Tak ada satupun dari kami yang sudah
pernah ke Common Room. Setelah memarkir motor di tempat yang lebih benar di
depan tempat gaul tersebut, kami bersua rombongan dari ST INTEN yang berjumlah
tiga orang—satu cowok dua cewek. Siapa sangka maksud kami sama! Karena pada
sungkan, akhirnya saya jadi yang terdepan. Pemuda dari ST INTEN yang jalan di
belakang saya bilang kalau dia ke sini mau beli ayam.
Kami melewati kumpulan pria berpakaian
dominan hitam sebelum kami benar-benar memasuki bangunan yang menyerupai rumah
tersebut. Ada semacam ruang pamer yang kami lalui pula sebelum kami benar=benar
berjumpa keramaian. Tentu saja acara sudah dimulai! Nur dan Rizkita masih saja
menyimpan sungkan, sedang saya dan Rizka sudi tersedot animo.
Setelah galau beberapa saat yang
diakhiri dengan registrasi melalui laptop, Nur dan Rizkita malah cari tempat
solat. Saya dan Rizka ikut anjuran untuk duduk di atas rerumputan yang tertimpa
block. Tiga muda/i dari ST INTEN mengekor.
Tak afdol kalau disuguhi materi menarik
namun tak mengikatnya dalam catatan. Tapi yang saya bawa hanya jaket Nur dan
penampilan, ponsel pun tidak! Alhamdulillah Rizka bawa pulpen, tapi tidak
sesuatu yang pantas ditulisi. Untung Nur menyimpan bungkus bekas permen karet
di kantong jaketnya.
Jadi daripada tidak ada foto saat
kejadian untuk mewarnai tulisan ini, saya sajikan saja apa yang menarik saya
lantas menarik teman-teman untuk datang ke mari. Gambar ini saya peroleh dari
dinding komunitas Aleut di Facebook.
Pembicara pertama berasal dari Keukeun.
Dengan tajuk “the spice of space”, kami kira Keukeun ini semacam komunitas yang
kegiatannya masak-masak di ruang publik. Karena kami telat, sayang sekali kami
tidak mendapatkan materi dari awal. Ketika kami datang, pembicara sedang
menerangkan jenis ruang publik yaitu ruang publik terbuka dan ruang publik
tertutup. Karena saat itu kami masih mengondisikan diri, maka kami kurang
menyerap materi.
Setelah penjelasan mengenai ruang
publik, pembicara menceritakan bagaimana Keukeun memanfaatkan ruang publik yang
ada untuk acara komunitas tersebut. Acara yang dihelat entah kapan itu, maklum
saat itu konsentrasi belum penuh, tidak hanya melibatkan Keukeun sebagai
penyelenggara, melainkan juga warga Cikapundung, pemerintah kota, dan Museum
Konferensi Asia Afrika.
Selama lima bulan, Keukeun melakukan
pendekatan dengan pihak-pihak lain, terutama warga Cikapundung. Bagi warga,
sering ada acara di wilayah mereka namun mereka sendiri kurang menikmati acara
tersebut karena tidak diajak. Nah Keukeun ingin menarik partisipasi sebesar
mungkin dalam acara yang bakal memindahkan dapur keluar rumah ini.
Acara yang terwujud kemudian tidak
sekadar masak-masak di Jalan Cikapundung, tapi juga ada pertunjukan musik dan lain-lain. Menonton
video dokumentasi acara tersebut bikin kami penasaran untuk ikut mencicip
makanan yang diproses di ruang terbuka.
Ada sebuah kunci yang pembicara berikan:
good ideas x well documented x networking
powerful epidemic
Keukeun berencana untuk bikin acara lagi
Februari mendatang. :D
Setelah pembicara pertama undur diri,
kami disuguhi sebuah video dari TED. TED sendiri adalah penyelenggara acara
ini. TED adalah singkatan dari Technology Entertainment (and) Design.
Sebetulnya, selengkapnya adalah TEDX. X di atas berarti
independently apa begitu… he he… intinya sih EO yang secara independen
menyelenggarakan acara-acara TED.
inilah High Line...! |
Video menampilkan seorang pembicara yang
menceritakan sebuah rel kereta api mati, dikenal sebagai High Line, di New
York. Pemerintah berencana untuk menyingkirkan rel yang telah ditumbuhi
rerumputan liar tersebut, namun sang pembicara dengan temannya memiliki gagasan
lain.
Mereka merancang agar rel tersebut bisa
dimanfaatkan sebagai ruang publik. Jadi rel tersebut akan dibikin jadi semacam
jalan layang—bukan untuk kendaraan melainkan agar masyarakat bisa
berjalan-jalan! Tumbuhan akan mengisi bagian tengah jalan yang dikeliling
gedung-gedung tersebut. Bagian tepi diisi dengan bangku-bangku sehingga para pengunjung
bisa duduk dan bercengkerama, selebihnya dihiasi tanaman pula. Kerangka
billboard ditaruh di sisi luar jalan bukan untuk memajang iklan melainkan
membingkai para pengunjung yang berada di baliknya.
Setelah video mengenai gagasan nan
menakjubkan itu, seorang pembicara yang konon “tamu misterius” tampil di depan
kami. Dia adalah Gadis, siswi kelas dua SMAN 19 Bandung, yang sudah aktif
berkomunitas sejak kelas tiga SMP. Dia merupakan salah satu penggagas Hayu Ulin di Baksil! (HUB).
Baksil alias Babakan Siliwangi adalah
hutan kota di dekat ITB yang pernah hendak dibangun jadi kondominium dan
macam-macam, namun kelompok-kelompok masyarakat gigih mempertahankannya sebagai
ruang terbuka hijau.
Apa yang dia sampaikan berhubungan
dengan video TED sebelumnya. Bermula dari kesukaan bersepeda di Baksil,
ditambah maraknya isu pembangunan Baksil, Gadis dan teman-temannya membuat
video mengenai aktivitas bersepeda di Baksil. Setelah diunggah di media sosial,
video ini rupanya menarik penontonnya untuk bersepeda juga di Baksil.
Namun tentu saja aktivitas yang bisa
dilakukan di Baksil bukan hanya bersepeda. Gagasan ini mewujud jadi gerakan
HUB. Sejumlah komunitas telah beraktivitas di sini. Tanpa komunitas pun, kita
sebetulnya bisa meramaikan Baksil dengan mengajak teman-teman nongkrong di
jembatannya. Jembatan yang dirancang mahasiswa Teknik Arsitektur UGM ini
membelah hutan tersebut sehingga memberikan kesan Baksil sebagai hutan yang terbuka.
suhuf yang terkumpul selama acara... (catatan materi) |
Ada sebuah kutipan milik ketua Walhi
dalam presentasi Gadis, “Satu-satunya cara mempertahankan Baksil adalah dengan
meramaikannya.”
Setelah mensosialisasikan HUB melalui
berbagai media, keinginan Gadis cs selanjutnya adalah membuat buku kecil
mengenai panduan berbagai aktivitas yang bisa dilakukan di Baksil. Baksil bisa
kok jadi tempat main yang asyik! Baksil juga bisa jadi tempat belajar yang menyenangkan.
Ada beberapa spesies menarik di Baksil, seperti pohon cokelat dan pohon yang
bagiannya bisa dimanfaatkan jadi minuman cola. Jika pembangunan benar-benar
terjadi, sayang sekali kalau spesies-spesies tersebut harus menyingkir…
Setelah Gadis, kami disajikan kembali
video dari TED. Pembicara dalam video itu menyajikan lagi video yang
membantunya menerangkan bagaimana membuat suatu “gerakan”.
Dalam video yang berlatar sebuah ruang
terbuka dengan rerumputan dan orang-orang yang sedang leyeh-leyeh di atasnya,
seseorang mendadak berdiri lalu berjoget. Satu-dua orang mengikuti. Beberapa
orang menyusul. Dalam waktu singkat, jumlah orang yang berjoget jadi semakin
banyak dan terus bertambah. Bagaimana tidak, kalau kamu tidak ikut, kamu
mungkin akan diolok-olok karena tidak menjadi bagian dari sesuatu yang wow.
Sesuatu itu mulanya berbeda, namun ketika banyak orang melakukannya, maka
mereka yang tidak ikutlah yang berbalik menempati posisi “beda”.
Menurut sang pembicara, sebenarnya yang
berperan penting dalam suatu gerakan adalah pengikut pertama. Dialah yang
mengubah orang sinting jadi pemimpin. Dia yang bikin orang lain jadi lebih
tertarik untuk mengikuti juga.
Pembicara dari Aleut pun ditampilkan.
Dengan materi bertajuk “Apresiasi Kota untuk Mencintai Tempat Tinggal Kita”,
pembicara menjelaskan apa itu Aleut dan kegiatan apa saja yang dilakukannya. Komunitas
ini berupaya mencintai kota dengan jalan-jalan. Yeah. Tentu tak sekadar
jalan-jalan. Sambil jalan-jalan, ada saja cerita yang dibagi mengenai apapun
yang ada di sekitar mereka. Cerita itu bisa berupa sejarah sebuah bangunan,
informasi sebatang pohon, pembangunan sebuah saluran, dan lain-lain. Apresiasi
menghasilkan penghargaan dan penghargaan membuahkan cinta.
Aleut sendiri konon berasal dari kata
dalam bahasa Sunda, “ngaleut”, yang artinya jalan-jalan. Komunitas ini mengadakan
kegiatan setiap Minggu. Siapapun bisa gabung. Menurut Rizka, yang pernah ikut
acara Aleut saat SMA—kakaknya pun pernah aktif di komunitas ini, biasanya
anak-anak Aleut kumpul di Jalan Sumur Bandung. Waktu, biaya, dan rute atau
lokasi jalan-jalan sudah ditentukan sejak hari sebelumnya.
Kalau belum jadi anggota tapi ingin ikut
kegiatan Aleut, minta saja jadi teman Aleut di Facebook lalu pantau dindingnya
menjelang Minggu untuk mengetahui agenda terdekat. Itulah yang dilakukan Reza,
pemuda dari ST INTEN. Saya juga tahu acara di Common Room ini pas iseng buka
dinding Aleut. Sepanjang acara, sedikit-sedikit Reza jadi teman bercanda saya
dan Rizka.
Sebelum penyerahan kaktus pada para
pembicara, acara diakhiri dengan pembagian goodie bag dan sosialisasi dari
Taman Foto Bandung. Komunitas ini terbilang baru tapi sudah ramai
peminat. Misinya adalah untuk pemanfaatan ruang publik juga, terutama taman.
Ada enam ratusan taman di Kota Bandung, meski yang berukuran besar dan layak
jadi tempat jalan-jalan mungkin hanya belasan. Nah, intervensi yang dilakukan
TFD adalah melalui fotografi.
Sekitar jam lima, setelah acara
benar-benar dibubarkan, anak-anak Aleut kumpul di depan Common Room untuk
koordinasi. Jumlah mereka kiranya separuh dari jumlah peserta acara sebelumnya.
Malam itu, mereka hendak ke Pecinan. Mereka berencana kumpul di Jalan Sumur
Bandung dulu pada jam tujuh lalu berangkat ke tujuan jam delapan. Sambil pegang
kaktus ke mana-mana, pembicara dari Aleut menyambut dengan sangat terbuka kami
yang ingin gabung.
Semula, saya dan tiga sekawan ingin ikut
jalan-jalan bareng Aleut. Namun malamnya acara dan tanggungan Nur untuk
memeriksa hasil ujian praktikum bikin kami urung. Jadi kami pamit pada Reza dan
kawan-kawan. Semula Nur dan Rizkita yang mengajak mereka berkenalan, baru saya
dan Rizka mengikuti dan mengetahui bahwa bocah yang tadi asyik sama kami
ternyata bernama Reza. Dan mahasiswa angkatan 2010 itu pun melepas kepergian
kami dengan tatapan kehilangan wa ha ha…
Nur dan Rizkita, plus pembonceng
masing-masing, pun kembali ke masjid UNPAD karena Rizka hendak solat. Saat Nur
dan Rizkita sedang berlalu, saya dan Rizka membahas acara barusan.
Menurut Rizka, acara ini jadinya sekadar
promosi komunitas-komunitas. Bagi saya hal ini bukan masalah dan merasa kata
“sosialisasi” lebih tepat ketimbang “promosi”. Namun kami menyadari bahwa
kiranya kebanyakan peserta berasal dari komunitas-komunitas yang dipaparkan
tadi—sebagian mungkin panitia.
Sosialisasi memang layak dilakukan pada
sebanyak-banyaknya orang. Namun, kiranya lagi, akan lebih baik apabila
sosialisasi dilakukan pada orang-orang non komunitas ketimbang pada orang-orang
yang sudah berkomunitas. Bisa dimaklumi mengapa yang hadir adalah orang-orang
dari komunitas itu juga, toh publikasi ditaruh di media komunitas tersebut. Bukan
karena penyelenggara tidak perhatian sama orang-orang non komunitas juga kan,
mereka toh sudah mempublikasikan acara ini di media-media yang tersedia dan
tidak menghalangi siapapun untuk menghadirinya. Masalahnya, jika arti komunitas
itu begitu penting, bagaimana cara menarik orang-orang non komunitas agar mau
berkomunitas?
Siapapun berhak memanfaatkan ruang
publik. Ruang publik bukan sekadar milik komunitas. Ruang publik juga milik
pejalan kaki yang lagi galau dan kesepian, pun individu-individu yang sekadar
lagi cari inspirasi. Namun seperti yang dikatakan pembicara dalam salah satu
video, ruang publik memungkinkan kita saling bergandengan tangan di tengah hiruk-pikuk
kota besar. Barangkali aktivitas di ruang publik berpotensi untuk meminimalisir
fenomena renggangnya kohesi sosial— keterasingan—antar warga perkotaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar