Aku tahu aku tidak menginginkannya,
tapi aku iseng saja mengatakan pada Mama, “Ma, Bibe kan mau bikin memoar.
Pinjam diary Mama ya?”
Mama
mengulurkan telapak tangannya. “Tukaran sama diary-nya Bibe.”
Ketimbang mengeksplorasi ruang buku
dan menemukan kenyataan-kenyataan horor, sebetulnya ada sumber lain yang lebih
menarik sebagai bahan untuk menyusun memoarku. Mereka adalah para sepupu
mamaku.
Momen Idul Fitri menyatukan mereka
dalam rumah Kakek Burhan. Meski Mama tidak masuk keluarga inti mereka, namun
aku lebih suka menghabiskan lebaran bersama mereka ketimbang di tempat lain.
Waktu belum ada satupun sepupu Mama yang punya anak, akulah pusat perhatian.
Padahal Pakde Iim dan Pakde Di lebih tua dari Mama, tapi Mama menikah lebih
dulu dari mereka. Usia Mama saat menikah memang relatif muda. Begitu Mama lulus
kuliah, Papa langsung mengajaknya menikah. Sejak itu kemudian dua tahun yang
berisi “malam-malam yang menyusahkan ”—sekali lagi, iyuh—aku pun dilahirkan.
Jarak umur kakak-beradik sepupu Mama
relatif berdekatan yaitu sekitar satu sampai dua tahun antara Pakde Iim dengan
Pakde Di dengan Tante Zahra dengan Om Mayong. Mereka semua dulu bersekolah di
SMA yang sama dengan Mama. Hanya Tante As yang SMA-nya beda. Tante As juga
tidak dekat dengan mereka.
Hanya
Pakde Di dan Tante Zahra yang bekerja di Bandung dan sekitarnya. Pakde Iim
bekerja di sebuah BUMN yang mengharuskannya berpindah provinsi tiap beberapa
waktu sekali. Sedang Om Mayong bekerja di Jakarta.
Rumah Kakek Burhan besar. Ada sebuah
paviliun dan sebuah tempat usaha di samping rumah. Saat lebaran, rumah besar
itu memenuhi fungsinya sebagai tempat berkumpul keluarga. Kamar-kamar kosong
ditempati lagi. Namun ada juga yang memilih tidur di depan TV beralaskan sofa
atau karpet. Biasanya itu aku dan anak-anak para sepupu Mama. Aku berusaha
untuk bisa dekat dengan semua keponakan yang sudah aku anggap sebagai adikku
sendiri itu.
Aku
paling dekat dengan Ananta—atau lebih sering dipanggil dengan Mbak An, putri
sulung Pakde Iim. Ia 12 tahun. Rambutnya lurus panjang tapi gaya berpakaiannya
tomboi. Ia suka memakai kaos dan celana gombroh. Ia punya dua adik laki-laki, Buana dan
Candra—alias Mas Bun dan Mas Can. Jarak umur tiga bersaudara ini sekitar tiga
tahun antar satu sama lain. Karakter mereka relatif tenang, kooperatif, tapi
banyak akal. Ide-ide permainan biasanya datang dari mereka dan mereka akan
memainkannya dengan kompak.
Sudah
pernah bertemu dengan Alif, Faldi, dan Rifky sebelumnya kan? Mereka adalah tiga
bocah badung luar biasa. Rambutku jadi acak-acakan kalau bertandang ke rumah
mereka—dan itu cukup sering karena aku perlu belajar masak pada Uwak Tata. Alif
sebenarnya sudah tidak tepat lagi disebut bocah. Usianya sudah 15 tahun, tapi
ia masih suka mengomando adik-adiknya untuk berbuat jahil. Usia Alif dengan
Faldi terpaut lima tahun sedang Faldi dengan Rifky sekitar dua tahun. Waktu
masih benar-benar bocah, Alif suka menganggap dirinya sang bos besar. Ia
berharap dua adiknya menjadi pengikut setia. Namun Faldi gencar melancarkan
kudeta dan Rifky acap berada di pihaknya.
Kedua
putri Tante Zahra pendiam dan pemalu. Mereka harus diajak atau didorong
terlebih dulu baru beranjak atau melakukan sesuatu. Kalau aku tidak ada,
sebetulnya Mbak An bisa dekat dengan mereka berdua. Usia putri sulung Tante
Zahra hanya sekitar setahun lebih tua dari Mbak An. Usia adiknya hanya terpaut
sekitar dua-tiga tahun lebih muda dari sang kakak.
Sedang
Om Mayong dan istrinya baru punya anak sekitar setahun lalu. Batita cantik
bermata cerah itu sudah bisa duduk sambil mengoceh dan mengacung-acungkan benda
kecil apapun yang ada di dekatnya. Ia suka mencuri perhatianku dari anak-anak
lain. Akhirnya perhatian anak-anak teralih padanya juga. Kalau sudah begitu,
aku harus mengembalikan gadis mungil itu pada ibunya agar ia selamat.
Puncak
keramaian di rumah itu biasanya terjadi pada H-1 hingga hari H. Itulah saat di
mana kami, para anak-anak, memporak-porandakan isi rumah. Kami memanfaatkan
barang apapun untuk properti permainan kami. Kami tertawa, kami berkejaran,
kami membuat konflik, ada yang menangis, merengut, atau marah-marah, kami
bermaafan lagi karena inilah momennya. Setelah itu kami berbagi ruang yang sama
untuk tidur—meski beberapa lebih memilih tidur dengan mama mereka
masing-masing.
Kadang juga kami tidak komplet sejak awal, di
tengah, atau kemudian, karena ada kerabat lain yang jadi tujuan silaturahmi.
Misalnya saja keluarga Pakde Iim. Kalau tahun ini mereka silaturahmi ke rumah
orangtua Pakde Iim, maka tahun berikutnya giliran rumah orangtua istrinya Pakde
Iim yang dikunjungi. Terasa ada yang kurang memang, namun keceriaan harus tetap
jalan!
Sebetulnya
tidak hanya keluarga besar Kakek Burhan yang berkumpul di rumah itu saat
lebaran, tapi juga keluarga kakekku yang hanya terdiri dari Kakek, mamaku
berserta aku dan Papa, serta Tante As. Om Pir belum bisa balik lagi ke
Indonesia untuk sementara waktu ini.
Kakek
tinggal di rumah Kakek Burhan sejak hari pertama ia di Bandung. Ia memang lebih
suka menginap di sana ketimbang di rumah anak-anaknya sendiri yang memang hanya
menyisakan sedikit ruang. Bahkan di momen kumpul keluarga seperti ini pun ia
lebih suka menyendiri saja. Sering kulihat ia duduk merokok di teras samping.
Tante
As datang hanya pada lebaran hari pertama. Papaku bolak-balik antara rumah kami
bertiga-rumah familinya sendiri-kantor-dan rumah Kakek Burhan. Mama juga
demikian, namun ia lebih betah bersamaku yang betah bersama keluarga para
sepupunya.
Patut
disyukuri bahwa pada lebaran kali ini seluruh anggota keluarga besar dapat
berkumpul. Memang tidak sejak sebelum atau ketika hari H sih. Kemunculannya
juga tidak kompak. Petang pada hari kedua itu, aku melihat empat bersaudara
plus Mama, ada di rumah ini. Hanya Tante
Zahra dan Pakde Di yang tidak disertai keluarga mereka.
Mumpung
sedang ketemu Mbak An, aku selalu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk curhat
padanya. Ia terlihat bijaksana untuk anak seusianya.
Sedang
khusyuk menceritakan masalahku, terdengar ramai dari arah depan rumah. Ada
tawa, kehangatan, dan keramahan di sana. Seperti ada teman lama sedang
bertandang. Perhatian kami teralih sejenak. Lalu aku meneruskan ceritaku.
“Kak
Bibe, Mbak An, dipanggil sama Papa tuh…” Mas Bun muncul di ambang pintu ruangan
kami. Seperti ia habis lari-lari. Aku dan Mbak bertukar pandang tak mengerti.
Kami turuti saja Mas Bun. Jangan-jangan tamu yang datang masih terhitung
saudara.
“Nah…
Ini nih ketua gengnya datang…” Pakde Iim menyambutku dengan sebelah lengan
terangkat. Pria satu ini memang suka ada-ada.
Aku
agak kaget dengan sosok sang tamu sementara ia tersenyum saja memandangku.
Kuedarkan pandang ke sekeliling ruang tamu: empat bersaudara lengkap dengan
kedua orangtua mereka plus Mama. Semua muat dalam ruangan ini meski beberapa
menduduk kursi tambahan. Agaknya tamu ini adalah orang yang spesial bagi
keluarga.
Aku
menyalami tangannya. “Ketemu lagi Om.” Aku julurkan sedikit lidah.
Setelah
itu, berturut-turut Mbak An dan adik-adiknya yang lain menyalami pria itu. Ia
tampak kasual dengan kaos lengan panjang dan celana korduroi—keduanya berwarna
gelap. Dari balik tirai putih transparan, aku bisa melihat mobil yang dulu ia
pakai untuk mengantarku ke rumah Tante As terparkir di balik pagar.
Pakde
Iim lalu cerita mengenai anak-anak lain yang tidak muncul dan betapa ramainya
rumah ini kalau kami hadir semua. Ia juga mengenalkan para “anggota keluarga
baru” seperti istrinya sendiri, istrinya Om Mayong, lalu siapa yang menjadi
istri Pakde Di begitupun suami Tante Zahra, sampai ke papaku.
“Ini
nih papanya Bibe…” Mama menggiring Papa ke dalam ruang tamu. Saat dalam
perjalanan ke ruang ini tadi, aku masih melihatnya tiduran di sofa dengan buku
terbuka menutupi mukanya. Kantuk masih bercokol di wajah Papa. Kursi tambahan
dimasukkan.
Aku
sempat mengikuti sebentar perbincangan hangat di antara mereka sementara Kakek
Burhan dan istrinya yang sama-sama sudah ringkih malah meninggalkan ruangan itu
(“Anggap aja kayak di rumah sendiri!”, “Selalu, Pak!”, derai tawa).
Meski
hanya tiga tahun berinteraksi dengan keluarga ini, Om Yan sering sekali main ke
rumah, menumpang ini-itu, tingkahnya sudah seperti di rumah sendiri.
Aku
jadi tahu kalau dulu Om Yan suka curhat pada Pakde Iim tiap dilarang ibunya
bermain piano—meski pada akhirnya ibunya jua yang menyuruh belajar ke luar
negeri untuk mempelajari itu. Dikira, ia baru kembali lagi ke Indonesia setelah
ada undangan tampil di negeri ini. Sebetulnya ia pernah sekali kembali hanya
untuk melawat ayahnya yang baru meninggal dunia.
Ia
suka memberi tips pada Om Mayong bagaimana supaya pacaran tetap mesra dan awet
(Om Mayong dan istrinya bertukar lirik sambil tersenyum-senyum). Suatu ironi
mengingat Om Yan sendiri hingga kini masih melajang.
Ia
juga pernah bikin Tante Zahra pundung sampai tanteku itu masuk kamar dan tidak
mau keluar.
Mamaku
juga pernah dibikinnya pundung. “Ah waktu itu mah masih labil,” sergah Mama.
Namun
tetap Om Yan kena olok-olok sebagai tukang bikin pundung cewek. Ia
menanggapinya dengan renyah saja.
Sambutan
yang begitu hangat pada Om Yan membuatku makin merasa nyaman dengannya, apalagi
karena ia sudah seperti saudara sendiri bagi keluarga ini. Foto mereka yang
kutemukan di ruang buku pada waktu silam seakan menjadi hidup kembali.
Aku
tidak bisa menyimak lebih lama obrolan para orang-orang tua ini. Tante Zahra
dan ibunya meminta bantuanku dan Mbak An menyiapkan makan malam. Setelah itu
aku tidak sempat berinteraksi lagi dengan Om Yan. Pakde Iim atau Om Mayong
selalu berada di dekatnya, bertukar apapun. Jadinya aku dan Mbak An kembali ke
kamar di lantai dua untuk meneruskan acara curhatku. Om Yan baru pulang setelah
solat magrib berlanjut makan malam. Semuanya berjamaah. Om Yan meninggalkan
beberapa dus besar, masing-masing berisi jenis makanan manis berbeda, yang
selepas kepergiannya langsung jadi rebutan kami sekeluarga—kecuali yang
diabetes.
Ketika
tadi mengajak Om Yan untuk ikut solat magrib berjamaah, Pakde Iim ingat kalau
dulu Om Yan baru solat kalau ada yang mengingatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar