Demi mengikuti seminar jurnalistik
ilmiah di Institut Top Banget pada Sabtu (1/4/14), sejak seminggu sebelumnya
saya membaca satu edisi per hari majalah Geografis
Nasional Indonesia terbitan tahun 2005-2007—seputaran masa SMA saya. Pada
masa itu GN terkesan wow banget bagi
seorang remaja rentan. Maka ketika majalah tersebut diterbitkan dalam edisi
Indonesia, bangkitlah hasrat untuk membeli. Sesekali saja, tapi. Pada masa itu
harga 40.000 yang dalam dua tahun menjadi 50.000 dan bertahan sampai sekarang (minggu
lalu saya cek di Toko Gunung Agung, BIP, ternyata stabil) tetap rasanya lumayan. Harga yang sama cukup untuk
membayar ongkos angkot St. Hall-Gedebage rute Jalan Merdeka-Jalan Reog sepuluh
kali.
Dan sejujurnya saya tidak cukup cerdas
untuk dapat mencerna isi majalah itu dengan mudah.
Maka ketika dalam seminar tersebut
diadakan pelatihan, eh, tantangan menulis feature
dalam waktu singkat dari editor GNI, saya bukannya berpartisipasi malahan
mengobrol dengan kawan yang bidang studinya bukan eksakta. (Seolah eksakta
memiliki hegemoni dalam penulisan ilmiah-populer.) Materi dalam seminar itu
sendiri sebenarnya bisa diperoleh di buku-buku. Pembicara pertama—eks pengurus
persma di kampus penyelenggara acara—menerangkan tentang sepuluh elemen
jurnalisme yang bukunya menjadi pegangan media semacam Tempo, Gatra, dan Pantau.
Sedang mengenai penulisan ilmiah-populer, yang dibahas oleh pembicara kedua, lengkapnya bisa dibaca di buku Slamet Soeseno—Teknik Penulisan Ilmiah-Populer. Maka, sajian utama dalam acara tersebut justru
ketika editor GNI, selaku pembicara kedua yang notabene pemberi tantangan
menulis, membahas hasil karya peserta. Yang dibahasnya mulai dari judul, topik,
nilai berita, sampai gaya penulisan. Banyak peserta yang masih menulis ala "Wikipedia", maksudnya, memulai tulisan dengan pengertian istilah-istilah alih-alih lead yang menarik. Membuka tulisan dengan wacana yang terlalu umum juga kurang baik, mulailah dengan mengemukakan masalah yang spesifik dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Orang yang duduk di kursi kedua dari sebelah
kanan saya sempat ingin menanyakan pada sang editor: Kenapa GNI isinya cuma (ralat: kebanyakan) terjemahan. (Nantinya orang ini maju ke depan karena menjadi juara
ketiga tantangan menulis dari editor tersebut.) Bahkan pembicara pertama mengaku
kalau ia hanya membaca terjemahan. (Sebenarnya Indonesia sudah memiliki majalah
ilmiah-populer sendiri yaitu Sains
Indonesia. Sayang peredaran majalah ini masih terbatas. Di Bandung saja
kita baru bisa menemukannya di Tokema ITB.) Saya teringat ocehan Mama soal
buku-buku sejarah Indonesia yang kebanyakan ditulis oleh bule, juga para penulis
yang lebih doyan membaca sastra asing. Heran juga, bahkan untuk ranah literasi
pun kita masih lebih banyak mengonsumsi (atau percaya pada) produk dari luar.
Memangnya ada apa ya dengan produk dalam negeri?
Coba lihat kemampuan menulis sendiri
dulu deh![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar