Ketika hujan turun, itu adalah
waktunya bagi manusia untuk mendengarkan suara alam. Luruh hujan yang
diruntuhkan langit kelabu menggerus tidak hanya bising deru kendaraan bermotor,
tapi juga polutan yang dikeluarkannya.
Tidak banyak kendaraan bermotor yang
lewat jalanan depan kantor papaku pada siang menjelang petang ini. Namun mulai
menjelang hingga gelap gemerlap nanti rentetan kendaraan akan memadati jalan
dengan merayap.
Rindang tajuk pohon di balik pagar
meneduhi sebagian teras ini, namun kini sedang tak berguna. Daun-daunnya teguh
meski diterpa luluhan air langit.
Kantor Papa bentuknya seperti rumah
biasa. Ada ruang untuk menerima tamu di depan, lalu ada ruang-ruang untuk
bekerja. Ada ruangan cukup luas di tengah. Di sana meja-meja menempel dengan
berkas-berkas menumpuk di atasnya. Ada beberapa komputer. Ada ruang khusus
berisi sekian tumpukan koran serta alat untuk mencetak. Terlihat sepi kalau
dari luar, namun ada waktu-waktu tertentu di mana di dalam sini suasana amat
riuh.
Sejak sebelum hingga sekarang Papa
bekerja di sini, tiap kali aku berkesempatan main ke kantor Papa, biasanya aku
dikenali oleh para pegawai lainnya. “O ini ya Bibe?”, aku menyalami mereka,
lalu aku tahu mengapa mereka mengenaliku, “Papa Bibe suka cerita tentang Bibe
lo…”
Tugas Papa di sini adalah menyaring lalu
menyalurkan berita-berita dari region Jawa Barat ke pusat. Ada beberapa orang
lagi yang membantunya bekerja di sini. Papa tidak lagi banyak berpergian
seperti dulu. Aku juga tidak tahu apakah gajinya masih sama seperti dulu. Ia
suka menyuruhku main ke kantornya, meski bukan karena letak kantornya dekat
sekolahku apalagi bimbelku. Lebih mudah minta uang saku tambahan dengan
langsung mendatangi kantornya, yang jelas.
Papa tidak selalu berada di balik
mejanya. Kadang ia masuk ke suatu ruangan khusus bernama ruang rapat. Kalau
begitu, aku yang menempati kursi putar di balik mejanya. Sambil memutar-mutar
kursi, aku mengutak-atik komputer Papa, mengintip berbagai berkasnya, menatap
foto kami sekeluarga di samping komputernya, maupun membayangkan diriku menjadi
dirinya. Sedang duduk tenang begini, tahu-tahu ada yang menyuruhku bertemu
perdana menteri Thailand, atau meliput pertandingan SEA GAMES, atau ikut
berenang bersama para korban banjir entah di mana. Ini membuatku mempertimbangkan
apakah yang aku cari dalam hidup ini adalah keseruan atau ketenangan.
Sudah beberapa kali papaku menduduki
jabatan struktural. Jika ia menjadi redaktur, ia adalah redaktur yang suka
menggerundel.
Aku
pernah menyaksikan Papa mencak-mencak pada seorang wartawan muda. Kasihan
melihatnya. Tapi masih mending begitu. Kalau papaku marah betulan, rasanya
seperti ia akan bunuh orang itu. Aku sendiri sangat ngeri. Lalu begitu wartawan
muda itu melewatiku, aku bilang padanya, “Sabar ya Mbak, catatan harianku aja
dikoreksi.” Mbak tersebut tampak kaget melihatku, mungkin karena belum kenal,
“Anaknya Pak Binsar Ali, Mbak,” kataku. Jadinya kami terus berbincang. Ia
menceritakan betapa senang ia saat akhirnya mendapat kartu pers. Dan ia
mengidamkan petualangan yang lebih besar meski tidak tahu apakah ia bisa
menghadapinya atau tidak.
“Pak
Ali itu pengalamannya banyak. Sebenarnya ketika dimarahi itu saya belajar
banyak dari beliau, cuman enggak tahu kenapa saya masih suka keder aja.
Seharusnya lama-lama saya jadi biasa.”
Entah
apa aku bakal keder juga kalau dimarahi Papa. Tidak pernah sih.
Setelah
gerimis yang menyisa, Papa mengajakku makan siang. Sebenarnya lebih tepat
disebut makan senja. Tapi siang tadi Papa belum makan. Ia biasa makan tak
teratur. Kami tidak merencanakan hendak makan apa. Kami akan makan apapun yang
kami temukan, biasanya harga terjangkau jadi prioritas. Entah ini ada
hubungannya dengan gaji Papa atau bukan. Hidup tanpa seorang bapak sejak kecil
membiasakan Papa untuk hidup sederhana. Namun toh kalau menemukan Starbuck
dalam perjalanan tugasnya, Papa akan mampir ke sana jua.
Tanpa
payung, kami berjalan di bawah rintik. Keluargaku tidak kenal payung atau
mantel kecuali bila hujan benar-benar bikin kuyup. Tempat makan terdekat yang
kami temukan adalah restoran yang menawarkan bebek segar lagi merangsang.
“Be,
Papa lagi baca biografi Soeharto,” kata Papa usai waitress yang mencatat
pesanan kami pergi.
Aku
meringis. Selanjutnya Papa akan menguji pendapat dan wawasanku tentang Orde
Baru, kekuasaan, para diktator yang pernah menghuni dunia, sampai mobil Timor.
Aku berharap sewaktu-waktu Papa membaca majalah anak-anak atau remaja saja. Aku
tidak perlu berusaha untuk jadi sok cerdas, karena aku memang sudah
berpengalaman untuk yang ini.
“Yang
jelas, Papa beruntung masih jadi wartawan setelah OrdeBaru,” kataku mengingat
kakekku dari pihak Papa yang hilang entah di mana gerangan. Kakeknya kakekku
juga wartawan. Ia tidak hilang tapi sebelah lengannya buntung. Syukur benar
hingga kini papaku utuh-utuh saja. Setelah Abdullah, Ahmad, lalu Ali, akulah
yang bakal memutus rantai setan ini. Lagipula nama panggilanku tidak diawali
dengan huruf ‘a’.
“Pa,
buat ultah Papa tahun depan Papa mau hadiah apa?”
“Tulisanmu
udah jadi belum?”
“Ih
Papa enggak nyambung.”
“Terserah
Bibe aja,” jawabnya sambil menyodorkan sepiring bebek goreng ke hadapanku. Baru
saja diantarkan waitress.
Aku
diam sebentar, lalu bilang, “Aku pingin ngasih Papa sesuatu, tapi Papa harus
ngembaliin lagi yang udah aku kasih itu pas ulang tahunku… Maksud aku,
editannya.” Ulang tahunku sepuluh hari setelah ulang tahunnya. Jika ia biasa
mengedit sekian tulisan dalam semalam, mestinya ia bisa mengedit memoarku dalam
sepuluh hari.
“Apa?
Memoar ya?”
“Dikasih
tahu Mama ya?” Padahal waktu itu aku mengatakannya pada Mama dengan nada
bercanda. “Bibe kan anak hebat. Orang hebat harus punya memoar.”
Papa
berdecak lalu menyendokkan banyak-banyak sambal ke piringnya.
“Aku
mau coba bikin pakai bahasa Inggris,” kataku.
“Bahasa
Indonesiamu dibenerin dulu…”
“Bahasa
buat memoarku entar bakal beda sama bahasa di buku harianku Paa…” Dan jangan
suruh aku mengingat isi Sumpah Pemuda. “Kalau aku bikin memoar, Papa enggak
perlu baca-baca buku harian aku lagi.”
Papa
menghela nafas. “Ya udah, entar Papa jadi editornya. Minta Mama jadi pembaca
ahli ya.” Aku mengangguk. “Sekarang udah sampai mana nulisnya?”
“Riset,
seratus-duapuluhan kata,” dan itu adalah prakata. Membaca arti pandangan Papa,
aku menyengir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar