Kamis, 6/3/14, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif (selanjutnya Kemenparekraf) menyelenggarakan semacam seminar
mengenai Gerakan Indonesia Menulis di Hotel Golden Flower, Jalan Asia-Afrika (dekat
perempatan sekitar Pasar Baru), Bandung. Jumlah peserta hanya sekitar tiga
puluhan orang. Publikasi acara ini memang tidak besar-besaran. Para peserta
datang karena undangan. Acara serupa sebelumnya telah diadakan di beberapa kota
lain. Mendengarkan keterangan dari penyelenggara acara, saya seakan baru ngeh
kalau industri kepenulisan itu ternyata masuk juga ke dalam bidang ekonomi
kreatif. Maka penulis juga bisa disebut sebagai pekerja kreatif. Wow. Pemerintah
ternyata menaruh perhatian juga pada kalangan penulis. (Mudah-mudahan saya
tidak terlampau naif.)
Dalam struktur organisasi Kemenparekraf,
di ranting dasar terdapat Subdirektorat Pengembangan Tulisan Fiksi dan
Nonfiksi, yang bercabang lagi menjadi Seksi Tulisan Fiksi dan Seksi Tulisan
Nonfiksi. Bidang ini memang masih baru dan jumlah stafnya pun tidak banyak. Berbeda
dari Diknas yang konsentrasinya pada anak-anak sekolah, Kemenparekraf hendak
merangkul komunitas-komunitas dan harapannya dapat menjembatani penulis dengan
penerbit. Sedikitnya yang mereka lakukan adalah menyelenggarakan acara semacam
Gerakan Indonesia Menulis ini, dan kompetisi menulis yang diadakan sejak 2012. (Katanya
kompetisi ini akan diadakan lagi April mendatang—coba pantau www.indonesiakreatif.net.) Hasil daripada
kompetisi yang berupa buku kumpulan karya kreatif (puisi, cerpen, dan novel)
itu dibagi-bagikan dalam acara, namun sepertinya distribusinya terbatas. Kalau
dicari di toko buku sepertinya tidak ada. Padahal bisa kerja sama dengan
penerbit yang beken ya. Tapi katanya penerbit pun sedih karena hanya sedikit
masyarakat yang gemar membeli buku. Tapi bagaimana mau membeli buku, untuk
makan sehari-hari saja harus perhitungan. Yang sebenarnya mampu membeli buku,
malah mengoleksi baju. Namanya juga ekonomi. Orang harus menentukan pilihan.
Kenapa buku mesti lebih menarik ketimbang baju? Persoalannya lantas bukan hanya
daya beli (atau kesejahteraan), tapi minat baca pun memprihatinkan.
Acara yang menurut rundown harusnya dibuka pada pukul sembilan pagi ini baru dimulai
sekitar sejam kemudian. Terdapat dua sesi yang kalau boleh saya katakan sesi
pertama adalah sesi motivasi sedangkan sesi kedua adalah sesi realita.
Sesi pertama dilangsungkan sebelum waktu
zuhur alias istirahat-salat-makan, durasinya hampir 1,5 jam. Materi yang
diungkapkan dalam sesi ini adalah mengenai manfaat menulis baik secara mental
maupun finansial, pentingnya membaca, tips-tips menulis ala Ernest Hemingway
dan Paulo Coelho, latihan-latihan yang bisa dikerjakan di rumah, sampai kebajikan
dari tokoh samurai Jepang—Musashi. Manfaat menulis secara mental ditunjukkan dari
hasil penelitian James W. Pennebaker dari Departemen Psikologi University of
Texas, Austin, Amerika Serikat, bahwa kelompok pasien asma yang menulis selama
dua puluh menit sehari lebih cepat sembuh ketimbang kelompok yang tidak
menulis. (Lalu kenapa para penulis besar seperti Virgina Woolf, Ernest
Hemingway, dan Akutagawa Ryunosuke tetap bisa kena depresi dan pada akhirnya
bunuh diri?) Menulis pun bisa memberikan keuntungan finansial. Orang umumnya
sudah mengetahui bagaimana kesuksesan para penulis kesohor macam JK Rowling,
Andrea Hirata, Dewi Lestari, dan sebagainya. (Tapi jumlah mereka berapa persen sih
dibandingkan para penulis yang hidupnya morat-marit?).
Namun untuk menggapai keuntungan daripada
menulis itu tentunya dibutuhkan laku yang kontinyu atau
latihan-latihan-latihan, dan banyak membaca. Membaca yang bukan asal membaca
tentunya, yang bukan sekadar menyapu kata-kata dengan mata. Melainkan membaca
sambil menganalisis. Ada proses dialog antara pembaca dan teks. Membaca kritis.
Membaca membutuhkan keterampilan sendiri yang kiranya tidak diajarkan di semua
sekolah di negeri kita, tapi untunglah ada buku-buku mengenai itu yang bisa
dipelajari sendiri kalau kita mau blusukan
ke rak koleksi luar negeri di perpustakaan universitas-universitas. Sebetulnya
ada juga beberapa buku keterampilan membaca dalam bahasa Indonesia namun maaf
saya tidak ingat judul-judulnya. Mudah-mudahan mudah pula menemukannya di toko
buku.
Yang paling menempel adalah cerita
pemateri tentang Musashi, Paulo Coelho, dan orang yang belajar memanah. Musashi
yang samurai Jepang itu pada masa mudanya terkenal berangasan, namun setelah
berguru pada Biksu Takuan dan dikeram dalam ruangan yang dipenuhi dengan
buku-buku, ia mampu mengendalikan dirinya dan berkembang secara spiritual (atau
semacam itu). Sejak itu saya terngiang-ngiang akan buku karangan Eiji Yoshikawa
tentang samurai kenamaan itu yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tebal sekali, tampak bersandar di tepi
bawah salah satu rak di Bandung Book Centre Palasari bagian dalam—langsung mengadang
begitu kita memasuki toko tersebut.
Adapun Paulo Coelho adalah pengarang
favorit pemateri sehingga maklum kalau sering disebut-sebut. Begini kutipan
dari sang pengarang.
“The slightest
gesture betrays us, so we must polish everything, think about details, learn
the technique in such a way that it becomes intuitive. Intuition has nothing to
do with routine, but with the state of mind that is beyond technique.”
Terjemahan bebasnya: kalau kita lihat
seorang pemanah berlatih, bidikannya tidak mesti tepat mengenai sasaran. Tapi dengan
memanah terus-menerus walau tampaknya tidak terarah itu sebenarnya ia sedang
melatih intuisi. Saya juga pernah terpikir menulis ibarat belajar berenang.
Orang yang baru belajar berenang mulai dari mencipak-cipakkan tangan dan kaki
di kolam dangkal, membiasakan tubuhnya dengan air hingga mencapai kelenturan,
barulah kemudian ia berhasil mengambang dan meluncur di kolam dalam. Maka saya
pikir sebelum orang bisa menghasilkan tulisan yang mendalam, ia mungkin perlu
menulis (dan membaca) sebanyak-banyaknya biarpun hasilnya dangkal. Agaknya
dengan begitu lama-lama ia berhasil mencapai kedalaman.
Setelah isama, acara memasuki sesi kedua
yang durasinya hampir 2,5 jam. Pemateri kali ini aktif dalam dunia digital
sehingga beliau bicara banyak mengenai fenomena media sosial. Banyak perkataan
menohok yang dilontarkannya. Maklum. Realitanya begitu sih. Sekarang ini orang
bisa mempublikasikan apapun tanpa perlu suntingan terlebih dulu. Lantas yang
terpenting adalah apakah itu disukai atau tidak, sedang bagus atau jelek urusan
belakangan! Dan, “disukai atau tidak” itu tidak mesti ditentukan oleh faktor
karya itu sendiri, melainkan bisa jadi lebih karena faktor penulisnya yang
memang populer. Maka menjadi penulis bukan semata persoalan menulis, tapi juga
bagaimana membangun kepribadian.
Penulis yang berpengaruh belum tentu
penulis yang paling banyak dibaca. Pemateri bertanya pada para peserta di dalam
ruangan: “Siapa yang kenal Budi Darma?” Yang mengacung bisa dihitung jumlahnya
dengan jemari sebelah tangan. Padahal banyak penulis yang mengaku terpengaruh
oleh Budi Darma. Contohnya, Djenar Maesa Ayu. Kenyataannya, yang terpengaruhi
justru lebih beken dari yang memengaruhi.
Agak ekstrim mungkin ketika dikatakan
bahwa penerbitan buku-buku yang tidak bermutu itu secara tidak langsung sebenarnya
mendukung perusakan lingkungan hidup. Pohon itu makin langka! Kertas itu mahal!
Dengan adanya media digital sebagai alternatif semestinya ada keketatan dalam
menyeleksi naskah mana yang benar-benar patut dicetak dan mana yang sepantasnya
berdiam di blog saja. Pemateri dalam sesi pertama yang notabene bekerja di
penerbitan mengungkapkan bahwa memang ada dilema dalam menentukan naskah yang
hendak diterbitkan. Pernah ia diberi naskah fantasi terjemahan yang menurutnya
tidak layak. Namun ketika naskah tersebut diterbitkan oleh penerbit lain,
hasilnya ternyata best seller.
Selain materi dari dua pembicara,
peserta diberikan semacam pre test
dan post test. Nomor terakhir dalam post test berisi pertanyaan yang isinya
kira-kira begini: “Masalah apa yang dihadapi dalam menulis dan bagaimana
solusinya?” Saya pun menjawab: “Masalah: malas dan pesimis. Solusi: Tetap
berusaha belajar untuk menulis dengan sebaik-baiknya.” Kalau boleh pinjam istilah Prof. Yohanes Surya, Ph. D. dalam artikelnya tentang "mestakung" (suplemen MUDA, KOMPAS, 20/10/06), saat ini saya merasa berada
di "titik point of no return". Ditambah
pertanyaan Adele dalam lagu “Chasing Pavements”, “Should I give up or should I just keep chasing pavements, even if it leads
nowhere?” Kalau give up, usaha
selama ini akan sia-sia. Selama ini.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar