Selasa, 24 Januari 2012

Hijab

Kamu tuh kayak enggak pake celana.

Apa?

Deka melirik kekasihnya sebentar sebelum bola matanya meluncur ke arah lain. Tadi pas di angkot. Dari tempat aku duduk, kamu kelihatannya kayak enggak pakai celana.

Angkot nan padat, penumpang lain hanya menyisakan sedikit ruang untuk pantat. Itu pun tidak di seberang kekasih tepat. Lain kali Deka akan bawa mobil sendiri saja.

Raina sadar bahwa Deka telah bicara dengan nada hati-hati. Namun tatapan gadis itu tetap menajam. Kamu sendiri diem-diem ngeliatin kan…

Deka diam.

Tangan kamu juga dikit-dikit ke situ.

Deka menyanggah. Dia tidak melakukannya. Dia tidak melakukannya lagi setelah mereka keluar dari ruang bioskop. Tangannya tidak ke mana-mana saat mereka sudah di angkot, selain terlipat erat di dada, sementara mata mengawasi kekasih—mengedarkan pandang pada penumpang lain kalau-kalau ada yang…—dengan tak terima.

Ya iyalah. Ya iya Deka tidak melakukannya lagi. Soalnya kamu kan enggak dapat tempat duduk di sebelah aku!

Deka berdecak. Itu tidak benar. Keluar dari ruang bioskop, dia berupaya keras untuk tidak melihat ke bawah—apalagi bagian bawah kekasihnya.

Mereka saling bungkam untuk beberapa lama.

Raina menyukai tungkai kakinya nan jenjang, putih mulus tanpa koreng sebercak pun, tanpa rambut sehelai pun, tanpa selulit segaris pun, serta tanpa hitam senoktah pun pada tempurung lutut. Dia tahu kekasihnya suka. Tentu orang lain juga.

Tapi lancang sekali Deka bilang dirinya bak tak bercelana. Tentu saja dia pakai, meski nyaris tertutup blus yang panjangnya melebihi panggul. Gadis gaul manapun akan memakai padanan seperti itu di era kini kalau lagi ingin.

Sepintas memindai pesan-pesan di ponselnya, Raina membaca…

HIJAB CLASS…

Beberapa temannya telah mendaftar. Konon variasi hijab bakal memperindah mereka.

Dia tidak mau berhijab, kalau sekadar untuk memadamkan bara di hati Deka.

.              

Raina dan Deka tidak berjumpa untuk beberapa minggu. Hubungan mereka baik-baik saja. Mereka hanya tidak selalu punya waktu untuk dihabiskan berdua, meski hanya untuk jalan ke mal dengan angkot seperti sebelumnya.

Namun Deka tidak mau lagi naik angkot.

Malam di akhir pekan, dia membawa mobilnya menuju rumah Raina. Akhirnya mereka punya waktu lagi untuk momen penunjang hubungan.

Tadinya Deka hendak menunggu di dalam mobil. Tukar pesan beberapa kali dengan Raina memberitahunya bahwa sang cewek ribet dandan seperti biasa. Mau tak mau Deka turun dari mobil, pasti bersua calon mertua, karena akan lebih baik kalau menanti di ruang tamu saja.

Iya… Bentar lagi keluar…

Itu sms Raina yang baru Deka baca sambil jalan ke pagar. Belum sampai tujuan, ketika mengangkat kepala, ketika itu juga dia terkesima. Dia melihat wajah Raina, tapi tidak dalam penampilan Raina yang biasa. Pashmina melilit kepalanya hingga menjuntai ke dada. Blusnya berwarna senada dengan corak pashmina yang ramai, namun potongannya membuat gadis itu terkesan kalem.

Raina tidak membiarkan Deka terperangah lama-lama. Bahkan ketika Deka hendak pamit pada orangtuanya pun, gerak-gerik gadis itu ingin agar prosesi disegerakan. Ribet, seperti biasa.

Di dalam mobil, sepanjang perjalanan, Deka menanti Raina sedikit-sedikit mencari cermin untuk memperbaiki penampilannya. Ketika sampai tujuan, Deka melihat cermin hanya untuk memastikan apakah gadis itu juga sedang mengamati pantulan bayangan dari objek yang sama.

Hanya itu yang memercikkan kesenangan bagi Deka, selain ocehan ceria Raina mengenai remeh-temeh yang menimpanya selama mereka tak berjumpa.

.

Sebelum Raina turun dari mobil lalu membuka pagar rumahnya, Deka mengaku.

Aku jadi enggak berani nyentuh kamu.

Sepanjang tadi, setiap kali tangan mereka hendak bersentuhan, entah mengapa Deka refleks menarik tangannya. Padahal Raina biasa saja. Tangannya memang biasa digenggam Deka setiap mereka jalan.

Kamu belum biasa sih liat aku pake hijab. Raina tersenyum. Padahal di kafe tadi dia sudah cerita panjang lebar mengenai mula dia berhijab. Setelah sekian lama, akhirnya dia berhenti berpikir untuk menggunakan hijab, dan mulai melakukan sesuatu.

Kamu kepikiran buat ngehijabin hati kamu juga?

Jawabannya muncul setelah jeda lama.

Insya Allah.

Senyum yang sempat hilang itu muncul lagi.

Lanjutnya, aku lebih suka… kamu jaga jarak sama aku karena aku pake hijab, ketimbang gara-gara pakaian aku terbuka.

.

Air mata Raina merebak setibanya gadis itu di kamar. Apalagi ketika dia mendengar mobil Deka menyala lagi lalu lamat-lamat menjauh. Dia disergap perasaan hubungannya dengan Deka tidak akan bertahan lebih lama.

Tentu saja dia tidak mengungkapkan itu saat Deka meneleponnya sekitar sejam kemudian. Hanya ucapan selamat tidur biasa, yang biasa pula untuk melebar ke berbagai ucapan lainnya, dengan suara rendah kadang meninggi—kalau Raina kelepasan memekik atau Deka tak tahan untuk tak tergelak. Suara akan kembali merendah untuk ucapan selamat tidur yang serius, atau ucapan lain sesudahnya.

Na, aku pingin bisa jadi orang yang lebih baik.

…aamiin…

…tapi… aku pinginnya… bukan karena kamu…

Raina mendengar debaran di dadanya dengan lebih jelas.

Deka menggantung kalimat, Raina menarik gantungan tersebut.

….terus karena siapa?

Mungkin sama kayak alasan kenapa kamu pingin pake hijab.

Raina sangat menanti kelanjutannya.

Em… Mungkin pertama-pertama… yang bakal aku lakuin adalah… menjaga hijab kamu. Termasuk hijab di hati kamu.

Raina sudah berhenti berpikir untuk menggunakan hijab. Dia mulai melakukan sesuatu. Dan itu membuatnya memahami.

 

22-24 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain