Jumat, 02 Desember 2011

Lolita

            OmYan membolehkan kami meminta videoklipnya, tapi tidak untuk disebarluaskan. Aku memperlihatkan videoklip itu pada Mama. Ia tampak terkesan. Sesekali ia berkomentar, “Aih, genitnya!”

            Aku kira Mama tidak akan menyinggung tentang hubunganku dengan Om Yan lagi. Namun rupanya, salah.

            “Habis ketemu Om Yan lagi?”

            “Iya, tapi enggak ke mana-mana kok. Cuman main ke rumahnya aja. Sama teman juga.”

            “Siapa?” Mamaku selalu ingin kenal dengan teman-temanku.

            “Manda.”

            “Yang cewek apa yang cowok?”

            “Yang cowok. Dia suka sama Ardian Hayyra juga.”

            Lalu Mama memberikanku sebuah novel berjudul “Lolita”. “Buat dibaca lo Be, bukan buat ditaruh aja,” katanya. Mengingat pengalaman yang lalu dengan novel Iwan Simatupang dan A. A. Navis, aku pikir aku memang harus membaca novel ini.

Begitu membaca sinopsis di sampul belakangnya, aku merasa bisa meraba maksud Mama. Namun aku tidak mengatakannya. Aku malah mengira Tante As telah coba menghasut Mama.

            Novel “Lolita” bercerita mengenai percintaan seorang pria bernama Humbert Humbert dengan seorang gadis belia bernama Dolores Haze.

            Mendadak aku jadi malas membacanya.

            Begitu Mama pergi, aku baca novel itu sekilas demi sekilas. Meski alih bahasanya oke, tapi tebal halamannya makin bikin aku malas. Aku cukup suka baca novel tapi aku bukan pelahap segala novel seperti Mama sebetulnya. Aku tidak ingin membaca novel ini.

            Namun begitu melewati sebuah rental film keesokan harinya, sepulang bimbel, aku ingat bahwa novel tersebut pernah difilmkan, entah tahun berapa, mungkin sudah lama sekali. Aku penasaran apakah rental tersebut memilikinya. Meski aku harap aku keluar dengan meminjam film lainnya saja karena film tersebut tidak ada saking zadulnya.

            Produksi terbaru dari remake film tersebut adalah keluaran tahun 1997. Aku harus pinjam laptop papaku kalau mau memasukkan keping VCD ini, tapi aku tidak mau Papa ikut menonton bersamaku. Selain laptop Papa, tidak ada alat pemutar lainnya di rumah.

            Aku menimbang-nimbang hendak menonton di rumah Uwak Tata atau Tante As. Mengingat adanya para bocah bandel di rumah yang pertama, aku cenderung pada rumah yang kedua. Aku harap Tante As tidak akan tertarik untuk ikut menonton. Sebab kalau iya, ia pasti bakal mengeluarkan kalimat favoritnya, “Apa Tante bilang?”

            Kandungan Tante As sudah masuk trisemester ketiga dan ia merasa harus selalu pakai popok. Ia juga terlalu malas untuk beranjak dari sofa. Kadang aku iba melihatnya yang seperti menanggung beban begitu berat. Kadang, ketika aku menemaninya bekerja, ia meletakkan alat gambarnya sesekali hanya karena sesuatu yang terjadi dalam tubuhnya. Lalu tertatih-tatih ia berjalan ke kamar mandi. Kerawanan dalam hatiku mencair ketika teman atau teman-temannya datang di sore hari. Dengan intervensi dariku dan mereka, sejauh ini Tante As masih bisa mengatasi kehamilannya. Namun pertambahan usia kandungannya seiring dengan meningkatnya kecemasanku akan dia.

Meski demikian, kelembaman Tante As terasa menguntungkan ketika ia membiarkanku melakukan sesukaku di studionya—asal aku tidak mengacak tatanan. Maka aku memutar film tersebut. Dan merisau.

Aku tidak merasa hubunganku dengan Om Yan seperti Dolores Haze dengan ayah tirinya. Menjijikkan. Aku yakin pasti Om Yan tidak punya hasrat seperti itu padaku. Aku tahu ia hanya ingin dengan Tante Ri. Aku tahu, ya pokoknya aku tahu saja. Kami hanya bersahabat—tidak bisakah dua orang berlawanan jenis dan berjauhan umur bersahabat? Hal yang paling mengangguku adalah bahwa ia yang berperan sebagai Humbert Humbert dalam film itu telah memancing simpatiku, dan aku merasa ia agak mirip dengan Om Yan, tapi jelas aku tidak seperti sang Lolita.

Entah mengapa aku menjadi sangat gusar. Batinku tidak tenang. Jadi aku menelepon Mama, tidak mau tahu kalau-kalau ia sedang bersama narasumber atau apa.

“Hei Bibe, tumben nelepon,” Mama menjawab panggilanku.

“Ma, kenapa sih Mama suruh aku nonton itu, eh, maksudku aku enggak baca si Lolita itu tapi udah nonton filmnya. Kenapa Mama sampai mikir aku seperti itu dengan Om Yan?” Usil benar mamaku ini!

“Eh, eh, pelan-pelan…” sahut Mama. Deru kendaraan menjadi latar, tapi suaranya terdengar jelas sekali di telingaku. “Be, Tante As itu khawatir sama Bibe.”

Argh. Tante As lagi.

“Mama enggak tahu Bibe gimana sama Om Yan. Mama mah yakin Om Yan baik-baik aja. Mama cuman mau nyampaikan keluhannya Tante As aja, karena Bibe enggak nurut-nurut, gitu… Tante As suruh Mama kasih tahu Bibe ceritanya Lolita itu.”

Dan orang yang disinggung Mama berada tepat di ruangan sebelah. Betapa asyiknya ia menonton TV tanpa menyadari telah bikin aku gusar seperti ini.

“Lah, Mama enggak belain teman Mama sendiri, Tante As udah ngejelek-jelekin gitu?”

“Ya Bibe kan tahu sendiri Tante As orangnya kayak gimana. Yang penting Mama udah sampaikan, Mama juga setuju Bibe harus tahu diri sama orang lain ya.”

“Ma—!”

“Udah ah. Dari tadi Mama mau nyebrang enggak jadi-jadi…”

Mamaku memutuskan sambungan. Aku menangkap ketidakpastian dalam nada suaranya tadi. Baiklah, aku akan berkonfrontasi langsung dengan si pencari perkara.

Aduh. Aku tidak tega menyentak-nyentak bumil. Sudah keadaannya payah begitu… Mencamil kacang dengan raut serius, padahal yang ia tonton hanya American Next Top Model.

Jadi aku mendekatinya dengan menekan perasaan sekuat mungkin.

“Tante…”

“…ya?”

“Tante yang suruh Mama suruh aku baca ‘Lolita’?”

“Apa?” Ia mematikan suara TV-nya. Aku ulangi pertanyaanku tadi.

“Ya, filmnya, novelnya, sama aja mungkin,” jawabnya acuh tak acuh. Ia tak suka membaca novel.

“Pikiran Tante tuh berlebihan,” kataku.

“Oh ya?”

Kami bertatapan. Dan itu membuat dadaku jadi makin sesak. Tapi aku tidak mau mengaku padanya. Aku tidak akan mengaku. Tidak akan pernah mau. Kalau aku. Mengetahui sesuatu.

Aku lupa itu di acara jalan kami yang kapan. Om Yan hendak mengisi bensin, jadi kami berhenti di pom. Sementara ia keluar untuk bertransaksi, aku iseng membuka dashboard. Barangkali aku akan menemukan cokelat lagi atau benda menarik lainnya.

Dan memang ada yang menarik.

Aku menemukan majalah yang ada gambar kepala kelincinya. Edisi beberapa bulan lampau. Dan tidak hanya satu.

Aku belum pernah membuka majalah bertajuk ini sebelumnya. Toh penerbitan versi Indonesianya saja bikin kontroversi. Pose dan selembar kain yang menutupi model sampulnya saja sudah bikin aku teguk ludah. Jadi aku melihat halaman demi halaman majalah tersebut dengan tidak sabaran. Seketika aku sampai pada bagian-bagian yang menantang.

Apa yang akan aku lakukan kalau memergoki papaku sendiri punya barang begini? Mustahil rasanya. Mama bilang Papa itu orang paling lurus sedunia. Lihat saja rambutnya.

Olala. Pintu mobil sebelah kananku terbuka. Di tanganku juga majalah itu masih terbuka. Aku menyengir padanya. Ia hanya melihat sekilas sesuatu yang ada di tanganku dan juga pangkuanku.

“Ternyata Bibe doyan baca yang gituan juga…” katanya. Jelas ia bercanda.

Aku coba bersikap wajar. Kubalikkan kata-katanya. “Iih, Ayah kok bacanya yang ginian?”

“Bacaan di pesawat…” jawabnya dengan santai.

Setelahnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian tersebut. Melihat polah beberapa temanku sendiri, yang cowok, aku merasa ini hal lumrah bagi lelaki. Dan, sumpah, gaya Om Yan sama sekali tidak seperti pria hidung belang. Ia orang dekat keluarga besarku, aku percaya padanya. Tante As saja yang tidak pernah mau mengenal keluarga besarnya.

Kini hal itu jadi mengusikku lagi. Sekali lagi, aku berusaha menganggap itu lumrah. Ini bukan hal penting untuk dipersoalkan. Seperti itulah dunia lelaki.

Dan Tante As pun berkata, “Kita enggak tahu seberapa besar orang punya hasrat seksual, Bibe.”

“Hah, apa?” Oh tolong Tante, meski aku tak yakin dengan apa yang Tante baru katakan, jangan sebut hal iyuh itu lagi. Aku asing sekaligus ngeri mendengarnya.

Tapi Tante As mengulanginya. “Has-rat sek-su-al. Seks.”  Ah. Telingaku terasa geli. Aku bergidik. “Kalau enggak ada itu,adikmu enggak jadi.”

Aku tidak mau mendengarnya. Aku memang mau adik, tapi proses di balik itu bukan urusanku sama sekali.

“Apalagi pria dewasa,” lanjut Tante As. Kepalanya teleng lagi ke TV. Layar datar itu kembali bersuara, namun pelan saja. “Sudah matang, enggak menikah.”

“Belum,” koreksiku. Sebal deh. Habis ini ia pasti bakal mengata-ngatai pria itu impoten atau homo. “Temanmu juga ada yang enggak menikah.”

Tante As memandangku lagi. Ada warna lain pada ekspresinya sebagai respons atas jawaban kasarku tadi. “Ya, Bibe. Menikah atau enggak menikah itu pilihan. Tapi setiap orang punya kebutuhan untuk itu. Kalau kamu sudah sebesar aku,” ia menyentuh dadanya lalu menunjukku, “atau sebesar ayahmu itu, kamu bakal merasakan sendiri. Syukur-syukur kamu bisa tahan.”

“Usiaku 18 tahun, tapi aku enggak ngerasain apa-apa tuh,” aku mengeyel. Menurut media, di usia ini aku sudah pantas merokok dan menonton film dewasa. Tapi tidak aku lakukan karena aku tidak suka asap rokok dan menonton orang begituan itu sangat menjijikkan.

“Kalau gitu, tunggu sampai usia kamu dua puluh, atau dua lima. Tunggu saja. Kamu bakal ngebet pingin cepat-cepat menikah.”

“Kalau udah umur dua-puluhan mah emang udah waktunya nikah.”

Balasnya dengan sinis, “Percaya deh, bukan hanya karena umur. Pernah tanya sama Mama, kenapa Mama Bibe mau nikah sama Papa Bibe?”

Iyuh. Tapi memang aku pernah tanya. Jawaban Mama hanya, “Karena Papa laki-laki.” Kalau papaku perempuan, Mama tidak akan mungkin bisa hamil aku.

“Nah?” sambut Tante As akan laporanku atas jawaban Mama. Aku tidak merasa jawaban Mama itu bersambung dengan apapun yang Tante As maksudkan. Yang aku yakin pasti adalah, kegerahan yang aku rasakan melebihi kegerahan yang dirasakan ibu hamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain