Semula rencana rute kami adalah Museum
Geologi – Museum Pos – Taman Lansia – Masjid Istiqamah – Timbel Istiqamah –
Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung. Mari ikuti kebersamaan kami
dan ketahuilah bahwa ada perubahan pada rencana tersebut, yeah!
Dikenali
mang angkot
Saya dan Juhe janjian ketemu di sekitar
Gedung Sate (di mana di sekitarnya terdapat tiga tujuan pertama kami) pukul
sembilan. Karena Juhe ketinggalan bis, pun saya telat bangun, maka kami baru
bersua sekitar pukul sepuluh seperempat.
tampak belakang mang angkot |
Angkot pertama yang saya naiki dari
dekat rumah adalah jurusan 01. Ada yang ngetem di seberang jalan, saya masuki
saja. Belum ada seorang penumpang pun. Begitu saya duduk, mang angkot bertanya
pada saya. Yang saya dengar secara jelas hanya kata “sekolah”. Saya menyanggah.
Saya bilang saya mau jalan-jalan. Saya mau ke Jalan Supratman.
Setelah menyebut “Jalan Pahlawan”, saya
ngeh kalau rupanya mang angkot ingat saya sering naik angkotnya saat saya masih
SMP. Letak SMP saya kan di Jalan Pahlawan. “Meni
masih inget atuh Mang, kan udah
bertahun-tahun lalu,” kata saya.
“Ya iya, da sering liat.”
Hebat nian mang angkot ini. Namun
setelah kami mengarungi Jembatan Kiaracondong, saya disuruh pindah ke angkot
lain.
Demo
Hizbut Tahrir
Saya melanjutkan perjalanan dengan
menaiki angkot jurusan 09. Angkot ini berwarna cokelat dan bolak-balik Caheum –
Ciwastra. Sopirnya seorang tambun putih sipit berambut lurus panjang. Begitu
hendak memasuki Jalan Diponegoro, di depan Pusdai nan ramai pedagang Jumatan,
angkot memutar. Setelah mendekati Gedung Sate, barulah saya tahu kalau halaman
Gedung Sate tengah ramai. Dari kejauhan, saya sudah bisa mendengar ada yang
berkoar, “…penguasa itu laknat!” atau kalimat lain semacam itu.
Saya langsung menyeberang jalan. Gedung
Sate berseberangan dengan Gasibu. Gasibu adalah sebuah lapangan bundar besar
yang biasa digunakan untuk berolahraga maupun berjualan. Biasanya Gasibu ramai
pedagang saat ada event atau tiap Minggu pagi—semacam Sunday Morning di Jogja.
Para pedagang asongan, maupun
orang-orang yang tak terlihat bak pedagang asongan tapi sama penasaran, duduk
di tangga Gasibu. Mereka mengamati demonstrasi dari sana. Saya bergabung dengan
mereka sejenak.
gedung sate. satu tusuk harganya 6 juta gulden. |
Demonstrasi yang bagus menurut saya.
Bukan karena isi orasinya, melainkan lebih karena ketertibannya. Polisi berjaga
di kedua sisi barisan demonstran. Perempuan dan laki-laki berbaris rapi dalam
dua kubu yang dipisahkan sebuah mobil pick up. Di mobil pick up itulah berdiri
pria-pria berpakaian rapi. Merekalah sumber keramaian. Setelah munculnya
seorang ustadz di tengah mereka, saya meninggalkan mereka. Kasihan lihat anak-anak diajak ikut demo, bukannya saat itu masih jam sekolah...
Area
misterius
Tadinya saya mau mengelilingi Gasibu
sekaligus bernostalgia. Waktu SD, beberapa kali guru Olahraga saya mengajak
murid-muridnya ke mari. Namun area di sebelah kiri Gasibu, dari arah Gedung
Sate, lebih menarik perhatian saya.
tidak jelas apa ini fungsinya |
Area milik pemprov Jabar itu luasnya
sekitar 1,8 atau 1,9 ha. Sekelilingnya
dipagari. Bagian tengahnya berupa danau yang dari kejauhan berwarna hijau. Tepi
danau berupa lahan terbuka berisi tanah, rumput, gerombolan pohon di satu
sudut, tumpukan ban di sudut lain, sampah, bangunan kecil tak jelas, dan
manusia. Ada sepasang manusia yang sepertinya sedang memancing, seorang manusia
yang jelas-jelas sedang mandi dan kiranya tak berpakaian sehelai pun, serta
manusia-manusia lain yang tak jelas sedang ngapain. Area ini adalah sebuah
misteri yang patut disyukuri karena belum tertutup bangunan.
Yang menakjubkan, setelah dicermati,
solokan di pinggir area ini berisi banyak ikan kecil berwarna hitan. Konon
mereka dinamai inpun.
Museum
Geologi
Saya bertemu Juhe di tepat di tengah
pelataran Gasibu. Beberapa minggu lalu, lengan kirinya Juhe dioperasi karena
kista ganglion (benar cara menuliskannya?). Karena masih menyebabkan bengkak,
Juhe menggantung lengannya.
Diiringi musik kolosal dari arah
gelombang massa, kami pun menuju Museum Geologi. Bangunan tersebut berada tidak
tepat di seberang Taman Lansia, tapi tepat di Jalan Diponegoro yang diteduhi
pepohonan rindang di sepanjang dua ruas jalan. Setelah kami susuri sampai
ujung, tidak ada satupun gerbang yang terbuka. Pintu museum pun tertutup. Kami
kembali ke gerbang yang ada penjaganya. Kami berselisih jalan dengan rombongan
Hizbut Tahrir yang sudah kelar dengan aksi mereka.
Seorang penjaga tengah mengamati arus
demonstran tersebut. Bertanyalah kami padanya sehingga kami mengetahui bahwa
kami bisa menjumpai rangka dinosaurus di dalam museum tiap hari, kecuali hari
di mana ada Jumatan. Senin hingga Kamis, museum dibuka pukul 8 – 16, sedang
untuk Sabtu dan Minggu adalah pukul 8 – 14.
Museum
Pos
Sepulang sekolah saat kelas 4 SD, saya
dan teman suka mengunjungi Taman Lansia meski hanya bagian luarnya. Saat itu
ada seorang mas-mas berambut lurus panjang yang berjualan perangko dalam kios.
Sejak tempat jualan pindah ke mobil, saya tidak pernah beli perangko lagi untuk
koleksi karena memang sudah tidak minat.
selamat datang dan selamat keluar! |
Museum Pos terletak di samping kantor
pos. Keduanya satu kompleks dengan Gedung Sate. Masih, saat dunia saya sedang
dekat dengan benda-benda pos, saya rajin mengunjungi Museum Pos sepulang
sekolah. Mulanya, teman-teman saya ke sana dan pulang mendapat notes. Saya juga
ingin. Tapi tiap kali ke sana, saya tidak mendapatkan apa-apa. Ini adalah
sebuah pelajaran.
Sekarang, yang bisa kita ambil dari
museum ini adalah berbagai macam brosur atau leaflet—semacam itu, foto (asal
bawa kamera), dan pelajaran bagi mereka yang berpikir.
salah satu deretan koleksi perangko |
Museum ini berisi berbagai benda pos.
Sebut saja, berbagai varian bis surat, atau penampung bentuk kiriman lainnya,
berdasarkan zaman dan kegunaan. Pusaka zadul berupa mesin hitung, mesin ketik,
alat timbang, alat cap, hingga perkembangan mode pakaian pengantar pos jelas
tersedia. Ada pula deretan panjang beberapa tipe lemari untuk memamerkan
koleksi perangko dari berbagai negara dan berbagai seri. O tentu ini referensi
berharga bagi para kolektor.
Pada mulanya, biaya pos dikenakan pada
penerima kiriman. Suatu kali seorang gadis tidak mau membayar biaya pengiriman
surat dari kekasihnya dengan alasan tidak punya uang. Rupanya tanpa membuka
surat, gadis tersebut sudah bisa mengetahui isi surat melalu kode-kode yang
hanya bisa dipahami ia dan kekasihnya. Dinas pos pun merugi. Adalah Sir Rowland
Hill yang mencetuskan gagasan mengenai perangko.
Proses pembuatan perangko melibatkan
pelukis yang mula-mula menciptkan desain perangko dalam ukuran besar. Desain tersebut
kemudian dimasukkan dalam mesin dan dicetak. Haha. Maklum, gambar-gambar yang
menunjukkan proses pembuatan perangko sudah buram, tidak dilengkapi keterangan,
bahkan nomor urut gambar sekalipun!
Selain itu, ada pula koleksi yang tidak
diberi keterangan sama sekali. Pengunjung jadi tidak mengetahui apa fungsi
benda-benda yang dipajang ini. Beberapa aktivitas pos, seperti serah terima
kiriman, diperagakan oleh patung-patung dengan wig yang bikin muka mengernyit.
Pos pernah sangat berjaya. Pos adalah
komunikasi tercanggih pada suatu masa. Saking vitalnya peran komunikasi, sekian
nyawa melayang demi pembangunan Jalan Pos Raya dari Anyer sampai Panarukan.
Kendaraan pos bukan hanya sepeda onthel, tapi juga kereta, speedboat, bahkan
kapal khusus untuk keperluan tersebut.
the story of mas soeharto |
Museum ini pun pernah sangat terkenal.
Ada beberapa rak yang khusus untuk memuat kenang-kenangan dari berbagai sekolah
yang pernah berkunjung ke mari. Tegal, Cirebon, Yog yakarta… semua pernah
mampir dan diamati siswa-siswi dari berbagai daerah tersebut dengan tak sabar
karena ingin cepat-cepat belanja ke Cihampelas.
Memaklumi pos sebagai salah satu mata
rantai perkembangan komunikasi, memaklumi pula jika bentuk komunikasi ini kini
tergerus oleh bentuk-bentuk lain yang lebih wew. Mungkin beberapa puluh tahun
lagi akan berdiri pula Museum Facebook atau Museum Twitter. Tapi apa yang mau
dimuseumkan ya? Kan semua ada dalam komputer… Oh ya, museum on line tentu saja.
Cukup jemari saja yang jalan-jalan di atas kibor. Bulu-bulu hidung pun tak usah
siaga menyambut debu.
Museum Pos menggunakan sistem satu
pintu. Artinya, pengunjung masuk dan keluar dari pintu yang sama.
Taman
Lansia
berisi dan bergizi. sizi. |
Sudah pukul sebelas waktu itu. Saya
sarapan hanya beberapa lembar roti. Kami sepakat makan nasi tim ayam SIZI. Saya
belum pernah menemukan tenda hijau dengan tulisan yang memiliki font khas
“SIZI” di kota lain jadi saya kira SIZI khas Bandung. Saya sudah mengonsumsinya
sejak SD.
Nasi tim ayam ini berupa setangkup nasi
dengan suir-suir cokelat ayam plus seiris telur di puncaknya. Dilengkapi
semangkok kecil kuah bening berhiaskan serpihan seledri, nasi ini disajikan
dalam wadah khusus. Harganya 9K rupiah. Dengan jeruk hangat seharga 5K rupiah,
terasa pentingnya membawa botol minum sendiri dari rumah.
Diskusi intens saya dengan Juhe dimulai
sambil makan. Hal seperti ini sejatinya menakjubkan karena melebarkan
cakrawala, apalagi dengan orang seperti Juhe.
mana kotaknya? |
Dan Taman Lansia adalah tempat yang
bagus, sebetulnya, untuk melanjutkan diskusi. Menurut Perda Kota Bandung no. 25
tahun 2009 tentang Hutan Kota, taman ini tergolong hutan kota.Hampir seluruh
permukaan taman tertutupi rimbunnya tajun. Bagian tengah taman dibelah kali
berwarna putih, hijau pucat, dan sampah. Fasilitas yang tersedia di sini antara
lain toilet, bangku, dan tempat sampah yang tidak selalu mudah ditemukan.
Beberapa titik hamparan rumput mengundang pula untuk diduduki. Dan taman ini
begitu kondusif bagi para pria yang bolos Jumatan.
kata juhe, kalau ada angin benda ini terbang |
Sayangnya, kenyamanan taman ini terusik
dengan kehadiran orang-orang yang mencurigakan. Memang belum tentu orang
tersebut akan mengapa-apakan kita, namun penampakkannya membuat kita kadung
waspada. Semoga kamu paham maksud saya.
Saya pun pernah kena. Suatu kali saya
duduk sendiri. Saya merasakan seorang pria duduk di tanah di belakang saya.
Lalu dia bicara mengenai fakir miskin yang tak kunjung disantuni, padahal
sedang Ramadhan, dan ujungnya dia mengatakan Nabi Muhammad itu pembohong. Saya
kabur.
Perpustakaan
Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung
Informasi mengenai perpustakaan
paguyuban ini saya dapatkan ketika saya sedang menambah bahan dari internet. Di
sini konon ada sebuah laporan mengenai Babakan Siliwangi dari segi politik dan
kebudayaan yang dihasilkan oleh Sanggar Olah Seni. Perpustakaan ini satu
kompleks dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat yang terletak di
Jalan R. E. Martadinata a.k.a. Jalan Riau, nomornya 209.
ini perpustakaannyaa... |
Tidak sesuai dengan bayangan saya,
perpustakaan yang dimaksud adalah ruangan berukuran sekitar 3 x 3 m atau lebih,
pokoknya kotak, dalam bangunan art deco. Apa ya art deco itu? Mas penjaga
ruangan ini yang bilang begitu. Dia berkulit terang, berbadan tinggi besar, dan
menjawab “assalamualaikum” ketika menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya.
Saya bilang saya mau cari laporan
penelitian tentang Babakan Siliwangi. Selama dia mencari, saya dan Juhe
melihat-lihat apapun yang bisa dilihat-lihat di sekitar kami. Dia tidak
berhasil menemukannya. Sepertinya buku tersebut masih dipinjam. Dia malah
menawarkan untuk mencatat nomor saya sehingga dia bisa memberitahu saya kalau
buku tersebut sudah kembali. Sayangnya itu tak terjadi.
Saya tanya kalau-kalau ada pustaka lain
tentang Baksil. Saya sebutkan juga Haryoto Kunto. Dia pun memberi saya setumpuk
buku. Selain judul yang sudah saya sebut dan Wajah Bandung Tempo Doeloe, Haryoto Kunto juga menulis buku-buku
lain tentang Bandung sehingga dia dijuluki kuncennya Bandung. Buku-buku Haryoto
Kunto yang diberikan pada saya adalah buku mengenai Preanger (nama hotel di
Jalan Tamblong, Bandung) dan bangunan-bangunan pemerintahan di Kota Bandung.
Dia menemani kami sebentar sebelum
kembali ke pekerjaannya semula di komputer. Ramah lo. Sayangnya, dia kenal kami
sebagai mahasiswa mana, mengapa lengan Juhe digantung begitu, dan rencana
skripsi saya, tapi kami nihil informasi tentangnya. Saya sesalkan kami tidak
tukaran nama, jadi dengan terpaksa di sini saya menyebutnya dengan Mas Okedeh.
Soal informasi tentang Baksil, saya
mendapatkannya sedikit dari Album
Bandoeng Tempo Doeloe buah karya Sudarsono Katam dan Lulus Abadi (NAVAPRESS
Indonesia, Bandung, 2005). Foto terkait Baksil yang saya temukan di Semerbak Bunga di Bandung Raya buah
karya Haryoto Kunto (PT Granesia, Bandung, 1986) saya temukan juga di buku
bersampul hitam tersebut. Ada sepucuk villa putih di atas hamparan lembah
bernama Lebak Gede—yang berarti Lembah Besar. Villa tersebut milik seorang
Tionghoa pedagang beras pada tahun 1930-an. Villa bergaya art deco tersebut
bernama Villa Mei Ling dan pernah beberapa kali digunakan Belanda saat
kedatangan Jepang. Villa ini baru tertutup pepohonan cemara tahun 1970-an.
Sebelumnya kita bisa melihatnya dengan leluasa dari kejauhan. Sekarang villa
tersebut jadi Dinas Psikologi Angkatan Darat (kalau tak salah) dan terletak di
tepi Jalan Ir. H. Juanda.
Dalam pengembangannya kemudian, Lembah
Gede dipadati bangunan komersil dan menyisakan sepetak hutan kota yang ternyata
baru ada setelah tahun 90-an. Jadi begini kronologinya.
1920-an : Belum ada satu bangunan pun
1930-an : Persawahan
1940-an : Muncul perumahan penduduk di
barat
1970-an : Muncul kompleks seni dan
budaya dan restoran di utara
1990-an : Mulai tertutup bangunan,
terutama kompleks SABUGA dan SAROGA, lalu siapa yang menanam hutan kota? Apakah
merupakan bagian dari pembangunan kompleks tersebut?
Mas Okedeh menyarankan saya ke DPKLTS.
Anak-anak WALHI suka kumpul di sana. Ada perpustakaan juga. Barangkali saya
bisa mendapat data sekaligus bertemu langsung pelakunya.
Sementara saya mencatat informasi
tentang Baksil, dari pengarang buku yang sama—Sudarsono Katam—Juhe membaca buku
tebal yang mengulas sejarah Bandung berdasarkan perangko. Judul buku itu saya
lupa secara persis, saya hanya ingat kata “filatelis”. Secara kami baru dari
Museum Pos dan membicarakan filateli sebelumnya, rasanya jadi sesuatu.
Setelah Mas Okedeh selesai dengan
pekerjaannya, dia bergabung kembali dengan kami. Kami membicarakan pembangunan
di Kota Bandung yang kerap mengingkari kebijakan yang sudah ada.
Pukul dua siang, saya dan Juhe undur
diri. O tentu saja kami boleh ke mari lagi. Kamu juga. Perpustakaan ini bisa
disambangi Senin – Sabtu. Senin – Jumat pukul 9 – 16 sedang Sabtu pukul 10 –
15. Wow kok beda sama informasi di internet ya. Peminjaman pustaka bisa
dilakukan asal kamu anggota.
musola di kompleks ini lega beud! |
Tiap Sabtu pukul sepuluh pagi, Heritage
berkumpul dalam ruangan ini. Mas Okedeh mengajak kami, barangkali kami mau
gabung. Mereka sedang mengerjakan pemetaan Kota Bandung, tepatnya: menyesuaikan
tata ruang sekarang dengan tata ruang buatan Belanda. Tata ruang buatan Belanda
sebenarnya sudah bagus sekali tapi begitulah. Tampaknya masih kurang pusat
perbelanjaan di kota ini.
Tiap bulan pula ada forum terkait. Malam
ini pukul tujuh di Braga Permai, forum membicarakan tentang penemuan bangunan
megalithikum di Gunung Padang, Cianjur.
Cizz
versi alay dari cheese |
Cizz adalah sebuah kafe mungil yang
menjual cheesecake dan kawan-kawannya. Letaknya dekat dengan kantor Perhutani
yang jualan madu dan ekowisata serta jasa lingkungan lainnya. Kami jalan kaki
ke sana dari kompleks Disparbud.
Biarpun mungil, kafe ini tidak pernah
kosong dari pembeli. Setidaknya begitulah selama saya dan Juhe di dalam sana
dan sekitarnya. Menurut Juhe, yang lebih berpengalaman dengan kafe ini, kafe
ini sudah ramai sejak buka. Cabangnya ada di mana-mana meski saya tahunya hanya
di jalan ini saja.
Awalnya saya tidak mau beli. Ketika saya
mencicipi cheesecake rasa jeruk punya Juhe, saya jadi kian tergoda untuk mencoba
pengalaman baru. Akhirnya saya minta diambilkan Chocolate Mousse pada yang
berwenang. Kudapan saya termasuk yang termurah, hanya 14K rupiah. Rata-rata harga cheesecake di sini adalah 17K
rupiah.
dasar penggoda! |
Sesuap, dua suap, pahitnya cokelat,
tekstur nan lembut, kudapan ini luar biasa. Suapan-suapan berikutnya, saya
eneg. Porsi ini terlalu banyak meski besarnya hanya satu cup!
Keluar dari Cizz, kami menunggu DAMRI.
Dapat yang AC. 5K rupiah sampai Jatinangor. Saya hanya sampai perempatan Jalan
Pelajar Pejuang jadi kondektur mengembalikan uang Juhe sebesar 2K rupiah.
Perpustakaan Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung www.library.bandungheritage.org
BalasHapus