Selasa, 24 Januari 2012

Deraz Kecil

 Bunda menyuruhku ikut les mengaji juga.

Sebetulnya, lebih asyik mengaji di TPA. Di sana ada lebih banyak anak-anak. Aku bisa bermain dengan mereka.

Tapi aku tidak begitu suka mengaji.

“Dean kan udah hapal huruf hijaiyah. A ba ta tsa…” Aku menyenandungkan hapalanku.

“Udah sampai Iqra berapa?” Aku meringis. “Biar lebih lancar ngajinya ya…”

Sore itu juga kami les mengaji. Aku dan Deraz. Sebetulnya Deraz yang tidak bisa mengaji. Bukan pengalaman yang enak melihat wajah Deraz ketika dia menjadi satu-satunya anak di kelas yang tidak bisa membaca huruf hijaiyah. Dia juga tidak tahu gerakan solat. Padahal seharusnya dia sama dengan aku, Zara, Bunda, dan Ayah. Kami semua muslim.

Dia belum seminggu di sini. Dia mulai tinggal bersama Opa dan Oma di Freiburg sejak usianya tiga tahun hingga tujuh tahun setelahnya. Lalu Opa dan Oma meninggal. Oma duluan, Opa kemudian. Jadi Bunda dan Ayah membawanya kembali bersama kami. Sekarang kami tinggal di Bandung.

Aku senang sama Deraz. Meski dia pendiam. Kami harus bicara dengannya dalam bahasa Inggris yang aku sudah tidak biasa lagi. Hanya bahasa itu dan bahasa Jerman yang dia mengerti. Dia harus belajar bahasa Indonesia supaya bisa mengerti pelajaran di sini. Bahasa Sunda semakin membingungkannya, apalagi bahasa Arab.

Aku selalu mendampinginya. Supaya kalau ada yang dia tidak mengerti, aku bisa langsung memberitahunya. Tapi kalau dalam menyerap pelajaran, aku bukan anak yang pintar. Tapi Deraz selalu bawa kamus ke mana-mana.

Termasuk dalam belajar mengaji. Malam sebelumnya, Deraz memintaku untuk mengenalkannya pada huruf hijaiyah. Semuanya. Dia sudah punya Iqra sendiri. Dia mencatat cara pengucapan menurut lafalku di bawah setiap huruf. Sementara aku mulai terlelap, dia masih belajar mengeja. Aku tidak tahu jam berapa dia tidur.

Pak Karim adalah guru PAI SD yang sekaligus tetangga kami. Aku mengenalkannya dengan Deraz dan mengenalkan Deraz padanya. Deraz terlihat canggung pada pria tua berkopiah itu. Padahal Pak Karim orang yang baik. Beliau mendengarkan dengan sabar setiap perkataan Deraz dalam bahasa Indonesia yang masih patah-patah.

Aku lebih banyak memerhatikan. Aku sendiri tidak begitu minat belajar mengaji, jadi biar Deraz dengan Pak Karim saja terus. Tapi sedikit-sedikit aku menimpali supaya Deraz jadi lebih santai.

Deraz menunjukkan hapalannya semalam pada Pak Karim. Dia berusaha terdengar yakin saat mengucapkan setiap huruf.

Kemudian, dengan pelan dan sikap bijak, Pak Karim membetulkan pelafalan Deraz pada beberapa huruf. Setelah menyadari bahwa itu kesalahanku, aku jadi malu dan merasa bersalah. Aku melihat Deraz terus. Kalau nanti dia menoleh padaku, aku akan memberikannya cengiran terbaikku. Tapi tatapannya terarah saja terus pada Pak Karim dalam-dalam.

Sore itu juga Deraz ingin menamatkn Iqra 1. Aku berharap giliranku tidak akan tiba. Tapi kehadiran Bunda kemudian bikin aku mau tidak mau menyelesaikan satu halaman Iqra 2. Deraz memintaku membacanya lagi setelah maghrib. Dia memerhatikan bacaanku dengan saksama. Dia bahkan membetulkan pelafalanku, sesuai yang Pak Karim ajarkan tadi padanya.

Bunda memberi Deraz serangkaian petunjuk solat buat anak. Deraz suka memerhatikan Bunda solat. Zara juga solat ketika Bunda solat. Tapi sesekali dia menoleh pada Deraz yang tengah mengamatinya, sekadar untuk bertukar senyum. Pandangan Deraz berganti-ganti dari petunjuk di pangkuannya lalu ke Bunda dengan Zara—yang mengikuti gerakan Bunda. Meski sudah berhari-hari dia seperti ini, dia masih ragu untuk solat sendiri.

Deraz bertanya padaku kenapa aku tidak solat juga. Aku meringis sambil mengatakan, “Entar, sama-sama Ayah…” Aku harap Deraz tidak menanyakanku lebih banyak tentang solat. Dia kembali menekuni petunjuknya. Mungkin dia sudah tidak sabar untuk bisa membaca rangkaian huruf hijaiyah yang membentuk bacaan solat yang tertera di situ—meski sudah ada cara membacanya dalam huruf latin.

Setelah makan malam, Bunda menyuruh kami untuk mengerjakan PR bersama-sama di ruang tengah. Aku menyelesaikan PR-ku cepat-cepat supaya aku bisa segera main game. Aku tidak peduli jawabanku benar atau salah. Bunda baru melepaskanku setelah ia mengoreksi pekerjaanku lalu menyuruhku mengerjakannya lagi. Ini bisa sampai berkali-kali.

Ketika aku dan Zara gosok gigi, Deraz masih bersama Bunda di ruang tengah. Bunda membantu Deraz menerjemahkan PR, dan bacaan di buku pelajaran yang berhubungan dengan jawaban PR. Bahkan ketika aku dan Zara sudah ganti piyama dan tiduran di kasur masing-masing pun, Deraz masih dobel kerja keras.

Entah aku sudah tidur berapa jam ketika aku terbangun oleh suara-suara di kamar. Aku seperti mendengar isak tangis disertai desahan lembut menenangkan. Kuseret setengah badanku hingga turun dari kasur. Aku ingin tahu apa yang terjadi di kasur satunya, sepertinya suara-suara itu berasal dari sana.

Aku melihat kepala Deraz di pangkuan Bunda. Dia berusaha menangis tanpa suara, tapi aku bisa melihat mulutnya terbuka dan wajahnya merah basah. Bunda terus membelai-belai kepala Deraz.

Aku tidak menyangka akan melihat Deraz menangis. Selama berada di dekatnya, aku selalu melihat Deraz dengan tampang sungguh-sungguh dan siaga menghadapi kesusahan apapun yang pasti datang. Meski aku banyak teman, dan aku berusaha supaya mereka berteman dengan Deraz juga, namun aku tidak bisa mencegah mereka untuk tidak mengecap aneh pada Deraz. Padahal menurutku Deraz tidak aneh. Dia hanya tidak bisa berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda, dan Islam tapi belum kenal cara beribadah.

Aku khawatir jangan-jangan Deraz mengalami perlakuan tidak menyenangkan saat di sekolah tadi. Kadang-kadang ada beberapa anak yang suka begitu sama anak lainnya. Aku juga tidak bisa selalu di dekat Deraz. Kadang-kadang aku menghampiri teman-temanku di sisi lain kelas dan meninggalkan Deraz begitu saja.

Padahal dia kelihatan baik-baik saja saat main bola dengan teman-teman sepulang sekolah. Teman-teman juga kelihatan bisa menerimanya, lain halnya kalau denganku yang memang tidak pintar main bola.

Kepala Deraz sudah tidak di pangkuan Bunda lagi. Bunda masih memeluknya, mendekapnya lebih erat, namun yang aku bisa lihat dari Deraz hanya tampak belakangnya. Kepalanya terkulai ke dada Bunda. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa yang aku tidak mengerti. Mungkin itu bahasa Jerman.

Aku juga suka bermanja-manja pada Bunda, tapi aku tidak pernah menangis sampai didekap Bunda seperti itu. Aku menjalani hari-hariku dengan ringan, jadi aku tidak pernah menumpahkan beban sama Bunda. Pada saat itu aku memahami kalau Deraz adalah orang yang berbeda denganku, meski kami lahir pada puncak malam yang sama, dan justru karena itu Bunda memanjakannya dengan cara yang entah aku juga bakal mengalaminya atau tidak.

Bunda akhirnya menoleh padaku juga. Ia tersenyum. Aku merasa lebih tenang tapi masih ingin terus mengamati mereka.

Ketika Deraz sudah tidak lagi tersedu, Bunda bicara padanya dengan suara yang lembut sekali. “Opa sama Oma pasti sedih juga kalau lihat Deraz sedih begini…” Bunda terus memberikan kata-kata penghiburan. Aku jadi mengerti apa yang Deraz sedihkan. Cerita Bunda kemudian, tentang aku, Ayah, Zara, dan kerabat kami lainnya, malah jadi hiburan buatku juga sampai aku ketiduran.

Besok paginya, aku lihat wajah Deraz masih sembap. Tapi binar matanya memancar lebih kuat. Kelak ia akan jadi manusia luar biasa. Dan justru karena Opa dan Oma yang telah mengasuhnya waktu kecil, itu menjadi hal yang kurang membahagiakan bagi Bunda.

 

24 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain