Rabu, 05 Maret 2014

Ketika Teman-temannya Adik (yang Cowok) Datang ke Rumah

Siang itu, Senin (3/4/14), hujan deras. Saya baru pulang dari kantin di dekat rumah, menenteng bungkusan sayur-lauk untuk teman nasi. Saya sudah hampir mencapai gerbang rumah, ketika di kejauhan tampak dua remaja laki-laki berpakaian serba putih—kemeja lengan pendek dan celana panjang—menjelang. Yang satu cukup tambun sedang yang lain agak ramping mengenakan topi berwarna gelap—sepertinya topi SMP. Jangan-jangan yang agak ramping itu adik saya baru pulang dari sekolah dengan membawa seorang temannya. Tapi tidak biasanya dia punya gestur selincah itu. Meloncat-loncat di bawah gempuran peluru air. Sempat dia berbalik dan tampak ranselnya yang merah. Ransel adik saya berwarna hitam dan itu satu-satunya yang dia miliki. Mereka sama sekali tidak menjunjung payung. Kasihan jadinya basah kuyup begitu.

Tidak lama setelah saya menutup pintu gerbang, dua remaja laki-laki itu ternyata menghampiri. Terdengar mereka menyebut nama adik saya. “Loh, pulangnya enggak barengan?” tanya saya. “Katanya udah ada di rumah,” ujar mereka. Saya pun menyuruh mereka segera masuk. Mereka menunggu di tengah garasi sementara saya menutup pintu gerbang yang satu lagi. Saya pun melewati mereka, masuk ke dalam rumah, dan menemukan adik saya tengah tiduran dengan enaknya di seberang TV sembari memangku kucing. Lalu saya menyuruh teman-teman adik saya masuk lagi. Bertemulah ketiganya. Saya ingin meminjamkan handuk pada mereka. Saya juga menyuruh adik saya untuk meminjamkan pakaiannya yang kering, dan menyuguhkan minuman. Adik saya satu ini tidak pernah menyuguhkan minuman acap kali ada temannya yang main di rumah. Ketika saya cek ke tempat di mana handuk biasa disimpan, ternyata hanya tersedia selembar waslap kecil. Saya kembali dengan tangan kosong dan lagi-lagi menyuruh adik saya itu untuk meminjamkan pakaiannya dan menyuguhkan minuman—yang tidak dia lakukan.

Setelah memindahkan sayur-lauk dari plastik ke mangkuk-mangkuk, saya menyuruh adik saya untuk mengajak teman-temannya makan. Adik saya mendekat dan bilang kalau mereka sudah membeli mi dan hendak memasaknya. Saya ingat melihat plastik bergambar lebah Alfamart dijinjing salah satu dari teman adik saya itu. Saya lanjut ke dapur untuk menyiapkan makanan bagi kucing yang sudah menuntut-nuntut. Namun rupanya adik saya dan teman-temannya itu pun sudah hendak menyerbu dapur. Saya pun bergegas. Setelah menaruh wadah berisi nasi campur ikan-asin di dekat tangga, saya ke belakang rumah untuk mencuci tangan. Adik saya bertanya air yang mana yang untuk dipakai memasak. Memang di bagian belakang rumah tersedia air dalam berbagai wadah. Air untuk mencuci (entahkah sekadar tangan, anggota tubuh untuk berwudu, atau seluruh anggota tubuh sekalian kala mandi) ditampung di ember, sedangkan air untuk memasak di gentong. Temannya yang tambun lewat sembari memboyong wajan. “Masaknya pakai apa?” katanya. Adik saya mengangkat panci dengan satu pegangan yang memang biasa dipakai untuk memasak mi. Saya menunjukkan pada anak itu di mana ia bisa menaruh wajan kembali. Saya tinggalkan mereka.

Di kamar saya dengar anak-anak itu begitu berisik. Di samping gemericik air dari langit yang menghunjam bumi berkali-kali, terdengar pula gemericik minyak… Entah mereka sedang menggoreng apa. Menyadari kalau mereka hanyalah cowok-cowok kelas tiga SMP yang kemungkinan sedang belajar memasak bersama-sama, mendadak saya tergeli-geli. Saya sempat keluar dari kamar (lalu terdengar celetukan, “Ibu kamu udah pulang?”) dan melihat si tambun berkeliaran di rumah dengan hanya mengenakan singlet. Ia senang sekali tertawa. Sedang yang satu lagi, tidak hanya posturnya yang mirip adik saya tapi juga suaranya dan kalemnya. Namun saya masih bisa membedakan suaranya dengan suara adik saya yang tengah meladeni teman-temannya itu.

Setelah mereka pergi dari rumah, saya mampir ke dapur. Tiga piring dengan potongan-potongan sayur mini menumpuk di satu sisi. Di atas kompor masih terdapat panci berisi air keruh, potongan-potongan mi kering, dan wajan dengan minyak bekas pakai yang warnanya masih kuning. Wadah minyak terpisah dari tutupnya.

Adik saya dan teman-temannya juga pernah jalan bareng ke mal. Di sana adik saya membeli senter kecil bertenaga surya. Tapi sebelum kunjungan ramai-ramai ke mal itu, mereka pernah pergi ke tempat yang agak tidak terduga. Saking menarik sampai adik saya yang perempuan dan lebih besar menggoda adik kami yang bungsu itu, “Tebak, cowok-cowok kalau jalan bareng pada ke mana?” Mal? Jawaban paling standar itu. Tapi tidak. Mereka pergi ke kebun binatang dengan membawa bekal masing-masing.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...