Sore kemarin, saya dan Mama keluar rumah bersama.
Setelah mobil diparkir di Jalan Banceuy, hampir di depan pabrik kopi AROMA,
kami menyusuri jalan tersebut lalu belok ke Jalan ABC.
Dua orang teman menyebut Jalan ABC ketika saya minta
rekomendasi tempat membeli alat perekam suara.
Setelah memasuki beberapa toko, seorang karyawan toko
yang terakhir mengarahkan kami ke sebuah toko di seberang jalan yang
bersebelahan dengan apotek.
Betul saja. Toko tersebut menjual berbagai alat
perekam suara. Harga yang termurah adalah 275K namun itu ternyata walkman. Alat
perekam suara dengan hasil rekaman dalam format mp3 berharga satu jutaan. Mp3
player sebenarnya bisa digunakan untuk merekam suara, hasilnya dalam format mp3
juga, tapi toko itu tidak menjualnya. Jadi kami tidak mengeluarkan uang di toko
tersebut.
Mama menawarkan saya untuk membeli saja jika alat
tersebut memang akan sering digunakan. Namun saya tidak yakin kelak saya akan
sungguh jadi wartawan. Toh maksud saya cari alat perekam suara sekarang hanya
untuk penelitian—meski untuk hal lain, sesekali, juga akan diperlukan.
Orangtua,
bagi saya, biarpun sudah sekian kali mengata-ngatai, pun menurunkan harga diri
(anak) dengan atau tanpa disadari, namun masih sudi memberi jika diminta. Di
situlah letak kemuliaan mereka.
Mama penasaran untuk memasuki sebuah toko yang sangat
besar—paling besar di antara yang lain, menyerupai mal sebetulnya—yang
sebelumnya telah kami lewati. Kalau tidak salah toko-tapi-mal itu bernama LOGIN
STORE.
Begitu hendak menaiki eskalator—langsung tersedia di
tepi jalan, Mama menginjak sebuah keset. Tapi itu bukan keset biasa. Keset itu
berbentuk lonjong, ada rumbai-rumbai di tepinya, dan berada di atas tumpukan
keset lain yang serupa. Pemilik keset-keset itu jelas menyaksikan kejadian
tersebut.
Kata saya dalam dialek Sunda yang sudah dialihkan ke
bahasa Indonesia, “Ma, kok diinjak sih, itu kan barang dagangan!”
Mama sontak mengucap maaf. Ketika sudah di eskalator,
kami masih membicarakan insiden itu agar situasinya lebih jelas.
Lalu Mama bilang kalau kesetnya yang menghalangi.
Kalau situasi seperti ini ada dalam serial komedi
yang biasa saya tonton, saya akan tergelak. Saya teringat karakter Pierce
Hawthorne dalam “Community”[1]. Pria berambut
putih itu suka mengalihkan kesalahannya.
Usai melihat barang-barang elektronik dalam bangunan
tersebut, kami turun dan tidak menemukan sang pedagang bersama keset-kesetnya
lagi di dekat eskalator.
Sempat mampir ke toko yang menjual alat jahit
sebentar, kami kembali menyusuri Jalan Banceuy untuk menuju mobil. Kami
berpapasan dengan sang pedagang keset—sepertinya memang orang dan barang yang
sama.
Sang pedagang keset tersebut meminta Mama membeli
kesetnya. Ia menawarkan harga 10K/keset sedang Mama mengajukan 5K lalu 15K/2
keset. Ia setuju. Mama memilih dua keset. Pedagang tersebut menggulung lalu
mengikat dua keset tersebut dengan potongan tali rafia yang tahu-tahu muncul
dari kantong celananya.
Ketika
transaksi terjadi, seorang pria, seorang wanita, dan seorang wanita lagi yang
lebih muda mendekat. Tampaknya mereka keluarga dan kami menghalangi mereka
menuju mobil merah mereka yang diparkir dekat kami.
Sang
pria kelihatan tertarik dengan keset-keset yang bertebaran di paving block.
Ketika saya dan Mama meninggalkan lokasi, transaksi baru tampaknya sedang
terjadi.
barang bukti kejadian |
Alhamdulillah.
Sikap yang kurang mengenakkan sebelumnya akhirnya tertebus. Tampaknya kami jadi
penglaris, tampaknya. Semoga rezeki sang pedagang bertambah.
Jadi
selanjutnya Mama hendak mengeluarkan mobil dari tempat parkir. Karena tidak ada
tukang parkir yang sigap, saya keluar mobil lagi dan mencari-cari orang yang
berkapasitas. Pria berseragam oranye pun tiba lantas mengerahkan segenap
kompetensinya. Mama menyiapkan 2K untuk membalas jasa pria tersebut dengan
pamrih selembar karcis parkir. Harga yang tertera di karcis rupanya hanya 1,5K.
“Ya
udahlah buat amal (kelebihannya),” kata saya.
Lalu
Mama bersyukur karena lembaran-lembaran uang yang diberikannya tadi sudah
lecek.
***
Well,
I have realized for so long that my life is tragically amusing, but I cannot
laugh.
Ini
hanya suatu sketsa.
Kelanjutannya
saya tidak mau beri tahu kamu. Tingkat ketragisannya sungguh bikin saya tidak
ingin ketawa. Sudah tidak seperti “Modern Family”[2] ala Indonesia
lagi.
Tapi
hidup tetap harus ditertawakan, begitulah salah satu cara untuk menikmatinya.
[1]
Serial komedi AS mengenai sebuah grup belajar di suatu community college. Baru
kali ini saya menemukan serial yang menampilkan muslim sebagai salah satu tokoh
utama, dengan karakter menarik tentu saja, meski identitasnya sebagai muslim
tidak begitu ditonjolkan.
[2]
Serial komedi AS mengenai sebuah keluarga besar yang gaya hidupnya rada
nyentrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar