Hari-hari
itu telah berlalu, hari-hari di mana aku kerap melihat Tante As hanya duduk
diam dengan tangan di atas perutnya. Pandangannya menerawang. Seakan tiap saat
hanya untuk menyadari ada makhluk lain di dalam perutnya.
Ia
ada. Ia sudah bergerak-gerak. Aku selalu penasaran ingin memegang perutnya.
Kadang Tante As membiarkan, kadang tanganku ditepisnya.
Ada
suatu waktu di mana Tante As jadi sering bete. Ia mendesah keras-keras ketika
menimbang badannya. Aku bilang padanya kalau adalah normal apabila berat
badannya naik sampai belasan kilogram. Sebelumnya TanteAs selalu menjaga agar
berat badannya sedikit di bawah berat badan ideal. Setelah turun dari
timbangan, Tante As kembali melahap apapun.
Memasuki
trisemester kedua, Tante As mencoba berpergian jauh, ke tempat Om Pir sedang
tinggal. Hal biasa kalau ia tidak hamil sebetulnya. Namun setelah kembali ia
bilang ia tidak akan ke mana-mana lagi. Ia ingin menetap di satu tempat saja
sampai entah kapan.
Aku
harap pernyataannya itu tidak berarti keberatannya terhadap makhluk kecil yang
menghuni rahimnya…
Untung
benar pada masa sekarang keterikatanku dengan berbagai aktivitas sudah
berkurang. Selain sekolah, bimbingan belajar, ditambah sesekali mengurus
ini-itu untuk BMC bersama Manda, aku selalu pulang ke rumah Tante As. Ia mau
makan lebih banyak buah kalau dikupaskan, sayur kalau dimasakkan. Aku tidak
bisa mengharapkan komentar yang enak didengar dari Tante As, lebih baik ia
tidak komentar sama sekali, namun ia pasti menghabiskan apa yang disuguhkan
untuknya. Kadang aku menelepon atau mendatangi rumah Uwak Tata langsung untuk
menanyakan resep sebelum memasak untuk Tante As. Sebetulnya aku sendiri tidak
percaya diri dengan rasa masakanku, tapi aku jamin itu tidak akan membuat
siapapun muntah. Setidaknya kecemasanku agak berkurang ketika tahu ia telah
memborong sereal, roti gandum, susu rendah lemak, jenis keju tertentu, dan
yoghurt. Ia mengikuti petuahku, syukurlah!
Beberapa
teman Tante As sesekali datang dengan membawa makanan. Kadang mereka hanya
sekadar ingin mengetahui keadaan Tante As atau merasakan sundulan di perutnya.
Kalau sedang ada mereka, aku selalu bergabung karena mereka suka memberi
informasi-informasi berguna dalam kehamilan. Mereka sudah berpengalaman, tentu
saja, kecuali Tante Laila yang memang belum (atau tidak?) menikah.
Tante
Laila sejenis wanita karier berpenampilan modis—meski sepertinya ia tidak kenal
warna selain hitam, putih, cokelat, dan kelabu—dan punya mobil mewah dan
pekerjaan bagus. Kalau berkunjung ke rumah Tante As, ia suka menyempatkan diri
untuk merokok di teras di balik dinding kaca, membuang abu rokoknya ke atas
rumput. Sebelum Tante As hamil, mereka berdua tampak setipe—berorientasi karier
dan tidak berminat menghasilkan generasi baru. Dulu mereka berdua berkumpul
untuk menikmati kebebasan mereka. Namun setelah Tante As hamil, Tante Laila
sepertinya datang hanya untuk memastikan apakah Tante As benar-benar
menginginkan anak yang sudah terlanjur ada dalam perutnya itu atau tidak.
Diam-diam
aku mendengar pembicaraan mereka yang biasanya selalu bikin aku segan nimbrung
itu. Aku ngeri saat mendengar Tante As bilang, “Mau aborsi juga sudah ada
nyawanya.”
Tante
Tiwi, istrinya Om Rizal yang sahabat Tante As sejak SMA, memberitahukan cara
untuk menghitung tanggal kelahiran di internet. Namanya kalkulator tanggal
kelahiran. Kita tinggal memasukkan tanggal hari pertama haid yang terakhir.
Tapi Tante As sudah lupa. Ia juga tidak pernah menghitung siklus haidnya apakah
lebih pendek atau lebih panjang dari 28 hari. Yah. Informasi tambahan darinya,
sebagian besar bayi lahir telat satu minggu dari tanggal yang diperkirakan,
hanya 5-6% yang lahir sesuai perkiraan. Menurut perkiraanku, bayi Tante As akan
lahir bulan Maret tahun depan.
Tante Naning menyarankan Tante As
untuk ikut kelas senam hamil. Ia menyebut sebuah rumah sakit yang rutin
menyelenggarakan kelas tersebut. Aku langsung mendorong Tante As untuk lekas
mendaftar. Memang ia tidak meninggalkan kebiasaannya berolahraga ringan lewat
video—ia sudah membeli beberapa video baru khusus untuk ibu hamil. Namun
sepertinya lebih seru kalau diperagakan instruktur secara langsung dan
dilakukan bersama sesama ibu hamil.
Sayang sekali Tante As tidak bisa
renang. Aku menawarkan diri untuk menemani dan membantunya, tapi ia menolak.
Kemudian aku tahu kalau ia akhirnya mencoba juga, tapi bersama temannya. “Enak
renangnya Tante?” tanyaku. “Basah,” jawabnya.
Ia sadar benar, olahraga dan menjaga
kenaikan berat badan semakin penting untuk meminimalisir stretch mark. “Tapi
jangan jalan kaki jauh-jauh lagi, Tante,” kataku, mengingatkan kebiasaannya
saat sedang ingin menghukum diri karena kebanyakan ngemil. Kelelahan dapat
menyebabkan kontraksi lebih cepat dari semestinya.
Terakhir kali aku melihat calon
adikku lewat USG, bentuknya sudah sempurna. Ia mengepalkan jari-jari tangannya
yang mungil. Terlihat rambut-rambut halus yang membentuk alis di atas matanya.
Sebelumnya aku tak begitu peduli
apakah ia akan jadi bayi perempuan atau bayi laki-laki. Kalau ia perempuan, ia akan
jadi bayi yang cantik. Kalau ia laki-laki, ia akan jadi bayi yang menawan.
Teknologi USG yang sudah 4 dimensi membuat kami bisa melihat keadaan janin
dengan lebih jelas. Semuanya dalam keadaan bagus, kata dokter. Dan ia
perempuan! Ia akan menjadi Tante As kecil—oh, semoga perilakunya lebih baik.
Aku merasa bangga karena selama ini akulah yang telah berusaha merawat Tante As
dan janin dalam kandungannya.
Kata
dokter, calon adikku akan tumbuh semakin pesat. Aku memekik pelan ketika
melihatnya bergerak-gerak. “Kerasa Tante, kerasa?” sahutku dengan antusias.
Tante As tersenyum saja, namun aku mengerti kalau ia menyuruhku bersikap wajar.
Sang
dokter tertawa kecil. “Sebentar lagi jadi kakak ya?”
Suatu malam, Tante As hanya
tidur-tiduran di sofa cokelat mudanya. Ketika aku mendekat, ia menarik lalu
meletakkan tanganku di atas perutnya. Terasa sundulan-sundulan kecil meraba
telapak tanganku. Aku bersimpuh di tepi sofa, lalu menempelkan telingaku di
atas perut Tante. “Hai Cantik, ini Kak Bibe…” sapaku.
“Halo Kak Bibe, aku sedang
ikut-ikutan senam kayak Mama nih…”—aku yakin ini arti sundulan-sundulan kecil
yang datang berikutnya untuk menyambut sapaanku.
Tante As bangkit. “Katanya dia ingin
makan pizza nih.” Ia melangkah, mencari-cari di mana ia meletakkan ponselnya
tadi.
Kesenangan meliputiku, selalu begini
tiap aku menyadari bahwa Tante As ternyata juga memerhatikan kehamilannya.
Melihat kegembiraan Tante As tiap kali calon anaknya mengajak berkomunikasi
membuat kesenanganku bertambah-tambah. Aku tidak meragukan lagi kalau Tante As
telah menerima kedatangan makhluk kecil ini dengan suka cita… namun seloyang
pizza mengingatkanku akan sesuatu, yang membuatku ragu apakah ia bakal bisa
mengurus anaknya dengan baik kelak.
***
Usiaku baru tiga tahun ketika Tante
As kembali ke Indonesia. Dulu aku mengenalnya sebagai seorang tante berwajah
jutek dan serius yang tinggal di rumah Kakek. Ia jarang tersenyum. Kalau
tersenyum, seperti dipaksakan. Aku ingat waktu itu kacamatanya waktu itu
berbingkai besar dan bersepuh emas. Ia masih suka pakai turtleneck hitam. Ia
kurus, selalu berusaha untuk kurus tanpa harus mengidap anoreksia. Ia tidak
pernah ikut kumpul bersama para sepupu Mama. Mama jarang mengobrol dengannya,
sejarang Mama mengobrol dengan Kakek dan sebaliknya—memang begitulah kultur di
keluarga kecil Mama yang hanya terdiri dari dirinya, Kakek, dan Tante As.
Saat itu aku dan Mama masih tinggal
bersama nenekku dari pihak Papa. Sebagai wartawan muda dengan semangat kerja
tinggi, papaku sering tanda tangan kontrak untuk ditempatkan di daerah konflik
atau rawan bencana. Ia pulang tiap beberapa minggu atau beberapa bulan sekali.
Waktu aku masih bayi, ia selalu ingin aku tidur di atas perutnya, atau di
sampingnya. Ia selalu mencari kesempatan untuk bermain denganku. Saat aku asyik
main sendiri di atas perutnya, ia tertidur. Saat aku diangkat, ia terbangun dan
meminta agar aku diturunkan lagi.
Tahun berikutnya, nenekku dari pihak
Papa tiada. Saat itu papaku masih mengontrak rumah di Bintaro dan belum punya
rumah sendiri di Bandung. Mama memilih untuk tidak menempati rumah mendiang
Nenek lagi. Ia biarkan saudara Papa yang mengurus rumah itu selanjutnya. Jadi
Mama kembali tinggal bersama papa dan adiknya dengan membawaku serta. Karena
sudah tidak ada yang mengasuhku lagi, Mama lengser dari pekerjaannya sebagai
wartawan sebuah harian nasional.
Hubungan di antara mereka bertiga
bukannya tidak akur, malah seperti tidak ada hubungan sama sekali. Tiap orang
mengerjakan urusannya masing-masing. Kakek masih bekerja, Tante As banyak di
ruangannya sendiri, sedang Mama mencurahkan waktunya untukku.
Kadang
Kakek coba memangku atau menggendongku, tapi seperti yang sudahaku ceritakan
sebelumnya, aku ngeri padanya. Tidak tahu mengapa. Memang tampangnya galak.
Tante As tidak pernah coba
menyentuhku, tapi mengomentari sesekali. Pernah aku dan Mama makan semeja
dengannya dan ia berkomentar dengan dingin, “Kenapa anak itu makannya berisik
sekali?” Aku makan dengan lebih pelan. Mamaku menyuruhnya pindah ke tempat
lain. Ia menurut.
Hanya beberapa bulan tinggal bersama
Kakek dan Tante As, Mama membawaku ke kontrakan Papa di Bintaro.
Dua
tahun dalam kehidupanku setelah itu adalah hari-hari penuh kegusaran dalam
hidup Mama. Ini adalah masa di mana Mama suka melagu dalam sendu.
Kita telah bersama sekian lama
dalam cita-cita, namun tiada jua rasa saling itu… seiya, sekata.
Selayaknya engkau coba,
menyibakkan tirai kasih kita. Begitu jauh, kurengkuh hatimu di seberang
jalanku.
Lelah… Lelah hati ini,
menggapai hatimu, tak juga menyatu.
Lelah… Lelah hati ini,
bagaimana kelak ku akan melangkah di sisimu…
Ritme
kerja Papa masih sama seperti sebelumnya. Sering Papa bangun dini hari lalu
baru kembali setelah berminggu-minggu.
Papa
rajin menelepon Mama dan respons Mama bervariasi. Mulai dari jawaban pelan
bernada khawatir, “iya, hati-hati…” sampai sentakan, “udah, enggak usah balik
aja sekalian!” Setelah mendapat sentakan seperti itu, Papa pulang,
menggendongku dengan gembira dan menemaniku bermain sebentar, lalu mendatangi
Mama dengan marah. Tapi Mama tidak gentar. Ia bilang kalau ia tidak menyentak
begitu, Papa tidak bakal buru-buru ingin pulang supaya bisa balas menyentak
Mama. Papa tidak jadi marah.
Papa
selalu ingin mengobrol denganku setelah bicara dengan Mama. Mama selalu
mengatakan kalau om berewok ingin mengobrol denganku. Memang seringnya Papa
pulang dari lapangan dengan berewok lebat. Aku betulan memanggilnya om berewok.
Barulah setelah ia bercukur, Mama mengatakan padaku, “Naah… Ini baru Papa!”
Selain
TK, Mama ingin menyibukkanku dengan beragam aktivitas lain. Ia sendiri tidak
sekadar mengurus rumah tangga, melainkan coba-coba menulis secara lepas. Mama
berusaha, tapi ia tetap tidak betah. Ia selalu merindukan hawa sejuk Bandung
serta teman-teman lamanya. Sesekali kami ke Bandung, menginap di rumah Uwak
Tata, atau pakde-budenya Mama, atau rumah Kakek. Sampai akhirnya kami ke
Bandung untuk seterusnya. Saat itu aku sudah akan masuk SD dan Mama ingin aku
melanjutkan pendidikan di Bandung saja.
Kami
kembali tinggal di rumah Kakek, tapi tidak lama. Papa mencarikan kami rumah
sendiri di Bandung lalu menemukan rumah yang kami tempati hingga sekarang.
Tidak disangka, beberapa minggu kemudian Tante As ikut tinggal bersama kami di
sana. Sebelumnya ia hidup ala bohemian dari satu rumah ke rumah temannya yang
lain. Entah ada sengketa apa di antara ia dan Kakek. Setelah hanya Kakek
sendiri yang ada di rumah itu, bahkan pembantu pun disuruhnya pulang kampung,
ia malah menjual rumah tersebut dan mengasingkan diri ke pelosok Jawa Timur.
Setelah
Tante As tinggal bersama kami, keadaan rumah jadi mendingan. Ia menginginkan
ruangan tertutup yang paling terang saat siang. Orangtuaku memberikannya. Toh
ia juga ikut patungan untuk melunasi cicilan rumah. Ruangannya, yang kini jadi
ruang buku, adalah yang paling rapi dan bersih di antara ruang-ruang lainnya di
rumah kecil ini.
Keadaan
nyaris sama seperti saat kami semua tinggal di rumah Kakek dulu, hanya saja
kali ini tanpa Kakek, dan aku sudah jadi anak yang lebih aktif, berani, dan
bandel.
Meski
sudah meleskanku macam-macam, Mama belum mencari pekerjaan lagi. Aktivitasnya
masih seperti sewaktu kami tinggal di Bintaro, hanya saja kali ini keadaannya
lebih tidak karuan.
Kalau
Papa ada, kami bertiga tidur di kamar sebelah yang baik ukuran ruangan maupun
ukuran tempat tidurnya lebih besar. Papa selalu ingin aku tidur di antara
dirinya dan Mama. Kalau Papa tidak ada, aku dan Mama tidur di kamar yang sejak
dulu memang sudah untukku. Kalau Papa tidak ada, Mama punya kesempatan untuk
bangun dini hari dan menangis sendirian tanpa ada yang menganggu.
Pernah
aku terbangun. Pintu kamar di sebelah kamarku terbuka sedikit. Aku mengintip
Mama tengah tersedu-sedu. Tante As juga mendengarnya. Ia mendapatiku berjongkok
di balik pintu. Ia masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu. Aku tidak bisa
mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam, tidak jelas. Meski tinggal
serumah, mereka biasanya bicara seperlunya, itupun saling sepet. Baru kali ini
aku mendengar nada mereka begitu serius.
Esoknya,
aku sudah melupakan kejadian malam itu. Hari-hari berlangsung seperti biasa.
Kalau aku melakukan sesuatu yang tidak disenangi, Tante As tidak mendampratku
langsung melainkan melewati Mama. Mama mengantar-jemputku sekolah hingga les
dengan angkot. Dalam rentang waktu yang kugunakan untuk tiap-tiap aktivitasku,
Mama tidak hanya diam menunggui. Ia berkeliaran entah ke mana lalu kembali saat
aktivitasku sudah usai untuk mendampingiku lagi, ke manapun setelahnya.
Lalu
Papa kembali dari Aceh. Ada pembicaraan serius lagi di rumah, kali ini
melibatkan Papa.
Hasilnya,
Mama membuat surat lamaran kerja. Aku diajari untuk belajar naik angkot sendiri
tanpa ditemani. Mama sendiri belajar mengendarai motor. Beberapa lama setelah
itu, hidupku sedikit berubah. Aku jarang diantar-jemput Mama lagi. Waktuku
bersama Mama jadi sedikit. Aku sering berdua saja dengan Tante As di rumah.
Tidak lagi melewati Mama, Tante As mendampratku secara langsung.
***
Aku
dan Mama sama-sama suka menyanyi. Selera musikku mengikuti selera musiknya.
Bedanya, aku pernah les vokal sedang ia tidak. Aku percaya kalau aku bisa
menyanyi dengan bagus kapanpun di manapun, sedang Mama mengekspresikan dirinya
hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu. Aku suka menyertai nyanyianku dengan
gerakan-gerakan ciptaanku sendiri, sedang Mama menyanyi sambil tetap
mengerjakan rutinitasnya.
Kami
sama-sama suka menyetel radio tape keras-keras, sedang Tante As pecinta
keheningan.
Tante
As sudah berkali-kali memintaku mematikan radio tape, namun aku tidak
mendengar. Aku begitu larut dalam keasyikan mengkhayalkan pertunjukanku
sendiri. Ada panggung dihiasi lampu-lampu kecil gemerlap di bawah kakiku serta
para audiens yang terlena di depan mataku.
Tante
As mematikan sendiri radio tape yang jadi sumber prahara.
Saat
itu ia tidak langsung mendampratku. Ia kembali masuk ruangannya dengan
membanting pintu. Saat aku berulah lagi, barulah ia bertindak. Sayangnya aku
tidak mempan dibentak. Mama suka begitu kalau aku susah dikendalikan. Aku baru
jera ketika Tante As mendorongku masuk kamarku sendiri lalu mengunciku dari luar.
Aku sangat kaget waktu itu dan memberontak. Tapi ia seolah tak mendengarkan.
Seolah kamarku tiba-tiba melayang terpisah dari rumah. Sejak itu aku tahu kalau
ia berbahaya.
Mamaku
tidak marah kalau aku mengambil sesuatu lalu tidak meletakkannya lagi ke tempat
semula, tapi Tante As sebaliknya. Berkali-kali ia menyentakku karena aku sering
lupa. Kalau aku tidak juga mengindahkannya, ia akan melemparku dengan sesuatu.
Ia tidak pernah melempar dengan benda berat atau membahayakan lainnya. Tapi
lama-lama itu membuatku yang sedang di ruang tengah langsung mengunci diri
dalam kamar begitu ia keluar dari ruangannya.
Ia
begitu hanya ketika Mama tidak ada. Ketika ada Mama, ia memilih untuk
berkonfrontasi langsung dengan Mama. Aku terlalu jeri untuk mengadukannya pada
Mama. Aku sering merindukan Mama, tapi waktu itu ia seringnya baru pulang lewat
tengah malam.
Cobaan berat datang tiap malam. Aktivitasku
sejak SD sudah padat. Belum kalau aku keblablasan waktu naik angkot. Aku sering
pulang ketika langit sudah gelap. Yang ada dalam benak hanya terjun ke atas
tempat tidur pegas di kamarku lalu tidak bergerak lagi. Namun aturan Tante As
adalah tidak boleh tidur sebelum membersihkan diri. Rasaku sudah seperti mau
mati saja.
Mengingat
perlakuannya yang sudah-sudah padaku, aku menurut dengan terpaksa. Ia yang
memanaskan air untukku mandi. “Jangan
tidur di dalam!” pesannya begitu aku menutup pintu kamar mandi. Aku melepas
pakaian dengan muka panas. Sesuatu bergelinang di mataku lalu mengalir dan
terasa asin di ujung lidahku. Aku ingin wanita jahat itu enyah dari rumahku.
Aku ingin Mama kembali menemani malam-malamku. Mama tidak memperlakukanku
sampai seperti ini.
Setelah
itu aku disuruhnya makan. Kalau aku tidak mau, ia mengancamku, “Mau kena maag
lagi?” Sebelumnya memang aku sudah kena maag. “Salah sendiri disuruh makan
enggak mau,” omelnya waktu itu lalu menyuruhku minum obat maag yang ia
sodorkan. Sehabis makan, aku masih harus sikat gigi.
Sekali
malam, aku merasa tubuhku sudah sangat lunglai. Seharusnya begitu memasuki
rumah aku langsung mengunci diri di kamar lalu tidur sampai pagi. Tapi aku
biarkan saja pintu kamarku terbuka. Terdengar Tante As menyuruhku mandi. Aku
pikir aku akan mandi nanti, setelah istirahat.
Entah
sudah berapa lama aku berbaring ketika Tante As memasuki kamarku. Ia berdecak.
“Mandi dulu, baru tidur,” katanya.
“Nanti…”
kataku lemas.
Ia
duduk di dekatku, meraba dahi dan leherku. Aku tidak demam—aku jarang sakit.
Aku juga sudah tidak keringatan lagi. Tangannya menggerakanku untuk bangkit. Ia
mencopoti kaos kakiku sambil mengomel. Sebelum ia bertindak lebih jauh, sekuat
tenaga aku mendorongnya keluar kamar. Aku berhasil namun ia menahan daun pintu
sehingga aku tidak bisa menutup lalu menguncinya. Tubuhnya waktu itu lebih
besar dariku. Terang saja tenaganya lebih kuat. Ia berhasil masuk kembali ke
dalam kamar. Aku meronta-ronta ketika ia berusaha menyeretku ke kamar mandi.
Sekali tamparan membuatku bungkam. Itu adalah sekalinya tanteku menggunakan
kekerasan fisik.
Sampai
di dalam kamar mandi, ia melucuti pakaianku sedang aku tidak bisa berhenti
tersedu. Aku tidak ingin tubuhku disiram air dalam baskom dengan asap yang
masih mengepul-ngepul itu. Aku hanya ingin tidur lagi.
Ia
memandikanku dengan mengomel tanpa henti. Aku sendiri tidak bisa berhenti
menangis, hingga ia membungkusku dengan handuk besar, memakaikanku piyama,
menungguiku makan, menyuruhku sikat gigi, dan aku naik lagi ke tempat tidur.
Senggukku masih tidak bisa berhenti.
“Jangan
berisik,” katanya sebelum menutup pintu kamarku. Aku pun membenamkan muka ke
bantal. Senggukku makin keras ketika mendengarnya mendumel dari kejauhan, “Anak
susah diatur, sama aja kayak mamanya!” Selalu menyakitkan hatiku ketika ia
mengata-ngatai Mama meski lama-lama aku jadi terbiasa dan cenderung
ikut-ikutan.
Esok
paginya, aku sudah mandi dan mengenakan seragam. Barang-barang yang perlu
dibawa ke sekolah sudah kumasukkan ke dalam ransel. Aku hanya tinggal sarapan.
Tapi aku tidak berani beranjak dari ambang pintu kamarku. Di seberang sana,
Tante As mondar-mandir antara dapur dan ruang makan. Tumben ia sesibuk itu
sepagi ini.
Sebenarnya
aku lebih suka kalau disuruh bikin roti isi atau sereal sendiri saja. Kalau
Mama ada, Mama akan membuatkan kami masakan layak makan. Tapi Mama sedang
ditugaskan ke luar kota.
Dan
Tante As benar-benar payah dalam memasak. Ia membuatkanku telur ceplok setengah matang dengan garam terpisah. Dua,
lagi. Sebetulnya aku enggan memakannya.
Melihatku
bergeming, Tante As menyuruhku menuju meja makan. Takut-takut aku
melaksanakannya. “Makannya yang cepet, udah jam segini,” katanya sementara aku
duduk di kursi. Telur ceplok buatannya sama sekali tidak menuai selera. Aku
tidak yakin nasi yang ditanaknya bisa dikunyah.
Aku
merasa ia memandangku terus. Jadi aku mulai mengambil piring, sendok, nasi, dan
telur—ia sudah menyiapkan semuanya. Aku tidak berani mengangkat wajah.
“Telurnya
ambil dua-duanya,” katanya.
“Kok?”
Aku hanya bisa sampai situ.
“Biar
kamu kuat sampai sore.” Ia hapal jadwalku.
Aku
mulai menyuapkan nasi dan potongan telur ceplok. Semoga sudah tidak terasa amis
di mulut. Setidaknya nasinya empuk. Aku makan dengan pelan. Ia duduk di kursi
seberangku. Kedua lengannya terlipat di atas meja. Aku bisa merasakan lekat
tatapannya padaku.
“Kamu
takut sama saya?”
Ia
tidak juga mengalihkan tatapannya.
“Hm?”
suaranya lagi.
Aku
mengangguk sangat pelan, entah kelihatan olehnya apa tidak. Tatapannya tidak
lepas dariku sampai aku selesai makan lalu menaruh piring dan sendok bekas
makanku ke bak cuci.
Sepertinya
aku bakal terlambat sampai sekolah. Meski hanya ngaret sepuluh menit dari
biasanya, dampaknya bisa fatal dalam situasi jalanan yang macet di waktu pagi
tiap hari kerja.
Aku
tidak pernah menyalaminya. Biasanya aku berteriak untuk memberitahunya kalau
aku akan pergi. Ia merespons dengan menoleh. Aku tidak harus minta uang saku
lagi darinya karena Mama sudah memberi uang saku mingguan untukku. Namun kali
itu ia memberiku lagi. Jumlahnya cukup banyak. “Nih, jajan yang mahal sekalian.
Jangan yang murah tapi jorok.”
Malam
harinya, sepanjang perjalanan pulang aku bertekad untuk menahan kantuk sampai
setelah mandi. Masih tampang judes Tante As yang menyambutku ketika aku sampai
di rumah, tapi ada pizza ukuran besar di atas meja makan. Aku memandangnya
sambil lewat dan berusaha untuk tidak menaruh hasrat. Aku rela seandainya ia
tidak mau membaginya padaku. Aku tahu ia menyimpan berbagai nyamikan di
ruangannya yang tidak akan pernah ia bawa keluar kalau bukan ia sendiri saja
yang ada di rumah.
Setelah
aku mandi, seperti biasa ia menyuruhku makan. Namun kali ini yang kuhadapi
adalah pizza—masih di atas kardusnya. Kami duduk berseberangan lagi di meja
makan. Setelah aku menaruh piring di depan dadaku, ia meletakkan sepotong pizza
di sana. Aku makan dengan tangan. Ia sama saja.
“Enak?”
tanyanya sambil mengunyah.
Aku
mengangguk.
“Suka?”
Aku
mengangguk lagi.
Ia
menambahkan sepotong lagi ke piringku. “Tambah lagi.”
Ketika
potongan kedua sudah hampir kuhabiskan, ia menyorong beberapa potong pizza di
atas kardus ke dekatku. Ia hanya menyisakan sepotong untuk dirinya. “Aku makan
cuman sedikit kok,” katanya.
Aku
terus makan sampai merasa lambungku sudah tidak kuat lagi menampung. Tante As
terus memperhatikanku. Ekspresinya tidak berubah. Aku jadi takut dan berusaha
untuk menghabiskan dua potong lagi yang tersisa. Namun aku sudah benar-benar
tidak kuat. Eneg. Aku menyerah. Aku bilang padanya, terserah ia bakal
menghardikku lagi atau bagaimana.
“Kalau
buat sarapan besok mau kan?”
Aku
mengangguk.
“Ya
udah, abisin minumannya.”
Es
jeruk dalam gelas plastik—sudah sepaket dengan pizzanya. Aku menyeruput
pelan-pelan supaya tidak memicu lambungku yang sudah penuh untuk mengeluarkan
isinya.
Dengan
sikap Tante As yang begitu, ketakutanku padanya jadi memudar. Ia bahkan
mengizinkanku masuk ke ruangannya. Lebih besar dari kamarku, tapi masih lebih
besar kamar orangtuaku.
Lalu
aku tidak sengaja mematahkan pensil-pensilnya.
Aku
tidak tahu mengapa mereka begitu berharga. Ia marah besar lagi padaku dan bilang
kalau ia bakal menghukumku. Sikapnya setelah itu biasa lagi, tapi ketakutanku
padanya tidak jadi sirna.
Hukumannya
datang beberapa hari kemudian. Saat itu langit cerah yang mewarnai tanggal
merah. Tante As menjemputku yang baru selesai les menari di RRI lalu menyeretku
jalan kaki sampai Gramedia di Jalan Merdeka.
Aku
berusaha untuk tidak mengeluh. Namun sesekali kakiku terantuk karena lelah.
“Keluarga kita adalah pejalan kaki yang kuat!” begitu jargon Tante As ketika
aku mengaduh.
Setelahnya
aku tahu kalau Tante As menghukum dirinya dengan berjalan kaki sangat jauh
seperti ini ketika ia merasa telah makan terlalu banyak.
Di Gramedia, kami bertemu teman
Tante As. Dan Tante As berubah jadi bukan Tante As. Sikapnya sangat ramah.
Tutur katanya lembut. Senyumnya tampak tulus. Aku merinding ketika ia membelai
anak dalam buaian temannya tersebut. Padahal hampir sepanjang jalan tadi ia
mendumel.
Ketika
kejadian serupa aku temui lagi dalam acara jalan-jalanku dengan Tante As
berikutnya, dan berikutnya lagi dan seterusnya, aku menyadari bahwa ia pemain
watak yang baik.
Setelah menyadari bahwa sikap Tante
As makin lunak kalau aku menurut padanya, aku juga belajar untuk menyesuaikan
diri dengan apa yang disukai maupun tidak disukai Tante As. Pembawaannya memang
hanya berubah drastis kalau bertemu orang yang bukan keluarganya, tapi
setidaknya ia sudah tidak jahat lagi padaku. Ia suka mengajakku jalan-jalan,
membelikanku pakaian kalau kebetulan ia lihat ada yang cocok benar denganku,
berinisiatif mengikutkanku dalam lomba peragaan busana, mengajariku sikap yang
baik di panggung (ia suka mengamati bagaimana para peragawati bergaya),
mendandaniku tiap aku harus didandani (“kamu enggak bakal kayak anak-anak norak
itu, Be.”), dan sebagainya. Ia tidak menganggapku sebagai anaknya. Kami lebih
seperti sepasang saudari yang berkomplot melawan mama mereka—mamaku. Mama
sendiri biasa saja melihat kami lama-lama jadi dekat—memang prosesnya tidak
drastis juga sih.
Ketika
ulang tahunku tiba, Tante As membelikanku cake dengan sebuah lilin angka
tertancap di atasnya. Sampai kedua orangtuaku sama-sama mengabarkan kalau
mereka tidak bisa hadir saat itu, lama kami duduk menghadap cake tersebut. Lalu
Tante As bernyanyi dengan nada datar sambil bertepuk tangan pelan, “Selamat
ulang tahun… Selamat ulang tahun…” …dan seterusnya. Seandainya Papa dan Mama
ada di dekatku, mereka pasti sudah menyergapku dengan peluk dan cium. Tante As
tidak begitu suka melakukan kontak fisik—bahkan terkesan anti.
Ketika
Papa dan Mama ingin memasukkanku ke boarding school saja untuk pendidikan
SMA-ku, Tante As sontak melarang.
Bahkan
Tante As mulai curhat padaku. “Sebetulnya Tante enggak betah tinggal di rumah
kayak gini, sama mama kamu lagi. Kalau Tante punya duit banyak, udah dari dulu
Tante bikin rumah besar, ada kulkas sendiri, pakai AC. Dari sekarang kamu harus
sudah ngerti, Be, cari uang itu susah! Apalagi kalau kamu kerjanya ingin
independen. Ngerti enggak, independen?”
Ilustrasi karya Tante As akhirnya
diminati oleh sebuah penerbit besar. Ia sering mendapat proyek pengerjaan buku
cerita anak-anak. Saat kamu melihat ilustrasi di dalam buku berseri tersebut,
kamu tidak akan menyangka kalau gambar-gambar lucu dengan warna lembut di
dalamnya adalah buah tangan seorang wanita berwajah jutek dan serius, tidak berminat
punya anak, dan sedang kabur dari suaminya.
Namun itu sudah lalu. Kini ia
membiarkan kemesraan sang suami menghampiri dirinya lagi. Calon anak di dalam
rahimnya sudah berusia lima bulan. Aku adalah calon kakak makhluk mungil
tersebut. Ketika mengajaknya bicara, aku berpesan padanya, “Jadi anak yang baik
ya Sayang. Mama kamu juga baik kok.”
Aku mengikik ketika Tante As
mengintipku dari balik buku besar yang sedang dilihat-lihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar