Jumat, 04 November 2011

Kelas XI Dua Kali

            Ada yang menganggap kelas XI adalah puncak kegempitaan masa remaja. Waktu kamu SMP, kamu masih dianggap remaja awal. Waktu kamu masuk perguruan tinggi, kamu sudah dianggap remaja tua alias dewasa muda. Jadi masa SMA adalah ketika kamu dianggap sebagai remaja seutuhnya. Namun kelas X masih merupakan masa orientasimu terhadap lingkungan baru. Kamu belum benar-benar menikmati SMA. Kamu masih mencari-cari tempat yang tepat untukmu. Di kelas XI, kamu sudah berada dalam situasi yang lebih mapan. Masa orientasimu seharusnya sudah tuntas. Kamu sudah bisa menentukan di mana kamu bisa mengaktualisasikan dirimu. Sepanjang tahun ajaran yang akan terasa singkat ini, kamu harus mengoptimalkannya. Di kelas XII nanti, kamu harus mulai fokus memikirkan masa depanmu. Masa SMA akan terasa nikmat sekaligus pedih karena kenyataan bahwa kamu tak akan bisa mengalaminya lagi tahun depan. Situasi yang sama sekali berbeda akan menghadang.

            Tak sedikit yang berharap untuk dapat kembali menikmati masa SMA. Meski katanya masa SMA adalah masa paling nikmat, siapa sih yang benar-benar mau memperpanjang masa SMA-nya—membuatnya lebih lama dari yang seumumnya?

            Kelas XI memang jadi puncak keriuhan masa remajaku: sering dipercaya untuk memegang amanah dalam organisasi, sampai mengampu jabatan tervital dalam OSIS; berhasil merumuskan kriteria cowok idamanku; menemukan sesama penggemar Ardian Hayyra di sekolah; punya pacar yang cakep dan aktif di ekskul basket meski lebih muda, suka cengengesan, dan naif; pokoknya aku selalu mengalami minggu yang padat tanpa harus kehilangan kesempatan untuk sejenak rihat. Kendati amanah di OSIS menyita banyak waktuku, namun aku masih bisa berpartisipasi di Paskibra dan PMR, mengikuti beberapa kompetisi, latihan karate tiga kali seminggu, jalan-jalan sama pacar maupun beberapa kelompok teman yang berbeda, tidak kehilangan waktu berkualitas bersama papa-mamaku; hingga bermalam Minggu di Kedai Keroncong sebulan sekali.

            Kejayaanku adalah suatu anugerah, namun selalu ada konsekuensi dari sesuatu. Aku tidak jadi dibelikan motor, karena aku telah diberkahi masa SMA yang lebih lama dari yang seumumnya.

           

“Berarti kita enggak usah panggil kamu ‘teteh’ lagi dong?”

            Kehilangan rasa hormat dari mereka yang sekarang bukan lagi adik kelas—tapi teman sekelas—meski mereka memperlakukanku dengan lebih akrab dari sebelumnya. Mereka ingin memanfaatkan kecakapanku lagi untuk menunjang kesuksesan angkatan mereka. Ha, coba saja.

 

“Kayaknya aku emang beneran suka sama Eva deh, hehe…”

            Sebetulnya dari awal aku sudah curiga ia menembakku hanya karena aku populer. Dasar cowok cakep tak berguna. Tapi hubungan kami selalu baik sebagaimana kakak-adik.Kami sama-sama belum pernah pacaran sebelumnya dan tidak tahu bagaimana cara menabur romansa.

 

“…supaya bisa ngawasin Bibe.”

            Papaku tidak lagi bekerja untuk Harian K yang bergengsi itu. Sangat disayangkan. Padahal sebelumnya aku selalu mengatakan dengan penuh kebanggaan pada siapapun bahwa papaku wartawan K. Selama kurun waktu tersebut, papaku telah menjelajahi begitu banyak pelosok negeri dan belasan negara asing. Ia sudah berkontribusi untuk harian tersebut sejak gelar sarjana belum resmi melengkapi nama panjangnya.

Setelah aku menginjak fase kedua dari kelas XI-ku, ia menempati posisi di Bandung untuk sebuah harian nasional lain dengan sasaran yang lebih khusus.

Aku tahu ia kemukakan alasan tersebut hanya untuk meledekku—meski mungkin ada benarnya. Ia punya alasan lain yang membuatnya makin sering membuka-buka buku keislaman. Cita-citanya sekarang adalah berhaji bareng Mama.

 

“…”

            Ini mamaku dalam aksi tutup mulut setelah debat hangat kami di awal pergantian tahun ajaran. Aku mengatakannya “hangat” karena bagi kami debat adalah hal biasa, namun kali ini ia tidak bisa. Mestinya ia tahu, kalau aku juga tidak menginginkan hal ini. Toh berkat didikannya juga sehingga aku jadi anak yang suka mencoba banyak hal. “Ya tapi jangan sampai lupa belajar,” keluhnya. Ia sudah membuatku sibuk dengan berbagai les sejak aku TK. Ketika aku mengungkapkan itu, aku seolah telah menorehkan penyesalan padanya. Mungkin itu juga salah satu alasan diamnya. Ia perlu berpikir lagi tentang arah diriku.

Namun aku coba untuk tetap riang. Aku bilang padanya kalau aku hanya ingin membuktikan bahwa sekolahku memang menerapkan sistem penilaian yang ketat. Sekolahku tidak kenal sistem katrol kecuali yang ada dalam Fisika.

            Aku tidak tahan dengan diamnya mamaku. Jadi pada suatu kesempatan aku memeluknya dari belakang dan menumpahkan kesedihanku. Hubungan kami menghangat lagi setelah itu tapi ia ingin aku fokus studi pada kesempatan kedua ini. Aku menyanggupinya. Entah mengapa, ketika aku menghentikan akivitas yang satu lantas aku jadi malas mengikuti aktivitas lainnya. Selain studi dan main, aku hanya mengambil ekskul fotografi. Itu juga supaya aku tahu bagaimana memanfaatkan SLR pemberian papaku. Ia sudah punya yang baru dengan setelan lebih canggih.

 

“Kak Bibe, mau nginep di rumah eyangku enggak?”

            Sorot jernih yang matanya pancarkan mampu melipur laraku. Sejak duet kami yang pertama, kami jadi dekat. Semakin dekat tiap kali kami bertemu. Aku kira ini karena, pertama, kami sama-sama perempuan, kedua, anggota komunitas berusia di bawah 40 tahun yang paling sering hadir di jam session minggu kedua hanya kami.

Ia rupanya tinggal di Jakarta. Sebulan sekali, ia ke Bandung untuk bersilaturahmi dengan eyangnya. Namun tiap kali ke Kedai Buncong, aku tidak pernah melihat rupa anggota keluarganya selain sepasang eyangnya itu. Tidak juga Tante Ri. Vira juga tidak selalu ikut eyangnya ke kedai. Pernah yang terlihat hanya salah satu eyangnya saja, atau kedua eyang tanpa Vira, atau tidak ada kedua eyang tersebut sama sekali.

Biar kesempatan kami bertemu hanya sebulan sekali, hubungan kami juga terjalin melalui sms. Sesekali ia mengirimkan sms hanya untuk menanyakan kabarku. Ia manis sekali. Kami juga sudah berteman di Facebook.

            Kami sepakat menyebut “Kedai Keroncong” dengan “Kedai Buncong”. Seharusnya kedai tersebut bernama “Kedai Buaya Keroncong” karena ada gambar buaya di antara kata “Kedai” dan “Keroncong” di plang maupun logo kedai yang tertera—baik di nota maupun di perabot kedai tertentu. Jadi “buncong” adalah singkatan untuk “buaya keroncong”. Kami biasa menyebut lansia yang mendominasi komunitas kami dengan “buncong-buncong”.

            Setelah hampir dua tahun kami berteman, Vira akhirnya mengundangku menginap di rumah eyangnya. Ia mengatakannya langsung padaku saat kami bertemu dalam kesempatan yang biasa. Aku tanya apa eyangnya mengizinkan. Mukanya jadi lucu saat mengatakan, “Enggak apa-apa.” Jadi aku bilang kalau aku harus bersiap dulu kalau mau menginap. Mungkin pada kesempatan berikutnya, aku bisa ikut ke rumah eyangnya Vira sekalian usai jam session. Itu artinya bulan depan. “Lamaa…” rengeknya. Tapi ia setuju dan memintaku berjanji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain