Kamis (27/2/14) sekitar pukul tujuh
malam saya berjalan beriringan bersama seorang kenalan menyusuri Jalan Ganesa—dari
Masjid Salman menuju Jalan Ir. H. Juanda. Kenalan saya enggan menapak trotoar
karena takut. Saya yang heran pun bertanya apa gerangan dia pernah mengalami
kejadian tertentu di trotoar tersebut. Saya perhatikan penerangan di trotoar
sisi kanan kami itu hanya berasal dari deretan rumah di sampingnya. Itupun
tidak terang amat namun tentu aneh kalau saya menyebutnya “peredupan” apalagi “penggelapan”—konteksnya
sudah berbeda. Adapun sisi lain trotoar, berbatasan dengan jalan raya, rimbun
oleh jalur hijau mulai dari tanaman hias sampai pepohonan yang berpotensi
menambah kesan seram. Namun trotoar itu juga tidak sepi amat. Tidak sedikit
orang yang melintas di sana, juga duduk-duduk di bangku yang tersedia. Mungkin kenalan
saya itu takut diganggu entah siapa. Saya sendiri biasanya melalui trotoar itu tiap
ke/dari Masjid Salman/ITB apabila dari/menuju Jalan Ir. H. Juanda, dan selama
ini aman saja entah sedang terang atau sudah gelap. Mengenai gangguan di ruang
publik ini saya teringat pengalaman saya kala bertemu ekshibisionis di Taman
Balaikota beberapa minggu lalu. Waktu itu siang benderang, saya dan kawan mengobrol
sembari lesehan beralaskan rerumputan di salah satu sisi taman. Saking asyiknya
bicara, entah setelah berapa lama saya baru menyadari kalau bapak-bapak yang
duduk beberapa meter jauhnya sedang mempertontonkan “jamur merah”-nya ke arah
kami. Hiii… Kontan saya mengajak kawan saya itu untuk pindah pelan-pelan. Kembali
pada situasi di malam Jumat, saya pun bisa mafhum ketakutan kenalan saya itu
akan gangguan yang mungkin terjadi di tempat gelap semacam trotoar Jalan Ganesa
itu. Maka kami berjalan di jalan aspal. Posisi kenalan saya di sebelah kanan,
dekat jalur hijau yang memagari trotoar, sedang saya di kiri, dekat kendaraan
yang sesekali berdesing melaju melawan arah kami. Kecepatan rata-rata kendaraan
lumayan juga karena jalanan cukup lowong. Sempat dari arah berlawanan tersebut
datang motor yang digas kencang-kencang. Saya pun bilang pada kenalan saya itu,
“Saya malah lebih takut kalau jalan di sini.” “Kenapa gitu?” tanggapannya. “Soalnya
ini jalan kendaraan.” Rentan keserempet. Dia tampaknya mesem-mesem saja. Untung
kami sudah dekat dengan belokan yang menjadi titik perpisahan kami—dia hendak
menyetop angkot sedang saya terus ke kanan hendak ke kawasan Jalan Merdeka.
Segera saya menjejakkan kaki di bebatuan yang mengalasi trotoar. Leganya
kembali ke jalan yang benar! []
Halo, Halo, Halo! (1/2) (Yasutaka Tsutsui, 1979)
-
“Aku boleh beli pakaian baru, sayang?” tanya istriku. “Sudah dua tahun aku
tak beli pakaian baru.”
“Benar,” sahutku memberengut.
Aku sendiri perlu setel...
1 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar