Sabtu, 19 November 2011

Orangtua Keempat

Ketika Teh Icih menghubungiku untuk bertemu lagi, aku bertanya padanya apakah aku boleh mengajak Manda. Dengan  emoticon tersenyum  ia menjawab boleh.

Pertemuan berikutnya diadakan di Rumentang Siang lagi pada haridan jam yang sama dengan yang sebelumnya. Aku bersyukur Manda bisa. Aku mengajaknya langsung bertemu di Rumentang Siang saja. Ia datang ketika kami sudah duduk melingkar. Sudah ada tambahan personil lain juga rupanya oleh Teh Icih. Ikal rambut di belakang kepala Manda semakin panjang saja. Kulitnya terbakar matahari. Ia memakai kaos putih dan celana pendek biru muda. Ia duduk di dekatku.

Di sisi lain teras, ada beberapa orang dewasa yang duduk melingkar pula. Para senior, begitu kami menyebut mereka. Kalau tertawa, derai mereka lebih ramai. Kalau diskusi, kasak-kusuk mereka lebih serius.

Sementara para anak muda berusia belasan hingga 20-an tahun di sisi satunya cenderung loyo. Angin kering bercampur debu mengusap bagian tubuh kami yang terbuka, mengoles kantuk pada wajah-wajah berkeringat kami. Jumlah kami tidak sampai sepuluh orang. Beberapa memang tampak antusias, seperti Manda.

Ia sudah melihat kehadiran Ardian Hayyra rupanya. Sesekali ia menoleh ke belakang, sesekali pula ia mencolekku. “Bibe, itu kayaknya Ardian Hayyra deh…” lalu, “bener Be…!”

Aku menggusah tangannya yang bandel. Mengganggu konsentrasiku dalam menyimak Teh Icih saja. Wanita muda berkulit terang, berbibir merah, dan berambut pendek itu menerangkan tentang konsep terbaru para senior yang sudah lebih matang. Lengannya bergerak-gerak. Kuduga ia sepertiTante Ice waktu muda, hanya saja ia lebih tinggi.

Jadi acara ini hendak bertajuk “Bandung Musical City”. Selanjutnya kita sebut saja BMC. Karena pemerintah kota sedang gencar mensosialisasikan program Bandung Hijau, maka tema acara ingin diarahkan ke sana. Namun para senior juga menghendaki Bandung sebagai kota besar yang tidak mengingkari kebudayaan aslinya. Jadi selain aksi jamming di berbagai ruang publik yang merupakan ruang terbuka hijau, akan ada festival sampingan yang mengangkat kearifan lokal dalam budaya Sunda sebagai akar budaya Kota Bandung.

Beberapa ruang publik dipastikan menjadi lokasi diselenggarakannya aksi jamming para musisi, antara lain Babakan Siliwangi, Taman Tegallega, hingga Taman eks SPBU Riau. Sudah ada daftar siapa saja pihak yang hendak diajak berpartisipasi.  Undangan khusus untuk para musisi mapan, lalu poster untuk para pihak dari kalangan masyarakat. Ada dua orang dalam lingkaran kami yang ternyata sudah ditunjuk untuk membuat desain publikasi. Mereka sudah memiliki konsep mereka sendiri, namun mereka hendak meminta masukan dari orang lain melalui forum ini.

Selain bantu mempersiapkan acara, tugas sukarelawan juga meliputi pelaksanaan. Rencananya, tiap partisipan—dari kalangan manapun—akan didampingi oleh sukarelawan yang memastikan situasi di lapangan berjalan dengan oke. Perekrutan direncanakan akan diadakan secara terbuka namun dengan alur ketat untuk menjamin komitmen sukarelawan. Ini bakal menjadi pesta warga besar-besaran!

Pembicaraan sempat melebar ke mana-mana namun kemudian terarah lagi pada jalurnya. Dua orang desainer, Tino dan Yori, ternyata mahasiswa dari kampus yang sama dengan Manda, namun sudah angkatan atas dan beda fakultas. Teh Icih sendiri dosen muda di salah satu fakultas dalam kampus tersebut.

Tino dan Yori telah menampung sejumlah masukan. Mereka akan menghubungi Teh Icih lagi kalau desain sudah jadi. Mereka menawarkan juga kalau ada yang mau bantu mencetak publikasi. Manda langsung mengacungkan  tangannya dan tanganku.

Setelah azan ashar, forum dibubarkan. Aku bertanya pada Manda apakah ia masih mau menunggu Ardian Hayyra lagi. Ia sepertinya hendak buru-buru pergi. “Entar pasti ketemu lagi.” Ia tersenyum dengan yakin. Dagunya terlihat makin bulat.  Matanya mengarah pada sosok bersangkutan dalam lingkaran yang belum juga bubar.  “Duluan ya Be. Jam empat aku harus ngelesin.” Ia mengkaitkan pengaman helm di bawah dagu.

“Oke…”

“Kita tim ya Be?”

“Hm?”

“Entar, buat nyetak-nyetak…”

“Oh… Oke, sip.”

Kami bertukar lambaian tangan. Aku menunggu kalau-kalau Om Yan mau mengantarku pulang lagi he he. Jadi aku kembali ke sisa lingkaranku tadi—belum semua bubar.

“Bibe, mau sekalian jadi press relation enggak?” tanya Teh Icih begitu aku duduk lagi di hadapannya.

O, tentu saja, mereka kan tahu kalau kedua orangtuaku wartawan. Aku menyanggupi. Kalau OSIS atau ekskul lain di sekolahku hendak mengadakan acara, mereka biasa minta bantuanku untuk akses dalam pensponsoran atau lainnya—dengan memanfaatkan jaringan orangtuaku. Pernah ekskul jurnalistik hendak mengadakan diklat jurnalistik, papaku sendiri yang dihadirkan sebagai pembicara. Korannya yang dulu punya manajemen yang khusus mengurusi permintaan diklat dan semacamnya.

Aku lihat lingkaran para senior mulai pecah. Ada beberapa tokoh masyarakat yang fotonya pernah terpampang di koran hadir pula di sana. Aku curi-curi pandang pada Om Yan. Kalau pulang menebeng dia lagi kan aku bisa hemat ongkos pulang.

“Hei Bibe, mau sekalian?” Wajah ramahnya menyapa.

Dengan senang hati, batinku. “Iya.”

“Ke rumah Tante lagi?” tanyanya saat kami sudah di mobil dan sedang menggunakan sabuk pengaman.

“Heeh.”

Mobil berjalan, begitupun percakapan kami.

“Sekali-sekali ke rumah Bibe dong…”

“Mobilnya enggak bakal muat Om…” Aku meringis. Aku tidak pernah membawa seorang teman pun ke rumah.

“Ha ha… Ya enggak apa-apa…”

Ponselku bergetar. “Sebentar ya Om…”

“Oke…”

Ternyata hanya mamaku yang sedang ingin adu mulut.

“Udah berapa lam a kamu di rumah Tante As terus? Pulang, eh!”

“Ah biarin, lagi enggak ada Om Pir juga…”

Aku pernah bilang pada orangtuaku kalau aku ingin tinggal di rumah Tante As saja—itu waktu rumah Tante As baru jadi dan ia pindah ke sana. Jelas orangtuaku melarang. Ketika aku mengadukan itu pada Tante As, ia mengomel, “Apa-apaan enggak boleh…” Ia selalu membuka pintu rumahnya untukku, tidak peduli sedang ada Om Pir atau tidak.

“Siapa Be? Mama?” tegur Om Yan begitu aku memasukkan ponsel ke kantong.

“Iya.”

Ia pasti heran mendengar nada bicaraku yang menyentak-nyentak tadi. Hal biasa di antara aku dan Mama sebetulnya. “Kenapa sama Mama?”

“Ya… Gitu deh Om… Mamaku kadang nyebelin banget pokoknya…”

“Ha ha… Nyebelin gimana, Bibe?”

“Ya, itu, suka gangguin aku, ngajak aku berantem, suka ngelawan aku…”

“Lo, bukan Bibe yang ngelawan Mama?”

“Beneran Om, Mama tuh orang enggak mau kalah sedunia. Kalau aku enggak bisa balas kata-katanya, senang dia.”

“Ya Mama sebenarnya cuman mau ngobrol sama Bibe aja kali…”

Sebenarnya benar juga, tapi aku bukan orang yang mudah dikalahkan begitu saja. “Pokoknya gitulah,” kataku dengan nada tidak lebih senewen dari sebelumnya, “mama-mama, biasa, cerewet, rese… Om ngertilah…” Aku meliriknya. Ini adalah pengalaman umum setiap anak di muka bumi.

“Mm… Enggak kok. Aku sayang banget sama ibuku.” Ia berbicara dalam nadaku tanpa terkesan meledek. Seolah ia ingin memosisikan dirinya pada umurku.

“Enggak pernah sebel?”

“Enggak.”

“Ah masak?”

“Enggak. Ibu selalu baik sama aku.” Ia tersenyum.

Aku diam saja karena merasa tidak enak untuk mendebatnya. Sebagai respons, aku memandanginya sesaat. Ia balas memandangiku. “Gimana ya rasanya punya anak yang udah sebesar Bibe?”

“Coba tanya mamaku…” Aku jadi malu sendiri. Tapi lantas dapat ilham untuk membalasnya, meski kukatakan dengan pelan karena takut menyinggungnya, “Makanya, nikah Om, biar punya anak he he he…”

Aku lega wajahnya biasa-biasa saja, tetap tersenyum. “Iya ya, saya juga pingin tahu nih gimana rasanya dipanggil Ayah.”

“Aku juga penasaran gimana rasanya punya papa kayak Om.”

 “Gimana kalau Bibe aja yang jadi anaknya Om?”

Aku terperangah. Menggeleng sedikit. “Enggak mirip Om…” Dia putih, aku cokelat. Rambutnya ikal, rambutku lurus. Hidupnya mentereng, hidupku seadanya. Dan seterusnya.

“Kenapa emang kalau enggak mirip?”

Aku teringat setiap usaha Tante As untuk membuat dirinya enak dilihat. “Aku enggak cantik.”

“Bibe.”

“Ya?” Aku menoleh dan melihatnya tersenyum. Jadi aku balas tersenyum juga.

“Tuh cantik kalau senyum gitu…”

Aku terpana. Aku memalingkan kepala darinya, menatap lurus-lurus ke jalan. Setelah wajahku sudah tidak terasa begitu panas lagi, aku menoleh lagi padanya. “Om mau jadi papaku?”

“Enggak. Saya maunya jadi Ayah.”

Aku meresponsnya dengan gumaman. Lalu teringat bahwa pujiannya untukku tadi sangat berkesan. “Makasih, Ayah.” Lidah kujulurkan sedikit ketika ia melihatku dengan agak kaget.

Ia mengusap kepalaku. “Iya Sayang, ha ha…”

Bekas usapannya menyisa agak lama di sana. Sebetulnya aku agak kurang nyaman, entahlah, aneh saja. Namun di sisi lain aku suka. Ada sebentuk kehangatan lain menghampiri hidupku dan aku tahu ia adalah orang yang bisa kupercaya. Bahkan keluarga besarku menyambutnya bagai saudara sendiri.

“Kalau gitu Om Yan jadi orangtuaku yang keempat.”

“Orangtua yang keempat?”

“Iya.” Aku menggunakan jemariku sebagai alat ban tu hitung. “Mamaku, papaku, tanteku, terus sekarang ada yang mau jadi ayahku lagi he he…”

“Waah… Banyak juga ya? Ha ha…”

“Tapi tanteku enggak mau lo aku panggil pakai yang lain, kayak ‘mama’, ‘ibu’, ‘bunda’, atau sejenisnya.”

“Iya, nanti ketukar sama mamanya Bibe… Mama sama Tante suka ketemu enggak?”

Alasan Tante sebetulnya adalah, “Kan bukan aku yang melahirkan kamu,” katanya suatu kali.

“Kalau gitu… waktunya buat tugas ayah yang utama…” Ia memutar kemudi. Mobil belok ke jalan yang penuh dengan tempat makan di kanan-kirinya itu lagi.

“Apaan Om, eh, Yah?”

“Makan bareng…”

Wisata kuliner lagi? Mau!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain