Akhirnya “pembiasaan” itu bisa
dilanjutkan di Bandung, hari ini, tepatnya di kolam milik ITB. Bukan, bukan
kolam yang ada di Taman Ganesha. Bukan pula kolam yang ada Kepulauan Indonesia
di dasarnya. Ini kolam yang ada di kompleks Sasana Olahraga Ganesha a.k.a.
SORGA atawa SAROGA. Satu kompleks juga sama Sasana Budaya Ganesha alias
SABUGA—nah, kalau yang ini hanya ada satu singkatan. Satu kompleks juga sama
hutan kota yang sempat jadi perkara selama belasan tahun, Babakan Siliwangi,
dan komunitas seni yang berkepentingan di sekitarnya, Sanggar Olah Seni. Aduh,
kok jadi menyerempet skripsi…
Saya datang ke sana sekitar pukul dua
siang bersama adik saya, Ira. Menyesal dia karena tidak bawa KTM. Sebagai umum,
sejak 1 Januari 2012 saya dikenakan biaya 12K rupiah (mulanya 8K rupiah saja) agar
boleh mencebur ke kolam renang. Sejatinya, sebagai mahasiswa ITB Ira boleh
membayar hanya 3K rupiah—hari apapun, Senin s/d Minggu. Sayang sekali, dia
tidak menemukan dompetnya hingga kami berangkat dari rumah.
Kolam renang ini dipergunakan khusus
perempuan hanya pada Kamis, pukul 13-17. Minggu, kolam renang untuk klub. Rabu
sepertinya adalah hari di mana kolam renang dibersihkan. Selebihnya, umum.
Maaf, saya tidak mencermati keterangan lain lebih lengkap.
Dari pinggir jalan, dipisahkan hutan
Babakan Siliwangi, kolam renang terlihat berada di bawah. Setelah sampai di
SAROGA, ternyata kolam renang letaknya di atas.
Setelah melewati penjaga karcis yang
bertugas menyobek lantas mencobloskan si karcis jambon, kami langsung memasuki
ruang ganti putri. Lepaskan alas kaki sebelum memasuki pintu, sebab ada kolam
kecil kan menyambut.
Setelah melewati tantangan pertama,
tantangan selanjutnya adalah mengambil keranjang kosong untuk menyimpan bawaan.
Keranjang-keranjang, baik yang menumpuk maupun tersebar, bisa ditemukan hampir
di sepanjang jalan menuju bilik-bilik. Kita akan diakrabkan dengan keramik
persegi panjang putih dalam ruangan berlantai basah ini.
Deretan wastafel, lengkap dengan cermin
masing-masing, menyambut kemudian. Belok sedikit.
Sisi kanan merupakan bilik-bilik yang
dilengkapi dengan jamban, ember, keran, gayung, cantelan, dan pintu. Sekiranya
hanya tiga bilik yang bisa digunakan. Dua di antaranya, jamban di dalamnya
sudah tidak begitu utuh. Bilik-bilik lain tampak gelap. Bahkan ada yang
pintunya lepas.
salah satu ruang bilas dan keranjang |
Sedang barisan bilik di sisi kiri berisi
shower, tempat sabun/shampo/apapun asal muat, dan tirai. Shower di beberapa
bilik tak berfungsi (tidak ada shower-nya sebetulnya, rusak begitu sepertinya).
Ada dua macam shower. Shower pertama menempel di dinding. Shower yang lain ada
kabelnya (eh, apa ya istilah yang tepat), digantung begitu, sehingga kita bisa
mengatur ketinggian shower (da
dipegang tangan) dan membawanya ke mana-mana selama masih dalam bilik. Tapi
tidak ada cantelan khusus di sini. Tas bisa digantung di keran shower sedang
pakaian bisa digantung di atas tirai.
Dari arah tangga menuju kolam renang,
turun dua cewek berbikini. Buset. Setelah mereka melewati kami, rupanya mereka
bule. Oh. Bisa dimaklumi.
Kami menaiki tangga menuju kolam renang
sambil membawa keranjang berisi alas kaki dan tas kami. Selamat datang ruang
terbuka! Sebetulnya ada tempat penitipan barang di sini. Namun pengunjung lebih
suka menaruh keranjang mereka di bangku—bangkunya panjang. Bisa dimaklumi
karena untuk menitipkan barang saja kami harus bayar 1K rupiah.
lapangan dan sabuga tampak jauh |
Berada di antara hutan dan lapangan
sepak bola yang tengah ramai, ruang terbuka ini memungkinkan bagi kami—pengguna
kolam renang—untuk terlihat oleh siapapun dari dua tempat itu. Kalau dari
lapangan, mungkin hanya kepala saja yang terlihat—itu juga kalau berdiri di luar kolam dan berada
dekat dinding pembatas. Kalau dari hutan, nah, ketika saya sedang di jembatan
dalam hutan tersebut, saya bisa lihat orang-orang yang renang di sini meski
tidak jelas.
yang di ujung kolam renang dangkal |
Ada tiga macam kolam renang di sini.
Kolam pertama berkedalaman 0,5 – 1,2 m. Kolam kedua, namanya Olympic,
berkedalaman 2 m. Kolam ketiga, dilengkapi tangga dan papan loncat,
berkedalaman 5 m. Konon kolam ini dipergunakan untuk latihan diving.
Saya dan Ira menggunakan kolam renang
yang tengah, yang paling besar, yang ada garis-garis birunya, yang ada pijakan
buat mereka yang mau lomba renang. Menelusuri panjang kolam renang ini, dengan
jumawa saya pikir saya bisa renang dari ujung ke ujung. Tapi sepertinya jauh
juga.
ini kolam renang olympic |
Jadi saya coba melintasi bagian lebarnya
dulu. Olala, belum juga sampai ujung satunya, saya sudah ngos-ngosan. Lebar
kolam ini jauh lebih panjang dari lebar kolam renang Salsabila di Jogja,
mungkin ada 1 ½ kalinya. Saya tidak tahu persisnya berapa lebar dan panjang
kolam ini dalam m. Jadi untuk melintasi bagian panjang kolam ini, hm, nanti
dulu deh he he.
Seperti biasa, renang bagi saya berarti
renang gaya katak bolak-balik bagian lebar kolam. Biasanya saya melakukan ini
selama sekitar sejam. Kalau di kolam renang Salsabila, saya ambil jeda alias
leyeh-leyeh di pinggir kolam sesekali saja. Tapi kalau di sini, hampir tiap
satu lintasan saya berhenti dulu.
kolam renang diving di ujung sana |
Renang adalah olahraga favorit saya
selain jalan kaki ketimbang lari. Saat melakukan olahraga ini, kita seolah
tidak berkeringat. Tidak terasa panas. Dan berada dalam air, mengambang, membuat
saya merasa lepas saja, meski sejenak.
Lama-lama saya sudah tidak ngos-ngosan. Ketika
leyeh-leyeh di pinggir kolam, atau mengambil nafas saat renang, saya bisa
melihat langit dengan warna kelam yang bervariasi. Pun hutan, warna tajuknya
pun bervariasi. Mendung menaungi hutan, sedang sisi lain langit masih cerah.
Tidak ada kekhawatiran untuk renang sambil hujan-hujanan, malah penasaran.
menitipkan barang kok bayar... :( |
Sesekali saya tanya jam sama Ira. Ada
jam dinding tergantung di tempat penitipan barang. Mata Ira normal, mata saya
minus tinggi dengan silindris. Setengah tiga, tiga…
Sekitar pukul tiga, saya kedinginan.
Mungkin angin. Mungkin hawa sejuk nan kering ala Bandung. Mungkin ruang
terbuka. Mungkin pakaian saya yang relatif pendek. Mungkin mau hujan. Gerimis.
Saya terpacu untuk renang lagi. Tiap berhenti
sejenak di pinggir kolam, saya merasa kedinginan lagi dan enggan untuk renang
lagi. Niat semula hendak sampai ashar, apa daya, kian tak betah. Serbuan
titik-titik hujan kian gencar pula.
“Udahan yuk,” kata saya pada Ira.
“Ya udah bolak-balik sekali lagi habis
itu udahan,” kata dia. Tak hanya gaya katak, Ira juga mahir gaya bebas—sedang
menurut saya gaya bebas itu menguras energi. Dia bisa renang lebih cepat dari
saya. Dia juga bisa gaya punggung jarak pendek. Saya juga bisa, tapi sejak
telinga saya jadi sakit saat melakukannya, saya enggak mencoba lagi.
Sayang sebetulnya 12K rupiah untuk waktu
yang tak persis sejam. Saya merindukan kolam renang macam Salsabila, mata air
surga, milik perguruan Budi Mulia di Jogja. Dengan 6K saja (belum tahu apakah
ganti tahun ganti harga juga), untuk mahasiswa manapun, saya bisa mengarungi
kolam renang indoor (biarpun tidak lebih lebar) dengan toilet atau kamar
mandi(?), ruang bilas, dan ruang ganti yang lebih bersih, serta tempat
penitipan barang yang tidak harus bayar.
menuju musola |
Dari ruang bilas, hujan terdengar makin
deras. Kami tidak bawa payung. Namun setelah kami ke luar dari ruang ganti,
pemandangan di luar sudah tidak dihiasi desingan peluru air lagi (lah,
bahasanya…). Karena uang di dompet saya tidak mencukupi untuk ongkos pulang,
selepas solat ashar di musola SAROGA kami mencari ATM Mandiri.
gerobak merah penjual donat |
Meski demikian, masih cukup uang untuk
kami berdua mencicipi Donat Polandia. Kata Ira, donat ini produksi anak SBM
(Sekolah Banyak Mobil) ITB yang dititipkan pada orang lain untuk dijualin.
Biasanya gerobak donat ini mejeng pas di seberang gerbang belakang ITB—yang
berseberangan dengan SABUGA. Namun petang ini, posisi gerobak bergeser jadi
persis di jalan menuju SABUGA.
donat polandia isi cokelat |
Dengan harga 2K rupiah, yang kita
dapatkan adalah sebuah donat yang tidak berlubang di tengahnya. “Ini mah kayak
dorayaki,” kata saya. Bentuk donat ini seperti dua kubah cokelat yang
ditangkupkan hingga mengapit pasta cokelat yang rasanya mirip Coki-Coki. Selain
cokelat, tersedia pula blueberry, strawberry, dan original alias tidak donatnya
hungkul. “Tapi mending beli yang ada
isinya aja, da harganya sama,” kata
Ira.
Konon donat ini ber-crispy, “enak
banget”, setidaknya begitu yang Ira bilang saat pertama kali menceritakan donat
ini pada saya. Tapi saat saya memakannya, ternyata tidak juga tuh. Kata Ira,
crispy-nya kerasa kalau donat masih panas, sementara donat di tangan kami sudah
agak dingin. Kata dia lagi, donat ini enak banget. “Dua ribu aja udah kenyang.”
“Lebih enak lagi kalau harganya cuman
seribu.”
“Iya sih.”
Saya penasaran apakah donat ini
benar-benar berasal dari Polandia. Ternyata begini lo, Jeng, katanya, dan begini juga... Ih ternyata ya ternyata...
Untung juga kami meninggalkan kolam
renang lebih cepat. Sudah sekitar pukul setengah lima saat kami sampai di KFC
Dago. Lewat pukul lima, lewat pula kesempatan kami untuk bisa beli paket
Attack. Zaman sekarang, harganya sudah ceban. Zaman saya SMA, saya biasa
menghabiskan Jumat siang dan goceng di KFC Jalan Merdeka untuk paket ini—belum
termasuk es kon untuk dimasukkan dalam minuman bersoda, pura-puranya es flot.
Namun kami bisa mendapatkan makanan
seharga dua kali ceban itu dengan gratis. Sebenarnya nombok 5,5K rupiah untuk
sup tapi itu sekalian ngerecehin uang. Sebelum kami berangkat dari rumah, Papa
memberi kami beberapa lembar voucher seharga ceban dari KFC. Setelah lama
ngidam ayam ala KFC atau McD, akhirnya tersampaikan juga… Alhamdulillah. Dan
untuk sementara waktu saya tidak mau makan itu lagi. Belum habis saja, saya
sudah eneg.
Jadi ingat, dulu saya pernah ditraktir
makan serupa di McD Malioboro oleh mbak-mbak baru dikenal yang ternyata SMA-nya
sama dengan saya. Namun saya tidak menghabiskannya karena alasan yang sama.
Pulanglah kami ke rumah dengan menaiki
Kalapa – Dago. Sejak siang hingga petang, jalanan di Kota Bandung, sebut saja
Jalan Aceh, Jalan Belitung (depan mantan sekolah), hingga Jalan Ir. H. Juanda
a.k.a. Dago, nyaris penuh dijejali mobil.
Saya baca di dinding YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi), seseorang bilang kalau rasio angkutan
publik dengan kendaraan pribadi itu harusnya 40%:60% (mestinya dibalik nih),
sedang kenyataannya di kota ini adalah 20%:80%. Di kota manapun, saya termasuk
yang 20%.
Ketika saya tidak bisa membantu orang
lain karena keterbatasan saya dalam mengendalikan kendaraan bermotor—boro-boro
kendaraan pribadi, pas ada saja saya lepas—saya merasa egois. Namun dalam situasi
ini, dalam kenyataan bahwa semakin sedikit udara bersih yang bisa kita hirup,
saya merasa bangga—saya altruis! Tapi ini tidak usah dibahas lebih lanjut
karena sebetulnya bukan hanya itu faktor saya belum bisa mengendarai motor
atawa mobil hingga kini. Pis! (=_=)V
Meski demikian, adik saya berpikir kalau
bisa mengendarai mobil itu penting supaya bisa mengantar Mama dan Papa… Itu
sebabnya kami mampir ke BUANA BARU (nama kursus mobil di Bandung) di Jalan
Gumuruh sebelum menuju SAROGA tadi siang. 50K rupiah/jam. Wew.
Sampai di Jalan Tamblong, dengan asumsi
kalau lanjut naik ST. Hall – Gede Bage di sekitar sini kami bakal ketemu
gelombang mobil di Jalan Naripan, Jalan Veteran, dan seterusnya, kami laju
terus sampai daerah Kalapa. Di Jalan Pungkur, kami menaiki Caheum – Kalapa.
Jadi itulah rute-rute angkot menuju rumah saya, teman-teman.
@kucinggggalau |
pelangi pelangi alangkah indahmu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar