dengan begitu apik sampai aku mengunduh beragam versi lagu tersebut sepulang dari kedai.

Ketika akhirnya ia benar-benar boleh turun dari panggung, gadis kecil itu langsung menuju salah satu meja pemesanan. Mamaku mendekatinya. Mereka mengobrol, menoleh padaku, aku melambaikan tangan pada mereka dengan banyak tanda tanya di atas kepala, mengobrol lagi, lalu Mama menggiring gadis kecil itu mendekatiku. Seketika aku berdiri untuk menyambut.

“Halo,” kataku seraya mengulurkan tangan. “Suara kamu tadi bagus deh.”

“Makasih, Kak…” Gadis kecil itu tersenyum malu-malu.

Kami berkenalan. Namanya Vira dengan huruf v di depan. Setelah itu, ia cepat-cepat kembali ke kursinya. Kedua eyangnya memandangi kami. Mamaku tersenyum sopan pada mereka. Mereka balas mengangguk dan tersenyum.

“Mama ngapain dia tadi?” selidikku.

“Cuman tanya-tanya dikit kok.” Ia mengambil potongan kue dari atas piringku, mengunyahnya, lalu matanya menyipit. “Enak juga.”

Ketika hasil liputan mamaku cetak, aku jadi tahu kalau kedai yang baru berdiri sekitar setahun itu milik neneknya Vira bersama beberapa orang kawannya. Maksud mereka sekadar mengakomodasi kegemaran sebagian besar dari mereka terhadap keroncong. “Padahal Bu Icenya sendiri enggak suka-suka amat sama keroncong lo,” tambah Mama—di luar tulisannya—padaku. Bu Ice itu nama neneknya Vira. Mama bertemu langsung dengan wanita itu di kedainya pada suatu siang. “Off record ya, Be.”

Jangan dulu tersinggung kalau dijuluki “buaya”. Bagi komunitas keroncong, itu adalah suatu penghargaan untuk mereka yang memiliki musikalitas tinggi terhadap keroncong. Asal sebutan ini bermuara pada lagu “Bengawan Solo” ciptaan Gesang. Bengawan Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Surakarta sedang buaya merupakan satwa yang biasa dianggap merajai sungai. Biasanya pula, orang langsung mengasosiasikan “Bengawan Solo” dengan keroncong sehingga gelar “buaya” sebagai raja sungai pun disandangkan pada maestro keroncong. Beberapa tokoh yang dikenal sebagai buaya keroncong Indonesia adalah Gesang dan Kusbini. Dengan menghelat Keroncong Jam Session tiap bulan pada minggu kedua, pukul setengah delapan malam sampai kantuk menerjang, komunitas penggemar keroncong di Kedai Keroncong tampaknya ingin melahirkan buaya-buaya baru. Begitulah mamaku menulis.

Mama juga mengkaitkan kemunculan kedai ini terhadap animo kaum muda terhadap keroncong. Ini bisa dibangkitkan dengan menyemai lebih banyak bibit muda seperti Vira. Bisa-bisanya Mama terkesan mendukung kelestarian keroncong seperti ini, padahal ia mencela-celaku saat mendengarkan musik tersebut.

Seperti yang sudah kuungkap tadi, sesi nge-jam keroncong seperti malam yang kulalu bersama Mama itu ternyata tidak berlangsung tiap minggu. Komunitas yang kemarin hanya berkumpul sekali sebulan pada minggu kedua. “Biar gairah ngumpulnya lebih terasa, ngumpulnya dibikin enggak sering-sering amat,” terang Mama. Meski demikian, fasilitas di atas panggung tersedia bagi siapa sajayang ingin memanfaatkannya kapan saja selama jam buka. “Mestinya dibikin gerakan Pemuda Peduli Keroncong juga tuh Be. Ayo, Bibe rintis ya.”

“Bah.”

***

Namun aku sungguh datang lagi pada sesi di bulan-bulan berikutnya. Mamaku sampai komentar, “Mama miris Bibe doyannya nyanyi sama eyang-eyang.”

Aku tipe orang yang bakal tetap jalan meski tidak ada teman. Kalau beruntung, temanku ada yang mau menemani. Beruntung juga kalau aku bisa menempati kursi kosong yang letaknya agak dekat dengan panggung.

Apakah aku jadi benar-benar menyukai keroncong? Entahlah, yang jelas aku sudah hapal lirik Keroncong Kemayoran lo.

Aku tidak tahu ini berkat sugesti Mama apa bukan. Tapi memang hal menarik bagiku untuk menonton pertunjukan musik secara live, apalagi keroncong, apalagi ada Vira—sang biduanita muda—meski ia tidak selalu hadir.

Apalagi kalau ada pengunjung berusia relatif muda yang sedang sial: digiring para lansia ganas ini untuk mengisi panggung. Entah bisa bermusik atau tidak, suara sumbang tidak jadi syarat bagi komunitas ini dalam mengapresiasi. Seorang mas-mas pernah jadi korban. Ia sedang bercengkerama dengan teman-teman sepantarannya ketika pembawa acara di panggung menunjuknya. “Mas yang itu!” Meski suaranya sesekali hilang saat menyanyikan “Rayuan Pulau Kelapa”, namun tepuk tangan riuh di akhir penampilannya tetap ia dapatkan. Setelahnya, terasa kewaspadaan dari menuansai kumpulan anak muda itu—kalau-kalau salah satu dari mereka akan ditunjuk lagi. Tapi, setelah dua kali aku menyaksikan ini, pada tiap acara ini hanya satu orang di luar komunitas yang dikerjai.

Yang waktu itu tidak mas-mas sial itu ketahui, ia sebenarnya bisa saja menerapkan sistem acak-tunjuk—agar ada temannya yang bisa ikut jadi korban—sebagaimana yang berlaku dalam komunitas tersebut. Setelah beberapa sesi kuhadiri, aku jadi tahu kalau mereka menerapkan sistem tersebut untuk menentukan penampil pada giliran berikut. Pada umumnya, orang-orang dalam komunitas ini sudah saling kenal. Setelah ditunjuk, mereka akan menunjuk orang lainnya untuk menemani. Yang menemani akan menunjuk orang lainnya lagi agar panggung makin ramai.

Sedang menikmati penampil ke sekian, seorang kakek di meja sebelah mejaku menegur, “Mbak, mau coba nyanyi juga?”

Sial. Giliranku kena juga. Secara tidak ada yang benar-benar kukenal di sini, aku tidak bisa balas tunjuk pada orang lain.

“Boleh…” jawabku. Toh aku punya pengalaman, meski bukan keroncong.

Kunyanyikan “Sepasang Mata Bola”—untung belum ada yang menyanyikan ini pada giliran-giliran sebelumnya.

Apresiasi yang kuterima cukup hangat. Aku kira aku bisa langsung turun. Mukaku sudah panas karena malu. Tadi aku kurang bisa menyesuaikan dengan tempo pengiring yang relatif lambat. Tapi seseorang menahanku tetap di panggung. Alamak. Aku merasa bagai Vira dalam wujud yang lebih tua, cokelat, dan tinggi.

Pak Edi lagi.

“Kok sepertinya saya suka melihat adek ini. Penggemar keroncong juga ya, Mbak?”

Aku menyengir saja.Tatapan para lansia yang tersenyum-senyum di bawah sana membuatku grogi. Aku sempat lihat Vira tampak terpana menyaksikanku.

Selanjutnya aku merasa diinterogasi. Aku ditanya masih sekolah atau tidak, sekolah di mana, kelas berapa, pacarnya kok tidak dibawa, les menyanyi atau tidak, kok suaranya merdu, ha ha ha. Dan membiarkan mereka tahu kalau pengetahuanku tentang keroncong ternyata tidak seberapa. Pak Edi menyuruhku untuk lekas mendaftar jadi anggota komunitas lalu tidak lupa membayar iuran tiap bulan. Seseorang menyahut padanya, “Lah, ngapusi, kowe ki ra tau mbayar!” Aku tidak paham bahasa Jawa, tapi sepertinya tadi Pak Edi hanya mendagel. Aku lihat beberapa orang tertawa.

Lalu Pak Edi menyuruh Vira naik ke panggung. “Nah ini, biar sesama buaya junior juga tidak kalah kompak sama yang senior-senior… Sudah kenalan belum?” Aku merasa menyusut jadi bocah seumuran Vira.

“Udah.” Gaya Vira masih tetap malu-malu.

Lalu ada yang menyuruh kami berduet. Meski terkesan pemalu, namun Vira mampu bersikap profesional. Tampil di panggung ini adalah hal biasa baginya. Ia menatapku dengan minat, seakan menanti jawaban apakah aku mau berduet dengannya.

Aku dan dia lalu berdiskusi sebentar dengan para pemain musik yang akan mengiringi kami. Aku jujur pada mereka bahwa selain lagu-lagu wajib nasional dan Keroncong Kemayoran aku tidak hapal judul-judul lain. Dengan kenes Vira mengatakan kalau Keroncong Kemayoran adalah favoritnya. Kami sepakat memainkan lagu tersebut. Ia yang menyanyikan bait pertama. Yang pengalaman yang duluan dong.

Biola bermain, dilatari gerincing kerincing, menyusun keroncong. Vira menyanyi dengan suara bak penyanyi seriosa.

Laju laju perahu laju, jiwa manis indunglah disayang.Laju sekali, laju sekali ke Surabaya....

Kalau dalam versi yang aku punya, bagian berikut dinyanyikan dengan amat pas-pasan—sama sekali tanpa teknik—oleh suara kakek-kakek.

Buah dondong, buah kecapi, ini keroncong lincah sekali.

Vira menoleh padaku. Sinar matanya membuatku merasa bagai seorang penjelajah yang akhirnya menemukan aliran deras sungai setelah tersesat berhari-hari dalam rimba—meski irama keroncong ini sangat tenang dan menenteramkan.

Boleh lupa kain dan baju…

Aku berusaha untuk tidak meniru intonasi kakek-kakek dalam keroncong yang sudah berkali-kali kuhayati agar hapal liriknya tersebut.

Jiwa manis indung disayang…

Sorot mata penuh keramahan itu beralih lagi pada penonton.

Janganlah lupa, janganlah lupa kepada saya…

Kembali giliranku. Aku mengikutinya mengedarkan tatap pada mereka yang menikmati duet kami.

Buah dondong di pinggir kali, ini keroncong lincah sekali.

Ketika hanya instrumen yang dimainkan, kami sama-sama tidak bisa menahan tawa saat berpandangan. Tapi kami tertawa pelan saja, lebih seperti desisan.

Selanjutnya kami memodifikasi bait-bait yang sudah kami lantunkan sebelumnya. Seperti lirik sebuah lagu dangdut, “kau yang memulai, kau yang mengakhiri”, ia jua yang menutup duet kami dengan bait yang berupa pantun.

Tepuk tangan yang riuh menelan suaranya. Untung benar, kami tidak ditahan lebih lama di panggung setelahnya. Aku hendak kembali ke kursiku semula. Di tengah lanskap suara orang berkeroncong dan mengobrol, aku dengar suara anak kecil berteriak padaku, “Kak Bibe! Duduk sini yuk…!”

Vira melambaikan tangan padaku. Seperti biasa, sepasang eyang menemaninya. Namun keduanya sedang asyik mengobrol dengan orang-orang yang berbeda. Aku mengambil tas lalu menuruti ajakan anak tersebut.

Ia terus memerhatikan hingga aku dalam posisi duduk yang nyaman. Senyum terulas selalu di wajahnya. “Kakak datang sendirian aja?” tanyanya. Aku mengangguk. Setelahnya ia seperti tidak tahu apa yang mau ia katakan lagi. Kepalanya kembali lurus. Pandangannya agak menunduk. Malah kemudian eyangnya yang menegurku. Kami berkenalan.

“Cuma Vira sama kakaknya aja yang boleh panggil eyang. Panggil aja Tante Ice ya,” katanya saat menjabat tanganku. Wanita mungil itu memang masih telihat muda. Kulitnya sebening Tante Ri, kontras dengan turtleneck hitam ketat berlengan panjang yang ia kenakan. Untaian mutiara—beberapa butir bersinar ditimpa cahaya lampu—menjuntai dari leher hingga dadanya. Hanya sedikit semburat uban yang menghiasi rambut hitamnya yang berpotongan bob pendek setelinga.

Sepasang tangannya mendarat di bahu suaminya, mengarahkan tubuh besar pria berkumis dan berambut galing itu padaku, “Ini Om Radit.” Uban di galing rambut pria itu juga belum banyak.

Ganti aku menjabat tangan Om Radit. “Bibe,” kataku seraya memberi cengiran lebar.

“Waktu itu pernah datang sama mamanya ya? Wartawan PW?” tanya Om Radit. Sebelah pipinya kembung dengan potongan roti yang baru saja ia suapkan ke dalam mulut.

Aku mengangguk. “Tahu tempat ini juga kayaknya dari mamanya Vira, Om.” Vira kembali memandangku. Aku menyebut nama Tante Ri sekaligus keterangan bahwa ia pernah menjengukku saat opname setelah operasi usus buntu. Lalu aku ingat kalau yang membersamai Tante Ri—yang sebetulnya tidak terlalu kenal dengan mamaku, jadi kukira ia hanya menemani Om Yan saja—sempat kukira sebagai suaminya namun kata Mama bukan. “Waktu itu Tante Ri datang sama temennya. Tante Ri sama temennya itu adik kelasnya Mama pas SMA,” jelasku.

Om Radit manggut-manggut sementara perhatian istrinya ada pada orang lain. Aku lihat wajah Vira menyirat senang.

Semakin larut, para eyang semakin bergairah. Sendiri atau berpasangan, mereka maju ke depan panggung. Tarian mereka, banyak yang asal saja, mengikuti irama keroncong yang konstan. Aku jadi mengenali tawa khas eyang-eyang itu bagaimana.

Komunitas ini baru benar-benar bubar setelah pergantian hari. Saat itu tiba, biasanya tinggal beberapa orang saja bercakap-cakap. Vira dan kedua eyangnya biasa pulang sebelum pukul sepuluh—maksimal sebelas—malam. Aku sendiri biasa tahan sampai sekitar pukul sebelas. Kalau motor sedang dibawa mamaku, Mama akan menjemputku. Tapi kalau tidak, maka aku akan membawanya meski belum punya SIM he he.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain