Buku Sejarah
dan Sejarawan yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan
diterbitkan oleh PN Balai Pustaka ini tebalnya hanya 24 halaman. Di halaman
paling akhir, terdapat titimangsa: “Jakarta, 28 Oktober 1963”. Pertama kali
diterbitkan pada 1964 dan dicetak ulang pada 1984, buku ini tentunya telah
mengalami perubahan ejaan dari ejaan lama alias Ejaan Republik (1947) menjadi
Ejaan yang Disempurnakan (1972). Ibu saya memperolehnya pada 29 September 1987
dengan harga 675 rupiah saja. Ringan bobotnya, ringan pula penyampaiannya.
Ukuran hurufnya pun cukup besar. Sepertinya pas bagi yang baru ingin mendekati
sejarah, sebelum mencicipi sejarah itu sendiri.
Jadi apakah sejarah itu? Peristiwa atau
kisah? Ilmu atau seni? Apa gunanya? Siapakah sejarawan itu dan mungkinkah ia
objektif dalam menuliskan karyanya? Bagaimana peranan sejarawan dalam
masyarakat? Penjelasan daripada pertanyaan-pertanyaan tersebut terhimpun dalam
lima bab yang saya coba sarikan sebagai berikut.
I.
Sejarah sebagai Peristiwa dan Sejarah sebagai Kisah
Sejarah bisa berarti kisah tentang masa
lampau, dan bisa pula berarti masa lampau itu sendiri (peristiwa). Pada hakikatnya
yang kita hadapi adalah sejarah sebagai kisah atau lebih tepatnya sebagai karya
orang yang menuliskannya, yakni sejarawan. Sejarawan menyusun karyanya
berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh sejarah sebagai peristiwa.
Jejak-jejak tersebut dapat berupa benda
(bangunan, senjata, patung, dan lain-lain), tulisan
(surat, majalah, dokumen, dan lain-lain), dan keterangan lisan.
II.
Sejarah: Ilmu atau Seni?
Cara menuliskan kisah sejarah sebetulnya
tidak seberapa berbeda dengan kisah sastra yang merupakan karya seni.
Sungguhpun begitu, kisah sejarah tergolong kisah nyata. Sejarawan menggunakan
cara-cara ilmiah dalam menganalisis sumber-sumber yang akan digunakannya. Tiap
sumber diteliti sungguh-sungguh sehingga dapat dipercaya lalu dijadikan bahan
untuk penulisan sejarah. Namun sejarah barulah disebut sejarah apabila
bahan-bahan tersebut telah diolah dan dirangkai secara selaras sehingga menjadi
suatu kisah. Adapun apabila hanya berupa daftar tahun dengan keterangan
peristiwa di belakangnya, itu bukanlah sejarah melainkan kronik. Walaupun
bahan-bahan yang digunakan telah teruji secara imiah, namun penulisannya tidak
lepas dari penafsiran sejarawan. Bahan boleh sama, tapi dua orang sejarawan
akan menuliskan dua kisah yang berbeda berdasarkan penulisan dan penyimpulan
masing-masing. Bisa disimpulkan bahwa dalam taraf penelitian sumber-sumber,
sejarah bersifat ilmiah, sedang dalam taraf penyimpulan dan penulisannya,
sejarah bersifat seni. Maka sejarawan harus menggabungkan sifat seorang sarjana
dan seorang seniman.
III.
Sejarawan dan Subjektivitas Sejarah
Mengapa dua orang sejarawan dapat
menuliskan dua kisah yang berbeda mengenai peristiwa yang sama dapat disebabkan
oleh faktor-faktor seperti: sikap berat
sebelah pribadi, semisal sejarawan bisa saja menyukai tokoh-tokoh tertentu
dan membenci yang lain; prasangka
kelompok, semisal sejarawan Islam akan mempunyai pandangan yang berbeda
dengan sejarawan Kristen mengenai Perang Salib; interpretasi berlainan tentang faktor sejarah, semisal apakah
faktor politik internasional, faktor militer, atau faktor ekonomi yang menjadi
pengaruh terbesar terhadap terjadinya suatu peristiwa?; dan pandangan dunia yang berbeda-beda,
semisal tafsiran sejarawan keagamaan akan berbeda dengan sejarawan Marxis. Oleh
sebab itu, objektivitas mutlak di dalam sejarah itu tidak mungkin. Sejarah
sebagai kisah pada pokoknya bersifat subjektif, sesuai dengan kepribadian dan
pandangan sejarawannya. Sungguhpun begitu, setiap sejarawan tetap harus
mengusahakan objektivitas dalam keterbatasannya.
IV.
Apa Guna Sejarah?
Sedikitnya ada tiga manfaat yang bisa
kita peroleh dari sejarah, yaitu: memberi
pelajaran, memberi inspirasi, dan
memberi kesenangan. Dari Perang
Kemerdekaan Amerika misalnya, kita dapat mengambil pelajaran bahwa kemenangan
bisa dicapai oleh pihak yang lemah berkat mengombinasikan perang kerakyatan
yang gigih dengan diplomasi yang ulung. Dari pelajaran tersebut, kita mungkin
terinspirasi dan tergerak jiwanya untuk ikut serta dalam mencetuskan suatu peristiwa
besar. Adapun kesenangan dapat kita peroleh dari sejarah apabila kisah tersebut
dituliskan dengan bagus sebagaimana sebuah karya sastra. Kita pun merasa dibawa
melintasi waktu dan tempat, seolah menyaksikan kejadian-kejadian dalam suasana
yang berlainan dengan suasana kita sekarang.
V.
Peranan Sejarah dalam Masyarakat
Sejarawan seyogianya dapat memenuhi tiga
kegunaan sejarah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dalam konteks
Indonesia, penulisan sejarah harus diarahkan pada upaya menggapai cita-cita
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sejarah Indonesia harus
menekankan persatuan mengingat rakyat negeri ini yang majemuk. Dalam konteks
dunia, sejarah hendaknya dapat menjadi pelajaran untuk menghindarkan malapetaka
sejagat. Sungguhpun begitu, bukan berarti sejarawan harus merekayasa kenyataan
dengan hanya mengedepankan peristiwa-peristiwa menyenangkan dan menggelapkan
peristiwa-peristiwa memalukan.
Masih lebih banyak buku sejarah Indonesia
yang ditulis oleh orang luar negeri ketimbang oleh orang Indonesia sendiri.
Sebagaimana tertera dalam bab pertama buku ini, “Sudah tiba saatnya orang
Indonesia menuliskan sendiri sejarahnya…” (halaman 9). Terlepas dari masalah perbedaan kualitas
penulisan antara “produk luar” dan “produk lokal”, sejarah Indonesia yang
ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan keunikan kepribadian dan pandangan
yang mewakili bangsanya, sekiranya dapat menjadi sebuah refleksi. Dan refleksi
adalah awal dari perubahan. Perubahan ke arah yang baik, mudah-mudahan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar