Bunda menyuruhku ikut les mengaji juga.
Sebetulnya, lebih asyik mengaji di TPA. Di sana ada lebih
banyak anak-anak. Aku bisa bermain dengan mereka.
Tapi aku tidak begitu suka mengaji.
“Dean kan udah hapal huruf hijaiyah. A ba ta tsa…” Aku menyenandungkan
hapalanku.
“Udah sampai Iqra berapa?” Aku meringis. “Biar lebih lancar
ngajinya ya…”
Sore itu juga kami les mengaji. Aku dan Deraz. Sebetulnya
Deraz yang tidak bisa mengaji. Bukan pengalaman yang enak melihat wajah Deraz
ketika dia menjadi satu-satunya anak di kelas yang tidak bisa membaca huruf
hijaiyah. Dia juga tidak tahu gerakan solat. Padahal seharusnya dia sama dengan
aku, Zara, Bunda, dan Ayah. Kami semua muslim.
Dia belum seminggu di sini. Dia mulai tinggal bersama Opa dan
Oma di Freiburg sejak usianya tiga tahun hingga tujuh tahun setelahnya. Lalu
Opa dan Oma meninggal. Oma duluan, Opa kemudian. Jadi Bunda dan Ayah membawanya
kembali bersama kami. Sekarang kami tinggal di Bandung.
Aku senang sama Deraz. Meski dia pendiam. Kami harus bicara
dengannya dalam bahasa Inggris yang aku sudah tidak biasa lagi. Hanya bahasa
itu dan bahasa Jerman yang dia mengerti. Dia harus belajar bahasa Indonesia
supaya bisa mengerti pelajaran di sini. Bahasa Sunda semakin membingungkannya,
apalagi bahasa Arab.
Aku selalu mendampinginya. Supaya kalau ada yang dia tidak
mengerti, aku bisa langsung memberitahunya. Tapi kalau dalam menyerap
pelajaran, aku bukan anak yang pintar. Tapi Deraz selalu bawa kamus ke
mana-mana.
Termasuk dalam belajar mengaji. Malam sebelumnya, Deraz
memintaku untuk mengenalkannya pada huruf hijaiyah. Semuanya. Dia sudah punya
Iqra sendiri. Dia mencatat cara pengucapan menurut lafalku di bawah setiap
huruf. Sementara aku mulai terlelap, dia masih belajar mengeja. Aku tidak tahu
jam berapa dia tidur.
Pak Karim adalah guru PAI SD yang sekaligus tetangga kami.
Aku mengenalkannya dengan Deraz dan mengenalkan Deraz padanya. Deraz terlihat
canggung pada pria tua berkopiah itu. Padahal Pak Karim orang yang baik. Beliau
mendengarkan dengan sabar setiap perkataan Deraz dalam bahasa Indonesia yang
masih patah-patah.
Aku lebih banyak memerhatikan. Aku sendiri tidak begitu minat
belajar mengaji, jadi biar Deraz dengan Pak Karim saja terus. Tapi
sedikit-sedikit aku menimpali supaya Deraz jadi lebih santai.
Deraz menunjukkan hapalannya semalam pada Pak Karim. Dia
berusaha terdengar yakin saat mengucapkan setiap huruf.
Kemudian, dengan pelan dan sikap bijak, Pak Karim membetulkan
pelafalan Deraz pada beberapa huruf. Setelah menyadari bahwa itu kesalahanku,
aku jadi malu dan merasa bersalah. Aku melihat Deraz terus. Kalau nanti dia
menoleh padaku, aku akan memberikannya cengiran terbaikku. Tapi tatapannya
terarah saja terus pada Pak Karim dalam-dalam.
Sore itu juga Deraz ingin menamatkn Iqra 1. Aku berharap
giliranku tidak akan tiba. Tapi kehadiran Bunda kemudian bikin aku mau tidak
mau menyelesaikan satu halaman Iqra 2. Deraz memintaku membacanya lagi setelah
maghrib. Dia memerhatikan bacaanku dengan saksama. Dia bahkan membetulkan
pelafalanku, sesuai yang Pak Karim ajarkan tadi padanya.
Bunda memberi Deraz serangkaian petunjuk solat buat anak.
Deraz suka memerhatikan Bunda solat. Zara juga solat ketika Bunda solat. Tapi
sesekali dia menoleh pada Deraz yang tengah mengamatinya, sekadar untuk
bertukar senyum. Pandangan Deraz berganti-ganti dari petunjuk di pangkuannya
lalu ke Bunda dengan Zara—yang mengikuti gerakan Bunda. Meski sudah
berhari-hari dia seperti ini, dia masih ragu untuk solat sendiri.
Deraz bertanya padaku kenapa aku tidak solat juga. Aku meringis
sambil mengatakan, “Entar, sama-sama Ayah…” Aku harap Deraz tidak menanyakanku
lebih banyak tentang solat. Dia kembali menekuni petunjuknya. Mungkin dia sudah
tidak sabar untuk bisa membaca rangkaian huruf hijaiyah yang membentuk bacaan
solat yang tertera di situ—meski sudah ada cara membacanya dalam huruf latin.
Setelah makan malam, Bunda menyuruh kami untuk mengerjakan PR
bersama-sama di ruang tengah. Aku menyelesaikan PR-ku cepat-cepat supaya aku
bisa segera main game. Aku tidak peduli jawabanku benar atau salah. Bunda baru
melepaskanku setelah ia mengoreksi pekerjaanku lalu menyuruhku mengerjakannya
lagi. Ini bisa sampai berkali-kali.
Ketika aku dan Zara gosok gigi, Deraz masih bersama Bunda di
ruang tengah. Bunda membantu Deraz menerjemahkan PR, dan bacaan di buku
pelajaran yang berhubungan dengan jawaban PR. Bahkan ketika aku dan Zara sudah
ganti piyama dan tiduran di kasur masing-masing pun, Deraz masih dobel kerja
keras.
Entah aku sudah tidur berapa jam ketika aku terbangun oleh
suara-suara di kamar. Aku seperti mendengar isak tangis disertai desahan lembut
menenangkan. Kuseret setengah badanku hingga turun dari kasur. Aku ingin tahu
apa yang terjadi di kasur satunya, sepertinya suara-suara itu berasal dari
sana.
Aku melihat kepala Deraz di pangkuan Bunda. Dia berusaha
menangis tanpa suara, tapi aku bisa melihat mulutnya terbuka dan wajahnya merah
basah. Bunda terus membelai-belai kepala Deraz.
Aku tidak menyangka akan melihat Deraz menangis. Selama
berada di dekatnya, aku selalu melihat Deraz dengan tampang sungguh-sungguh dan
siaga menghadapi kesusahan apapun yang pasti datang. Meski aku banyak teman,
dan aku berusaha supaya mereka berteman dengan Deraz juga, namun aku tidak bisa
mencegah mereka untuk tidak mengecap aneh pada Deraz. Padahal menurutku Deraz
tidak aneh. Dia hanya tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda,
dan Islam tapi belum kenal cara beribadah.
Aku khawatir jangan-jangan Deraz mengalami perlakuan tidak
menyenangkan saat di sekolah tadi. Kadang-kadang ada beberapa anak yang suka
begitu sama anak lainnya. Aku juga tidak bisa selalu di dekat Deraz.
Kadang-kadang aku menghampiri teman-temanku di sisi lain kelas dan meninggalkan
Deraz begitu saja.
Padahal dia kelihatan baik-baik saja saat main bola dengan
teman-teman sepulang sekolah. Teman-teman juga kelihatan bisa menerimanya, lain
halnya kalau denganku yang memang tidak pintar main bola.
Kepala Deraz sudah tidak di pangkuan Bunda lagi. Bunda masih
memeluknya, mendekapnya lebih erat, namun yang aku bisa lihat dari Deraz hanya
tampak belakangnya. Kepalanya terkulai ke dada Bunda. Ia mengatakan sesuatu
dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Mungkin itu bahasa Jerman.
Aku juga suka bermanja-manja pada Bunda, tapi aku tidak
pernah menangis sampai didekap Bunda seperti itu. Aku menjalani hari-hariku
dengan ringan, jadi aku tidak pernah menumpahkan beban sama Bunda. Pada saat
itu aku memahami kalau Deraz adalah orang yang berbeda denganku, meski kami
lahir pada puncak malam yang sama, dan justru karena itu Bunda memanjakannya
dengan cara yang entah aku juga bakal mengalaminya atau tidak.
Bunda akhirnya menoleh padaku juga. Ia tersenyum. Aku merasa
lebih tenang tapi masih ingin terus mengamati mereka.
Ketika Deraz sudah tidak lagi tersedu, Bunda bicara padanya
dengan suara yang lembut sekali. “Opa sama Oma pasti sedih juga kalau lihat
Deraz sedih begini…” Bunda terus memberikan kata-kata penghiburan. Aku jadi
mengerti apa yang Deraz sedihkan. Cerita Bunda kemudian, tentang aku, Ayah,
Zara, dan kerabat kami lainnya, malah jadi hiburan buatku juga sampai aku
ketiduran.
Besok paginya, aku lihat wajah Deraz masih sembap. Tapi binar
matanya memancar lebih kuat. Kelak ia akan jadi manusia luar biasa. Dan justru
karena Opa dan Oma yang telah mengasuhnya waktu kecil, itu menjadi hal yang
kurang membahagiakan bagi Bunda.
24
Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar