Pagi menjelang
siang. Saya bersiap untuk mengurus skripsi saya lagi. Saya memilih sebuah
cakram yang menyimpan lagu-lagu dari Rumah Sakit—band indie Indonesia era
90-an—untuk menemani saya.
harmonika yang sudah lama tak kukecup |
Di cakram itu,
tersimpan pula lagu-lagu yang memuat permainan harmonika. Saya mengumpulkan
lagu-lagu tersebut saat lagi keranjingan harmonika. Salah satu lagu yang
terkumpul mengombinasikan permainan harmonika dengan beatbox.
Mendengar
dentuman-dentuman yang dicipta mulut, seketika ingatan saya melayang pada
kenangan saat saya jadi sukarelawan dalam salah satu acara pendamping Biennale
Jogja XI, yaitu Family Day, 11 Desember 2011 lalu. Tugas saya waktu itu adalah
mengurus bahan dan peralatan masak yang digunakan selama lomba memasak makanan
India.
Ada tiga sesi dalam
lomba. Jeda pergantian sesi dua dengan sesi berikutnya diisi oleh pertunjukan
beatbox. Namun ini bukan beatbox biasa. Tiga pemuda mula-mula tampil untuk
mengkreasikan permainan mulut. Di antara mereka ada yang tuna rungu.
Selanjutnya, lebih banyak anak muda tampil. Kebanyakan mereka adalah laki-laki.
Jumlah semuanya tidak sampai belasan, saya kira. Semuanya tuna rungu. Dengan
mengandalkan dentuman yang teraba jantung, mereka menemukan irama yang memandu
mereka dalam menampilkan koreografi. Tidak hanya tubuh yang bergoyang, gerakan
tangan mereka juga merangkai lirik-lirik yang hanya bisa dimengerti kalangan
tertentu. Bahasa isyarat, ya.
Dari belakang
panggung, saya melihat wajah-wajah terpana yang menyaksikan pertunjukan luar
biasa… yang memang hanya bisa saya saksikan dari belakang itu…
Sesudahnya, seorang
pria—katakanlah om pendamping—naik ke panggung juga. Dia menjelaskan bahwa
ketika kita, audiens, bertepuk tangan—semeriah apapun—itu tidak begitu berarti
bagi mereka. Ia memberitahu kami bagaimana cara yang lebih tepat dalam
mengapresiasi mereka. Saya lupa bagaimana, maaf, he he.
Tapi tidak hanya itu
yang ia sampaikan pada kami. Ia menjelaskan apa yang sebenarnya para penampil
kita tadi sampaikan melalui gerakan-gerakan mereka—gerakan tangan terutama.
Kami diberitahu bagaimana cara menyampaikan cinta kami pada mereka. Ini yang
paling saya ingat. Kepalkan jari, lalu berdirikan kelingking serta telunjuk dan
jempol. Tanda metal? Ya—bukan. Ini artinya “I Love You”. Kelingking
merefleksikan “I”—“Aku”—sedang telunjuk dan jempol membentuk “L” dari “Love”.
“U” alias “You”—“Kamu” dibentuk kelingking dan telunjuk. Begitulah interpretasi
sok tahu saya, disebabkan daya ingat saya yang terbatas.
Kalau tidak salah
pula, beberapa hari atau minggu setelah acara tersebut, mereka tampil lagi di Taman Budaya Yogyakarta.
Setelah kenangan
itu, saya membayangkan jika dunia saya menjadi sunyi. Yang Cinta AADC katakan
jadi semata dusta. Saya sudah ke pasar, tapi tidak hingar bingar. Saya sudah
pecahkan gelas, tapi tidak ramai. Mengapa saya harus belajar menari dengan
diiringi beatbox agar orang-orang tertarik pada apa yang ingin saya sampaikan?
Memangnya mereka mengerti gerakan-gerakan tangan saya? Mengapa mereka harus
memerhatikan saya?
Renungkan saja. Betapa
komunikasi lisan begitu berarti bagi kehidupan kita. Betapa kita kangen
mendengar candaan teman-teman kita. Betapa kita tenteram kala mendengar orang
mengaji. Betapa kita seolah tiada energi kalau tidak mendengarkan musik sama
sekali barang sehari saja.
Siang. Cakram yang
sama memperdengarkan lagu “Beautiful” dari Belle Sebastian—band indie
Skotlandia. Lagu ini adalah tentang Lisa yang karena suatu hal akan menjadi
buta. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk mengubah itu, terepresentasikan
dalam penggalan, “They let Lisa go blind.”
Sang pendendang kemudian menuturkan proses yang dialami Lisa dalam menghadapi
situasi tersebut.
Saya seperti
mendengar Lisa berkata,
Orang-orang bilang aku cantik, tapi aku tidak bisa melihatnya
Meski aku sudah minta dihadapkan pada kaca,
namun tetap yang kulihat, kelam
Renungkan saja.
Bagaimana mata telah membukakan sebegitu luasnya dunia pada kita. Bagaimana
menyapukannya pada kata-kata lantas memaknainya telah jadi kebutuhan yang tidak
bisa dilepaskan. Bagaimana sosok aktor dan aktris dalam layar melarikan kita
dari kebosanan akan kehidupan biasa. Bagaimana seulas senyum dapat menampakkan
artinya, bahkan menjadi sedekah, melalui mata.
Bagaimana jika
hidupmu tanpa itu?
Apa kamu rela
potensi dirimu yang besar itu tersia-siakan hanya karena satu saja indramu tak
berfungsi?
Apa kamu akan
biarkan nila setitik merusak susu sebelanga?
Tidakkah potensi
bagai susu, bagi mereka yang suka susu?
Daripada tertohok
sendiri, mending bagi-bagi. Barangkali ada di antara kamu yang lebih bisa menyatakan
peduli?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar