Catatan: Ini lebih tepat disebut "menyederhanakan" ketimbang "menerjemahkan". Kalau pemahamanmu terhadap bahasa Inggris cukup baik, baik, baik sekali, atau sangat baik, saya sarankan untuk membaca teks ini saja. Saya pernah membicarakan cerpen ini sebelumnya di sini. Memang pada awalnya cara pengungkapan dalam cerpen ini terasa mengerikan, namun setelah meniliknya kata demi kata, terasa kepedihannya :-| Mudah-mudahan upaya penyederhanaan ini cukup enak dibaca.
Tambahan: Atas saran Kang Andika, saya ganti judul cerpen ini, yang asalnya "Benda Pejal", dengan yang rasanya lebih tepat: "Kekukuhan".
Tambahan: Atas saran Kang Andika, saya ganti judul cerpen ini, yang asalnya "Benda Pejal", dengan yang rasanya lebih tepat: "Kekukuhan".
Satu-satunya yang bergerak di lingkar
pantai itu adalah sebuah titik hitam kecil. Titik itu mendekati rangka sampan
yang terdampar. Dari kepekatannya yang merenggang, terlihat bahwa titik itu memiliki
empat kaki. Sebentar kemudian, makin tak teragukan lagi bahwa titik itu terdiri
dari dua orang pemuda. Bahkan pada bayangan yang melekat di pasir, tampak
adanya semangat yang tak tergoyahkan dalam diri mereka. Daya hidup yang tak
terperikan dalam ayunan tubuh mereka, walau sedikit, mengejawantah dalam perdebatan
sengit yang keluar dari mulut di kepala-kepala bundar kecil itu. Terlihat dalam
jarak yang lebih dekat, terjangan yang berulang-ulang dari sebatang tongkat di
sisi kanan. ‘Maksudmu… Kamu benar-benar yakin…’ demikian tongkat di sisi kanan
dekat ombak itu seolah menegaskan, seraya menyabet pasir hingga membentuk
garis-garis lurus nan panjang.
‘Persetan dengan politik!’ keluar dengan
jelas dari orang di sisi kiri. Seiring dengan diutarakannya kata-kata itu,
mulut, hidung, dagu, tipisnya kumis, topi wol, sepatu bot, mantel berburu, dan
kaos kaki dua orang yang bicara itu menjadi semakin jelas saja. Asap dari pipa
mereka membumbung ke udara. Tidak ada yang begitu kukuh, begitu hidup, begitu
solid, bergejolak dan kuat sebagaimana dua raga tersebut sepanjang mil demi mil
lautan dan gunungan pasir.
Mereka mengempaskan diri di dekat
sampan. Keduanya tampak menghentikan perdebatan, dan menginsafi suasana; siap
membicarakan hal yang baru—apapun itu. Charles, empunya tongkat yang sedari
tadi mengiris-iris pantai sepanjang kurang lebih setengah mil, mulai
meluncurkan lempengan-lempengan batu ke atas air; dan John, yang tadi menyerukan
‘Persetan dengan politik!’ mulai menggali-gali dengan jemarinya hingga jauh ke
dalam pasir. Seiring dengan tangannya yang semakin masuk sampai melewati
pergelangan, sehingga ia harus mengangkat lengan bajunya sedikit ke atas, sorot
matanya meredup. Pudar segala pikiran dan pengalaman yang membubuhkan nuansa
pada mata seorang dewasa, menyisakan pandangan yang polos dan jernih, tak
mengungkap suatu apa selain keingintahuan, bagai mata bocah. Tak disangsikan
lagi penggalian pasir itu menghasilkan sesuatu. Diingatnya bahwa, setelah
menggali sebentar, air memancar mengelilingi jemari; lubang itu kemudian
menjadi semacam parit; sumur; mata air; lorong rahasia menuju laut. Selagi
menerka-nerka apa yang tengah dibuatnya, masih meraba-raba di dalam air,
jemarinya menggenggam sesuatu yang keras—segumpal benda pejal—dan sedikit demi
sedikit menarik bongkahan tak beraturan yang besar itu, dan mengangkatnya ke
permukaan. Setelah dibersihkan dari pasir yang menyelimutinya, warna hijau
terlihat. Benda itu berupa bongkahan kaca, saking tebalnya sehingga hampir
tidak tembus cahaya; antengnya lautan telah mengikis sepenuhnya bagian tepi
atau bentuk benda itu, sehingga sulit dikatakan apakah dulunya itu botol, gelas
atau kaca jendela; bukan apapun melainkan kaca; hampir menyerupai batu mulia.
Tinggal direkatkan pada lempengan emas, atau dilubangi dengan kawat, jadilah perhiasan;
bagian daripada kalung, atau cahaya hijau majal pada jari. Bagaimanapun juga
boleh jadi ini benar-benar permata; dikenakan oleh seorang Putri yang misterius,
yang menyeret jarinya di air selagi duduk di buritan sampan dan mendengarkan
budak-budaknya menyanyi sembari mendayung melintasi Teluk. Atau ada peti harta
karun, dari lambung kapal kayu era Elizabeth yang tenggelam, pecah, dan isinya
yang berupa zamrud berguling terus, terus-menerus, sampai akhirnya terdampar di
pantai. John memainkan benda itu di tangannya; ia mengarahkannya pada cahaya;
ia menggerakkannya hingga agregat yang tak beraturan itu mengaburkan bayangan
dan memperpanjang lengan kanan kawannya. Warna hijaunya menipis dan menebal
sepintas-sepintas ketika diposisikan pada matahari. Rasanya menyenangkan
sekaligus mengherankan; benda itu begitu keras, begitu padat, begitu nyata
dibandingkan dengan lautan yang tampak samar maupun pantai yang berkabut.
source |
‘Kembali pada yang kukatakan tadi—‘
Ia tidak melihat, atau kalaupun ia
melihat ia hampir tidak akan memerhatikan, bahwa John setelah memandang
bongkahan itu sesaat, seakan dalam keragu-raguan, menyelipkannya ke dalam saku.
Dorongan itu agaknya seperti dorongan yang menggerakkan seorang anak untuk
memungut batu kerikil yang bertebaran di jalan, menjanjikannya kehidupan yang
hangat dan aman di atas rak perapian di kamar, menikmati kemesraan sekaligus
kelembutan daripada perbuatan tersebut, dan memercayai bahwa batu tersebut
memiliki hati yang melompat-lompat gembira kala mengetahui dirinyalah yang
terpilih dari sejuta yang sepertinya, untuk menikmati kebahagiaan ini daripada
kehidupan yang dingin dan basah di jalanan. ‘Dari sekian juta batu bisa saja
yang lain yang diambil, tapi toh aku, aku, aku!”
Entahkah pikiran itu ada atau tidak
dalam benak John, bongkahan kaca itu telah ditempatkan di atas rak perapian,
memberati setumpuk tagihan dan surat, dan tidak saja menjadi pemberat yang baik
untuk kertas-kertas, tapi juga sebagai tempat pemberhentian alami bagi mata
pemuda itu ketika teralih dari bukunya. Menatapnya lagi dan lagi separuh sadar,
sementara benak memikirkan hal lain, bercampur dengan isi pikirannya sehingga
bentuk benda itu menjadi lain daripada sebenarnya. Benda itu mengubah sendiri
bentuknya, sedikit saja bedanya dari semula, menjadi sempurna, dan menggentayangi
otak tanpa sedikitpun diharapkan. Demikian John merasakan dirinya tertarik ke
jendela toko barang antik ketika ia sedang keluar berjalan-jalan, semata karena
ia melihat sesuatu yang mengingatkannya pada bongkahan kaca tersebut. Apapun
selama itu adalah benda yang serupa, lebih kurang bundar bentuknya, boleh jadi
dengan nyala yang redup terpendam dalam kompositnya, apapun—porselen, kaca,
ambar, batu, marmer—bahkan telur burung prasejarah yang jorong mulus. Ia juga
memasang matanya di atas tanah, terutama di sekitar lahan pembuangan sampah rumah
tangga. Benda semacam itu sering kali terdapat di sana—dibuang, tak berguna
lagi bagi siapapun, tak berbentuk. Dalam beberapa bulan ia telah mengumpulkan
empat atau lima spesimen yang ditempatkannya di atas rak perapian. Bagi seorang
lelaki yang tengah memiliki kedudukan di Parlemen dan berada di ambang karier
yang brilian, benda-benda itu berguna untuk menahan kertas-kertas agar tetap
rapi—pidato untuk para pendukung, deklarasi kebijakan, permohonan untuk tanda
tangan, undangan makan malam, dan seterusnya.
Satu hari, ketika dalam perjalanan mengejar
kereta dari tempat tinggalnya di Temple untuk berpidato pada para pendukungnya,
matanya berlabuh pada benda aneh yang setengah tersembul di salah satu pagar
rumput yang membatasi halaman sederet bangunan luas. Ia hanya bisa menyentuh
benda itu dengan ujung tongkatnya melalui susuran tangga; tapi ia bisa melihat
bahwa benda itu berupa sepotong porselen dalam bentuk yang sangat mengagumkan,
hampir menyerupai bintang laut—dibentuk, atau secara kebetulan, menjadi lima
sudut yang tidak beraturan namun tegas. Warnanya sebagian besar biru, namun
dilapisi semacam garis-garis atau titik-titik hijau, dan adanya garis-garis
merah tua menambah kesempurnaan serta kilauan yang amat memikat. John tergerak
untuk memilikinya; tapi semakin ia berusaha, semakin jauh benda itu mundur ke
belakang. Pada akhirnya ia terpaksa kembali ke tempat tinggalnya dan membuat
cincin kawat sekadarnya yang dikaitkan dengan ujung tongkat. Dengan amat
terampil dan hati-hati, ia berhasil menarik potongan porselen itu ke dalam
jangkauan tangannya. Begitu ia dapat meraihnya, ia berseru dalam kemenangan. Pada
saat itulah jam berdentang. Tidak mungkin ia dapat memenuhi janjinya. Pertemuan
dijalankan tanpa dirinya. Tapi bagaimana bisa sepotong porselen terpecah
menjadi bentuk yang semenakjubkan ini? Setelah diamati dengan saksama, pastilah
bintang ini terbentuk secara kebetulan, yang justru membuatnya makin unik. Tak
mungkin ada yang lainnya dalam kehidupan ini. Ditempatkan di ujung yang
berlawanan pada rak perapian dengan bongkahan kaca yang digali dari pasir,
benda itu tampak seperti makhluk dari dunia lain—ganjil dan luar biasa
warna-warninya. Berputar-putar di angkasa, cahayanya berkedip-kedip bak bintang
gemerlap. Kontras antara porselen yang begitu mencolok dan tajam, dan kaca yang
begitu hening serta membangkitkan perenungan, memesonakan dirinya.
Terheran-heran sekaligus terkagum-kagum ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
bagaimana keduanya dapat berada di dunia yang sama, apalagi bersanding bersama
bebatuan lainnya dalam satu bidang sempit di ruangan yang sama. Pertanyaan itu
tak kunjung terjawab.
Kini ia mulai menyambangi tempat-tempat
yang paling banyak menyimpan potongan porselen, seperti bagian-bagian daripada
lahan pembuangan di antara rel kereta, tapak-tapak rumah yang telah dirobohkan,
dan ruang-ruang publik di kawasan London. Namun jarang porselen yang dibuang
dari ketinggian tertentu; perbuatan yang paling jarang dilakukan oleh manusia.
Kemungkinannya bisa diperoleh apabila di sebuah rumah yang teramat tinggi
terdapat wanita yang kelakuannya sembrono serta memiliki prasangka yang
menggebu-gebu, menjatuhkan guci atau jambangannya dari jendela tanpa berpikir
siapa yang sedang berada di bawah. Cukup banyak potongan porselen yang bisa
dijumpai, tapinya pecah akibat kejadian rumah tangga biasa, tanpa maksud atau
dasar tertentu. Meskipun begitu, ia sering heran, seiring dengan makin mendalam
pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkannya, akan banyaknya variasi bentuk yang
dijumpai di London saja. Dan masih ada banyak lagi yang menjadi keheranan dan
pemikirannya dalam hal kualitas dan pola. Spesimen yang paling baik akan
dibawanya pulang dan ditempatkan di atas rak perapiannya, padahal, biarpun
begitu, kegunaan mereka lebih seperti hiasan alami belaka, semenjak
kertas-kertas yang perlu diberi pemberat telah berkurang jumlahnya dan semakin
jarang.
Ia mengabaikan pekerjaannya, boleh jadi,
atau menunaikannya dengan lalai. Para pendukungnya kala mengunjunginya tidak
begitu terkesan dengan penampakan rak perapiannya. Bagaimanapun ia tidak
terpilih menjadi wakil mereka di Parlemen. Kawannya Charles sangat iba dan
lantas turut berduka dengannya, mendapatinya dalam kesedihan akibat musibah
tersebut, hingga ia hanya bisa menduga bahwa persoalan ini amatlah serius untuk
dapat dihadapinya secara mendadak.
Pada kenyataannya, hari itu John pergi
ke Barnes Common, dan di bawah semak kekuningan ia menemukan sepotong besi yang
sangat mengagumkan. Bentuknya hampir menyerupai kaca, padat dan bundar, namun
dingin dan berat, hitam dan menyerupai logam, sehingga rasanya bukan berasal
dari bumi melainkan dari salah satu bintang yang telah padam, atau dari kerak
bulan. Benda itu memberati sakunya; memberati rak perapian; memancarkan dingin.
Sekalipun begitu, meteorit tersebut menempati birai yang sama dengan bongkahan
kaca dan porselen yang berbentuk bintang.
Seraya matanya menyorot dari satu ke
yang lain, kebulatan tekad untuk memiliki lebih banyak lagi benda-benda
tersebut menyengsarakan si lelaki muda. Ia semakin teguh mencurahkan dirinya
pada pencarian. Seandainya saja ia tak termakan oleh ambisi dan keyakinan bahwa
suatu hari akan ada ganjarannya dalam tumpukan rongsokan yang baru ditemukan,
kekecewaan yang ia alami, belum lagi kepenatan dan cemooh, akan membuatnya
menyerah dengan perburuan itu. Dilengkapi dengan kantong dan tongkat panjang
yang dipasangi kait yang dapat disesuaikan, ia menggedor-gedor setiap lapisan
bumi; menggaruk-garuk di bawah semak belukar yang kusut masai; menelusuri
seluruh lorong dan celah-celah di antara dinding—berharap dapat menemukan
benda-benda semacam itu dibuang di sana. Seiring dengan standarnya yang semakin
meningkat dan seleranya yang semakin tinggi, tak terkira banyaknya kekecewaan
yang ia dapatkan, namun selalu ada sekilas harapan, sepotong porselen atau kaca
yang entahkah sengaja dibentuk atau terpecah, yang menggodanya. Hari demi hari
berlalu. Ia tak lagi muda. Kariernya—karier politiknya—sudah lewat. Orang-orang
berhenti mengunjunginya. Ia begitu pendiam hingga tak ada gunanya mengundang
dirinya ke acara makan malam. Ia tak pernah membicarakan ambisi seriusnya ini
pada siapapun; kurangnya pengertian tampak dari tindak-tanduk mereka.
Ia tengah bersandar di kursinya dan
mengamati Charles mengangkat batu-batu di rak perapiannya sampai lusinan kali
dan menaruh mereka lagi dengan sungguh-sungguh untuk menyatakan apa yang
dikatakannya mengenai kepemimpinan di Pemerintahan, tanpa sedikitpun mengindahkan
keberadaan mereka.
‘Ada apa sebenarnya, John?” ujar Charles
tiba-tiba, berbalik dan menatapnya. ‘Apa yang membuatmu tahu-tahu menyerah
seperti itu?’
‘Aku tak menyerah,’ ucap John.
‘Tapi sekarang kau tak punya kesempatan
sedikitpun,’ sahut Charles dengan kasar.
‘Aku tak sependapat denganmu,’ kata John
dengan yakin. Charles menatapnya dan merasa amat khawatir; kesangsian yang
teramat sangat merasukinya; muncul perasaan ganjil bahwa mereka sedang
membicarakan hal yang berbeda. Ia mengitarkan pandangan dan mendapati kemuraman
yang menggentarkan, namun keadaan ruangan yang kacau malah membuatnya semakin
sedih. Tongkat apa itu, juga kantong babut usang yang tergantung di dinding?
Dan lalu batu-batu itu? Memandangi John, sesuatu yang kukuh dan asing dalam
ekspresinya terasa menakutkan. Jelaslah, bahkan untuk sekadar hadir pada
program partai baginya itu mustahil.
‘Batu-batu yang indah,’ ucapnya seringan
mungkin; lalu menyampaikan bahwa ada janji yang harus ia tepati, ia tinggalkan
John—untuk selamanya.[]
Dayeuh, aku suka banget blog ini! Aku langganan feed-nya, dan senang baca berbagai ceritamu. Dari soal mahasiswa yang nggak lulus-lulus, kalap di pameran buku, sampai waktu temen-temen adik main ke rumah. Rasanya cerita2 itu dekat sekali denganku. Aku juga naksir pembacaan-pembacaan kamu, seringkali membuatku ingin menbaca juga karya yang kamu bahas. : )
BalasHapusNgomong-ngomong ini pertama kalinya aku baca cerpen dan terjemahan cerpen Virginia Woolf. Biasanya aku menghindari tulisannya karena takut akan kalimat-kalimatnya yang panjaang dan kelihatan bertumpuk. Maka aku seneng banget menemukan versi terjemahannya, aku suka cara kamu menyederhanakan kalimat-kalimat panjang jadi kalimat pendek yang mudah kuikuti. Aku yakin menerjemahkannya nggak gampang. Satu hal yang bikin penasaran, mengapa kamu menerjemahkan judul 'Solid Objects' jadi 'Benda Pejal'?
hai kang andika, terima kasih sudah mengapresiasi :D mohon maaf kalau sekiranya ada (dan banyak!) bagian dari hasil terjemahan ini yang kurang memuaskan, enggak enak dibaca, atau gimana...
Hapussaya terjemahin jadi "Benda Pejal" karena kalau "Objek Solid", "Objek Padat", "Benda Padat", dsb, rasanya bagi saya enggak enak wahahaha. Ada saran judul yang lebih tepat, mungkin....?
sekali lagi terima kasih... ini dorongan bagi saya supaya dl percobaan menerjemahkan berikutnya saya lebih hati2...
aktifin lagi atuh kang blognya, hehehe :)
Nggak perlu minta maaf, hahaha!
HapusKupikir judul "Solid Objects" nggak cuma merujuk pada batu-batu yang dikumpulkan oleh John, tapi juga pada obsesinya yang membatu. Kalau 'objects' diterjemahkan menjadi 'benda', aku jadi bertanya apakah obsesi yang membatu bisa juga dihitung sebagai benda.
Kata 'pejal' sendiri mengingatkanku pada pelajaran Fisika. Nggak suka, hihihi. Tapi setelah kuperiksa di kamus, memang cocok sekali menggambarkan kekerasan batu. Aku lebih suka kata 'kukuh'. Mungkin aku akan menerjemahkan judulnya menjadi, "Hal-Hal yang Kukuh.", "Hal-Hal Kukuh" atau malah sekalian, "Membatu."
Kupikir ini cuma masalah selera saja. Kalau persoalan makna sudah beres, aku nggak percaya ada terjemahan yang 'lebih tepat' atau 'lebih enak'. Sekali lagi terima kasih untuk terjemahannya. : )
sepakat. penerjemahan judul ga mesti secara harfiah sih... sempet kepikir untuk mempertimbangkan kalo judul pd cerpen ini bukan sekadar soal batu aja... tapi udah kadung lieur ah hahaha (eits, apologi). terima kasih juga udah kasih saran :D tertarik sama penerjemahan juga?
Hapus