OmYan membolehkan kami meminta
videoklipnya, tapi tidak untuk disebarluaskan. Aku memperlihatkan videoklip itu
pada Mama. Ia tampak terkesan. Sesekali ia berkomentar, “Aih, genitnya!”
Aku kira Mama tidak akan menyinggung
tentang hubunganku dengan Om Yan lagi. Namun rupanya, salah.
“Habis ketemu Om Yan lagi?”
“Iya, tapi enggak ke mana-mana kok.
Cuman main ke rumahnya aja. Sama teman juga.”
“Siapa?” Mamaku selalu ingin kenal
dengan teman-temanku.
“Manda.”
“Yang cewek apa yang cowok?”
“Yang cowok. Dia suka sama Ardian
Hayyra juga.”
Lalu Mama memberikanku sebuah novel
berjudul “Lolita”. “Buat dibaca lo Be, bukan buat ditaruh aja,” katanya.
Mengingat pengalaman yang lalu dengan novel Iwan Simatupang dan A. A. Navis,
aku pikir aku memang harus membaca novel ini.
Begitu
membaca sinopsis di sampul belakangnya, aku merasa bisa meraba maksud Mama. Namun
aku tidak mengatakannya. Aku malah mengira Tante As telah coba menghasut Mama.
Novel “Lolita” bercerita mengenai
percintaan seorang pria bernama Humbert Humbert dengan seorang gadis belia
bernama Dolores Haze.
Mendadak aku jadi malas membacanya.
Begitu Mama pergi, aku baca novel
itu sekilas demi sekilas. Meski alih bahasanya oke, tapi tebal halamannya makin
bikin aku malas. Aku cukup suka baca novel tapi aku bukan pelahap segala novel
seperti Mama sebetulnya. Aku tidak ingin membaca novel ini.
Namun begitu melewati sebuah rental
film keesokan harinya, sepulang bimbel, aku ingat bahwa novel tersebut pernah
difilmkan, entah tahun berapa, mungkin sudah lama sekali. Aku penasaran apakah
rental tersebut memilikinya. Meski aku harap aku keluar dengan meminjam film
lainnya saja karena film tersebut tidak ada saking zadulnya.
Produksi terbaru dari remake film
tersebut adalah keluaran tahun 1997. Aku harus pinjam laptop papaku kalau mau
memasukkan keping VCD ini, tapi aku tidak mau Papa ikut menonton bersamaku.
Selain laptop Papa, tidak ada alat pemutar lainnya di rumah.
Aku menimbang-nimbang hendak
menonton di rumah Uwak Tata atau Tante As. Mengingat adanya para bocah bandel
di rumah yang pertama, aku cenderung pada rumah yang kedua. Aku harap Tante As
tidak akan tertarik untuk ikut menonton. Sebab kalau iya, ia pasti bakal
mengeluarkan kalimat favoritnya, “Apa Tante bilang?”
Kandungan Tante As sudah masuk
trisemester ketiga dan ia merasa harus selalu pakai popok. Ia juga terlalu
malas untuk beranjak dari sofa. Kadang aku iba melihatnya yang seperti
menanggung beban begitu berat. Kadang, ketika aku menemaninya bekerja, ia
meletakkan alat gambarnya sesekali hanya karena sesuatu yang terjadi dalam
tubuhnya. Lalu tertatih-tatih ia berjalan ke kamar mandi. Kerawanan dalam
hatiku mencair ketika teman atau teman-temannya datang di sore hari. Dengan
intervensi dariku dan mereka, sejauh ini Tante As masih bisa mengatasi
kehamilannya. Namun pertambahan usia kandungannya seiring dengan meningkatnya
kecemasanku akan dia.
Meski
demikian, kelembaman Tante As terasa menguntungkan ketika ia membiarkanku
melakukan sesukaku di studionya—asal aku tidak mengacak tatanan. Maka aku
memutar film tersebut. Dan merisau.
Aku
tidak merasa hubunganku dengan Om Yan seperti Dolores Haze dengan ayah tirinya.
Menjijikkan. Aku yakin pasti Om Yan tidak punya hasrat seperti itu padaku. Aku
tahu ia hanya ingin dengan Tante Ri. Aku tahu, ya pokoknya aku tahu saja. Kami
hanya bersahabat—tidak bisakah dua orang berlawanan jenis dan berjauhan umur
bersahabat? Hal yang paling mengangguku adalah bahwa ia yang berperan sebagai
Humbert Humbert dalam film itu telah memancing simpatiku, dan aku merasa ia
agak mirip dengan Om Yan, tapi jelas aku tidak seperti sang Lolita.
Entah
mengapa aku menjadi sangat gusar. Batinku tidak tenang. Jadi aku menelepon
Mama, tidak mau tahu kalau-kalau ia sedang bersama narasumber atau apa.
“Hei
Bibe, tumben nelepon,” Mama menjawab panggilanku.
“Ma,
kenapa sih Mama suruh aku nonton itu, eh, maksudku aku enggak baca si Lolita
itu tapi udah nonton filmnya. Kenapa Mama sampai mikir aku seperti itu dengan
Om Yan?” Usil benar mamaku ini!
“Eh,
eh, pelan-pelan…” sahut Mama. Deru kendaraan menjadi latar, tapi suaranya
terdengar jelas sekali di telingaku. “Be, Tante As itu khawatir sama Bibe.”
Argh.
Tante As lagi.
“Mama
enggak tahu Bibe gimana sama Om Yan. Mama mah yakin Om Yan baik-baik aja. Mama
cuman mau nyampaikan keluhannya Tante As aja, karena Bibe enggak nurut-nurut,
gitu… Tante As suruh Mama kasih tahu Bibe ceritanya Lolita itu.”
Dan
orang yang disinggung Mama berada tepat di ruangan sebelah. Betapa asyiknya ia
menonton TV tanpa menyadari telah bikin aku gusar seperti ini.
“Lah,
Mama enggak belain teman Mama sendiri, Tante As udah ngejelek-jelekin gitu?”
“Ya
Bibe kan tahu sendiri Tante As orangnya kayak gimana. Yang penting Mama udah
sampaikan, Mama juga setuju Bibe harus tahu diri sama orang lain ya.”
“Ma—!”
“Udah
ah. Dari tadi Mama mau nyebrang enggak jadi-jadi…”
Mamaku
memutuskan sambungan. Aku menangkap ketidakpastian dalam nada suaranya tadi.
Baiklah, aku akan berkonfrontasi langsung dengan si pencari perkara.
Aduh.
Aku tidak tega menyentak-nyentak bumil. Sudah keadaannya payah begitu… Mencamil
kacang dengan raut serius, padahal yang ia tonton hanya American Next Top
Model.
Jadi
aku mendekatinya dengan menekan perasaan sekuat mungkin.
“Tante…”
“…ya?”
“Tante
yang suruh Mama suruh aku baca ‘Lolita’?”
“Apa?”
Ia mematikan suara TV-nya. Aku ulangi pertanyaanku tadi.
“Ya,
filmnya, novelnya, sama aja mungkin,” jawabnya acuh tak acuh. Ia tak suka
membaca novel.
“Pikiran
Tante tuh berlebihan,” kataku.
“Oh
ya?”
Kami
bertatapan. Dan itu membuat dadaku jadi makin sesak. Tapi aku tidak mau mengaku
padanya. Aku tidak akan mengaku. Tidak akan pernah mau. Kalau aku. Mengetahui
sesuatu.
Aku
lupa itu di acara jalan kami yang kapan. Om Yan hendak mengisi bensin, jadi
kami berhenti di pom. Sementara ia keluar untuk bertransaksi, aku iseng membuka
dashboard. Barangkali aku akan menemukan cokelat lagi atau benda menarik
lainnya.
Dan
memang ada yang menarik.
Aku
menemukan majalah yang ada gambar kepala kelincinya. Edisi beberapa bulan
lampau. Dan tidak hanya satu.
Aku
belum pernah membuka majalah bertajuk ini sebelumnya. Toh penerbitan versi
Indonesianya saja bikin kontroversi. Pose dan selembar kain yang menutupi model
sampulnya saja sudah bikin aku teguk ludah. Jadi aku melihat halaman demi
halaman majalah tersebut dengan tidak sabaran. Seketika aku sampai pada
bagian-bagian yang menantang.
Apa
yang akan aku lakukan kalau memergoki papaku sendiri punya barang begini?
Mustahil rasanya. Mama bilang Papa itu orang paling lurus sedunia. Lihat saja
rambutnya.
Olala.
Pintu mobil sebelah kananku terbuka. Di tanganku juga majalah itu masih
terbuka. Aku menyengir padanya. Ia hanya melihat sekilas sesuatu yang ada di
tanganku dan juga pangkuanku.
“Ternyata
Bibe doyan baca yang gituan juga…” katanya. Jelas ia bercanda.
Aku
coba bersikap wajar. Kubalikkan kata-katanya. “Iih, Ayah kok bacanya yang
ginian?”
“Bacaan
di pesawat…” jawabnya dengan santai.
Setelahnya
aku tidak terlalu memikirkan kejadian tersebut. Melihat polah beberapa temanku
sendiri, yang cowok, aku merasa ini hal lumrah bagi lelaki. Dan, sumpah, gaya
Om Yan sama sekali tidak seperti pria hidung belang. Ia orang dekat keluarga
besarku, aku percaya padanya. Tante As saja yang tidak pernah mau mengenal
keluarga besarnya.
Kini
hal itu jadi mengusikku lagi. Sekali lagi, aku berusaha menganggap itu lumrah.
Ini bukan hal penting untuk dipersoalkan. Seperti itulah dunia lelaki.
Dan
Tante As pun berkata, “Kita enggak tahu seberapa besar orang punya hasrat
seksual, Bibe.”
“Hah,
apa?” Oh tolong Tante, meski aku tak yakin dengan apa yang Tante baru katakan,
jangan sebut hal iyuh itu lagi. Aku asing sekaligus ngeri mendengarnya.
Tapi
Tante As mengulanginya. “Has-rat sek-su-al. Seks.” Ah. Telingaku terasa geli. Aku bergidik.
“Kalau enggak ada itu,adikmu enggak jadi.”
Aku
tidak mau mendengarnya. Aku memang mau adik, tapi proses di balik itu bukan
urusanku sama sekali.
“Apalagi
pria dewasa,” lanjut Tante As. Kepalanya teleng lagi ke TV. Layar datar itu
kembali bersuara, namun pelan saja. “Sudah matang, enggak menikah.”
“Belum,”
koreksiku. Sebal deh. Habis ini ia pasti bakal mengata-ngatai pria itu impoten
atau homo. “Temanmu juga ada yang enggak menikah.”
Tante
As memandangku lagi. Ada warna lain pada ekspresinya sebagai respons atas
jawaban kasarku tadi. “Ya, Bibe. Menikah atau enggak menikah itu pilihan. Tapi
setiap orang punya kebutuhan untuk itu.
Kalau kamu sudah sebesar aku,” ia menyentuh dadanya lalu menunjukku, “atau
sebesar ayahmu itu, kamu bakal merasakan sendiri. Syukur-syukur kamu bisa
tahan.”
“Usiaku
18 tahun, tapi aku enggak ngerasain apa-apa tuh,” aku mengeyel. Menurut media,
di usia ini aku sudah pantas merokok dan menonton film dewasa. Tapi tidak aku
lakukan karena aku tidak suka asap rokok dan menonton orang begituan itu sangat
menjijikkan.
“Kalau
gitu, tunggu sampai usia kamu dua puluh, atau dua lima. Tunggu saja. Kamu bakal
ngebet pingin cepat-cepat menikah.”
“Kalau
udah umur dua-puluhan mah emang udah waktunya nikah.”
Balasnya
dengan sinis, “Percaya deh, bukan hanya karena umur. Pernah tanya sama Mama,
kenapa Mama Bibe mau nikah sama Papa Bibe?”
Iyuh.
Tapi memang aku pernah tanya. Jawaban Mama hanya, “Karena Papa laki-laki.”
Kalau papaku perempuan, Mama tidak akan mungkin bisa hamil aku.
“Nah?”
sambut Tante As akan laporanku atas jawaban Mama. Aku tidak merasa jawaban Mama
itu bersambung dengan apapun yang Tante As maksudkan. Yang aku yakin pasti
adalah, kegerahan yang aku rasakan melebihi kegerahan yang dirasakan ibu hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar