Kamu tuh kayak enggak pake celana.
Apa?
Deka melirik kekasihnya
sebentar sebelum bola matanya meluncur ke arah lain. Tadi pas di angkot. Dari tempat aku duduk, kamu kelihatannya kayak
enggak pakai celana.
Angkot nan padat, penumpang
lain hanya menyisakan sedikit ruang untuk pantat. Itu pun tidak di seberang
kekasih tepat. Lain kali Deka akan bawa mobil sendiri saja.
Raina sadar bahwa Deka telah
bicara dengan nada hati-hati. Namun tatapan gadis itu tetap menajam. Kamu sendiri diem-diem ngeliatin kan…
Deka diam.
Tangan kamu juga dikit-dikit ke situ.
Deka menyanggah. Dia tidak
melakukannya. Dia tidak melakukannya lagi setelah mereka keluar dari ruang
bioskop. Tangannya tidak ke mana-mana saat mereka sudah di angkot, selain
terlipat erat di dada, sementara mata mengawasi kekasih—mengedarkan pandang
pada penumpang lain kalau-kalau ada yang…—dengan tak terima.
Ya iyalah. Ya
iya Deka tidak melakukannya lagi. Soalnya
kamu kan enggak dapat tempat duduk di sebelah aku!
Deka berdecak. Itu tidak
benar. Keluar dari ruang bioskop, dia berupaya keras untuk tidak melihat ke
bawah—apalagi bagian bawah kekasihnya.
Mereka saling bungkam untuk
beberapa lama.
Raina menyukai tungkai
kakinya nan jenjang, putih mulus tanpa koreng sebercak pun, tanpa rambut
sehelai pun, tanpa selulit segaris pun, serta tanpa hitam senoktah pun pada
tempurung lutut. Dia tahu kekasihnya suka. Tentu orang lain juga.
Tapi lancang sekali Deka
bilang dirinya bak tak bercelana. Tentu saja dia pakai, meski nyaris tertutup
blus yang panjangnya melebihi panggul. Gadis gaul manapun akan memakai padanan
seperti itu di era kini kalau lagi ingin.
Sepintas memindai pesan-pesan
di ponselnya, Raina membaca…
HIJAB CLASS…
Beberapa temannya telah
mendaftar. Konon variasi hijab bakal memperindah mereka.
Dia tidak mau berhijab, kalau
sekadar untuk memadamkan bara di hati Deka.
.
Raina dan Deka tidak berjumpa
untuk beberapa minggu. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka hanya tidak
selalu punya waktu untuk dihabiskan berdua, meski hanya untuk jalan ke mal
dengan angkot seperti sebelumnya.
Namun Deka tidak mau lagi
naik angkot.
Malam di akhir pekan, dia
membawa mobilnya menuju rumah Raina. Akhirnya mereka punya waktu lagi untuk
momen penunjang hubungan.
Tadinya Deka hendak menunggu
di dalam mobil. Tukar pesan beberapa kali dengan Raina memberitahunya bahwa
sang cewek ribet dandan seperti biasa. Mau tak mau Deka turun dari mobil, pasti
bersua calon mertua, karena akan lebih baik kalau menanti di ruang tamu saja.
Iya… Bentar lagi keluar…
Itu sms Raina yang baru Deka
baca sambil jalan ke pagar. Belum sampai tujuan, ketika mengangkat kepala,
ketika itu juga dia terkesima. Dia melihat wajah Raina, tapi tidak dalam
penampilan Raina yang biasa. Pashmina melilit kepalanya hingga menjuntai ke
dada. Blusnya berwarna senada dengan corak pashmina yang ramai, namun
potongannya membuat gadis itu terkesan kalem.
Raina tidak membiarkan Deka
terperangah lama-lama. Bahkan ketika Deka hendak pamit pada orangtuanya pun,
gerak-gerik gadis itu ingin agar prosesi disegerakan. Ribet, seperti biasa.
Di dalam mobil, sepanjang
perjalanan, Deka menanti Raina sedikit-sedikit mencari cermin untuk memperbaiki
penampilannya. Ketika sampai tujuan, Deka melihat cermin hanya untuk memastikan
apakah gadis itu juga sedang mengamati pantulan bayangan dari objek yang sama.
Hanya itu yang memercikkan
kesenangan bagi Deka, selain ocehan ceria Raina mengenai remeh-temeh yang
menimpanya selama mereka tak berjumpa.
.
Sebelum Raina turun dari
mobil lalu membuka pagar rumahnya, Deka mengaku.
Aku jadi enggak berani nyentuh kamu.
Sepanjang tadi, setiap kali
tangan mereka hendak bersentuhan, entah mengapa Deka refleks menarik tangannya.
Padahal Raina biasa saja. Tangannya memang biasa digenggam Deka setiap mereka
jalan.
Kamu belum biasa sih liat aku pake hijab. Raina tersenyum. Padahal di kafe tadi dia sudah
cerita panjang lebar mengenai mula dia berhijab. Setelah sekian lama, akhirnya
dia berhenti berpikir untuk menggunakan hijab, dan mulai melakukan sesuatu.
Kamu kepikiran buat ngehijabin hati kamu juga?
Jawabannya muncul setelah
jeda lama.
Insya Allah.
Senyum yang sempat hilang itu
muncul lagi.
Lanjutnya, aku lebih suka… kamu jaga jarak sama aku
karena aku pake hijab, ketimbang gara-gara pakaian aku terbuka.
.
Air mata Raina merebak
setibanya gadis itu di kamar. Apalagi ketika dia mendengar mobil Deka menyala
lagi lalu lamat-lamat menjauh. Dia disergap perasaan hubungannya dengan Deka
tidak akan bertahan lebih lama.
Tentu saja dia tidak
mengungkapkan itu saat Deka meneleponnya sekitar sejam kemudian. Hanya ucapan
selamat tidur biasa, yang biasa pula untuk melebar ke berbagai ucapan lainnya,
dengan suara rendah kadang meninggi—kalau Raina kelepasan memekik atau Deka tak
tahan untuk tak tergelak. Suara akan kembali merendah untuk ucapan selamat
tidur yang serius, atau ucapan lain sesudahnya.
Na, aku pingin bisa jadi orang yang lebih baik.
…aamiin…
…tapi… aku pinginnya… bukan karena kamu…
Raina mendengar debaran di
dadanya dengan lebih jelas.
Deka menggantung kalimat,
Raina menarik gantungan tersebut.
….terus karena siapa?
Mungkin sama kayak alasan kenapa kamu pingin pake
hijab.
Raina sangat menanti
kelanjutannya.
Em… Mungkin pertama-pertama… yang bakal aku lakuin
adalah… menjaga hijab kamu. Termasuk hijab di hati kamu.
Raina sudah berhenti berpikir
untuk menggunakan hijab. Dia mulai melakukan sesuatu. Dan itu membuatnya
memahami.
22-24 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar