Decak. Desah. Aku tak bisa menahan diri untuk tak melampiaskannya. Suara cempreng itu sudah menggangguku lagi sepagi ini—argh! Aku berlagak seolah tak punya kuping. Namun rentetan namaku tetap melayang-layang melintasi jalan raya. Tetap jua menggetarkan rumah keong dalam kepalaku!
Sudah kubilang sedari tadi, “DEADLINE-NYA UDAH LEWAT!” Lagi, decak dan desahku bergumpal menyatu dengan uap air ke luar dari mulutku. Aku jadi tak ingin berjalan santai lagi. Semakin gegas langkahku. Aku lupa, dia lebih berpengalaman jalan kaki. Hilir mudik angkutan kota dan kendaraan pribadi tak cukup jadi penghalangnya untuk dapat menjejeri langkahku dari seberang sana.
“AYOLAAAAAH…!” Dia merajuk lagi. “PALING JUGA KAMU BARU NGERJAINNYA HABIS INI KAN? ARTIKELKU MASIH BISA MASUK KAN?”
“HAH? APA? NGGAK KEDENGERAN NIH!” Balasku, seakan polusi suara jalanan ini benar-benar mengganggu. Aku tersenyum puas. Kupalingkan sekalian badanku memasuki halaman universitas. Biar tahu rasa cewek itu!
Dia tak pernah mengerti arti “deadline”. Seolah kedekatan kami selama ini bisa jadi tiketnya untuk melalui itu. Beberapa kali memang aku terlalaikan, berkat sikap manisnya, hal-hal dari dirinya yang membuatku terpikat, bujuk rayunya… Hah, itu semua tak lagi berguna! Akibat kelenaanku selama itu, teguran-teguran pinum kuabaikan. Kusadari, kebandelan cewek itu sudah menulariku. Aku jadi sering berkilah, mengundur-undurkan tanggal terbit buletin kami, menyisakan ruang di sana agar tulisan cewek itu bisa muat—padahal ada tulisan-tulisan lainnya yang lebih layak! Cewek itu benar-benar memanfaatkan posisiku sebagai redaktur untuk eksistensinya! Sampai ultimatum pinum menyadarkanku.
Kuharap kali ini dia bisa mengerti apa itu “deadline”!
“BINSAAAAAAAAAAAR…!” Teriaknya lagi, memantul di punggungku. Semoga ini desahku yang terakhir kali. Semoga akhirnya dia mengerti bahwa aku tak lagi bisa dia pengaruhi.
Langkahku kian menjauhi keramaian lalu lintas. Kucoba menafikannya. Setidaknya rencana mendekam di sekre persma seharian untuk mengedit materi buletin cukup dapat menggusahnya dari pikiranku—sekaligus menerbitkan gairahku.
Namun dalam sepersekian detik kemudian, aku tak dapat menahan kepalaku agar tak menoleh lagi ke belakang. Ada bunyi keras dari arah jalan raya yang menimba jerit terkejut dari para pejalan kaki dan pedagang kaki lima. Yang menghentikan laju kendaran dari kedua lajur. Yang membungkam suara cempreng yang sedari tadi menyerukan namaku.
Mataku hanya menangkap warna-warni ranselnya, hitam aspal, dan merah… Kupalingkan kepalaku ke bawah. Lekas kuangkat kakiku yang ternyata menginjak kodok—semoga isi tubuhnya terburai begitu karena terlindas mobil, bukan karena terinjak Doc Mart-ku! Ah. Aku mendesah lagi melihat alas kakiku berbercak merah. Desah dan desah lagi, napasku kian tak teratur. Nanar…
Dia yang biasa membawa berita untukku kini bakal jadi berita.
Mungkin tidak akan ada lagi deadline
untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar