Ada yang menganggap kelas XI adalah
puncak kegempitaan masa remaja. Waktu kamu SMP, kamu masih dianggap remaja
awal. Waktu kamu masuk perguruan tinggi, kamu sudah dianggap remaja tua alias
dewasa muda. Jadi masa SMA adalah ketika kamu dianggap sebagai remaja
seutuhnya. Namun kelas X masih merupakan masa orientasimu terhadap lingkungan
baru. Kamu belum benar-benar menikmati SMA. Kamu masih mencari-cari tempat yang
tepat untukmu. Di kelas XI, kamu sudah berada dalam situasi yang lebih mapan.
Masa orientasimu seharusnya sudah tuntas. Kamu sudah bisa menentukan di mana
kamu bisa mengaktualisasikan dirimu. Sepanjang tahun ajaran yang akan terasa
singkat ini, kamu harus mengoptimalkannya. Di kelas XII nanti, kamu harus mulai
fokus memikirkan masa depanmu. Masa SMA akan terasa nikmat sekaligus pedih
karena kenyataan bahwa kamu tak akan bisa mengalaminya lagi tahun depan.
Situasi yang sama sekali berbeda akan menghadang.
Tak sedikit yang berharap untuk
dapat kembali menikmati masa SMA. Meski katanya masa SMA adalah masa paling
nikmat, siapa sih yang benar-benar mau memperpanjang masa SMA-nya—membuatnya
lebih lama dari yang seumumnya?
Kelas XI memang jadi puncak keriuhan
masa remajaku: sering dipercaya untuk memegang amanah dalam organisasi, sampai
mengampu jabatan tervital dalam OSIS; berhasil merumuskan kriteria cowok
idamanku; menemukan sesama penggemar Ardian Hayyra di sekolah; punya pacar yang
cakep dan aktif di ekskul basket meski lebih muda, suka cengengesan, dan naif;
pokoknya aku selalu mengalami minggu yang padat tanpa harus kehilangan
kesempatan untuk sejenak rihat. Kendati amanah di OSIS menyita banyak waktuku,
namun aku masih bisa berpartisipasi di Paskibra dan PMR, mengikuti beberapa
kompetisi, latihan karate tiga kali seminggu, jalan-jalan sama pacar maupun
beberapa kelompok teman yang berbeda, tidak kehilangan waktu berkualitas
bersama papa-mamaku; hingga bermalam Minggu di Kedai Keroncong sebulan sekali.
Kejayaanku
adalah suatu anugerah, namun selalu ada konsekuensi dari sesuatu. Aku tidak
jadi dibelikan motor, karena aku telah diberkahi masa SMA yang lebih lama dari
yang seumumnya.
“Berarti
kita enggak usah panggil kamu ‘teteh’ lagi dong?”
Kehilangan rasa hormat dari mereka
yang sekarang bukan lagi adik kelas—tapi teman sekelas—meski mereka
memperlakukanku dengan lebih akrab dari sebelumnya. Mereka ingin memanfaatkan
kecakapanku lagi untuk menunjang kesuksesan angkatan mereka. Ha, coba saja.
“Kayaknya
aku emang beneran suka sama Eva deh, hehe…”
Sebetulnya dari awal aku sudah
curiga ia menembakku hanya karena aku populer. Dasar cowok cakep tak berguna.
Tapi hubungan kami selalu baik sebagaimana kakak-adik.Kami sama-sama belum
pernah pacaran sebelumnya dan tidak tahu bagaimana cara menabur romansa.
“…supaya
bisa ngawasin Bibe.”
Papaku tidak lagi bekerja untuk
Harian K yang bergengsi itu. Sangat disayangkan. Padahal sebelumnya aku selalu
mengatakan dengan penuh kebanggaan pada siapapun bahwa papaku wartawan K.
Selama kurun waktu tersebut, papaku telah menjelajahi begitu banyak pelosok
negeri dan belasan negara asing. Ia sudah berkontribusi untuk harian tersebut
sejak gelar sarjana belum resmi melengkapi nama panjangnya.
Setelah
aku menginjak fase kedua dari kelas XI-ku, ia menempati posisi di Bandung untuk
sebuah harian nasional lain dengan sasaran yang lebih khusus.
Aku
tahu ia kemukakan alasan tersebut hanya untuk meledekku—meski mungkin ada
benarnya. Ia punya alasan lain yang membuatnya makin sering membuka-buka buku
keislaman. Cita-citanya sekarang adalah berhaji bareng Mama.
“…”
Ini mamaku dalam aksi tutup mulut
setelah debat hangat kami di awal pergantian tahun ajaran. Aku mengatakannya
“hangat” karena bagi kami debat adalah hal biasa, namun kali ini ia tidak bisa.
Mestinya ia tahu, kalau aku juga tidak menginginkan hal ini. Toh berkat
didikannya juga sehingga aku jadi anak yang suka mencoba banyak hal. “Ya tapi
jangan sampai lupa belajar,” keluhnya. Ia sudah membuatku sibuk dengan berbagai
les sejak aku TK. Ketika aku mengungkapkan itu, aku seolah telah menorehkan
penyesalan padanya. Mungkin itu juga salah satu alasan diamnya. Ia perlu
berpikir lagi tentang arah diriku.
Namun
aku coba untuk tetap riang. Aku bilang padanya kalau aku hanya ingin
membuktikan bahwa sekolahku memang menerapkan sistem penilaian yang ketat.
Sekolahku tidak kenal sistem katrol kecuali yang ada dalam Fisika.
Aku tidak tahan dengan diamnya
mamaku. Jadi pada suatu kesempatan aku memeluknya dari belakang dan menumpahkan
kesedihanku. Hubungan kami menghangat lagi setelah itu tapi ia ingin aku fokus
studi pada kesempatan kedua ini. Aku menyanggupinya. Entah mengapa, ketika aku
menghentikan akivitas yang satu lantas aku jadi malas mengikuti aktivitas
lainnya. Selain studi dan main, aku hanya mengambil ekskul fotografi. Itu juga
supaya aku tahu bagaimana memanfaatkan SLR pemberian papaku. Ia sudah punya
yang baru dengan setelan lebih canggih.
“Kak
Bibe, mau nginep di rumah eyangku enggak?”
Sorot jernih yang matanya pancarkan
mampu melipur laraku. Sejak duet kami yang pertama, kami jadi dekat. Semakin
dekat tiap kali kami bertemu. Aku kira ini karena, pertama, kami sama-sama
perempuan, kedua, anggota komunitas berusia di bawah 40 tahun yang paling
sering hadir di jam session minggu kedua hanya kami.
Ia
rupanya tinggal di Jakarta. Sebulan sekali, ia ke Bandung untuk bersilaturahmi
dengan eyangnya. Namun tiap kali ke Kedai Buncong, aku tidak pernah melihat
rupa anggota keluarganya selain sepasang eyangnya itu. Tidak juga Tante Ri.
Vira juga tidak selalu ikut eyangnya ke kedai. Pernah yang terlihat hanya salah
satu eyangnya saja, atau kedua eyang tanpa Vira, atau tidak ada kedua eyang
tersebut sama sekali.
Biar
kesempatan kami bertemu hanya sebulan sekali, hubungan kami juga terjalin
melalui sms. Sesekali ia mengirimkan sms hanya untuk menanyakan kabarku. Ia
manis sekali. Kami juga sudah berteman di Facebook.
Kami sepakat menyebut “Kedai
Keroncong” dengan “Kedai Buncong”. Seharusnya kedai tersebut bernama “Kedai
Buaya Keroncong” karena ada gambar buaya di antara kata “Kedai” dan “Keroncong”
di plang maupun logo kedai yang tertera—baik di nota maupun di perabot kedai
tertentu. Jadi “buncong” adalah singkatan untuk “buaya keroncong”. Kami biasa menyebut
lansia yang mendominasi komunitas kami dengan “buncong-buncong”.
Setelah hampir dua tahun kami
berteman, Vira akhirnya mengundangku menginap di rumah eyangnya. Ia
mengatakannya langsung padaku saat kami bertemu dalam kesempatan yang biasa.
Aku tanya apa eyangnya mengizinkan. Mukanya jadi lucu saat mengatakan, “Enggak
apa-apa.” Jadi aku bilang kalau aku harus bersiap dulu kalau mau menginap.
Mungkin pada kesempatan berikutnya, aku bisa ikut ke rumah eyangnya Vira
sekalian usai jam session. Itu artinya bulan depan. “Lamaa…” rengeknya. Tapi ia
setuju dan memintaku berjanji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar