Rabu, 23 November 2011

Sang Calon Mama

Hari-hari itu telah berlalu, hari-hari di mana aku kerap melihat Tante As hanya duduk diam dengan tangan di atas perutnya. Pandangannya menerawang. Seakan tiap saat hanya untuk menyadari ada makhluk lain di dalam perutnya.

Ia ada. Ia sudah bergerak-gerak. Aku selalu penasaran ingin memegang perutnya. Kadang Tante As membiarkan, kadang tanganku ditepisnya.

Ada suatu waktu di mana Tante As jadi sering bete. Ia mendesah keras-keras ketika menimbang badannya. Aku bilang padanya kalau adalah normal apabila berat badannya naik sampai belasan kilogram. Sebelumnya TanteAs selalu menjaga agar berat badannya sedikit di bawah berat badan ideal. Setelah turun dari timbangan, Tante As kembali melahap apapun.

Memasuki trisemester kedua, Tante As mencoba berpergian jauh, ke tempat Om Pir sedang tinggal. Hal biasa kalau ia tidak hamil sebetulnya. Namun setelah kembali ia bilang ia tidak akan ke mana-mana lagi. Ia ingin menetap di satu tempat saja sampai entah kapan.

Aku harap pernyataannya itu tidak berarti keberatannya terhadap makhluk kecil yang menghuni rahimnya…

Untung benar pada masa sekarang keterikatanku dengan berbagai aktivitas sudah berkurang. Selain sekolah, bimbingan belajar, ditambah sesekali mengurus ini-itu untuk BMC bersama Manda, aku selalu pulang ke rumah Tante As. Ia mau makan lebih banyak buah kalau dikupaskan, sayur kalau dimasakkan. Aku tidak bisa mengharapkan komentar yang enak didengar dari Tante As, lebih baik ia tidak komentar sama sekali, namun ia pasti menghabiskan apa yang disuguhkan untuknya. Kadang aku menelepon atau mendatangi rumah Uwak Tata langsung untuk menanyakan resep sebelum memasak untuk Tante As. Sebetulnya aku sendiri tidak percaya diri dengan rasa masakanku, tapi aku jamin itu tidak akan membuat siapapun muntah. Setidaknya kecemasanku agak berkurang ketika tahu ia telah memborong sereal, roti gandum, susu rendah lemak, jenis keju tertentu, dan yoghurt. Ia mengikuti petuahku, syukurlah!

Beberapa teman Tante As sesekali datang dengan membawa makanan. Kadang mereka hanya sekadar ingin mengetahui keadaan Tante As atau merasakan sundulan di perutnya. Kalau sedang ada mereka, aku selalu bergabung karena mereka suka memberi informasi-informasi berguna dalam kehamilan. Mereka sudah berpengalaman, tentu saja, kecuali Tante Laila yang memang belum (atau tidak?) menikah.

Tante Laila sejenis wanita karier berpenampilan modis—meski sepertinya ia tidak kenal warna selain hitam, putih, cokelat, dan kelabu—dan punya mobil mewah dan pekerjaan bagus. Kalau berkunjung ke rumah Tante As, ia suka menyempatkan diri untuk merokok di teras di balik dinding kaca, membuang abu rokoknya ke atas rumput. Sebelum Tante As hamil, mereka berdua tampak setipe—berorientasi karier dan tidak berminat menghasilkan generasi baru. Dulu mereka berdua berkumpul untuk menikmati kebebasan mereka. Namun setelah Tante As hamil, Tante Laila sepertinya datang hanya untuk memastikan apakah Tante As benar-benar menginginkan anak yang sudah terlanjur ada dalam perutnya itu atau tidak.

Diam-diam aku mendengar pembicaraan mereka yang biasanya selalu bikin aku segan nimbrung itu. Aku ngeri saat mendengar Tante As bilang, “Mau aborsi juga sudah ada nyawanya.”

            Tante Tiwi, istrinya Om Rizal yang sahabat Tante As sejak SMA, memberitahukan cara untuk menghitung tanggal kelahiran di internet. Namanya kalkulator tanggal kelahiran. Kita tinggal memasukkan tanggal hari pertama haid yang terakhir. Tapi Tante As sudah lupa. Ia juga tidak pernah menghitung siklus haidnya apakah lebih pendek atau lebih panjang dari 28 hari. Yah. Informasi tambahan darinya, sebagian besar bayi lahir telat satu minggu dari tanggal yang diperkirakan, hanya 5-6% yang lahir sesuai perkiraan. Menurut perkiraanku, bayi Tante As akan lahir bulan Maret tahun depan.

            Tante Naning menyarankan Tante As untuk ikut kelas senam hamil. Ia menyebut sebuah rumah sakit yang rutin menyelenggarakan kelas tersebut. Aku langsung mendorong Tante As untuk lekas mendaftar. Memang ia tidak meninggalkan kebiasaannya berolahraga ringan lewat video—ia sudah membeli beberapa video baru khusus untuk ibu hamil. Namun sepertinya lebih seru kalau diperagakan instruktur secara langsung dan dilakukan bersama sesama ibu hamil.

            Sayang sekali Tante As tidak bisa renang. Aku menawarkan diri untuk menemani dan membantunya, tapi ia menolak. Kemudian aku tahu kalau ia akhirnya mencoba juga, tapi bersama temannya. “Enak renangnya Tante?” tanyaku. “Basah,” jawabnya.

            Ia sadar benar, olahraga dan menjaga kenaikan berat badan semakin penting untuk meminimalisir stretch mark. “Tapi jangan jalan kaki jauh-jauh lagi, Tante,” kataku, mengingatkan kebiasaannya saat sedang ingin menghukum diri karena kebanyakan ngemil. Kelelahan dapat menyebabkan kontraksi lebih cepat dari semestinya.

            Terakhir kali aku melihat calon adikku lewat USG, bentuknya sudah sempurna. Ia mengepalkan jari-jari tangannya yang mungil. Terlihat rambut-rambut halus yang membentuk alis di atas matanya.

            Sebelumnya aku tak begitu peduli apakah ia akan jadi bayi perempuan atau bayi laki-laki. Kalau ia perempuan, ia akan jadi bayi yang cantik. Kalau ia laki-laki, ia akan jadi bayi yang menawan. Teknologi USG yang sudah 4 dimensi membuat kami bisa melihat keadaan janin dengan lebih jelas. Semuanya dalam keadaan bagus, kata dokter. Dan ia perempuan! Ia akan menjadi Tante As kecil—oh, semoga perilakunya lebih baik. Aku merasa bangga karena selama ini akulah yang telah berusaha merawat Tante As dan janin dalam kandungannya.

Kata dokter, calon adikku akan tumbuh semakin pesat. Aku memekik pelan ketika melihatnya bergerak-gerak. “Kerasa Tante, kerasa?” sahutku dengan antusias. Tante As tersenyum saja, namun aku mengerti kalau ia menyuruhku bersikap wajar.

Sang dokter tertawa kecil. “Sebentar lagi jadi kakak ya?”

            Suatu malam, Tante As hanya tidur-tiduran di sofa cokelat mudanya. Ketika aku mendekat, ia menarik lalu meletakkan tanganku di atas perutnya. Terasa sundulan-sundulan kecil meraba telapak tanganku. Aku bersimpuh di tepi sofa, lalu menempelkan telingaku di atas perut Tante. “Hai Cantik, ini Kak Bibe…” sapaku.

            “Halo Kak Bibe, aku sedang ikut-ikutan senam kayak Mama nih…”—aku yakin ini arti sundulan-sundulan kecil yang datang berikutnya untuk menyambut sapaanku.

            Tante As bangkit. “Katanya dia ingin makan pizza nih.” Ia melangkah, mencari-cari di mana ia meletakkan ponselnya tadi.

            Kesenangan meliputiku, selalu begini tiap aku menyadari bahwa Tante As ternyata juga memerhatikan kehamilannya. Melihat kegembiraan Tante As tiap kali calon anaknya mengajak berkomunikasi membuat kesenanganku bertambah-tambah. Aku tidak meragukan lagi kalau Tante As telah menerima kedatangan makhluk kecil ini dengan suka cita… namun seloyang pizza mengingatkanku akan sesuatu, yang membuatku ragu apakah ia bakal bisa mengurus anaknya dengan baik kelak.

***

            Usiaku baru tiga tahun ketika Tante As kembali ke Indonesia. Dulu aku mengenalnya sebagai seorang tante berwajah jutek dan serius yang tinggal di rumah Kakek. Ia jarang tersenyum. Kalau tersenyum, seperti dipaksakan. Aku ingat waktu itu kacamatanya waktu itu berbingkai besar dan bersepuh emas. Ia masih suka pakai turtleneck hitam. Ia kurus, selalu berusaha untuk kurus tanpa harus mengidap anoreksia. Ia tidak pernah ikut kumpul bersama para sepupu Mama. Mama jarang mengobrol dengannya, sejarang Mama mengobrol dengan Kakek dan sebaliknya—memang begitulah kultur di keluarga kecil Mama yang hanya terdiri dari dirinya, Kakek, dan Tante As.

            Saat itu aku dan Mama masih tinggal bersama nenekku dari pihak Papa. Sebagai wartawan muda dengan semangat kerja tinggi, papaku sering tanda tangan kontrak untuk ditempatkan di daerah konflik atau rawan bencana. Ia pulang tiap beberapa minggu atau beberapa bulan sekali. Waktu aku masih bayi, ia selalu ingin aku tidur di atas perutnya, atau di sampingnya. Ia selalu mencari kesempatan untuk bermain denganku. Saat aku asyik main sendiri di atas perutnya, ia tertidur. Saat aku diangkat, ia terbangun dan meminta agar aku diturunkan lagi.

            Tahun berikutnya, nenekku dari pihak Papa tiada. Saat itu papaku masih mengontrak rumah di Bintaro dan belum punya rumah sendiri di Bandung. Mama memilih untuk tidak menempati rumah mendiang Nenek lagi. Ia biarkan saudara Papa yang mengurus rumah itu selanjutnya. Jadi Mama kembali tinggal bersama papa dan adiknya dengan membawaku serta. Karena sudah tidak ada yang mengasuhku lagi, Mama lengser dari pekerjaannya sebagai wartawan sebuah harian nasional.

            Hubungan di antara mereka bertiga bukannya tidak akur, malah seperti tidak ada hubungan sama sekali. Tiap orang mengerjakan urusannya masing-masing. Kakek masih bekerja, Tante As banyak di ruangannya sendiri, sedang Mama mencurahkan waktunya untukku.

Kadang Kakek coba memangku atau menggendongku, tapi seperti yang sudahaku ceritakan sebelumnya, aku ngeri padanya. Tidak tahu mengapa. Memang tampangnya galak.

            Tante As tidak pernah coba menyentuhku, tapi mengomentari sesekali. Pernah aku dan Mama makan semeja dengannya dan ia berkomentar dengan dingin, “Kenapa anak itu makannya berisik sekali?” Aku makan dengan lebih pelan. Mamaku menyuruhnya pindah ke tempat lain. Ia menurut.

            Hanya beberapa bulan tinggal bersama Kakek dan Tante As, Mama membawaku ke kontrakan Papa di Bintaro.

Dua tahun dalam kehidupanku setelah itu adalah hari-hari penuh kegusaran dalam hidup Mama. Ini adalah masa di mana Mama suka melagu dalam sendu.

Kita telah bersama sekian lama dalam cita-cita, namun tiada jua rasa saling itu… seiya, sekata.

Selayaknya engkau coba, menyibakkan tirai kasih kita. Begitu jauh, kurengkuh hatimu di seberang jalanku.

Lelah… Lelah hati ini, menggapai hatimu, tak juga menyatu.

Lelah… Lelah hati ini, bagaimana kelak ku akan melangkah di sisimu…

Ritme kerja Papa masih sama seperti sebelumnya. Sering Papa bangun dini hari lalu baru kembali setelah berminggu-minggu.

Papa rajin menelepon Mama dan respons Mama bervariasi. Mulai dari jawaban pelan bernada khawatir, “iya, hati-hati…” sampai sentakan, “udah, enggak usah balik aja sekalian!” Setelah mendapat sentakan seperti itu, Papa pulang, menggendongku dengan gembira dan menemaniku bermain sebentar, lalu mendatangi Mama dengan marah. Tapi Mama tidak gentar. Ia bilang kalau ia tidak menyentak begitu, Papa tidak bakal buru-buru ingin pulang supaya bisa balas menyentak Mama. Papa tidak jadi marah.

Papa selalu ingin mengobrol denganku setelah bicara dengan Mama. Mama selalu mengatakan kalau om berewok ingin mengobrol denganku. Memang seringnya Papa pulang dari lapangan dengan berewok lebat. Aku betulan memanggilnya om berewok. Barulah setelah ia bercukur, Mama mengatakan padaku, “Naah… Ini baru Papa!”

Selain TK, Mama ingin menyibukkanku dengan beragam aktivitas lain. Ia sendiri tidak sekadar mengurus rumah tangga, melainkan coba-coba menulis secara lepas. Mama berusaha, tapi ia tetap tidak betah. Ia selalu merindukan hawa sejuk Bandung serta teman-teman lamanya. Sesekali kami ke Bandung, menginap di rumah Uwak Tata, atau pakde-budenya Mama, atau rumah Kakek. Sampai akhirnya kami ke Bandung untuk seterusnya. Saat itu aku sudah akan masuk SD dan Mama ingin aku melanjutkan pendidikan di Bandung saja.

Kami kembali tinggal di rumah Kakek, tapi tidak lama. Papa mencarikan kami rumah sendiri di Bandung lalu menemukan rumah yang kami tempati hingga sekarang. Tidak disangka, beberapa minggu kemudian Tante As ikut tinggal bersama kami di sana. Sebelumnya ia hidup ala bohemian dari satu rumah ke rumah temannya yang lain. Entah ada sengketa apa di antara ia dan Kakek. Setelah hanya Kakek sendiri yang ada di rumah itu, bahkan pembantu pun disuruhnya pulang kampung, ia malah menjual rumah tersebut dan mengasingkan diri ke pelosok Jawa Timur.

Setelah Tante As tinggal bersama kami, keadaan rumah jadi mendingan. Ia menginginkan ruangan tertutup yang paling terang saat siang. Orangtuaku memberikannya. Toh ia juga ikut patungan untuk melunasi cicilan rumah. Ruangannya, yang kini jadi ruang buku, adalah yang paling rapi dan bersih di antara ruang-ruang lainnya di rumah kecil ini.

Keadaan nyaris sama seperti saat kami semua tinggal di rumah Kakek dulu, hanya saja kali ini tanpa Kakek, dan aku sudah jadi anak yang lebih aktif, berani, dan bandel.

Meski sudah meleskanku macam-macam, Mama belum mencari pekerjaan lagi. Aktivitasnya masih seperti sewaktu kami tinggal di Bintaro, hanya saja kali ini keadaannya lebih tidak karuan.

Kalau Papa ada, kami bertiga tidur di kamar sebelah yang baik ukuran ruangan maupun ukuran tempat tidurnya lebih besar. Papa selalu ingin aku tidur di antara dirinya dan Mama. Kalau Papa tidak ada, aku dan Mama tidur di kamar yang sejak dulu memang sudah untukku. Kalau Papa tidak ada, Mama punya kesempatan untuk bangun dini hari dan menangis sendirian tanpa ada yang menganggu.

Pernah aku terbangun. Pintu kamar di sebelah kamarku terbuka sedikit. Aku mengintip Mama tengah tersedu-sedu. Tante As juga mendengarnya. Ia mendapatiku berjongkok di balik pintu. Ia masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam, tidak jelas. Meski tinggal serumah, mereka biasanya bicara seperlunya, itupun saling sepet. Baru kali ini aku mendengar nada mereka begitu serius.

Esoknya, aku sudah melupakan kejadian malam itu. Hari-hari berlangsung seperti biasa. Kalau aku melakukan sesuatu yang tidak disenangi, Tante As tidak mendampratku langsung melainkan melewati Mama. Mama mengantar-jemputku sekolah hingga les dengan angkot. Dalam rentang waktu yang kugunakan untuk tiap-tiap aktivitasku, Mama tidak hanya diam menunggui. Ia berkeliaran entah ke mana lalu kembali saat aktivitasku sudah usai untuk mendampingiku lagi, ke manapun setelahnya.

Lalu Papa kembali dari Aceh. Ada pembicaraan serius lagi di rumah, kali ini melibatkan Papa.

Hasilnya, Mama membuat surat lamaran kerja. Aku diajari untuk belajar naik angkot sendiri tanpa ditemani. Mama sendiri belajar mengendarai motor. Beberapa lama setelah itu, hidupku sedikit berubah. Aku jarang diantar-jemput Mama lagi. Waktuku bersama Mama jadi sedikit. Aku sering berdua saja dengan Tante As di rumah. Tidak lagi melewati Mama, Tante As mendampratku secara langsung.

***

Aku dan Mama sama-sama suka menyanyi. Selera musikku mengikuti selera musiknya. Bedanya, aku pernah les vokal sedang ia tidak. Aku percaya kalau aku bisa menyanyi dengan bagus kapanpun di manapun, sedang Mama mengekspresikan dirinya hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu. Aku suka menyertai nyanyianku dengan gerakan-gerakan ciptaanku sendiri, sedang Mama menyanyi sambil tetap mengerjakan rutinitasnya.

Kami sama-sama suka menyetel radio tape keras-keras, sedang Tante As pecinta keheningan.

Tante As sudah berkali-kali memintaku mematikan radio tape, namun aku tidak mendengar. Aku begitu larut dalam keasyikan mengkhayalkan pertunjukanku sendiri. Ada panggung dihiasi lampu-lampu kecil gemerlap di bawah kakiku serta para audiens yang terlena di depan mataku.

Tante As mematikan sendiri radio tape yang jadi sumber prahara.

Saat itu ia tidak langsung mendampratku. Ia kembali masuk ruangannya dengan membanting pintu. Saat aku berulah lagi, barulah ia bertindak. Sayangnya aku tidak mempan dibentak. Mama suka begitu kalau aku susah dikendalikan. Aku baru jera ketika Tante As mendorongku masuk kamarku sendiri lalu mengunciku dari luar. Aku sangat kaget waktu itu dan memberontak. Tapi ia seolah tak mendengarkan. Seolah kamarku tiba-tiba melayang terpisah dari rumah. Sejak itu aku tahu kalau ia berbahaya.

Mamaku tidak marah kalau aku mengambil sesuatu lalu tidak meletakkannya lagi ke tempat semula, tapi Tante As sebaliknya. Berkali-kali ia menyentakku karena aku sering lupa. Kalau aku tidak juga mengindahkannya, ia akan melemparku dengan sesuatu. Ia tidak pernah melempar dengan benda berat atau membahayakan lainnya. Tapi lama-lama itu membuatku yang sedang di ruang tengah langsung mengunci diri dalam kamar begitu ia keluar dari ruangannya.

Ia begitu hanya ketika Mama tidak ada. Ketika ada Mama, ia memilih untuk berkonfrontasi langsung dengan Mama. Aku terlalu jeri untuk mengadukannya pada Mama. Aku sering merindukan Mama, tapi waktu itu ia seringnya baru pulang lewat tengah malam.

 Cobaan berat datang tiap malam. Aktivitasku sejak SD sudah padat. Belum kalau aku keblablasan waktu naik angkot. Aku sering pulang ketika langit sudah gelap. Yang ada dalam benak hanya terjun ke atas tempat tidur pegas di kamarku lalu tidak bergerak lagi. Namun aturan Tante As adalah tidak boleh tidur sebelum membersihkan diri. Rasaku sudah seperti mau mati saja.

Mengingat perlakuannya yang sudah-sudah padaku, aku menurut dengan terpaksa. Ia yang memanaskan air untukku mandi.  “Jangan tidur di dalam!” pesannya begitu aku menutup pintu kamar mandi. Aku melepas pakaian dengan muka panas. Sesuatu bergelinang di mataku lalu mengalir dan terasa asin di ujung lidahku. Aku ingin wanita jahat itu enyah dari rumahku. Aku ingin Mama kembali menemani malam-malamku. Mama tidak memperlakukanku sampai seperti ini.

Setelah itu aku disuruhnya makan. Kalau aku tidak mau, ia mengancamku, “Mau kena maag lagi?” Sebelumnya memang aku sudah kena maag. “Salah sendiri disuruh makan enggak mau,” omelnya waktu itu lalu menyuruhku minum obat maag yang ia sodorkan. Sehabis makan, aku masih harus sikat gigi.

Sekali malam, aku merasa tubuhku sudah sangat lunglai. Seharusnya begitu memasuki rumah aku langsung mengunci diri di kamar lalu tidur sampai pagi. Tapi aku biarkan saja pintu kamarku terbuka. Terdengar Tante As menyuruhku mandi. Aku pikir aku akan mandi nanti, setelah istirahat.

Entah sudah berapa lama aku berbaring ketika Tante As memasuki kamarku. Ia berdecak. “Mandi dulu, baru tidur,” katanya.

“Nanti…” kataku lemas.

Ia duduk di dekatku, meraba dahi dan leherku. Aku tidak demam—aku jarang sakit. Aku juga sudah tidak keringatan lagi. Tangannya menggerakanku untuk bangkit. Ia mencopoti kaos kakiku sambil mengomel. Sebelum ia bertindak lebih jauh, sekuat tenaga aku mendorongnya keluar kamar. Aku berhasil namun ia menahan daun pintu sehingga aku tidak bisa menutup lalu menguncinya. Tubuhnya waktu itu lebih besar dariku. Terang saja tenaganya lebih kuat. Ia berhasil masuk kembali ke dalam kamar. Aku meronta-ronta ketika ia berusaha menyeretku ke kamar mandi. Sekali tamparan membuatku bungkam. Itu adalah sekalinya tanteku menggunakan kekerasan fisik.

Sampai di dalam kamar mandi, ia melucuti pakaianku sedang aku tidak bisa berhenti tersedu. Aku tidak ingin tubuhku disiram air dalam baskom dengan asap yang masih mengepul-ngepul itu. Aku hanya ingin tidur lagi.

Ia memandikanku dengan mengomel tanpa henti. Aku sendiri tidak bisa berhenti menangis, hingga ia membungkusku dengan handuk besar, memakaikanku piyama, menungguiku makan, menyuruhku sikat gigi, dan aku naik lagi ke tempat tidur. Senggukku masih tidak bisa berhenti.

“Jangan berisik,” katanya sebelum menutup pintu kamarku. Aku pun membenamkan muka ke bantal. Senggukku makin keras ketika mendengarnya mendumel dari kejauhan, “Anak susah diatur, sama aja kayak mamanya!” Selalu menyakitkan hatiku ketika ia mengata-ngatai Mama meski lama-lama aku jadi terbiasa dan cenderung ikut-ikutan.

Esok paginya, aku sudah mandi dan mengenakan seragam. Barang-barang yang perlu dibawa ke sekolah sudah kumasukkan ke dalam ransel. Aku hanya tinggal sarapan. Tapi aku tidak berani beranjak dari ambang pintu kamarku. Di seberang sana, Tante As mondar-mandir antara dapur dan ruang makan. Tumben ia sesibuk itu sepagi ini.

Sebenarnya aku lebih suka kalau disuruh bikin roti isi atau sereal sendiri saja. Kalau Mama ada, Mama akan membuatkan kami masakan layak makan. Tapi Mama sedang ditugaskan ke luar kota.

Dan Tante As benar-benar payah dalam memasak. Ia membuatkanku telur ceplok  setengah matang dengan garam terpisah. Dua, lagi. Sebetulnya aku enggan memakannya.

Melihatku bergeming, Tante As menyuruhku menuju meja makan. Takut-takut aku melaksanakannya. “Makannya yang cepet, udah jam segini,” katanya sementara aku duduk di kursi. Telur ceplok buatannya sama sekali tidak menuai selera. Aku tidak yakin nasi yang ditanaknya bisa dikunyah.

Aku merasa ia memandangku terus. Jadi aku mulai mengambil piring, sendok, nasi, dan telur—ia sudah menyiapkan semuanya. Aku tidak berani mengangkat wajah.

“Telurnya ambil dua-duanya,” katanya.

“Kok?” Aku hanya bisa sampai situ.

“Biar kamu kuat sampai sore.” Ia hapal jadwalku.

Aku mulai menyuapkan nasi dan potongan telur ceplok. Semoga sudah tidak terasa amis di mulut. Setidaknya nasinya empuk. Aku makan dengan pelan. Ia duduk di kursi seberangku. Kedua lengannya terlipat di atas meja. Aku bisa merasakan lekat tatapannya padaku.

“Kamu takut sama saya?”

Ia tidak juga mengalihkan tatapannya.

“Hm?” suaranya lagi.

Aku mengangguk sangat pelan, entah kelihatan olehnya apa tidak. Tatapannya tidak lepas dariku sampai aku selesai makan lalu menaruh piring dan sendok bekas makanku ke bak cuci.

Sepertinya aku bakal terlambat sampai sekolah. Meski hanya ngaret sepuluh menit dari biasanya, dampaknya bisa fatal dalam situasi jalanan yang macet di waktu pagi tiap hari kerja.

Aku tidak pernah menyalaminya. Biasanya aku berteriak untuk memberitahunya kalau aku akan pergi. Ia merespons dengan menoleh. Aku tidak harus minta uang saku lagi darinya karena Mama sudah memberi uang saku mingguan untukku. Namun kali itu ia memberiku lagi. Jumlahnya cukup banyak. “Nih, jajan yang mahal sekalian. Jangan yang murah tapi jorok.”

Malam harinya, sepanjang perjalanan pulang aku bertekad untuk menahan kantuk sampai setelah mandi. Masih tampang judes Tante As yang menyambutku ketika aku sampai di rumah, tapi ada pizza ukuran besar di atas meja makan. Aku memandangnya sambil lewat dan berusaha untuk tidak menaruh hasrat. Aku rela seandainya ia tidak mau membaginya padaku. Aku tahu ia menyimpan berbagai nyamikan di ruangannya yang tidak akan pernah ia bawa keluar kalau bukan ia sendiri saja yang ada di rumah.

Setelah aku mandi, seperti biasa ia menyuruhku makan. Namun kali ini yang kuhadapi adalah pizza—masih di atas kardusnya. Kami duduk berseberangan lagi di meja makan. Setelah aku menaruh piring di depan dadaku, ia meletakkan sepotong pizza di sana. Aku makan dengan tangan. Ia sama saja.

“Enak?” tanyanya sambil mengunyah.

Aku mengangguk.

“Suka?”

Aku mengangguk lagi.

Ia menambahkan sepotong lagi ke piringku. “Tambah lagi.”

Ketika potongan kedua sudah hampir kuhabiskan, ia menyorong beberapa potong pizza di atas kardus ke dekatku. Ia hanya menyisakan sepotong untuk dirinya. “Aku makan cuman sedikit kok,” katanya.

Aku terus makan sampai merasa lambungku sudah tidak kuat lagi menampung. Tante As terus memperhatikanku. Ekspresinya tidak berubah. Aku jadi takut dan berusaha untuk menghabiskan dua potong lagi yang tersisa. Namun aku sudah benar-benar tidak kuat. Eneg. Aku menyerah. Aku bilang padanya, terserah ia bakal menghardikku lagi atau bagaimana.

“Kalau buat sarapan besok mau kan?”

Aku mengangguk.

“Ya udah, abisin minumannya.”

Es jeruk dalam gelas plastik—sudah sepaket dengan pizzanya. Aku menyeruput pelan-pelan supaya tidak memicu lambungku yang sudah penuh untuk mengeluarkan isinya.

Dengan sikap Tante As yang begitu, ketakutanku padanya jadi memudar. Ia bahkan mengizinkanku masuk ke ruangannya. Lebih besar dari kamarku, tapi masih lebih besar kamar orangtuaku.

Lalu aku tidak sengaja mematahkan pensil-pensilnya.

Aku tidak tahu mengapa mereka begitu berharga. Ia marah besar lagi padaku dan bilang kalau ia bakal menghukumku. Sikapnya setelah itu biasa lagi, tapi ketakutanku padanya tidak jadi sirna.

Hukumannya datang beberapa hari kemudian. Saat itu langit cerah yang mewarnai tanggal merah. Tante As menjemputku yang baru selesai les menari di RRI lalu menyeretku jalan kaki sampai Gramedia di Jalan Merdeka.

Aku berusaha untuk tidak mengeluh. Namun sesekali kakiku terantuk karena lelah. “Keluarga kita adalah pejalan kaki yang kuat!” begitu jargon Tante As ketika aku mengaduh.

Setelahnya aku tahu kalau Tante As menghukum dirinya dengan berjalan kaki sangat jauh seperti ini ketika ia merasa telah makan terlalu banyak.

            Di Gramedia, kami bertemu teman Tante As. Dan Tante As berubah jadi bukan Tante As. Sikapnya sangat ramah. Tutur katanya lembut. Senyumnya tampak tulus. Aku merinding ketika ia membelai anak dalam buaian temannya tersebut. Padahal hampir sepanjang jalan tadi ia mendumel.

Ketika kejadian serupa aku temui lagi dalam acara jalan-jalanku dengan Tante As berikutnya, dan berikutnya lagi dan seterusnya, aku menyadari bahwa ia pemain watak yang baik.

            Setelah menyadari bahwa sikap Tante As makin lunak kalau aku menurut padanya, aku juga belajar untuk menyesuaikan diri dengan apa yang disukai maupun tidak disukai Tante As. Pembawaannya memang hanya berubah drastis kalau bertemu orang yang bukan keluarganya, tapi setidaknya ia sudah tidak jahat lagi padaku. Ia suka mengajakku jalan-jalan, membelikanku pakaian kalau kebetulan ia lihat ada yang cocok benar denganku, berinisiatif mengikutkanku dalam lomba peragaan busana, mengajariku sikap yang baik di panggung (ia suka mengamati bagaimana para peragawati bergaya), mendandaniku tiap aku harus didandani (“kamu enggak bakal kayak anak-anak norak itu, Be.”), dan sebagainya. Ia tidak menganggapku sebagai anaknya. Kami lebih seperti sepasang saudari yang berkomplot melawan mama mereka—mamaku. Mama sendiri biasa saja melihat kami lama-lama jadi dekat—memang prosesnya tidak drastis juga sih.

Ketika ulang tahunku tiba, Tante As membelikanku cake dengan sebuah lilin angka tertancap di atasnya. Sampai kedua orangtuaku sama-sama mengabarkan kalau mereka tidak bisa hadir saat itu, lama kami duduk menghadap cake tersebut. Lalu Tante As bernyanyi dengan nada datar sambil bertepuk tangan pelan, “Selamat ulang tahun… Selamat ulang tahun…” …dan seterusnya. Seandainya Papa dan Mama ada di dekatku, mereka pasti sudah menyergapku dengan peluk dan cium. Tante As tidak begitu suka melakukan kontak fisik—bahkan terkesan anti.

Ketika Papa dan Mama ingin memasukkanku ke boarding school saja untuk pendidikan SMA-ku, Tante As sontak melarang.

Bahkan Tante As mulai curhat padaku. “Sebetulnya Tante enggak betah tinggal di rumah kayak gini, sama mama kamu lagi. Kalau Tante punya duit banyak, udah dari dulu Tante bikin rumah besar, ada kulkas sendiri, pakai AC. Dari sekarang kamu harus sudah ngerti, Be, cari uang itu susah! Apalagi kalau kamu kerjanya ingin independen. Ngerti enggak, independen?”

            Ilustrasi karya Tante As akhirnya diminati oleh sebuah penerbit besar. Ia sering mendapat proyek pengerjaan buku cerita anak-anak. Saat kamu melihat ilustrasi di dalam buku berseri tersebut, kamu tidak akan menyangka kalau gambar-gambar lucu dengan warna lembut di dalamnya adalah buah tangan seorang wanita berwajah jutek dan serius, tidak berminat punya anak, dan sedang kabur dari suaminya.

            Namun itu sudah lalu. Kini ia membiarkan kemesraan sang suami menghampiri dirinya lagi. Calon anak di dalam rahimnya sudah berusia lima bulan. Aku adalah calon kakak makhluk mungil tersebut. Ketika mengajaknya bicara, aku berpesan padanya, “Jadi anak yang baik ya Sayang. Mama kamu juga baik kok.”

            Aku mengikik ketika Tante As mengintipku dari balik buku besar yang sedang dilihat-lihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain