Jumat, 25 November 2011

Memoar

            Ketika hujan turun, itu adalah waktunya bagi manusia untuk mendengarkan suara alam. Luruh hujan yang diruntuhkan langit kelabu menggerus tidak hanya bising deru kendaraan bermotor, tapi juga polutan yang dikeluarkannya.

            Tidak banyak kendaraan bermotor yang lewat jalanan depan kantor papaku pada siang menjelang petang ini. Namun mulai menjelang hingga gelap gemerlap nanti rentetan kendaraan akan memadati jalan dengan merayap.

            Rindang tajuk pohon di balik pagar meneduhi sebagian teras ini, namun kini sedang tak berguna. Daun-daunnya teguh meski diterpa luluhan air langit.

            Kantor Papa bentuknya seperti rumah biasa. Ada ruang untuk menerima tamu di depan, lalu ada ruang-ruang untuk bekerja. Ada ruangan cukup luas di tengah. Di sana meja-meja menempel dengan berkas-berkas menumpuk di atasnya. Ada beberapa komputer. Ada ruang khusus berisi sekian tumpukan koran serta alat untuk mencetak. Terlihat sepi kalau dari luar, namun ada waktu-waktu tertentu di mana di dalam sini suasana amat riuh.

            Sejak sebelum hingga sekarang Papa bekerja di sini, tiap kali aku berkesempatan main ke kantor Papa, biasanya aku dikenali oleh para pegawai lainnya. “O ini ya Bibe?”, aku menyalami mereka, lalu aku tahu mengapa mereka mengenaliku, “Papa Bibe suka cerita tentang Bibe lo…”

Tugas Papa di sini adalah menyaring lalu menyalurkan berita-berita dari region Jawa Barat ke pusat. Ada beberapa orang lagi yang membantunya bekerja di sini. Papa tidak lagi banyak berpergian seperti dulu. Aku juga tidak tahu apakah gajinya masih sama seperti dulu. Ia suka menyuruhku main ke kantornya, meski bukan karena letak kantornya dekat sekolahku apalagi bimbelku. Lebih mudah minta uang saku tambahan dengan langsung mendatangi kantornya, yang jelas.

            Papa tidak selalu berada di balik mejanya. Kadang ia masuk ke suatu ruangan khusus bernama ruang rapat. Kalau begitu, aku yang menempati kursi putar di balik mejanya. Sambil memutar-mutar kursi, aku mengutak-atik komputer Papa, mengintip berbagai berkasnya, menatap foto kami sekeluarga di samping komputernya, maupun membayangkan diriku menjadi dirinya. Sedang duduk tenang begini, tahu-tahu ada yang menyuruhku bertemu perdana menteri Thailand, atau meliput pertandingan SEA GAMES, atau ikut berenang bersama para korban banjir entah di mana. Ini membuatku mempertimbangkan apakah yang aku cari dalam hidup ini adalah keseruan atau ketenangan.

            Sudah beberapa kali papaku menduduki jabatan struktural. Jika ia menjadi redaktur, ia adalah redaktur yang suka menggerundel.

Aku pernah menyaksikan Papa mencak-mencak pada seorang wartawan muda. Kasihan melihatnya. Tapi masih mending begitu. Kalau papaku marah betulan, rasanya seperti ia akan bunuh orang itu. Aku sendiri sangat ngeri. Lalu begitu wartawan muda itu melewatiku, aku bilang padanya, “Sabar ya Mbak, catatan harianku aja dikoreksi.” Mbak tersebut tampak kaget melihatku, mungkin karena belum kenal, “Anaknya Pak Binsar Ali, Mbak,” kataku. Jadinya kami terus berbincang. Ia menceritakan betapa senang ia saat akhirnya mendapat kartu pers. Dan ia mengidamkan petualangan yang lebih besar meski tidak tahu apakah ia bisa menghadapinya atau tidak.

“Pak Ali itu pengalamannya banyak. Sebenarnya ketika dimarahi itu saya belajar banyak dari beliau, cuman enggak tahu kenapa saya masih suka keder aja. Seharusnya lama-lama saya jadi biasa.”

Entah apa aku bakal keder juga kalau dimarahi Papa. Tidak pernah sih.

Setelah gerimis yang menyisa, Papa mengajakku makan siang. Sebenarnya lebih tepat disebut makan senja. Tapi siang tadi Papa belum makan. Ia biasa makan tak teratur. Kami tidak merencanakan hendak makan apa. Kami akan makan apapun yang kami temukan, biasanya harga terjangkau jadi prioritas. Entah ini ada hubungannya dengan gaji Papa atau bukan. Hidup tanpa seorang bapak sejak kecil membiasakan Papa untuk hidup sederhana. Namun toh kalau menemukan Starbuck dalam perjalanan tugasnya, Papa akan mampir ke sana jua.

Tanpa payung, kami berjalan di bawah rintik. Keluargaku tidak kenal payung atau mantel kecuali bila hujan benar-benar bikin kuyup. Tempat makan terdekat yang kami temukan adalah restoran yang menawarkan bebek segar lagi merangsang.

“Be, Papa lagi baca biografi Soeharto,” kata Papa usai waitress yang mencatat pesanan kami pergi.

Aku meringis. Selanjutnya Papa akan menguji pendapat dan wawasanku tentang Orde Baru, kekuasaan, para diktator yang pernah menghuni dunia, sampai mobil Timor. Aku berharap sewaktu-waktu Papa membaca majalah anak-anak atau remaja saja. Aku tidak perlu berusaha untuk jadi sok cerdas, karena aku memang sudah berpengalaman untuk yang ini.

“Yang jelas, Papa beruntung masih jadi wartawan setelah OrdeBaru,” kataku mengingat kakekku dari pihak Papa yang hilang entah di mana gerangan. Kakeknya kakekku juga wartawan. Ia tidak hilang tapi sebelah lengannya buntung. Syukur benar hingga kini papaku utuh-utuh saja. Setelah Abdullah, Ahmad, lalu Ali, akulah yang bakal memutus rantai setan ini. Lagipula nama panggilanku tidak diawali dengan huruf ‘a’.

“Pa, buat ultah Papa tahun depan Papa mau hadiah apa?”

“Tulisanmu udah jadi belum?”

“Ih Papa enggak nyambung.”

“Terserah Bibe aja,” jawabnya sambil menyodorkan sepiring bebek goreng ke hadapanku. Baru saja diantarkan waitress.

Aku diam sebentar, lalu bilang, “Aku pingin ngasih Papa sesuatu, tapi Papa harus ngembaliin lagi yang udah aku kasih itu pas ulang tahunku… Maksud aku, editannya.” Ulang tahunku sepuluh hari setelah ulang tahunnya. Jika ia biasa mengedit sekian tulisan dalam semalam, mestinya ia bisa mengedit memoarku dalam sepuluh hari.

“Apa? Memoar ya?”

“Dikasih tahu Mama ya?” Padahal waktu itu aku mengatakannya pada Mama dengan nada bercanda. “Bibe kan anak hebat. Orang hebat harus punya memoar.”

Papa berdecak lalu menyendokkan banyak-banyak sambal ke piringnya.

“Aku mau coba bikin pakai bahasa Inggris,” kataku.

“Bahasa Indonesiamu dibenerin dulu…”

“Bahasa buat memoarku entar bakal beda sama bahasa di buku harianku Paa…” Dan jangan suruh aku mengingat isi Sumpah Pemuda. “Kalau aku bikin memoar, Papa enggak perlu baca-baca buku harian aku lagi.”

Papa menghela nafas. “Ya udah, entar Papa jadi editornya. Minta Mama jadi pembaca ahli ya.” Aku mengangguk. “Sekarang udah sampai mana nulisnya?”

“Riset, seratus-duapuluhan kata,” dan itu adalah prakata. Membaca arti pandangan Papa, aku menyengir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain