Uwak
Tata mengikuti berita tentang Om Yan sejak mereka sama-sama SMA. Tidak hanya
tentang Om Yan sebetulnya, isu apapun tentang orang yang ia kenal adalah
menarik baginya. Bersahabat dengan Mama sejak SMP, Uwak Tata juga melanjutkan
pendidikan ke SMA yang sama dengan Mama. Jadi jelas kalau ia juga mengenal Om
Yan.
Ketika
tahu kalau Om Yan telah kembali ke Indonesia setelah sekian lama melanglang
buana, sudah silaturahmi pada keluarga suaminya pula, Uwak Tata bilang sama
Mama, “Diajak ke sini juga atuh.” Yang ia maksud dengan “sini” adalah rumahnya.
Siang
itu, aku sengaja langsung ke rumah Uwak Tata sepulang sekolah.
Mobil
Om Yan ternyata muat diparkir di jalanan depan rumah Uwak Tata. Sisa ruang di
sampingnya masih cukup bagi sebuah mobil ukuran sedang untuk lewat, asal dengan
kehati-hatian tinggi supaya tidak terperosok ke dalam solokan.
Aku
mendapati ia sedang main kartu bersama Faldi dan Rifky di ruang tengah.
Sesekali terdengar seruan, tampaknya permainan mereka seru. Gaya berpakaiannya
tidak sekasual saat mengunjungi keluargaku maupun rapat di Rumentang Siang.
Omong-omong, aku belum dapat panggilan lagi untuk berpartisipasi dalam proyek
tersebut.
Mama
muncul dari dapur. Sebuah perkedel jagung, amat renyah, di tangannya. Ia duduk
di sofa seberang sofa yang Om Yan duduki sambil mengamati permainan. Kedua
kakinya naik ke atas—gaya duduk di warung kopi. Mama selalu menganggap rumah
Uwak Tata sebagai rumahnya sendiri—bahkan sejak Uwak Tata masih tinggal bersama
orangtuanya.
Kugunakan
kesempatan ini untuk membalas Mama. Ia suka mengadukanku pada Papa, kali ini ia
akan kuadukan pada Om Yan. “Om, masak kata Mama Om pas SMA labil banget sih?”
Rasakan!
Mama mesem-mesem sambil
membela diri, “Ya itu kan wajar, masih SMA…”
Lalu kata Om Yan, “Iya Bibe,
Mama Bibe juga dulu enggak kalah labil kok. Mamanya Bibe itu suka ngajarin Om
lagu-lagu aneh.”
Kata Mama, “Om Yan dulu itu
kalau ada PR Bahasa Indonesia pasti suka minta tolong Mama yang ngerjain.”
Kata Om Yan lagi, “…berdiri di
gerbang sekolah lama… Kirain apa, enggak tahunya nunggu temennya pulang, mau
minta tebengan…”
Kata Mama lagi, “…kalau udah
ketemu sama taman bermain senengnya ngalahin anak kecil.”
“…suka jerit-jerit sampai
kedengaran ke kelas Om… “
“…hobinya tuh ngerusak
lagu-lagu anak kecil, diganti liriknya jadi macem-macem.”
“…kalau ngomong dari jauh
sana,” Om Yan menunjuk sejauh mungkin, “suaranya bisa kedengaran sampai sini…”
Telunjuknya mengarah ke tempat kami duduk-duduk. Ekspresinya sok meyakinkan.
Dua pasang mata milik
anak-anak Uwak Tata mondar-mandir dari kiri ke kanan. Baik tukang mengeyel
maupun pemirsanya begitu menggelikan.
“Sampai sekarang masih kayak
gitu kok Om…” kataku sok serius.
“Bibe, entar malam giliran
Bibe nyuci piring lagi ya?”
“He he…” Aku meringis pada
Mama.
“Yang di rumah ini juga, Tante,
ayo bilang, Tante…” desak Faldi, mengguncang-guncang lutut Mama.
“Iya, sama entar bantu Uwak
Tata beres-beres rumah juga…”
Aku menjulurkan lidah pada
Mama. Om Yan mengajak anak-anak memulai ronde baru. Uwak Tata datang dengan
sepiring perkedel jagung keemasan dengan serpihan merah dan hijau dari tomat
dan seledri.
“Akhirnya bisa ngerasain
masakan Nyonya Prayoga euy.” Om Yan mencomot satu perkedel.
“Ah kamu, bisa aja.” Nada Uwak
Tata datar tapi perhatian, lalu naik untuk menghardik anak-anaknya, “Ayo, siapa
tadi yang makan siangnya belum dihabisin?” Faldi dan Rifky terbirit-birit ke
sisi lain ruang tengah. “Gimana si Aa kasep teh, kapan atuh get married?”
Om Yan tersipu. Mama
memandangnya sekilas, lalu beralih pada Uwak Tata. “Bentar lagi… Serius, bentar
lagi…”
“Bisi, mau dicariin, he he…”
Uwak Tata menyengir. “Itu yang tiga rumah dari sini udah janda, gimana? Geulis
da, solehah.”
Mama menepuk paha Uwak Tata.
“Udah ada.”
“Sama siapa?”
“Sama yang dulu…”
“Oh ya? Katanya teh udah
berkeluarga ceunah?”
Dua ibu itu bergosip seakan
yang digosipkan tidak ada di depan mereka dan sedang memandang mereka
lekat-lekat. Ganti Mama yang memandang Om Yan.
“Sudah pisah,” kata Om Yan. Ia
tidak tersenyum seperti biasanya ia selalu, tapi juga tidak tampak bentuk emosi
lain.
“Euleuh… Kenapa?” tanya Uwak
Tata dengan nada simpatik.
Om Yan menggeleng. Senyumnya
tipis saja. “Enggak tahu. Dari sebelum saya balik ke sini dua tahun lalu juga
sudah begitu.”
“Mungkin emang jodohnya atuh
Yan…” kata Uwak Tata.
Om Yan hanya merespons dengan
senyum sopan. Matanya berpaling ke lain arah.
Kami mengerti ini bukan
sesuatu yang jadi menarik lagi untuk dibahas.
Dalam obrolan selanjutnya yang
lebih lancar, Om Yan menyinggung tentang aku hadir di konsernya di CCF.
“Ternyata Bibe enggak cuman doyan keroncong aja ya?” ujarnya.
“Ah aku sih segala macam musik
didengerin kokOm…” ucapku dengan nada merendah.
“Hm… Jadi sekarang suka jazz
juga?” komentar Mama, mungkin mengingat beberapa kali aku suka menyetel
frekuensi radio tape ke radio rumah.
Om Yan bilang lusa CCF akan
meyelenggarakan pertunjukan musik lagi pada jam yang sama. Kali ini hanya
berupa ansambel dari sebuah grup musik Prancis. Barangkali saja aku tertarik
menontonnya.
Meski tahu kalau aku mungkin
bakal mengantuk selama pertunjukan, demi kesopanan aku bilang kalau aku mungkin
datang, secara waktu luangku yang cukup banyak itu mencakup malam itu juga.
Kami sepakat untuk menonton
bersama. Mama mengizinkannya. Om Yan akan menjemputku di rumah Tante As. Aku
bepikir untuk nantinya kembali ke rumah itu juga. Aku belum tahu apakah Om Yan
sudah tahu di mana rumahku sendiri atau belum.
Aku memberitahu Manda agar ia
datang ke pertunjukan itu juga. Aku ingin membuatnya senang. Aku akan
mengenalkan Om Yan padanya. Namun sayang sekali jadwal kuliahnya sudah menyita
waktu. Malam itu ia masih ada kelas.
Malam yang dijanjikan tiba.
Aku kira aku bakal melihat penampilan kasualnya lagi, namun sepertinya ia
menyukai penampilan yang lebih rapi. Yang mana saja boleh sebetulnya, sama-sama
enak bagi pandanganku dan memikat penciumanku.
Meski tidak terlalu memahami
musik yang dibawakan, sebisa mungkin aku mencoba untuk mengapresiasi. Tiba-tiba
aku jadi kangen pada lagu-lagu rock zadul Mama. Ia begitu anteng menikmati.
Sekali-dua kali ia bertanya bagaimana pendapatku tentang pertunjukan ini. Aku
hanya bisa memberi jawaban standar, asal dengan ekspresi sungguh-sungguh saja.
Ia meresponku dengan senyum memaklumi. Ia bertanya juga apa aku merasa lebih
enak setelah menikmati satu penampilan. Ketika aku menggangguk, ia bilang
padaku sesuatu mengenai musik yang bagus.
Saat pulang, ada seorang
penumpang baru dalam mobil Om Yan. Ia salah seorang penonton juga, kenalan Om
Yan saat melawat ke Marseilles, dan Om Yan mengajaknya untuk serta. Aku
berinisiatif untuk duduk di jok tengah saja ketika kami sampai di dekat mobil
dan Om Yan bertanya aku mau duduk di mana. Pada awalnya, aku masih terlibat
dalam percakapan. Kenalan Om Yan rupanya sedang dalam misi backpacker solo. Om
Yan beseloroh pada lelaki itu kalau ia bisa minta bantuanku kalau tersesat. Aku
sekalian ingin menguji kemampuan berbahasa Inggris juga. Namun ketika mereka
mulai berbincang dalam bahasa yang aku tidak paham, aku jadi diam.
Sampai agak lama, aku masih
saja terngiang-ngiang dengan Om Yan. Aku pikir kalau ia seumuranku mungkin aku
bakal ngeceng dia, meski konon ia sangat labil waktu SMA. Selabil apa, aku jadi
penasaran. Mama pasti ngakak kalau aku cerita ini padanya.
Jadi dalam kesempatan mengobrol
berdua dengan Mama lagi, aku hanya bertanya, “Ma, dulu Om Yan kayak apa?”
Mama mengalihkan sejenak
perhatiannya dari layar laptop. Kacamata bacanya merosot sedikit. Kembali ia
lanjut mengetik laporan sembari menjawab pertanyaanku, “Dulu tuh kurus banget.”
Aku membayangkannya. “Mukanya pucat, suka pake jaket ke mana-mana. Enggak kayak
sekarang.” Aku tercenung. “Keliatan sehat sama berisi banget. Mana dulu suka
gonta-ganti model rambut juga lagi.”
Ah, paling-paling bagian dari
keeksentrikan pemuda tahun 80-an… Ia pernah dijuluki “Lupus”—yang waktu itu
sedang ngetren-ngetrennya di kalangan muda. Dua dari banyak sohib akrabnya
adalah seorang gendut yang senang bernyanyi dan seorang keriting—meski tidak
begitu pecicilan, mengingatkanku pada Gusur dan Boim jadinya.
Sejak dulu ia dikenal periang,
selalu ceria, ramah, dan mudah bergaul. Tapi menurut mamaku ia kurang menebar
kharisma. Mungkin kharismanya baru mulai terbentuk setelah ia jadi performer.
Aku bayangkan ia punya orang-orang yang menentukan pakaian apa yang harus ia
kenakan, menyuruhnya rajin ke gym agar tubuhnya lebih berbentuk dan berisi,
mengatur jam makan dan asupan gizinya agar ia selalu sehat bugar, sampai
menjaga mood-nya agar tetap baik.
“Om Yan suka pacaran enggak,
Ma?” tanyaku lagi.
“Setahu Mama sih, sama yang
itu-itu aja. Lengket banget, ke mana-mana berdua, kayak di-Castol.”
Ya, aku masih ingat sebelumnya
Mama sudah pernah bilang begitu. Mengapa orang tua suka mengulang-ngulang apa
yang pernah dikatakan ya?
“Mama sedekat apa sih dulu
sama Om Yan?”
“Biasa aja kok, Be. Cuman
teman nongkrong, teman galau bareng.” Serius, remaja zaman dulu sudah pada
galau? “Yang lebih dekat itu Tante Zahra.”
“Kalau Mama cuman teman
nongkrong, Tante Zahra itu teman apa Ma?
“Teman curhat.”
“Kalau sama Tante Ri?” tanyaku
dengan nada bermain rahasia.
Mama tampak memikirkannya
sejenak, lalu membalas dengan nada yang sama. “Harusnya sih jadi teman
sehidup-semati. Dulu pada mikir gitu.”
“Iya… Padahal serasi ya Ma…”
“Eh, kalau mau tanya-tanya
lebih banyak tentang Om Yan, mungkin Tante Zahra lebih ngerti. Coba deh tanya.”
“Malu.”
“Bibe punya malu?”
“Kalau Mama masih punya malu,
berarti aku juga punya.”
“Hm…” tersungging senyum di bibir
Mama tapi ia tidak melihatku.
Setelah aku desak lagi, yang tersisa dalam
ingatan Mama hanya kecenderungan Om Yan dulu pada baju berwarna-warni cerah
sedang sekarang sepertinya ia pakai warna gelap melulu. Tulisan tangannya juga
jadi bagus. Model rambutnya yang ikal kecokelatan itu tidak pernah berubah-ubah
lagi—hanya disisir rapi ke belakang. “Dulu cengangas cengenges sukanya,
sekarang jadi kalem,” tambah Mama.
Aku tambahkan lagi: sepertinya
hanya Om Yan yang bisa melihat Mama dari segi positif. Sementara papaku suka
menertawakan kebodohan Mama (ia tidak bermaksud olok-olok, hanya geli saja),
lalu Tante As sampai teman-teman Mama sendiri lebih suka menceritakan kejelekan
Mama daripada kebaikannya—namun mamaku cuek saja, Om Yan bilang kalau mamaku
adalah teman curhat yang enak, suka membantunya mengerjakan PR, dan lain-lain.
Mengetahui bagaimana aku
terpesona dengan si om ganteng, Mama mengingatkanku agar menjaga diri.
“Kenapa, kan udah kayak
saudara sendiri, Ma?”
“Iya, tapi tetap kalau sama
orang itu, sama siapapun, harus bisa jaga diri. Jaga perilaku, jaga kesopanan.”
Kataku, “Ah, Mama ini
ngomongnya kayak emak-emak!”
“Lah, emang Mama emak kamu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar