Jumat, 11 November 2011

Silaturahmi

            Aku tahu aku tidak menginginkannya, tapi aku iseng saja mengatakan pada Mama, “Ma, Bibe kan mau bikin memoar. Pinjam diary Mama ya?”

            Mama  mengulurkan telapak tangannya. “Tukaran sama diary-nya Bibe.”

            Ketimbang mengeksplorasi ruang buku dan menemukan kenyataan-kenyataan horor, sebetulnya ada sumber lain yang lebih menarik sebagai bahan untuk menyusun memoarku. Mereka adalah para sepupu mamaku.

            Momen Idul Fitri menyatukan mereka dalam rumah Kakek Burhan. Meski Mama tidak masuk keluarga inti mereka, namun aku lebih suka menghabiskan lebaran bersama mereka ketimbang di tempat lain. Waktu belum ada satupun sepupu Mama yang punya anak, akulah pusat perhatian. Padahal Pakde Iim dan Pakde Di lebih tua dari Mama, tapi Mama menikah lebih dulu dari mereka. Usia Mama saat menikah memang relatif muda. Begitu Mama lulus kuliah, Papa langsung mengajaknya menikah. Sejak itu kemudian dua tahun yang berisi “malam-malam yang menyusahkan ”—sekali lagi, iyuh—aku pun dilahirkan.

            Jarak umur kakak-beradik sepupu Mama relatif berdekatan yaitu sekitar satu sampai dua tahun antara Pakde Iim dengan Pakde Di dengan Tante Zahra dengan Om Mayong. Mereka semua dulu bersekolah di SMA yang sama dengan Mama. Hanya Tante As yang SMA-nya beda. Tante As juga tidak dekat dengan mereka.

Hanya Pakde Di dan Tante Zahra yang bekerja di Bandung dan sekitarnya. Pakde Iim bekerja di sebuah BUMN yang mengharuskannya berpindah provinsi tiap beberapa waktu sekali. Sedang Om Mayong bekerja di Jakarta.

            Rumah Kakek Burhan besar. Ada sebuah paviliun dan sebuah tempat usaha di samping rumah. Saat lebaran, rumah besar itu memenuhi fungsinya sebagai tempat berkumpul keluarga. Kamar-kamar kosong ditempati lagi. Namun ada juga yang memilih tidur di depan TV beralaskan sofa atau karpet. Biasanya itu aku dan anak-anak para sepupu Mama. Aku berusaha untuk bisa dekat dengan semua keponakan yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri itu.

Aku paling dekat dengan Ananta—atau lebih sering dipanggil dengan Mbak An, putri sulung Pakde Iim. Ia 12 tahun. Rambutnya lurus panjang tapi gaya berpakaiannya tomboi. Ia suka memakai kaos dan celana gombroh.  Ia punya dua adik laki-laki, Buana dan Candra—alias Mas Bun dan Mas Can. Jarak umur tiga bersaudara ini sekitar tiga tahun antar satu sama lain. Karakter mereka relatif tenang, kooperatif, tapi banyak akal. Ide-ide permainan biasanya datang dari mereka dan mereka akan memainkannya dengan kompak.

Sudah pernah bertemu dengan Alif, Faldi, dan Rifky sebelumnya kan? Mereka adalah tiga bocah badung luar biasa. Rambutku jadi acak-acakan kalau bertandang ke rumah mereka—dan itu cukup sering karena aku perlu belajar masak pada Uwak Tata. Alif sebenarnya sudah tidak tepat lagi disebut bocah. Usianya sudah 15 tahun, tapi ia masih suka mengomando adik-adiknya untuk berbuat jahil. Usia Alif dengan Faldi terpaut lima tahun sedang Faldi dengan Rifky sekitar dua tahun. Waktu masih benar-benar bocah, Alif suka menganggap dirinya sang bos besar. Ia berharap dua adiknya menjadi pengikut setia. Namun Faldi gencar melancarkan kudeta dan Rifky acap berada di pihaknya.

Kedua putri Tante Zahra pendiam dan pemalu. Mereka harus diajak atau didorong terlebih dulu baru beranjak atau melakukan sesuatu. Kalau aku tidak ada, sebetulnya Mbak An bisa dekat dengan mereka berdua. Usia putri sulung Tante Zahra hanya sekitar setahun lebih tua dari Mbak An. Usia adiknya hanya terpaut sekitar dua-tiga tahun lebih muda dari sang kakak.

Sedang Om Mayong dan istrinya baru punya anak sekitar setahun lalu. Batita cantik bermata cerah itu sudah bisa duduk sambil mengoceh dan mengacung-acungkan benda kecil apapun yang ada di dekatnya. Ia suka mencuri perhatianku dari anak-anak lain. Akhirnya perhatian anak-anak teralih padanya juga. Kalau sudah begitu, aku harus mengembalikan gadis mungil itu pada ibunya agar ia selamat.

Puncak keramaian di rumah itu biasanya terjadi pada H-1 hingga hari H. Itulah saat di mana kami, para anak-anak, memporak-porandakan isi rumah. Kami memanfaatkan barang apapun untuk properti permainan kami. Kami tertawa, kami berkejaran, kami membuat konflik, ada yang menangis, merengut, atau marah-marah, kami bermaafan lagi karena inilah momennya. Setelah itu kami berbagi ruang yang sama untuk tidur—meski beberapa lebih memilih tidur dengan mama mereka masing-masing.

 Kadang juga kami tidak komplet sejak awal, di tengah, atau kemudian, karena ada kerabat lain yang jadi tujuan silaturahmi. Misalnya saja keluarga Pakde Iim. Kalau tahun ini mereka silaturahmi ke rumah orangtua Pakde Iim, maka tahun berikutnya giliran rumah orangtua istrinya Pakde Iim yang dikunjungi. Terasa ada yang kurang memang, namun keceriaan harus tetap jalan!

Sebetulnya tidak hanya keluarga besar Kakek Burhan yang berkumpul di rumah itu saat lebaran, tapi juga keluarga kakekku yang hanya terdiri dari Kakek, mamaku berserta aku dan Papa, serta Tante As. Om Pir belum bisa balik lagi ke Indonesia untuk sementara waktu ini.

Kakek tinggal di rumah Kakek Burhan sejak hari pertama ia di Bandung. Ia memang lebih suka menginap di sana ketimbang di rumah anak-anaknya sendiri yang memang hanya menyisakan sedikit ruang. Bahkan di momen kumpul keluarga seperti ini pun ia lebih suka menyendiri saja. Sering kulihat ia duduk merokok di teras samping.

Tante As datang hanya pada lebaran hari pertama. Papaku bolak-balik antara rumah kami bertiga-rumah familinya sendiri-kantor-dan rumah Kakek Burhan. Mama juga demikian, namun ia lebih betah bersamaku yang betah bersama keluarga para sepupunya.

Patut disyukuri bahwa pada lebaran kali ini seluruh anggota keluarga besar dapat berkumpul. Memang tidak sejak sebelum atau ketika hari H sih. Kemunculannya juga tidak kompak. Petang pada hari kedua itu, aku melihat empat bersaudara plus Mama, ada di rumah ini.  Hanya Tante Zahra dan Pakde Di yang tidak disertai keluarga mereka.

Mumpung sedang ketemu Mbak An, aku selalu memanfaatkan kesempatan yang ada untuk curhat padanya. Ia terlihat bijaksana untuk anak seusianya.

Sedang khusyuk menceritakan masalahku, terdengar ramai dari arah depan rumah. Ada tawa, kehangatan, dan keramahan di sana. Seperti ada teman lama sedang bertandang. Perhatian kami teralih sejenak. Lalu aku meneruskan ceritaku.

“Kak Bibe, Mbak An, dipanggil sama Papa tuh…” Mas Bun muncul di ambang pintu ruangan kami. Seperti ia habis lari-lari. Aku dan Mbak bertukar pandang tak mengerti. Kami turuti saja Mas Bun. Jangan-jangan tamu yang datang masih terhitung saudara.

“Nah… Ini nih ketua gengnya datang…” Pakde Iim menyambutku dengan sebelah lengan terangkat. Pria satu ini memang suka ada-ada.

Aku agak kaget dengan sosok sang tamu sementara ia tersenyum saja memandangku. Kuedarkan pandang ke sekeliling ruang tamu: empat bersaudara lengkap dengan kedua orangtua mereka plus Mama. Semua muat dalam ruangan ini meski beberapa menduduk kursi tambahan. Agaknya tamu ini adalah orang yang spesial bagi keluarga.

Aku menyalami tangannya. “Ketemu lagi Om.” Aku julurkan sedikit lidah.

Setelah itu, berturut-turut Mbak An dan adik-adiknya yang lain menyalami pria itu. Ia tampak kasual dengan kaos lengan panjang dan celana korduroi—keduanya berwarna gelap. Dari balik tirai putih transparan, aku bisa melihat mobil yang dulu ia pakai untuk mengantarku ke rumah Tante As terparkir di balik pagar.

Pakde Iim lalu cerita mengenai anak-anak lain yang tidak muncul dan betapa ramainya rumah ini kalau kami hadir semua. Ia juga mengenalkan para “anggota keluarga baru” seperti istrinya sendiri, istrinya Om Mayong, lalu siapa yang menjadi istri Pakde Di begitupun suami Tante Zahra, sampai ke papaku.

“Ini nih papanya Bibe…” Mama menggiring Papa ke dalam ruang tamu. Saat dalam perjalanan ke ruang ini tadi, aku masih melihatnya tiduran di sofa dengan buku terbuka menutupi mukanya. Kantuk masih bercokol di wajah Papa. Kursi tambahan dimasukkan.

Aku sempat mengikuti sebentar perbincangan hangat di antara mereka sementara Kakek Burhan dan istrinya yang sama-sama sudah ringkih malah meninggalkan ruangan itu (“Anggap aja kayak di rumah sendiri!”, “Selalu, Pak!”, derai tawa).

Meski hanya tiga tahun berinteraksi dengan keluarga ini, Om Yan sering sekali main ke rumah, menumpang ini-itu, tingkahnya sudah seperti di rumah sendiri.

Aku jadi tahu kalau dulu Om Yan suka curhat pada Pakde Iim tiap dilarang ibunya bermain piano—meski pada akhirnya ibunya jua yang menyuruh belajar ke luar negeri untuk mempelajari itu. Dikira, ia baru kembali lagi ke Indonesia setelah ada undangan tampil di negeri ini. Sebetulnya ia pernah sekali kembali hanya untuk melawat ayahnya yang baru meninggal dunia.

Ia suka memberi tips pada Om Mayong bagaimana supaya pacaran tetap mesra dan awet (Om Mayong dan istrinya bertukar lirik sambil tersenyum-senyum). Suatu ironi mengingat Om Yan sendiri hingga kini masih melajang.

Ia juga pernah bikin Tante Zahra pundung sampai tanteku itu masuk kamar dan tidak mau keluar.

Mamaku juga pernah dibikinnya pundung. “Ah waktu itu mah masih labil,” sergah Mama.

Namun tetap Om Yan kena olok-olok sebagai tukang bikin pundung cewek. Ia menanggapinya dengan renyah saja.

Sambutan yang begitu hangat pada Om Yan membuatku makin merasa nyaman dengannya, apalagi karena ia sudah seperti saudara sendiri bagi keluarga ini. Foto mereka yang kutemukan di ruang buku pada waktu silam seakan menjadi hidup kembali.

Aku tidak bisa menyimak lebih lama obrolan para orang-orang tua ini. Tante Zahra dan ibunya meminta bantuanku dan Mbak An menyiapkan makan malam. Setelah itu aku tidak sempat berinteraksi lagi dengan Om Yan. Pakde Iim atau Om Mayong selalu berada di dekatnya, bertukar apapun. Jadinya aku dan Mbak An kembali ke kamar di lantai dua untuk meneruskan acara curhatku. Om Yan baru pulang setelah solat magrib berlanjut makan malam. Semuanya berjamaah. Om Yan meninggalkan beberapa dus besar, masing-masing berisi jenis makanan manis berbeda, yang selepas kepergiannya langsung jadi rebutan kami sekeluarga—kecuali yang diabetes.

Ketika tadi mengajak Om Yan untuk ikut solat magrib berjamaah, Pakde Iim ingat kalau dulu Om Yan baru solat kalau ada yang mengingatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain