Seorang perempuan bersanggama dengan
mantan kekasihnya di rumah, sementara suami dan anaknya terjebak di toko karena
badai tengah mengamuk. Cerita yang dijuduli “The Storm” ini ditulis oleh Kate
Chopin pada 1898. Konten yang dianggap kontroversial dan “terlalu maju untuk
zamannya” itu mengakibatkan cerpen ini baru dipublikasikan pada 1969—berpuluh-puluh
tahun setelah penulisnya meninggal. Seorang Norwegia menemukannya di gudang
milik cucu sang penulis.
Pada masa cerpen ini ditulis, konon
emansipasi perempuan masih menjadi isu yang tabu di Amerika Serikat. Khususnya
di Lousiana—koloni Prancis dengan tradisi Katolik—yang katanya acap menjadi
latar dalam karya-karya Kate Chopin. Perempuan belum memperoleh kebebasan di
luar rumah, terbebani oleh berbagai urusan domestik, dan disia-siakan oleh
lelaki. Maka melalui cerpen ini, penulisnya seolah hendak menyelipkan pemikiran
bahwa perempuan juga bisa memperoleh kebebasan khususnya dalam perkara seksual.
Ada pandangan bahwa seolah-olah pada
masa itu setiap lelaki suka menekan dan setiap istri merasa terkekang. Maka
dalam cerpen ini ada dugaan bahwa sosok perempuan yang bernama Calixta tersebut
sesungguhnya merasa tertekan dengan tugasnya mengurus rumah tangga. (Tampaknya
ini diisyaratkan lewat adegan ia membuka kancing leher bajunya karena merasa
gerah.) Saking tekunnya bekerja dengan mesin jahit sampai ia tidak langsung
sadar ketika badai tengah menjelang. Lalu datanglah Alcée dengan kudanya.
Mereka pernah menjalin hubungan asmara pada masa lalu namun tidak berlanjut
karena Calixta menikah dengan Bobinôt sedang Alcée dengan Clarisse. Alcée pada
mulanya hendak menumpang berteduh di teras, namun badai makin hebat dan Calixta
mengajaknya masuk. Lalu seperti kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan saja
karena adanya niat tapi juga kesempatan. Waspadalah! Waspadalah! Terjadilah!
Calixta merasa terpuaskan oleh Alcée dan, setelah badai reda, melepaskan
kepergiannya dengan riang. Padahal dalam cerpen ini tidak ada petunjuk bahwa Bobinôt
adalah suami yang sewenang-wenang, malahan sebaliknya. Ia ahli dalam
bercakap-cakap dengan putra mereka, Bibi. Ketika terpikir akan Calixta yang
sendirian di rumah, mungkin khawatir akan badai serta suami dan anaknya yang
tidak bisa segera pulang, ia pun membeli sekaleng udang—makanan favorit Calixta—yang nantinya diberikan pada istrinya
itu. Ketika badai sudah berlalu dan mereka dalam perjalanan pulang, ia
menyempatkan diri untuk membersihkan Bibi yang kotor karena lumpur demi
menghindari perhatian Calixta yang kadang terlalu cermat. Kurang baik apa coba
sosok suami satu ini? Maka perzinaan yang dilakukan Calixta agaknya lebih karena
gairah liar, alih-alih pelampiasan dendam karena sikap suami yang jahanam atau
semacam itu. Sebenarnya ada cerpen lain yang mendahului cerpen ini. Dalam
cerpen berjudul “At the ‘Cadian Ball” (yang saya baru membaca ringkasannya) itu dikisahkan
percintaan antara Alcée dengan Calixta pada masa lalu, namun Clarisse berhasil
menggaet Alcée menjadi suaminya, sehingga Calixta pun menerima pinangan Bobinôt
yang padahal tidak begitu disukainya.
source |
Berdasarkan hasil penelusuran saya mengenai
pembacaan orang lain terhadap cerpen ini, sampai sekarang pun masih ada yang
menganggap kontennya “mengganggu”. Apalagi penyelewengan tersebut seolah tidak
berdampak apa-apa. Bobinôt dan Bibi sampai di rumah dengan selamat. Calixta
menyambut mereka dengan semringah seolah sebelumnya tidak terjadi peristiwa
yang dapat mengancam keutuhan keluarga itu. Alcée sudah pulang ke rumahnya
sendiri dan menulis surat pada Clarisse yang sedang tinggal berjauhan agar
tidak buru-buru kembali. Seolah menjadi pertanda bahwa kesempatan untuk
berselingkuh mungkin saja terjadi lagi. Clarisse pun merasa senang dengan isi
surat tersebut seolah sejak menikah baru kali itu ia mendapatkan kebebasannya dari
suami.
And the first free breath since her
marriage seemed to restore the pleasant liberty of her maiden days. Devoted as
she was to her husband, their intimate conjugal life was something which she
was more than willing to forego for a while.
Bagian ini seakan memberi kesan bahwa
pernikahan adalah sesuatu yang mengekang. Adapun penyelewengan yang dilakukan Calixta
dan Alcée bukanlah hal yang patut diresahkan. Toh badai pasti berlalu dan pada
akhirnya semua orang merasa senang-senang saja. So the storm passed and everyone was happy, begitulah kalimat yang
menutup cerpen ini. Sayang kita tidak sampai tahu bagaimana reaksi Bobinôt dan Clarisse
apabila terungkap kalau pasangan mereka masing-masing ternyata telah berkhianat.
source |
Cerpen ini cukup sering digunakan
sebagai bahan pengajaran Sastra Inggris di sekolah-sekolah. Penceritaannya
tidak neko-neko namun sarat dengan isyarat tersembunyi. Judulnya saja sudah
mengandung konflik: “The Storm”—Badai. Kita bisa mengaitkan antara badai
sebagai peristiwa alam dengan badai dalam hubungan Bobinôt-Calixta yang
diam-diam rentan pengkhianatan. Kedatangan badai sejak paragraf pertama seolah
menjadi foreshadowing. Sesuatu yang
mencekam tengah mendekat dan sesuatu itu bisa berarti peristiwa yang berpotensi
meretakkan keutuhan keluarga. Badai kemudian menyeret para tokoh hingga menuju “klimaks”.
Karena badai, Bobinôt dan Bibi tidak bisa segera pulang ke rumah. Karena badai,
Alcée hendak berteduh di teras rumah Calixta. Karena badai, Calixta ketakutan
sehingga Alcée tergugah untuk menenangkannya yang rupanya membangkitkan kembali
hasrat di antara mereka.
Kepiawaian penulis dalam memanfaatkan
elemen alam sebagai pendukung makna cerita juga hadir dalam sebentuk pohon chinaberry. Ketika sedang mengawasi
amukan badai dari balik jendela, Calixta melihat kilat menghantam pohon chinaberry. Konon dulu kayu chinaberry digunakan sebagai bahan untuk
membuat rosario, sebelum digantikan oleh plastik. Dengan begitu kita mungkin
bisa melihat kaitan antara pohon chinaberry
yang hancur, rosario sebagai atribut keagamaan, dan perzinaan antara Calixta
dan Alcée kemudian yang tentunya dipandang amoral dari segi agama. Namun
kontras dengan pandangan bahwa perzinaan adalah perbuatan kotor, ketika situasi
di antara Calixta dan Alcée memanas, penulis justru mengulang-ulang penggunaan
kata “white”—putih yang biasanya melambangkan kesucian. Entah apakah maksudnya cinta
Calixta selama ini hanya murni untuk Alcée.
Petunjuk menarik lainnya buat saya adalah
perbedaan bahasa yang digunakan oleh Bobinôt, Bibi, dan Calixta, dengan Alcée. Begini
contoh kalimat yang dilontarkan masing-masing.
Bobinôt :
“My! Bibi, w’at will yo’ mama say!”
Bibi : “No; she ent got Sylvie.
Sylvie was helpin’ her yistiday.”
Calixta : “Come ‘long in, M’sieur Alcée.”
Alcée : “May I come and wait on your
gallery till the storm is over, Calixta?”
Bobinôt, Bibi, dan Calixta menggunakan
bahasa Inggris yang ejaannya tidak baku, sebaliknya dengan Alcée.
Kalimat-kalimat Alcée tertata. Maka saya menduga adanya perbedaan budaya antara
Alcée dan Calixta yang menjadi salah satu faktor kenapa mereka tidak begitu
saja dapat bersatu walaupun dulunya saling mencintai. Alcée memiliki kuda,
sedangkan Bobinôt dan Bibi pulang dengan berjalan kaki. Namun saya belum
menemukan pembahasan mengenai ini dalam ulasan-ulasan yang saya baca.
Mana yang baik dipelajari dan mana yang
jangan diteladani, mudah-mudahan pembaca dapat menilainya sendiri.[]
teks
:
untuk
menambah pemahaman:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar