Jumat, 18 November 2011

Masa Lalu

Uwak Tata mengikuti berita tentang Om Yan sejak mereka sama-sama SMA. Tidak hanya tentang Om Yan sebetulnya, isu apapun tentang orang yang ia kenal adalah menarik baginya. Bersahabat dengan Mama sejak SMP, Uwak Tata juga melanjutkan pendidikan ke SMA yang sama dengan Mama. Jadi jelas kalau ia juga mengenal Om Yan.

Ketika tahu kalau Om Yan telah kembali ke Indonesia setelah sekian lama melanglang buana, sudah silaturahmi pada keluarga suaminya pula, Uwak Tata bilang sama Mama, “Diajak ke sini juga atuh.” Yang ia maksud dengan “sini” adalah rumahnya.

Siang itu, aku sengaja langsung ke rumah Uwak Tata sepulang sekolah.

Mobil Om Yan ternyata muat diparkir di jalanan depan rumah Uwak Tata. Sisa ruang di sampingnya masih cukup bagi sebuah mobil ukuran sedang untuk lewat, asal dengan kehati-hatian tinggi supaya tidak terperosok ke dalam solokan.

Aku mendapati ia sedang main kartu bersama Faldi dan Rifky di ruang tengah. Sesekali terdengar seruan, tampaknya permainan mereka seru. Gaya berpakaiannya tidak sekasual saat mengunjungi keluargaku maupun rapat di Rumentang Siang. Omong-omong, aku belum dapat panggilan lagi untuk berpartisipasi dalam proyek tersebut.

Mama muncul dari dapur. Sebuah perkedel jagung, amat renyah, di tangannya. Ia duduk di sofa seberang sofa yang Om Yan duduki sambil mengamati permainan. Kedua kakinya naik ke atas—gaya duduk di warung kopi. Mama selalu menganggap rumah Uwak Tata sebagai rumahnya sendiri—bahkan sejak Uwak Tata masih tinggal bersama orangtuanya.

Kugunakan kesempatan ini untuk membalas Mama. Ia suka mengadukanku pada Papa, kali ini ia akan kuadukan pada Om Yan. “Om, masak kata Mama Om pas SMA labil banget sih?” Rasakan!

Mama mesem-mesem sambil membela diri, “Ya itu kan wajar, masih SMA…”

Lalu kata Om Yan, “Iya Bibe, Mama Bibe juga dulu enggak kalah labil kok. Mamanya Bibe itu suka ngajarin Om lagu-lagu aneh.”

Kata Mama, “Om Yan dulu itu kalau ada PR Bahasa Indonesia pasti suka minta tolong Mama yang ngerjain.”

Kata Om Yan lagi, “…berdiri di gerbang sekolah lama… Kirain apa, enggak tahunya nunggu temennya pulang, mau minta tebengan…”

Kata Mama lagi, “…kalau udah ketemu sama taman bermain senengnya ngalahin anak kecil.”

“…suka jerit-jerit sampai kedengaran ke kelas Om… “

“…hobinya tuh ngerusak lagu-lagu anak kecil, diganti liriknya jadi macem-macem.”

“…kalau ngomong dari jauh sana,” Om Yan menunjuk sejauh mungkin, “suaranya bisa kedengaran sampai sini…” Telunjuknya mengarah ke tempat kami duduk-duduk. Ekspresinya sok meyakinkan.

Dua pasang mata milik anak-anak Uwak Tata mondar-mandir dari kiri ke kanan. Baik tukang mengeyel maupun pemirsanya begitu menggelikan.

“Sampai sekarang masih kayak gitu kok Om…” kataku sok serius.

“Bibe, entar malam giliran Bibe nyuci piring lagi ya?”

“He he…” Aku meringis pada Mama.

“Yang di rumah ini juga, Tante, ayo bilang, Tante…” desak Faldi, mengguncang-guncang lutut Mama.

“Iya, sama entar bantu Uwak Tata beres-beres rumah juga…”

Aku menjulurkan lidah pada Mama. Om Yan mengajak anak-anak memulai ronde baru. Uwak Tata datang dengan sepiring perkedel jagung keemasan dengan serpihan merah dan hijau dari tomat dan seledri.

“Akhirnya bisa ngerasain masakan Nyonya Prayoga euy.” Om Yan mencomot satu perkedel.

“Ah kamu, bisa aja.” Nada Uwak Tata datar tapi perhatian, lalu naik untuk menghardik anak-anaknya, “Ayo, siapa tadi yang makan siangnya belum dihabisin?” Faldi dan Rifky terbirit-birit ke sisi lain ruang tengah. “Gimana si Aa kasep teh, kapan atuh get married?”

Om Yan tersipu. Mama memandangnya sekilas, lalu beralih pada Uwak Tata. “Bentar lagi… Serius, bentar lagi…”

“Bisi, mau dicariin, he he…” Uwak Tata menyengir. “Itu yang tiga rumah dari sini udah janda, gimana? Geulis da, solehah.”

Mama menepuk paha Uwak Tata. “Udah ada.”

“Sama siapa?”

“Sama yang dulu…”

“Oh ya? Katanya teh udah berkeluarga ceunah?”

Dua ibu itu bergosip seakan yang digosipkan tidak ada di depan mereka dan sedang memandang mereka lekat-lekat. Ganti Mama yang memandang Om Yan.

“Sudah pisah,” kata Om Yan. Ia tidak tersenyum seperti biasanya ia selalu, tapi juga tidak tampak bentuk emosi lain.

“Euleuh… Kenapa?” tanya Uwak Tata dengan nada simpatik.

Om Yan menggeleng. Senyumnya tipis saja. “Enggak tahu. Dari sebelum saya balik ke sini dua tahun lalu juga sudah begitu.”

“Mungkin emang jodohnya atuh Yan…” kata Uwak Tata.

Om Yan hanya merespons dengan senyum sopan. Matanya berpaling ke lain arah.

Kami mengerti ini bukan sesuatu yang jadi menarik lagi untuk dibahas.

Dalam obrolan selanjutnya yang lebih lancar, Om Yan menyinggung tentang aku hadir di konsernya di CCF. “Ternyata Bibe enggak cuman doyan keroncong aja ya?” ujarnya.

“Ah aku sih segala macam musik didengerin kokOm…” ucapku dengan nada merendah.

“Hm… Jadi sekarang suka jazz juga?” komentar Mama, mungkin mengingat beberapa kali aku suka menyetel frekuensi radio tape ke radio rumah.

Om Yan bilang lusa CCF akan meyelenggarakan pertunjukan musik lagi pada jam yang sama. Kali ini hanya berupa ansambel dari sebuah grup musik Prancis. Barangkali saja aku tertarik menontonnya.

Meski tahu kalau aku mungkin bakal mengantuk selama pertunjukan, demi kesopanan aku bilang kalau aku mungkin datang, secara waktu luangku yang cukup banyak itu mencakup malam itu juga.

Kami sepakat untuk menonton bersama. Mama mengizinkannya. Om Yan akan menjemputku di rumah Tante As. Aku bepikir untuk nantinya kembali ke rumah itu juga. Aku belum tahu apakah Om Yan sudah tahu di mana rumahku sendiri atau belum.

Aku memberitahu Manda agar ia datang ke pertunjukan itu juga. Aku ingin membuatnya senang. Aku akan mengenalkan Om Yan padanya. Namun sayang sekali jadwal kuliahnya sudah menyita waktu. Malam itu ia masih ada kelas.

Malam yang dijanjikan tiba. Aku kira aku bakal melihat penampilan kasualnya lagi, namun sepertinya ia menyukai penampilan yang lebih rapi. Yang mana saja boleh sebetulnya, sama-sama enak bagi pandanganku dan memikat penciumanku.

Meski tidak terlalu memahami musik yang dibawakan, sebisa mungkin aku mencoba untuk mengapresiasi. Tiba-tiba aku jadi kangen pada lagu-lagu rock zadul Mama. Ia begitu anteng menikmati. Sekali-dua kali ia bertanya bagaimana pendapatku tentang pertunjukan ini. Aku hanya bisa memberi jawaban standar, asal dengan ekspresi sungguh-sungguh saja. Ia meresponku dengan senyum memaklumi. Ia bertanya juga apa aku merasa lebih enak setelah menikmati satu penampilan. Ketika aku menggangguk, ia bilang padaku sesuatu mengenai musik yang bagus.

Saat pulang, ada seorang penumpang baru dalam mobil Om Yan. Ia salah seorang penonton juga, kenalan Om Yan saat melawat ke Marseilles, dan Om Yan mengajaknya untuk serta. Aku berinisiatif untuk duduk di jok tengah saja ketika kami sampai di dekat mobil dan Om Yan bertanya aku mau duduk di mana. Pada awalnya, aku masih terlibat dalam percakapan. Kenalan Om Yan rupanya sedang dalam misi backpacker solo. Om Yan beseloroh pada lelaki itu kalau ia bisa minta bantuanku kalau tersesat. Aku sekalian ingin menguji kemampuan berbahasa Inggris juga. Namun ketika mereka mulai berbincang dalam bahasa yang aku tidak paham, aku jadi diam.

Sampai agak lama, aku masih saja terngiang-ngiang dengan Om Yan. Aku pikir kalau ia seumuranku mungkin aku bakal ngeceng dia, meski konon ia sangat labil waktu SMA. Selabil apa, aku jadi penasaran. Mama pasti ngakak kalau aku cerita ini padanya.

            Jadi dalam kesempatan mengobrol berdua dengan Mama lagi, aku hanya bertanya, “Ma, dulu Om Yan kayak apa?”

Mama mengalihkan sejenak perhatiannya dari layar laptop. Kacamata bacanya merosot sedikit. Kembali ia lanjut mengetik laporan sembari menjawab pertanyaanku, “Dulu tuh kurus banget.” Aku membayangkannya. “Mukanya pucat, suka pake jaket ke mana-mana. Enggak kayak sekarang.” Aku tercenung. “Keliatan sehat sama berisi banget. Mana dulu suka gonta-ganti model rambut juga lagi.”

Ah, paling-paling bagian dari keeksentrikan pemuda tahun 80-an… Ia pernah dijuluki “Lupus”—yang waktu itu sedang ngetren-ngetrennya di kalangan muda. Dua dari banyak sohib akrabnya adalah seorang gendut yang senang bernyanyi dan seorang keriting—meski tidak begitu pecicilan, mengingatkanku pada Gusur dan Boim jadinya.

Sejak dulu ia dikenal periang, selalu ceria, ramah, dan mudah bergaul. Tapi menurut mamaku ia kurang menebar kharisma. Mungkin kharismanya baru mulai terbentuk setelah ia jadi performer. Aku bayangkan ia punya orang-orang yang menentukan pakaian apa yang harus ia kenakan, menyuruhnya rajin ke gym agar tubuhnya lebih berbentuk dan berisi, mengatur jam makan dan asupan gizinya agar ia selalu sehat bugar, sampai menjaga mood-nya agar tetap baik.

“Om Yan suka pacaran enggak, Ma?” tanyaku lagi.

“Setahu Mama sih, sama yang itu-itu aja. Lengket banget, ke mana-mana berdua, kayak di-Castol.”

Ya, aku masih ingat sebelumnya Mama sudah pernah bilang begitu. Mengapa orang tua suka mengulang-ngulang apa yang pernah dikatakan ya?

“Mama sedekat apa sih dulu sama Om Yan?”

“Biasa aja kok, Be. Cuman teman nongkrong, teman galau bareng.” Serius, remaja zaman dulu sudah pada galau? “Yang lebih dekat itu Tante Zahra.”

“Kalau Mama cuman teman nongkrong, Tante Zahra itu teman apa Ma?

“Teman curhat.”

“Kalau sama Tante Ri?” tanyaku dengan nada bermain rahasia.

Mama tampak memikirkannya sejenak, lalu membalas dengan nada yang sama. “Harusnya sih jadi teman sehidup-semati. Dulu pada mikir gitu.”

“Iya… Padahal serasi ya Ma…”

“Eh, kalau mau tanya-tanya lebih banyak tentang Om Yan, mungkin Tante Zahra lebih ngerti. Coba deh tanya.”

“Malu.”

“Bibe punya malu?”

            “Kalau Mama masih punya malu, berarti aku juga punya.”

            “Hm…” tersungging senyum di bibir Mama tapi ia tidak melihatku.

             Setelah aku desak lagi, yang tersisa dalam ingatan Mama hanya kecenderungan Om Yan dulu pada baju berwarna-warni cerah sedang sekarang sepertinya ia pakai warna gelap melulu. Tulisan tangannya juga jadi bagus. Model rambutnya yang ikal kecokelatan itu tidak pernah berubah-ubah lagi—hanya disisir rapi ke belakang. “Dulu cengangas cengenges sukanya, sekarang jadi kalem,” tambah Mama.

Aku tambahkan lagi: sepertinya hanya Om Yan yang bisa melihat Mama dari segi positif. Sementara papaku suka menertawakan kebodohan Mama (ia tidak bermaksud olok-olok, hanya geli saja), lalu Tante As sampai teman-teman Mama sendiri lebih suka menceritakan kejelekan Mama daripada kebaikannya—namun mamaku cuek saja, Om Yan bilang kalau mamaku adalah teman curhat yang enak, suka membantunya mengerjakan PR, dan lain-lain.

Mengetahui bagaimana aku terpesona dengan si om ganteng, Mama mengingatkanku agar menjaga diri.

“Kenapa, kan udah kayak saudara sendiri, Ma?”

“Iya, tapi tetap kalau sama orang itu, sama siapapun, harus bisa jaga diri. Jaga perilaku, jaga kesopanan.”

Kataku, “Ah, Mama ini ngomongnya kayak emak-emak!”

“Lah, emang Mama emak kamu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain