Manda
tahu tentang Ardian Hayyra dari guru les pianonya—ia pernah les sekitar setahun
waktu ia SD. Usai les, Manda menunggu dijemput bapaknya. Sang guru menunggu
dijemput kekasihnya sambil mendengarkan musik dari pemutar CD melalui earphone.
Melihat Manda di sampingnya, wanita tersebut menawarkan Manda untuk ikut
mendengarkan. Mereka menikmati musik itu bersama, musiknya Ardian Hayyra.
Folder
berisi koleksi mp3 dan video Ardian Hayyra—selengkap mungkin yang bisa diakses
gratis—bercampur dengan folder berisi koleksi koleksi mp3, video, dan berbagai
gambar para personil SNSD dalam satu folder berjudul “New Folder”. Jelas,
dinamai begitu supaya tidak memancing penasaran orang. Aku tahu trikmu, Manda,
ha ha ha! Semua itu ada di dalam flashdisk Manda. Kami pernah satu tim kerja
kelompok. Karena aku agak sering mangkir kumpul, aku kebagian mengedit makalah
yang sudah Manda susun.
Aku
kira aku akan menemukan resep brownies di dalamnya, karena nihil di
folder-folder lain yang aku sudah buka, namun ternyata aku menemukan apa yang
aku cari selama ini. Lagu yang telah memikatku untuk menelusuri identitas
Ardian Hayyra ternyata berjudul “Dreandara”. Setelah mendapatkannya, aku
mendengarkannya terus sampai jemu. Menurut Manda, lagu itu yang paling simpel
di antara lagu-lagu lain. Paling ear-catchy. Ia lebih menyukai
komposisi-komposisi yang harus didengar benar-benar hingga membuat kita merasa
berbaring di tengah padang ilalang, lalu matahari membelai kita dengan sinarnya
yang hangat, tanpa sama sekali bermaksud untuk menyengat dengan terik.
Matahari
yang bersahabat, itulah Ardian Hayyra. “Hayy itu dalam bahasa Arab artinya
hidup, Ra itu dewa mataharinya bangsa Mesir,” jelas Manda setelah sebelumnya ia
menceritakan efek samping dari mendengarkan musik pianis tersebut. “Aku enggak
mau keluar kamar. Pinginnya di dalam terus, dengerin lagi.” Ia coba memainkan
beberapa nomor yang ia paling suka, tapi tidak kunjung bisa. Ia rasa itu karena
keterampilan bermain pianonya yang tidak utuh. Ia selalu merasa dirinya tidak
berbakat. Piano di rumahnya sudah lama tidak disetel. Memanggil tukang servis
piano belum jadi prioritas dalam anggaran belanja keluarganya. Aku maklum,
pembawaan Manda memang bersahaja.
Aku
pikir ia adalah seorang fans yang sudah sampai tingkat melacak kehidupan
pribadi siapa yang ia gemari, tapi ketika aku menyinggung hal tersebut, ia
mengangkat bahu.
Omong-omong,
Manda itu cowok. Nama lengkapnya menegaskan itu: Dwi Rahmanda Putra.
Ia
dalam masa menanti hasil SNMPTN ketika aku memasang sebuah tautan di dinding
Facebook-nya. Isinya berupa publikasi CCF mengenai acara-acara yang akan
dihelat di sana selama bulan tersebut. Selain rangkaian acara kebudayaan, CCF
juga akan menampilkan duet piano dalam rangka amal antara seorang pianis
Prancis dengan seorang pianis yang telah mendekatkan aku dengan Manda (meski
kami tidak akrab).
Aku
yakin Manda tidak akan melewatkan ini. Ia menabung agar bisa menyaksikan Ardian
Hayyra di Java Jazz dua tahun silam. Kemudian ia sadar kalau ia tidak punya
akomodasi dan bolos sekolah itu sebaiknya tidak dilakukan.
Ketika
aku online lagi di Facebook, serta merta datang kotak obrolan darinya. Ia tanya
apakah aku akan menonton. “Only if with you…” jawabku menggoda. Dari kata-kata dan simbol yang ia
gunakan, aku bisa merasakan semangatnya. Kami belum menemukan sesama penggemar
Ardian Hayyra lainnya di sekolah—maupun di tempat aktual lain, bukan forum
maya—selain kami berdua. Kami mendiskusikan bagaimana teknis acara kami
tersebut, mulai dari siapa yang membeli tiket (aku—“cepetan beli, Be,
antisipasi bisi entar habis…”), bertemu di mana dan jam berapa (langsung di
lokasi, tepat sebelum mulai—jam 19.30 WIB), sampai bagaimana aku pulang. Ia
baru dibelikan motor oleh orangtuanya. Bulan depan ia sudah resmi pakai jas
almamater biru gelap yang di bagian dadanya ada gajah duduk. Ia akan
mengantarku pulang. Sip, aku tidak harus buang waktu untuk tunggu angkot atau buang
uang untuk bayar taksi—cukup bawa helm!
Hari
H adalah malam Kamis. Samar dentang-denting piano dari dalam bangunan
merogoh-rogoh sukmaku sejak sekitar seperempat jam lalu agar lekas melayang
masuk. Tapi aku pegang tiket Manda. Bisa saja aku masuk duluan, lalu saat Manda
menghubungiku lewat ponsel—tanda ia sudah sampai—aku keluar untuk menyerahkan
tiket padanya. Tapi ponsel bututku mati.
Di
teras aku duduk sambil berpura-pura kalau aku sabar. Kegelapan malam, deretan
motor, bising kendaraan yang lewat, gerobak-gerobak jualan, serta warna-warni
BEC dan bangunan-bangunan di sekitarnya bersekongkol untuk menguatkan
kejengkelanku dari menit ke menit. Siapa yang sabar akan beruntung, kuulang
terus kutipan dari novel “Negeri 5 Menara” itu.
Tiap
ada berkas cahaya mendekat, aku berharap itu Manda. Kekecewaan kian memberati
tubuhku jika ternyata bukan. Ke mana oh ke mana. Melihat banyak motor
terparkir, juga orang-orang yang telat, aku pikir ruang pertunjukkan nanti akan
padat penonton.
“Bibeee…
Maaf...” rengeknya sepuluh menit kemudian. Setelah helmnya copot, ikal
menggantung di bawah telinganya. Sindrom mahasiswa baru: menggondrongkan
rambut—ia sudah mulai. Dagunya seakan meluber. Apa yang kau kerjakan selama
status pengangguranmu, hei, Manda, terlalu malas untuk bangkit dari
kasur—bahkan untuk sekadar ke tukang cukur? Aku tidak ingat pernah melihatnya
selain dalam seragam sekolah. Dengan sweater dan jins begini ia kelihatan rada
gaul. Katanya, “Anakku, eh, anak yang aku privatin tadi minta tambahan… Tadi
aku udah ngebut, Be…”
Di
mana oh di mana rumahmu?
Aku
ingat pernah melihat buku pelajaran Matematika SD terhampar di atas bangkunya.
Aku sekelas dengannya di kelas XI fase satu.
Kami
kebagian tempat di belakang. Sumber cahaya paling mentereng hanya dari
panggung, sedang lampu-lampu lain di seantero ruangan temaram.
Aku
mengintip arloji di pergelangan tangan Manda. Sudah hampir setengah jam berlalu
sejak aku mengidentifikasi para penikmat pertunjukan ini. Dan masih saja aku
mendapati mulut Manda terbuka disertai sorot mata yang hanyut dalam pesona. Aku
coba pusatkan perhatian pada duo pianis yang tengah memainkan sebuah repertoir
dalam keharmonisan. Tapi sepertinya aku masih lebih menikmati keroncong. Ini
tulah karena telah mengerjai Mama, pasti.
“Lihat
Bibe, caranya memainkan piano seperti anak kecil yang lagi mengeksplorasi
mainannya aja…”
Yang
ia maksud tentu saja pujaannya. Aku alihkan perhatianku pada sosok Ardian
Hayyra. Andai ia dua puluh tahun lebih muda, aku akan lebih menikmatinya.
Jangan sampai aku terjerat kharisma pria yang bulan depan sudah berumur 41
tahun ini. Aku masih belum mendapat informasi apa ia sudah menikah atau belum.
Ketika
terdengar sorak dan tepuk tangan, sontak aku ikut mengangkat tangan. Aku tidak
menduga penampilan berikut—yang sempat diseling jeda—akan mengentasku dari
kebosanan.
“’Piano’s
talk’, ada di album kolaborasinya, tapi jadi judul album solo yang lain juga,”
kata Manda. Aku bisa mendengar kedua piano itu bercakap-cakap. Aku kira mereka
sepasang teman baik. Obrolan mereka mengalir bagai kali tanpa batu-batu besar.
Tiba-tiba seperti ada yang menjatuhkan batu besar itu ke dalam kali. Aku baru
ngeh kalau kedua pianis itu diiringi beberapa pemusik lain—salah satunya
menabuh timpani. Riak muncul. Sepasang teman baik itu beradu mulut. Yang satu
mencekal leher yang lain. Mereka jatuh berdebum ke lantai dan berkelahi. Mereka
saling meneriaki. Yang menyaksikan ramai-ramai menyoraki hingga suasana makin
panas... Tiba-tiba imajinasiku putus. Menyentakku kalau yang sedang beradu
adalah sepasang piano diiringi berbagai instrumen brass dan bukannya sepasang
manusia disoraki ramai-ramai.
Jika
sesi sebelumnya didominasi kedua piano, sesi kali ini lebih ricuh. Mereka
membuat suasana di panggung layaknya sebuah pesta. Mereka mengobrol, bercanda,
tertawa, melalui alat musik mereka masing-masing. Kedua piano bagai sepasang
tuan rumah yang mengendalikan pesta namun tetap membiarkan para tamu mereka
ber-haha-hihi sepuas mungkin.
“Ini
kayak big band, tapi pianonya dua,” teriak Manda, berusaha menyaingi keramaian.
Aku
terperangah. Tidak mengerti apa maksudnya. Yang jelas aku mulai menikmati irama
mengentak-entak ini ketimbang sesi sebelumnya yang hanya melatunkan
melodi-melodi lembut pengundang kantuk.
Permainan
berikutnya mengalunkan sebuah melodi familier. Orang-orang terbahak seraya
menggemuruhkan tepuk tangan. Sempat melongo, bertanya-tanya bagaimana sang
pianis Prancis akan lagu norak ini. Aku lihat pria berambut keriting dan tak
cukuran itu senyum-senyum saja. Jemarinya kian lincah menggarap improvisasi.
Mereka membuat “Keong Racun” jadi terkesan megah.
Ketika
mata kami tak sengaja bertemu, aku menggeleng-geleng seraya memberinya senyum.
Cahaya warna-warni merayapi dinding dengan lebih aktif. Tak menyangka
pertunjukan ini akan sebegini atraktif.
Jarum
jam makin mendekati angka sembilan. Pencahayaan meredup. Aku kira pertunjukan
ini nyaris akhir. Namun kami dikagetkan oleh suara hentakan beruntun pada tuts
piano. Hanya Monsieur Jean Jaqcues (bukan nama sebenarnya) yang disorot cahaya.
Hentakan berubah jadi ketukan yang lebih santai, lalu Ardian Hayyra muncul dari
kegelapan. Ia berjalan pelan ke depan. Sebatang mikrofon dalam genggamannya.
Senyum lebarnya yang khas menghias wajah tampannya.
You ain’t crazy, I ain’t gonna
lie anymore…
Kebanyakan
yang bersorak adalah ibu-ibu seumuran mamaku. Sepertinya ini lagu lama.
What you're feelin', there's a
reason for. I wanna do right. Oh I gotta do right.
Aku jadi sangat menikmati lagu ini
sebagaimana dia pun terlihat—sangat. Ah, aku sudah tak begitu memerhatikan
keadaan sekitar lagi.
Do I love you? Oh you know
I've tried. But what you're after. you can't find in my eyes. I wanna do right.
Suaranya
agak serak, aku tak mengerti mengapa aku sampai mendesah karenanya, namun ia
mampu mencapai nada tinggi.
Darlin' tell the truth, don't
turn away. This is our last chance…
Matanya
yang besar berbinar menyapu para penonton. Ujung bibirnya menyungging senyum.
Ia memejamkan mata.
…to touch each other's hearts.
Does anything last forever? I don't know, maybe we're near the end. Darlin' oh
how can we go on together, now that we've grown apart. Well the only way to
start, is heart to heart.
Nanti aku mengetahui bahwa lagu
milik Kenny Loggins ini berjudul “Heart to Heart”—penggalan liriknya yang
kuhapal langsung aku masukkan ke kotak pencari Google sepulang dari CCF.
Sebagaimana judul lagu ini, terasa benar ia membawakan lagu ini dengan hati
hingga kenikmatannya sampai ke hati penonton. Dan kami terlena dibuatnya.
Aku lihat sebagian penonton dari
kalangan ibu-ibu tadi ikut bernyanyi. Aku mendengus saja seraya
tersenyum.Sebagian penonton lain berasal dari kalangan anak muda yang tampak
tak cukup punya wawasan akan lagu lawas.
One by one, we're collecting
lies. When you can't give love, you give alibis. Now I'm gonna do right. This
time I gotta do right.
Penabuh drum band
menggoyang-goyangkan kepala. Piano sang pianis Prancis masih jadi primadona,
namun aku saksikan para alat musik lain juga asyik sendiri satu sama lain,
seakan sedang bercakap pelan.
I don't wanna leave, I don't
wanna say goodbye. But sooner or latter, there comes a time, when you gotta do
right.
Aish… Kamu akan tergelitik melihat
ekspresi nakalnya! Aku tergelak. Sontak tangan menutup mulut.
Darlin' tell the truth, don't
turn away. This is our last chance, to touch each other's hearts. Does anything
last forever?
Aku
perhatikan semua mulut para pemain ikut bergerak mengisi latar suara. Semua
penuh gairah.
I don't know, maybe we're near
the end… Darlin' oh how can we go on together, now that we've grown apart. Well
the only way to start, is heart to heart.
Why are you so torn apart? I
need a little more lovin' in my heart. People say that love will grow, so how
was I to know. Love that's come through years and years, can't find a way back
home anymore!
O, aku terkesima menyaksikan gelora
jiwa si saksofon, ditiupkan oleh cowok berkacamata yang menggenggamnya. Kini
mataku lekat saja pada cowok itu dan saksofonnya—mereka seakan satu tubuh!
Aku lihat kepala Manda
terangguk-angguk. Senyum terulas di sana.
Sebelumnya aku sudah tahu kalau
Ardian Hayyra adalah pengisi vokal dalam “Dreandara”, tapi aku tidak mengira
kalau suaranya memang sebagus ini. Aku heran mengapa ia tidak eksplorasi bidang
tarik suara juga.
Nyanyian tersebut mengakhiri
pertunjukan malam ini. Di tengah arus orang-orang menuju pintu keluar, langkah
Manda tertahan. “Be, aku pingin ketemu dia…”
Pujaan Manda sudah tidak berada di
panggung lagi. Hanya tersisa beberapa orang musisi di sana, bisa dihitung
dengan jari. Kami mencari-cari celah mana yang bisa kami masuki. Kami jelajahi.
Kami sampai di suatu ruang benderang—kontras benar dengan ruang pertunjukan
tadi. Kami lihat beberapa ibu-ibu mengelilingi pria yang tengah tergelak itu.
Mereka terlihat akrab.
Manda memandangku. “Kayaknya lama ya
Be?”
“Enggak apa-apa.” Aku biasa kok
pulang malam—bahkan lebih larut dari ini. “Mau tunggu?”
“Gimana ya Be? Aku sendiri enggak
tahu entar mau ngomong apa ke dia…”
Ngomongin perjalanannya ke
planet-planet lain dong, ha ha ha. Manda tidak tahu.
“Jadi, gimana? Aku sih ikut kamu
aja, toh aku cuman nebeng kamu.”
“Gitu ya Be?” Ia menoleh lagi ke
arah kerumunan para insan berusia 40-an tahun itu. “Aku pingin sih, tapi
kayaknya lama…” Manda takut sama ibu-ibu. “Kita balik aja yuk, Be.”
Manda mungkin akan menyusun daftar
hal apa saja yang ingin ia perbincangkan dengan sang pianis jika ia beruntung
lagi, suatu kali nanti, sesampainya ia di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar