Membaca buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya kuncennya Bandung, (alm.) Haryoto Kunto (PT Granesia,
Bandung, cetakan kesatu, April 1986), timbul
rasa penasaran untuk menapaktilasi tempat-tempat yang disebutkan, membandingkan
foto tempo doeloe yang terpajang di buku dengan keadaan pada zaman sekarang.
Misalnya saja Penjara Banceuy yang menjadi tempat Presiden Soekarno menyusun
pidato pembelaannya, “Indonesia Menggugat”. Dalam foto di halaman 878 bentuk
penjara tersebut masih berupa bangunan panjang dengan pintu-pintu sel berderet
di satu sisinya, sedang kini yang tersisa hanya satu sel saja yaitu sel nomor 5
yang dulu dihuni Soekarno, sedang sekelilingnya sudah berupa bangunan-bangunan
pertokoan menjulang. Sebut juga monumen “pantat bugil” di Tjitaroem Plein alias
Taman Citarum yang penampakannya hanya bisa dilihat di halaman 346, lokasi
tersebut kini sudah berganti rupa menjadi Masjid Istiqamah.
Dengan gaya ilmiah-populer yang amat
cair, malah seringkali terasa kedodoran karena pembahasan yang merembet ke
mana-mana, buku ini sebenarnya cukup ringan untuk dibaca. Banyak pengetahuan
menarik yang bisa menambah pemahaman kita akan suatu kota. Misalnya saja,
istilah “alun-alun” menurut Prof. Ir. V. R. van Romondt, guru besar Sejarah Arsitektur
Indonesia di ITB pada 1960-an, berasal dari kata “alun” yang berarti ombak
lautan”. Apa hubungannya “ombak lautan” dengan lahan terbuka di tengah kota? Pada
mulanya adalah tradisi “rampogan” di Alun-alun Mataram, di mana ribuan prajurit
bertombak mengepung harimau lapar dan ditonton oleh masyarakat. Ketika harimau
itu lepas, kocar-kacirlah para penonton hingga tampaknya seperti gerakan ombak
di lautan…
Nah, siapa sangka kalau Daendels
ternyata berperan dalam menentukan letak alun-alun yang notabene pusat Kota
Bandung sekarang? Tahun 1810, Daendels sedang melaksanakan pembangunan Grote
Postweg alias Jalan Raya Pos sepanjang 1000 km yang menghubungkan Anyer-Panarukan.
Pembangunan jalan raya ini melewati kota-kota yang antara satu sama lain
berjarak 15-60 km. Pengaturan jarak tersebut berdasarkan sistem “kereta-pos”
yang tiap jarak tertentu harus berhenti untuk mengganti kuda yang kecapekan,
sehingga dibangun pula pos-pos pemberhentian sebagai tempat bermalam para
penumpang kereta-pos. Ketika pembangunan mencapai kawasan Bandung, rupanya
letak ibukota kelewat jauh dari patok rencana jalan. Daendels pun menitahkan
agar bupati Bandung kala itu memindahkan ibukota dari Dayeuh Kolot ke lokasi
yang akan dilewati jalan raya pos. Maka setelah hitung-hitungan teknis dan
mistis, terpilihlah lokasi pusat kota yang sekarang ini.
Namun pada masa itu sebagian kawasan
Bandung terutama bagian selatan masih berupa rawa-rawa yang jarang ditumbuhi
pepohonan. Gundul, gersang, dan tidak sehat untuk dihuni. Bupati Bandung pada
masa itu, R. A. A. Martanegara (yang kini namanya diabadikan menjadi nama jalan
di dekat rumah saya) membangun saluran irigasi serta mengeringkan lahan untuk
mengatasi buruknya lingkungan. Menyongsong abad 20, barulah Belanda melihat
sisi Bandung yang potensial untuk dijadikan kota koloni. Konsep pembangunan
Kota Bandung dipengaruhi oleh konsep “Garden City” dari Ebenezer Howard yang
disesuaikan dengan iklim tropis. Maka jadilah Bandung pada masa itu hijau
lestari karena ditata oleh orang-orang Eropa yang gandrung akan taman, dengan
bangunan-bangunan yang berwajah Eropa sehingga dijuluki Parijs van Java. Tapi
namanya juga kota koloni. Biarpun presentase pemukim Eropa di Bandung hanya 12
% (tertinggi di antara kota-kota lainnya di Nusantara), namun 52 % dari luas
kota diperuntukkan bagi mereka saja.
Pendudukan Jepang pada 1940-an
menyingkirkan koloni Belanda, disusul oleh kemerdekaan Indonesia, dan kota pun
menjadi milik pribumi sepenuhnya (benarkah?). Bukan hanya Belanda yang minggat,
taman-taman pun ikut “lewat”. Lahan-lahan hijau yang dulu dibikin Belanda untuk
menyegarkan kota satu per satu dikorbankan demi pem”bangunan”—pendirian bangunan-bangunan
apapun fungsinya hingga berjejal dan menjadikan kota terasa sesak. Masalah
lingkungan pun bertambah-tambah. Dari banjir sampai polusi. Kesadaran
lingkungan yang hinggap pada segelintir orang seolah tiada artinya dibandingkan
ketidakpedulian kebanyakan warga. Wajah dan tubuh nan molek-rupawan melenggang
di jalanan kota yang ditebari oleh sampah—alangkah kontrasnya! Tapi itulah
pemandangan sehari-hari di Kota Bandung.
Maka buku ini mengandung pula kritikan
bagi warga kota yang masih tidak acuh pada lingkungan di sekitarnya. Patutlah
dibaca oleh siapapun pemangku kepentingan di Kota Bandung, mulai dari walikota,
pegawai pemerintahan, sampai mahasiswa. Tebal buku yang mencapai 1.116 halaman
memang bisa bikin keder. Daftar kepustakaannya saja sepanjang enam belas
halaman dan meliputi judul-judul berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, serta
sedikit Jerman dan Sunda. Saya pun membacanya dengan mencicil satu bab per
hari. Setelah khatam, rasanya jadi ingin tumpengan.
Sayangnya buku ini terbilang langka
sehingga tidak siapapun bisa mengaksesnya. Penulisnya pun sudah meninggal.
Padahal saya berandai-andai buku ini dicetak ulang karena informasi-informasi
di dalamnya masih menarik dan relevan kendati sudah tiga puluh tahun berlalu.
Tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian semisal pada penjabaran mengenai
rencana induk Kota Bandung yang pada masa itu baru sampai pada 2005.
Seumur hidup saya baru menemukan buku ini sebanyak tiga biji: di stan Lawang Buku
kala Pesta Buku Bandung; di rumah seorang kawan; dan di lemari yang menyimpan
koleksi buku Mama. Tapi agaknya lebih langka lagi buku pendahulunya yakni Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Selain di
stan Lawang Buku pada Pesta Buku Bandung entah berapa tahun lalu, saya baru
melihatnya sebagai properti Komunitas Aleut yang dibawa-bawa acap kali rute ngaleut mencakup kawasan kota. Maklum,
yang pertama disebut diterbitkan pada 1986 sedangkan yang satunya pada 1984. Semerbak Bunga di Bandung Raya tampak
jauh lebih tebal ketimbang buku sebelumnya. Saya tidak memiliki apalagi pernah
membaca Wajah Bandoeng Tempo Doeloe
sehingga tidak bisa membandingkan isi kedua buku tersebut. Namun buku yang
pertama terbit sering kali disebut-sebut sebagai referensi dalam buku yang selanjutnya.
Dengan begitu, bolehlah dikira bahwa buku yang kedua merupakan pemaparan yang
lebih komprehensif mengenai sejarah Kota Bandung.
Dari judul, bahkan warna kover, dan tinjauan
isi buku secara umum, bolehlah diduga kalau Semerbak
Bunga di Bandung Raya mengulas sejarah Kota Bandung khusus dari aspek
lingkungan hidup. Padahal tidak begitu juga. Dari dua puluh satu bab, saya
menandai hanya sepuluh bab yang bahasannya mendekati bidang perhutanan kota
yaitu bab V–bab X dan bab XIV–VII. Lainnya walaupun tidak menjurus langsung
dengan perhutanan kota, namun masih berhubungan dengan alam yaitu bab IV dan
bab XVIII yang membahas tentang air serta bab II mengenai aspek geologi dan
prasejarah. Selebihnya meninjau sejarah kota dari aspek kultural seperti bab
III yang mengeksplorasi khazanah legenda serupa Sangkuriang di berbagai daerah
lainnya di dunia, serta bab XI–XII yang mengusut muasal alun-alun sejak zaman
Mataram sampai pemerintahan Daendels. Bab XIII mengangkat secara khusus
kekayaan kuliner di Kota Bandung yang pada “zaman normal” bisa dinikmati hingga
larut malam. Adapun pada bab-bab terakhir dibicarakan masalah penataan kota
yang sejak tiga puluh tahun lalu saat buku ini ditulis sampai sekarang masih saja semrawut!
Sungguhpun begitu, dengan pembenahan-pembenahan
di seantero kota yang mulai tampak sejak terpilihnya walikota yang baru,
didukung oleh komunitas-komunitas yang makin hidup geliatnya, mudah-mudahan
Bandung menjadi makin nyaman untuk ditinggali dan sejahtera pula warganya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar