Rabu, 09 November 2011

Manda

Manda tahu tentang Ardian Hayyra dari guru les pianonya—ia pernah les sekitar setahun waktu ia SD. Usai les, Manda menunggu dijemput bapaknya. Sang guru menunggu dijemput kekasihnya sambil mendengarkan musik dari pemutar CD melalui earphone. Melihat Manda di sampingnya, wanita tersebut menawarkan Manda untuk ikut mendengarkan. Mereka menikmati musik itu bersama, musiknya Ardian Hayyra.

Folder berisi koleksi mp3 dan video Ardian Hayyra—selengkap mungkin yang bisa diakses gratis—bercampur dengan folder berisi koleksi koleksi mp3, video, dan berbagai gambar para personil SNSD dalam satu folder berjudul “New Folder”. Jelas, dinamai begitu supaya tidak memancing penasaran orang. Aku tahu trikmu, Manda, ha ha ha! Semua itu ada di dalam flashdisk Manda. Kami pernah satu tim kerja kelompok. Karena aku agak sering mangkir kumpul, aku kebagian mengedit makalah yang sudah Manda susun.

Aku kira aku akan menemukan resep brownies di dalamnya, karena nihil di folder-folder lain yang aku sudah buka, namun ternyata aku menemukan apa yang aku cari selama ini. Lagu yang telah memikatku untuk menelusuri identitas Ardian Hayyra ternyata berjudul “Dreandara”. Setelah mendapatkannya, aku mendengarkannya terus sampai jemu. Menurut Manda, lagu itu yang paling simpel di antara lagu-lagu lain. Paling ear-catchy. Ia lebih menyukai komposisi-komposisi yang harus didengar benar-benar hingga membuat kita merasa berbaring di tengah padang ilalang, lalu matahari membelai kita dengan sinarnya yang hangat, tanpa sama sekali bermaksud untuk menyengat dengan terik.

Matahari yang bersahabat, itulah Ardian Hayyra. “Hayy itu dalam bahasa Arab artinya hidup, Ra itu dewa mataharinya bangsa Mesir,” jelas Manda setelah sebelumnya ia menceritakan efek samping dari mendengarkan musik pianis tersebut. “Aku enggak mau keluar kamar. Pinginnya di dalam terus, dengerin lagi.” Ia coba memainkan beberapa nomor yang ia paling suka, tapi tidak kunjung bisa. Ia rasa itu karena keterampilan bermain pianonya yang tidak utuh. Ia selalu merasa dirinya tidak berbakat. Piano di rumahnya sudah lama tidak disetel. Memanggil tukang servis piano belum jadi prioritas dalam anggaran belanja keluarganya. Aku maklum, pembawaan Manda memang bersahaja.

Aku pikir ia adalah seorang fans yang sudah sampai tingkat melacak kehidupan pribadi siapa yang ia gemari, tapi ketika aku menyinggung hal tersebut, ia mengangkat bahu.

Omong-omong, Manda itu cowok. Nama lengkapnya menegaskan itu: Dwi Rahmanda Putra.

Ia dalam masa menanti hasil SNMPTN ketika aku memasang sebuah tautan di dinding Facebook-nya. Isinya berupa publikasi CCF mengenai acara-acara yang akan dihelat di sana selama bulan tersebut. Selain rangkaian acara kebudayaan, CCF juga akan menampilkan duet piano dalam rangka amal antara seorang pianis Prancis dengan seorang pianis yang telah mendekatkan aku dengan Manda (meski kami tidak akrab).

Aku yakin Manda tidak akan melewatkan ini. Ia menabung agar bisa menyaksikan Ardian Hayyra di Java Jazz dua tahun silam. Kemudian ia sadar kalau ia tidak punya akomodasi dan bolos sekolah itu sebaiknya tidak dilakukan.

Ketika aku online lagi di Facebook, serta merta datang kotak obrolan darinya. Ia tanya apakah aku akan menonton. “Only if with you…” jawabku  menggoda. Dari kata-kata dan simbol yang ia gunakan, aku bisa merasakan semangatnya. Kami belum menemukan sesama penggemar Ardian Hayyra lainnya di sekolah—maupun di tempat aktual lain, bukan forum maya—selain kami berdua. Kami mendiskusikan bagaimana teknis acara kami tersebut, mulai dari siapa yang membeli tiket (aku—“cepetan beli, Be, antisipasi bisi entar habis…”), bertemu di mana dan jam berapa (langsung di lokasi, tepat sebelum mulai—jam 19.30 WIB), sampai bagaimana aku pulang. Ia baru dibelikan motor oleh orangtuanya. Bulan depan ia sudah resmi pakai jas almamater biru gelap yang di bagian dadanya ada gajah duduk. Ia akan mengantarku pulang. Sip, aku tidak harus buang waktu untuk tunggu angkot atau buang uang untuk bayar taksi—cukup bawa helm!

Hari H adalah malam Kamis. Samar dentang-denting piano dari dalam bangunan merogoh-rogoh sukmaku sejak sekitar seperempat jam lalu agar lekas melayang masuk. Tapi aku pegang tiket Manda. Bisa saja aku masuk duluan, lalu saat Manda menghubungiku lewat ponsel—tanda ia sudah sampai—aku keluar untuk menyerahkan tiket padanya. Tapi ponsel bututku mati.

Di teras aku duduk sambil berpura-pura kalau aku sabar. Kegelapan malam, deretan motor, bising kendaraan yang lewat, gerobak-gerobak jualan, serta warna-warni BEC dan bangunan-bangunan di sekitarnya bersekongkol untuk menguatkan kejengkelanku dari menit ke menit. Siapa yang sabar akan beruntung, kuulang terus kutipan dari novel “Negeri 5 Menara” itu.

Tiap ada berkas cahaya mendekat, aku berharap itu Manda. Kekecewaan kian memberati tubuhku jika ternyata bukan. Ke mana oh ke mana. Melihat banyak motor terparkir, juga orang-orang yang telat, aku pikir ruang pertunjukkan nanti akan padat penonton.

“Bibeee… Maaf...” rengeknya sepuluh menit kemudian. Setelah helmnya copot, ikal menggantung di bawah telinganya. Sindrom mahasiswa baru: menggondrongkan rambut—ia sudah mulai. Dagunya seakan meluber. Apa yang kau kerjakan selama status pengangguranmu, hei, Manda, terlalu malas untuk bangkit dari kasur—bahkan untuk sekadar ke tukang cukur? Aku tidak ingat pernah melihatnya selain dalam seragam sekolah. Dengan sweater dan jins begini ia kelihatan rada gaul. Katanya, “Anakku, eh, anak yang aku privatin tadi minta tambahan… Tadi aku udah ngebut, Be…”

Di mana oh di mana rumahmu?

Aku ingat pernah melihat buku pelajaran Matematika SD terhampar di atas bangkunya. Aku sekelas dengannya di kelas XI fase satu.

Kami kebagian tempat di belakang. Sumber cahaya paling mentereng hanya dari panggung, sedang lampu-lampu lain di seantero ruangan temaram.

Aku mengintip arloji di pergelangan tangan Manda. Sudah hampir setengah jam berlalu sejak aku mengidentifikasi para penikmat pertunjukan ini. Dan masih saja aku mendapati mulut Manda terbuka disertai sorot mata yang hanyut dalam pesona. Aku coba pusatkan perhatian pada duo pianis yang tengah memainkan sebuah repertoir dalam keharmonisan. Tapi sepertinya aku masih lebih menikmati keroncong. Ini tulah karena telah mengerjai Mama, pasti.

“Lihat Bibe, caranya memainkan piano seperti anak kecil yang lagi mengeksplorasi mainannya aja…”

Yang ia maksud tentu saja pujaannya. Aku alihkan perhatianku pada sosok Ardian Hayyra. Andai ia dua puluh tahun lebih muda, aku akan lebih menikmatinya. Jangan sampai aku terjerat kharisma pria yang bulan depan sudah berumur 41 tahun ini. Aku masih belum mendapat informasi apa ia sudah menikah atau belum.

Ketika terdengar sorak dan tepuk tangan, sontak aku ikut mengangkat tangan. Aku tidak menduga penampilan berikut—yang sempat diseling jeda—akan mengentasku dari kebosanan.

“’Piano’s talk’, ada di album kolaborasinya, tapi jadi judul album solo yang lain juga,” kata Manda. Aku bisa mendengar kedua piano itu bercakap-cakap. Aku kira mereka sepasang teman baik. Obrolan mereka mengalir bagai kali tanpa batu-batu besar. Tiba-tiba seperti ada yang menjatuhkan batu besar itu ke dalam kali. Aku baru ngeh kalau kedua pianis itu diiringi beberapa pemusik lain—salah satunya menabuh timpani. Riak muncul. Sepasang teman baik itu beradu mulut. Yang satu mencekal leher yang lain. Mereka jatuh berdebum ke lantai dan berkelahi. Mereka saling meneriaki. Yang menyaksikan ramai-ramai menyoraki hingga suasana makin panas... Tiba-tiba imajinasiku putus. Menyentakku kalau yang sedang beradu adalah sepasang piano diiringi berbagai instrumen brass dan bukannya sepasang manusia disoraki ramai-ramai.

Jika sesi sebelumnya didominasi kedua piano, sesi kali ini lebih ricuh. Mereka membuat suasana di panggung layaknya sebuah pesta. Mereka mengobrol, bercanda, tertawa, melalui alat musik mereka masing-masing. Kedua piano bagai sepasang tuan rumah yang mengendalikan pesta namun tetap membiarkan para tamu mereka ber-haha-hihi sepuas mungkin.

“Ini kayak big band, tapi pianonya dua,” teriak Manda, berusaha menyaingi keramaian.

Aku terperangah. Tidak mengerti apa maksudnya. Yang jelas aku mulai menikmati irama mengentak-entak ini ketimbang sesi sebelumnya yang hanya melatunkan melodi-melodi lembut pengundang kantuk.

Permainan berikutnya mengalunkan sebuah melodi familier. Orang-orang terbahak seraya menggemuruhkan tepuk tangan. Sempat melongo, bertanya-tanya bagaimana sang pianis Prancis akan lagu norak ini. Aku lihat pria berambut keriting dan tak cukuran itu senyum-senyum saja. Jemarinya kian lincah menggarap improvisasi. Mereka membuat “Keong Racun” jadi terkesan megah.

Ketika mata kami tak sengaja bertemu, aku menggeleng-geleng seraya memberinya senyum. Cahaya warna-warni merayapi dinding dengan lebih aktif. Tak menyangka pertunjukan ini akan sebegini atraktif.

Jarum jam makin mendekati angka sembilan. Pencahayaan meredup. Aku kira pertunjukan ini nyaris akhir. Namun kami dikagetkan oleh suara hentakan beruntun pada tuts piano. Hanya Monsieur Jean Jaqcues (bukan nama sebenarnya) yang disorot cahaya. Hentakan berubah jadi ketukan yang lebih santai, lalu Ardian Hayyra muncul dari kegelapan. Ia berjalan pelan ke depan. Sebatang mikrofon dalam genggamannya. Senyum lebarnya yang khas menghias wajah tampannya.

You ain’t crazy, I ain’t gonna lie anymore…

Kebanyakan yang bersorak adalah ibu-ibu seumuran mamaku. Sepertinya ini lagu lama.

What you're feelin', there's a reason for. I wanna do right. Oh I gotta do right.

            Aku jadi sangat menikmati lagu ini sebagaimana dia pun terlihat—sangat. Ah, aku sudah tak begitu memerhatikan keadaan sekitar lagi.

Do I love you? Oh you know I've tried. But what you're after. you can't find in my eyes. I wanna do right.

Suaranya agak serak, aku tak mengerti mengapa aku sampai mendesah karenanya, namun ia mampu mencapai nada tinggi.

Darlin' tell the truth, don't turn away. This is our last chance…

            Matanya yang besar berbinar menyapu para penonton. Ujung bibirnya menyungging senyum. Ia memejamkan mata.

…to touch each other's hearts. Does anything last forever? I don't know, maybe we're near the end. Darlin' oh how can we go on together, now that we've grown apart. Well the only way to start, is heart to heart.

            Nanti aku mengetahui bahwa lagu milik Kenny Loggins ini berjudul “Heart to Heart”—penggalan liriknya yang kuhapal langsung aku masukkan ke kotak pencari Google sepulang dari CCF. Sebagaimana judul lagu ini, terasa benar ia membawakan lagu ini dengan hati hingga kenikmatannya sampai ke hati penonton. Dan kami terlena dibuatnya. 

            Aku lihat sebagian penonton dari kalangan ibu-ibu tadi ikut bernyanyi. Aku mendengus saja seraya tersenyum.Sebagian penonton lain berasal dari kalangan anak muda yang tampak tak cukup punya wawasan akan lagu lawas.

One by one, we're collecting lies. When you can't give love, you give alibis. Now I'm gonna do right. This time I gotta do right.

            Penabuh drum band menggoyang-goyangkan kepala. Piano sang pianis Prancis masih jadi primadona, namun aku saksikan para alat musik lain juga asyik sendiri satu sama lain, seakan sedang bercakap pelan.

I don't wanna leave, I don't wanna say goodbye. But sooner or latter, there comes a time, when you gotta do right.

            Aish… Kamu akan tergelitik melihat ekspresi nakalnya! Aku tergelak. Sontak tangan menutup mulut.

Darlin' tell the truth, don't turn away. This is our last chance, to touch each other's hearts. Does anything last forever?

            Aku perhatikan semua mulut para pemain ikut bergerak mengisi latar suara. Semua penuh gairah.

I don't know, maybe we're near the end… Darlin' oh how can we go on together, now that we've grown apart. Well the only way to start, is heart to heart.

Why are you so torn apart? I need a little more lovin' in my heart. People say that love will grow, so how was I to know. Love that's come through years and years, can't find a way back home anymore!

            O, aku terkesima menyaksikan gelora jiwa si saksofon, ditiupkan oleh cowok berkacamata yang menggenggamnya. Kini mataku lekat saja pada cowok itu dan saksofonnya—mereka seakan satu tubuh!

            Aku lihat kepala Manda terangguk-angguk. Senyum terulas di sana. 

            Sebelumnya aku sudah tahu kalau Ardian Hayyra adalah pengisi vokal dalam “Dreandara”, tapi aku tidak mengira kalau suaranya memang sebagus ini. Aku heran mengapa ia tidak eksplorasi bidang tarik suara juga.

            Nyanyian tersebut mengakhiri pertunjukan malam ini. Di tengah arus orang-orang menuju pintu keluar, langkah Manda tertahan. “Be, aku pingin ketemu dia…”

            Pujaan Manda sudah tidak berada di panggung lagi. Hanya tersisa beberapa orang musisi di sana, bisa dihitung dengan jari. Kami mencari-cari celah mana yang bisa kami masuki. Kami jelajahi. Kami sampai di suatu ruang benderang—kontras benar dengan ruang pertunjukan tadi. Kami lihat beberapa ibu-ibu mengelilingi pria yang tengah tergelak itu. Mereka terlihat akrab.

            Manda memandangku. “Kayaknya lama ya Be?”

            “Enggak apa-apa.” Aku biasa kok pulang malam—bahkan lebih larut dari ini. “Mau tunggu?”

            “Gimana ya Be? Aku sendiri enggak tahu entar mau ngomong apa ke dia…”

            Ngomongin perjalanannya ke planet-planet lain dong, ha ha ha. Manda tidak tahu.

            “Jadi, gimana? Aku sih ikut kamu aja, toh aku cuman nebeng kamu.”

            “Gitu ya Be?” Ia menoleh lagi ke arah kerumunan para insan berusia 40-an tahun itu. “Aku pingin sih, tapi kayaknya lama…” Manda takut sama ibu-ibu. “Kita balik aja yuk, Be.”

            Manda mungkin akan menyusun daftar hal apa saja yang ingin ia perbincangkan dengan sang pianis jika ia beruntung lagi, suatu kali nanti, sesampainya ia di rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain