Siang itu, Senin (3/4/14), hujan deras.
Saya baru pulang dari kantin di dekat rumah, menenteng bungkusan sayur-lauk
untuk teman nasi. Saya sudah hampir mencapai gerbang rumah, ketika di kejauhan
tampak dua remaja laki-laki berpakaian serba putih—kemeja lengan pendek dan
celana panjang—menjelang. Yang satu cukup tambun sedang yang lain agak ramping
mengenakan topi berwarna gelap—sepertinya topi SMP. Jangan-jangan yang agak
ramping itu adik saya baru pulang dari sekolah dengan membawa seorang temannya.
Tapi tidak biasanya dia punya gestur selincah itu. Meloncat-loncat di bawah
gempuran peluru air. Sempat dia berbalik dan tampak ranselnya yang merah.
Ransel adik saya berwarna hitam dan itu satu-satunya yang dia miliki. Mereka
sama sekali tidak menjunjung payung. Kasihan jadinya basah kuyup begitu.
Tidak lama setelah saya menutup pintu
gerbang, dua remaja laki-laki itu ternyata menghampiri. Terdengar mereka
menyebut nama adik saya. “Loh, pulangnya enggak barengan?” tanya saya. “Katanya
udah ada di rumah,” ujar mereka. Saya pun menyuruh mereka segera masuk. Mereka
menunggu di tengah garasi sementara saya menutup pintu gerbang yang satu lagi.
Saya pun melewati mereka, masuk ke dalam rumah, dan menemukan adik saya tengah
tiduran dengan enaknya di seberang TV sembari memangku kucing. Lalu saya
menyuruh teman-teman adik saya masuk lagi. Bertemulah ketiganya. Saya ingin
meminjamkan handuk pada mereka. Saya juga menyuruh adik saya untuk meminjamkan
pakaiannya yang kering, dan menyuguhkan minuman. Adik saya satu ini tidak
pernah menyuguhkan minuman acap kali ada temannya yang main di rumah. Ketika
saya cek ke tempat di mana handuk biasa disimpan, ternyata hanya tersedia
selembar waslap kecil. Saya kembali dengan tangan kosong dan lagi-lagi menyuruh
adik saya itu untuk meminjamkan pakaiannya dan menyuguhkan minuman—yang tidak
dia lakukan.
Setelah memindahkan sayur-lauk dari
plastik ke mangkuk-mangkuk, saya menyuruh adik saya untuk mengajak
teman-temannya makan. Adik saya mendekat dan bilang kalau mereka sudah membeli
mi dan hendak memasaknya. Saya ingat melihat plastik bergambar lebah Alfamart
dijinjing salah satu dari teman adik saya itu. Saya lanjut ke dapur untuk
menyiapkan makanan bagi kucing yang sudah menuntut-nuntut. Namun rupanya adik
saya dan teman-temannya itu pun sudah hendak menyerbu dapur. Saya pun bergegas.
Setelah menaruh wadah berisi nasi campur ikan-asin di dekat tangga, saya ke
belakang rumah untuk mencuci tangan. Adik saya bertanya air yang mana yang
untuk dipakai memasak. Memang di bagian belakang rumah tersedia air dalam
berbagai wadah. Air untuk mencuci (entahkah sekadar tangan, anggota tubuh untuk
berwudu, atau seluruh anggota tubuh sekalian kala mandi) ditampung di ember,
sedangkan air untuk memasak di gentong. Temannya yang tambun lewat sembari
memboyong wajan. “Masaknya pakai apa?” katanya. Adik saya mengangkat panci
dengan satu pegangan yang memang biasa dipakai untuk memasak mi. Saya
menunjukkan pada anak itu di mana ia bisa menaruh wajan kembali. Saya
tinggalkan mereka.
Di kamar saya dengar anak-anak itu
begitu berisik. Di samping gemericik air dari langit yang menghunjam bumi
berkali-kali, terdengar pula gemericik minyak… Entah mereka sedang menggoreng
apa. Menyadari kalau mereka hanyalah
cowok-cowok kelas tiga SMP yang kemungkinan sedang belajar memasak
bersama-sama, mendadak saya tergeli-geli. Saya sempat keluar dari kamar (lalu
terdengar celetukan, “Ibu kamu udah pulang?”) dan melihat si tambun berkeliaran
di rumah dengan hanya mengenakan singlet. Ia senang sekali tertawa. Sedang yang
satu lagi, tidak hanya posturnya yang mirip adik saya tapi juga suaranya dan
kalemnya. Namun saya masih bisa membedakan suaranya dengan suara adik saya yang
tengah meladeni teman-temannya itu.
Setelah mereka pergi dari rumah, saya
mampir ke dapur. Tiga piring dengan potongan-potongan sayur mini menumpuk di
satu sisi. Di atas kompor masih terdapat panci berisi air keruh,
potongan-potongan mi kering, dan wajan dengan minyak bekas pakai yang warnanya
masih kuning. Wadah minyak terpisah dari tutupnya.
Adik saya dan teman-temannya juga pernah
jalan bareng ke mal. Di sana adik saya membeli senter kecil bertenaga surya. Tapi
sebelum kunjungan ramai-ramai ke mal itu, mereka pernah pergi ke tempat yang
agak tidak terduga. Saking menarik sampai adik saya yang perempuan dan lebih
besar menggoda adik kami yang bungsu itu, “Tebak, cowok-cowok kalau jalan
bareng pada ke mana?” Mal? Jawaban paling standar itu. Tapi tidak. Mereka pergi
ke kebun binatang dengan membawa bekal masing-masing.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar