Jumat, 09 Desember 2011

Penjelasan

“Om, kemarin aku nginep di tempatnya Tante Ri lagi lo.”

“Hm…. Ngapain aja Bibe?”

“Ya biasa, main-main aja sama anak-anaknya Tante Ri. Kalau Om, wikennya ngapain Om?”

“Ya biasa juga, main-main sama teman lama…”

Melihat reaksinya santai begitu, aku jadi urung untuk lebih jauh mengorek keterangan. Aku tanamkan terus prasangka baik pada pikiranku yang doyan merangkai imaji bukan-bukan dengan sendirinya. Pokoknya, asas praduga tak bersalah harus dikedepankan. Citra baik Om Yan muskil dihancurkan, apalagi hanya oleh seorang bocah aneh lagi tak berperasaan.

Tapi, ketika aku turun dari mobilnya dalam sore yang rintik itu, aku bilang padanya untuk tidak bertemu dulu sementara waktu. Aku mungkin akan lebih konsentrasi dalam mempersiapkan kelulusanku jika aku di rumah saja.

Bohong, bohong benar. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku bisa belajar di mana saja, kapan saja, termasuk ketika berhadapan dengannya di kafe, dengan ia sesekali menyinggung suatu hal yang sedang ia simak melalui komputer tabletnya.

Bibe si pencuriga, Ari telah mengubahku jadi seperti itu.

Aku tidak bisa minta dijemput pria itu lagi sepulang sekolah. Aku kembali jadi pelanggan angkot nan setia sekaligus pedestrian tangguh. Bahkan kala deras hujan merundung, payung tetap kupegang teguh.

“Hei Bibe, mau bareng enggak?” Hujan tidak bulat-bulat menelan seruan itu. Sebuah motor yang kukenal melipir ke sisi trotoar di depanku. Hanya setengah mukanya yang terlihat. Hampir seluruh tubuhnya dilindungi ponco hijau.

Aku kembali melaju. Rok rempel kelabuku menembus genangan air semata kaki. Kuamati orang itu dari dekat. Wajah cokelat dan dagunya yang membulat kukenali pula. Manda.

Jadi aku pun membonceng. Aku duduk menyamping lalu kututupi tubuhku dengan ponco. Sekian peluru air menyambar-nyambar namun aku tak lagi tambah basah—kecuali pangkuanku, payung kuletakkan di sana. Belum lama motor itu jalan sempoyongan, Manda sudah berhenti lagi. “Be, ujannya deres pisan. Neduh di rumah aku dulu gimana? Deket lagi da!” serunya di tengah deru.

“Gimana kamu aja!” balasku, berharap ia bisa dengar.

Motor itu kembali terhuyung-huyung lagi. Dipikir-pikir, wajar juga Manda kepayahan begitu. Selain karena medan yang berlubang-lubang lagi terendam air, tubuh kami berdua juga sama-sama berisi.

Sesaat, motor meluncur lancar. Di bawah kami tidak lagi butek air melainkan jalanan yang disemen. Setelah beberapa kali belokan, belok sekali lagi lalu motor melambat, kiranya kami sudah sampai tujuan. Hujan tak lagi menggeru di atas kepala. Aku menyingkap ponco.

Kami telah berada di pekarangan, di tepi sebuah gang. Rumah di belakangku tampak begitu mungil, namun halaman di depannya cukup luas untuk menampung banyak pot. Di pojok halaman malah ada sepetak tanah menghijau dengan sebatang pohon kecil tumbuh di atasnya.

“Ini rumahku Be…” Manda menyampirkan ponconya di atas motor. Mendung telah menyingkir, seiring hujan merintik saja. Manda sudah masuk ke dalam rumah, jadi mau tak mau aku mengikutinya. Setelah menaruh payung dalam keadaan terbuka di teras, kutapaki balok-balok yang tenggelam dalam baris di atas tanah. Astaga. Aku langsung berada di dapur. Di sebelah kiriku ada ruang tengah, yang meski bersambung dengan ruang depan tetap saja, tidak bisa dibilang luas. Apakah seabrek saudara Manda juga tinggal di rumah kecil ini?

Di ruang tengah, Manda disambut oleh dua gadis kembar. Kuduga mereka baru masuk SD. Keduanya berambut lurus dan berponi, dengan bando menghias kepala. Pakaian mereka juga serupa. “Salam dulu tuh sama Kak Bibe…”

Mereka tidak mirip Manda, pun tidak seberisi Manda. Mereka saling memandang dalam senyum ketika aku menyalami mereka sambil menyebutkan namaku. Nama mereka Aza dan Azi.

“Sebentar ya Be,” kata Manda padaku, lalu pada kedua adiknya. “Kak Bibe ditemenin dulu ya…”

“Ayo duduk sini Kak!” Mereka menggiringku ke sofa kulit yang ada di ruang depan. Begitu banyak barang menjejali setiap sudut dan sisi rumah ini, sekaligus menciptakan kesan ramai dengan warna-warninya. Berantakan, menurutku. Aza dan Azi duduk di bawah dengan menjaga jarak dariku.

“Kalian enggak duduk di atas juga?”

Mereka menggeleng, jadi aku menggelesot.

“Eh, Kak, kenapa duduk di bawah?”

“Iya, di atas aja Kak.”

Ganti aku menggeleng. “Biar bareng kalian.”

Mereka tertawa kecil lalu menoleh ketika kakak mereka muncul di ambang pintu yang memisahkan ruangan ini dengan entah ruang apa di sana. Manda sudah berganti pakaian jadi kaos dan celana pendek—asalnya ia pakai kemeja dan jins. Ia sedang mengelap rambut sebahunya dengan handuk. Mulutnya manyun, tapi bukan berarti ia sedang dalam suasana hati buruk.

“Be, mau ganti baju juga?” tanyanya begitu mendekat padaku.

“Enggak usah. Enggak terlalu basah kok.”

“Kak Melia udah pulang belum?” tegur Manda pada Aza dan Azi. Si kembar menggeleng. Lalu padaku lagi, “Be, suka roti bakar?”

Suka bakar roti.

“Boleh…” Aku mengangguk dalam keterpanaan.

Sembari membuat roti bakar, Manda, Aza, dan Azi bercakap dengan akrab. Manda membujuk kedua adiknya untuk membereskan rumah. “Ayo dong… Kak Manda kan udah rapiin tadi pagi…”

“Aaah… Asal Kak Manda…” Aza dan Azi saling melirik, lalu entah Aza atau Azi—aku belum bisa membedakan mereka, membisikkan sesuatu di telinga Manda yang kontan membungkuk.

“Aduuuh… Itu lagi. Ya udah, ya udah… Tapi sekarang beresin dulu dong ya… Ya?”

“Yaaa…” Kedua adik menjawab kompak. Mereka menyerbu ruang tengah. Yang satu mengangkat guling dan bantal dari karpet. Yang satu lagi mengambil sapu lidi. Pekerjaan mereka tidak bisa dibilang baik, tapi melihat mereka berusaha bikin aku jadi gemas.

Tidak suka rumah berantakan.

Aduh. Aduh. Perasaanku jadi tidak karuan lagi. Ia membuat empat tangkup roti bakar. Kami duduk lesehan di ruang depan. Suguhan minuman berupa air putih sudah cukup bagiku.

“Saudara-saudara kamu yang lain mana?” tanyaku.

“Tuh.” Ia menunjuk ke atas. Pada dinding seberang kami, ada beberapa foto terpajang. Dari jauh, wajah-wajah itu tak terlihat jelas. Jadi aku mendekat. Beberapa adalah foto lama. Aku kira salah satu foto menampilkan personil keluarga Manda secara lengkap.

Ayahnya kurus, agak cokelat, dan berambut keriting. Ibunya berambut lurus—diikat ke belakang, agak gemuk, dan putih. Ia menggendong bayi gembil yang mungkin mirip Manda saat masih batita. Ia punya seorang kakak perempuan yang cantik: rambut lurus dan senyum usil berseri. Adiknya yang laki-laki tidak begitu mirip dengannya. Adiknya setelah itu, perempuan, mirip dengan si sulung namun lebih berisi. Lalu ada Aza dan Azi. Semua yang perempuan tampak mirip satu sama lain.

“Yang di rumah cuman Aza sama Azi?”

Manda menahan sendawa. “Iya, jam segini biasanya belum pada balik…” Ia mengamat-amati isi rumahnya sendiri. Pada jendela, ia mengamati agak lama. “Udah reda,” katanya lagi. “Mau naik ke atap enggak Be? Pemandangannya bagus kalau sore-sore abis ujan gini…”

Aku menurut saja. Kami masuk ke ruangan setelah ruang tengah. Hanya sebuah lorong sempit ternyata. Ada pintu bersanding tangga di ujung kanan. Sebelum naik tangga, Manda menunjuk pintu sambil berkata, “Dulu aku nanam jamur di situ.”

Punya ladang jamur.

Melintas sejenak, sepertinya lantai dua dikuasai kaum perempuan. Ada tangga lagi. Lantai tiga adalah sebuah ruang terbuka. Bagian yang ternaungi atap dijadikan tempat penimbunan barang sedang bagian yang tidak: dilintangi tali-tali untuk jemuran. Aku terpukau menyaksikan cakrawala biru muda nan sendu membentang di atas hamparan atap-atap berlumut. Beberapa layangan menukik-nukik di angkasa. Coba aku bawa SLR ke mari.

Ada beberapa lembar layangan tergantung di salah satu sisi dinding bangunan. Manda mengambil satu yang bergaris merah dan putih. Hati-hati, ia hela benang layangan, menggerakkannya sedemikian rupa, bila perlu melangkah sedikit ke sana ke mari, hingga layangan itu membumbung di latar langit.

Entah berapa lama yang aku habiskan hanya untuk memandangi caranya memainkan layangan. Seperti jiwaku hanyut bersama layangan tersebut. Dibumbungkan ke manapun angin hendak. Dibuai-buai hingga kesadaran memutus.

Suka main layangan.

“Aku tahu lo Be,” kata Manda.

“Apa?”

“Kriteria kamu.”

“Heh?”

Ia menggaruk-garuk ujung hidungnya, sambil melirikku beberapa lama, “Waktu itu aku masih satu kelas sama kamu. Kamu cerita sama temen-teman kamu soal kriteria, uhm, cowok idaman kamu.”

“Eh? Ya…” Aku juga ingat. Waktu itu jam istirahat. Di kelas hanya ada aku dan teman-temanku serta Manda. Kami duduk di belakang Manda. Sementara kami ricuh, ia tenang saja membaca buku pelajaran Matematika SD.

“Aku… masih suka masukin duit ke celengan sampai sekarang…” Rajin menabung. “Dulu aku suka ngemil biskuit anjing, tapi alhamdulillah sekarang udah enggak.” Tidak masalah dengan selera makan yang aneh. “Tapi kayaknya gara-gara itu juga deh makanya dulu aku enggak kelihatan suram…” ucapnya sambil menahan geli. Helai-helai rambutnya yang mulai kering melayang-layang diterpa angin. Sesungguhnya rambutnya lurus mengikal di bawah. Masih aku ingat juga betapa tampan dan bersinarnya ia dulu. Tidak suram. Katanya lagi, “Aku juga dulu enggak bisa pedean kayak kamu Be.” Beda. “Tapi kamu bikin kriteria kayak gitu cuman main-main aja kan Be?” Ia menatapku.

Aku tidak langsung menjawab. Kutarik nafas terlebih dulu, baru kukatakan, “Enggak. Aku mikir betul-betul pas bikin itu.”

Seiman dan beriman adalah syarat mutlak untuk jadi pendamping hidupku. Aku sudah mengagumi Ardian Hayyra saat itu, sehingga aku ingin seseorang yang bisa memainkan piano untukku. Aku tidak punya saudara kandung, jadi ia harus punya banyak untuk meramaikan lebaran-lebaranku kelak. Intelegensinya setara atau lebih agar obrolan kami bisa klop. Aku ingin ia punya banyak waktu untuk keluarga—tidak seperti papaku yang waktunya terbatas. Ia tidak boleh keberatan dengan selera makan yang aneh-aneh, karena kadang aku masih suka mencampur roti dengan sarden. Ia bukan orang yang suka berantakan karena Tante As mendidikku demikian. Memiliki ladang jamur dan rajin menabung berarti ia mempersiapkan masa depannya dengan baik. Aku tidak suka yang suram karena konon papaku begitu waktu SMA. Aku tidak suka kalau kedua orangtuaku mulai norak atau menggombal. Waktu kecil akuselalu minta Mama membawakanku roti bakar. Aku selalu kagum pada orang yang piawai memainkan layangan karena aku tidak kunjung bisa. Aku tidak suka orang songong, aku mencari orang yang beda, karena aku ingin ia bisa mengimbangi—melengkapi—karakterku.

“Jadi… Aku banget ya Be?”

“…iya. Kamu banget.”

“Tapi kayaknya aku bukan tipe kamu.”

Sejenak aku diam saja. “Kamu… mau secara halus bilang kalau aku bukan tipe kamu?” Aku bisa mengerti kalau ia menyukai cewek tipe lain. Ah. Sudah. Toh aku tidak mau Manda jadi sasaran papaku selanjutnya. Yang seperti ini belum jadi prioritasku sekarang. Aku. Tidak akan takut. Untuk kehilangan dia.

“Eng…gak… Aku pikir… tipe kamu itu yang kayak… Ardian Hayyra.”

Nama itu menyengat tengkukku. Berdesing keras melintasi rongga telingaku. Ada apa sih orang-orang ini dengan Om Yan—Ardian Hayyra?

Aku tak mau bicara lagi, meski aku harus melontar pamit sebelum meninggalkan tempat ini. Tidak, tidak tentang Ardian Hayyra, Om Yan, siapa deh, jangan orang itu. Manda minta maaf. Tapi itu tidak bisa mengembalikan yang sudah runtuh.

            “Aku antar ya Bibe.”

            “Enggak usah. Aku tahu kok naik angkot apa dari sini.”

            “Ayolah Be…”

            Kelebatan berbagai pikiran melintas dalam benakku. Kutangkap satu dan kubaca. Benar juga. Aku harus menuntaskannya. Tapi sebelumnya aku akan keluar dari rumah ini.

            Manda minta maaf sekali lagi. “Kita tetep temen kan Be?”

            Aku mengangguk disertai senyum tipis. Lucu sekali, kenapa ia yang harus minta maaf? Lagipula aku memang tidak berharap untuk punya pacar lagi kok sekarang ini. Aku hanya merancang kriteria logis untuk pendamping hidupku kelak. Kalau bukan dia, kriteriaku tidak terpenuhi, adalah saatnya bagiku untuk belajar… ikhlas. Berat ya ternyata, mengucapkan kata itu.

            “Tapi tipeku bukan dia, Manda. Dia itu… tipe orang yang… kalau kamu enggak bener-bener kenal dia mungkin kamu bakal mikir yang enggak-enggak, tapi kalau kamu deket sama dia, kamu bakal sayang sama dia, pingin yang terbaik buat dia…”

            “Iya.” Ia membalas senyumku. “Aku juga suka sama dia kok. Maksud aku… eh, aku bakal terus nunggu karya-karyanya dia.”

            Aku menghembuskan nafas. Lalu benar-benar pamit. Gerimis mengiringiku menapaki jalanan putih bergaris-garis itu. Lalu untuk pertama kali aku manfaatkan nomor yang dulu ia berikan di Kedai Buncong.

            “Kapan Bibe?” tanyanya ramah.

            “Sekarang Om…?” Aku berusaha menyembunyikan sendu.

            Aku berusaha menahan lara agar tidak lekas meluap. Tunggu, tunggu dulu. Om Yan masih ada urusan. Aku berkeliaran di jalanan. Aku berusaha melihat kota dari sudut pandang Mama. Berburu ragam hal yang mengandung elemen berita. Sampai aku berlabuh di tempat yang dijanjikan. Biar aku langsung menunggunya di sini saja, dalam interior dan pencahayaan yang membuatku merasa pakai jaket dan minum teh hangat, meski di mejaku belum tersaji apa-apa.

            “Maaf Bibe.” Ia datang setelah gelap bersambang. Mata besarnya yang selalu berbinar terus menyorotku. Ia mesti tahu ada yang kupendam. “Sudah selesai ujiannya?”

            “Belum,” jawabku pelan. Setelah ia pesan minuman dan kudapan—aku mau dipesankan apapun—baru aku mendapat kesempatan yang pas untuk mengungkapkannya. “Kadang aku ngerasa Om Yan kayaknya ayahku sungguhan,” aku memulai. “tapi senyatanya aku juga punya papa sungguhan. Aku juga sayang sama papaku.”

            “Ya.” Ia mengangguk. Ia selalu memerhatikan setiap ucapanku dengan simpatik. Lihatlah matanya. Kamu dapat menceritakan segala padanya, tanpa khawatir bahwa itu adalah aib. Ia dewasa, ia teman, dan ia baik—itu yang selalu kita dambakan untuk meretas kesepian bukan? “Bibe menghayati sekali ya…” selorohnya.

            Aku terpana. Sebelum hilang apa yang hendak aku sampaikan, aku lekas lanjut, “Maaf Om, akhir-akhir ini aku…” menelan ludah… “…berprasangka yang enggak-enggak tentang Om.” Tarikan nafasku jadi tak stabil. Ketika aku lihat wajahnya, yang terproyeksi dalam benakku hanya pergumulan liar yang ingin kugusah sejauh-jauhnya.

            “Prasangka yang seperti apa?” tanyanya dengan raut sabar.

            Aku jadi tidak enak menjawabnya. Aku susah mengatakannya. Setelah agak lama aku membisu, akhirnya ia yang berkata, “Bibe,” suaranya lembut, “Perasaan saya sendiri sama Bibe tulus.”

            Lamat-lamat aku menatapnya, ingin menghunjamnya di mata, tanyaku, “Gimana kalau ada perasaan lainnya?”

            Matanya juga tidak lepas dariku. Tubuhnya condong, kepalanya teleng sedikit, aku tahu ia mengatakannya dengan sungguh-sungguh, “Kalau sampai ada perasaan lainnya, saya enggak bakal membiarkan itu.” Aku tidak langsung merespons. Pandangan kuturunkan ke bawah. Ia sendiri diam sejenak, baru berkata lagi, “Om ngerti, kalau hubungan dengan Bibe terbatas. Papa Bibe lebih punya wewenang sama Bibe. Selama enggak ada batasan yang dilanggar, saya ingin berbuat apapun yang saya bisa buat Bibe. Kalau Bibe malah jadi enggak nyaman, enggak apa-apa… Kalau suatu saat Bibe butuh lebih banyak bantuan, Om harap Bibe ingat Om sebagai orang yang udah Bibe anggap ayah sendiri. Om siap bantu.”

            “Om seharusnya punya anak sendiri.”

            “Saya tahu.” Ia tersenyum. “Papa Bibe juga tadi bilang gitu. Katanya, ‘Ayo, kapan punya istri? Saya banyak teman wanita, cantik-cantik, masih lajang lo…’”

            “Hah, betulan ngomong gitu?”

            “Ha ha… Enggak, yang terakhir saya karang aja Bibe…”

            “Kapan Om ketemu sama Papa?”

            “Baru aja tadi, sebelum ini. Sama Mama Bibe juga…”

            Alamak. “Papa enggak ngapa-ngapain Om kan?” Lagi, aku perhatikan benar wajahnya. Semoga tidak ada syarafnya yang rusak.

            “Enggak Bibe. Papa Bibe kalau ketawa meriah sekali…”

            Syukurlah. Aku lega. Tapi tetap tak terima. “Maaf ya Om, papaku emang suka lebay,” tukasku. “Yang diomongin apa aja Om?”

            “Hm…” Om Yan tercenung sebentar. Ia memandang langit-langit, lalu turun ke mukaku. “Nanti saja, kalau Bibe udah lebih besar ya?”

            Apa sih?

            “Asyik ya ngobrol sama papanya Bibe. Padahal dulu kakak kelas dua tahun di SMA, tapi baru pernah ngobrol panjang lebar sekali ini.”

            Aku masih menerka-nerka apa yang mungkin mereka bicarakan. Om Yan menegurku lagi, “Kalau Bibe tadi habis dari mana? Masih pakai seragam?”

            Seperti hanya ditemani pendar pelita tatkala pemadaman bergilir, lalu bersorak karena listrik kembali mengalir, eh mendadak biarpet lagi. Demikian juga aku. Aku tidak bernafsu saat menceritakan Manda. Tapi aku tahu kalau ia pasti mau memahamiku. Tidak nyaman untuk mengulang peristiwa petang tadi. “Rasanya kayak… sesuatu itu udah di depan mata banget. Tahu pasti itu dia. Tapi enggak bisa dijangkau… Mungkin emang belum saatnya.” Kucoba untuk tersenyum.

Ia tidak lagi memandangku dengan simpati, melainkan empati. “Iya Bibe, saya ngerti rasanya gimana.”

 “Serius Om. Aku pingin tahu.”

            “Apa?”

            “Aku pikir Om bakal balikan lagi sama Tante Ri. Om bakal nikah sama Tante Ri,” kataku pelan, hati-hati, aku sungguh ingin meluruskan ini.

            “Belum jodoh aja Bibe…” responsnya dengan ringan, bahkan sambil tertawa. Dan itu malah membuatku kecewa. Padahal…

mereka

sudah

begitu.

Seharusnya aku tidak usah heran, seolah konsumsi mediaku terbatas saja, toh aku biasa menyaksikan itu di layar.

Biasa.

            Dan aku pun sadar. Aku masih seorang anak kecil yang memandang dunia secara hitam putih, seperti Ari dan Vira. Sebagai anak kecil, kami diajar untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Namun itu tidak ada gunanya setelah kami besar. Semua sama saja. Bias. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Semua relatif. Kita hidup dalam ranah abu-abu. Apa gunanya kami diajarkan itu toh kemudian akan terburai juga? Aku tahu. Ini semua bertujuan untuk bikin kalbuku koyak.

            Om Yan mengantarku sampai ke depan pintu rumah. Benar, Papa menyambutnya dengan ramah. Aku benar-benar penasaran apa saja yang mereka obrolkan tadi.

Secara aku jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini, Papa menjuduli kejadian ini dengan “Kembalinya si Anak Hilang”. Kenapa sih Papa jadi sering di rumah begini, kan mau tidak mau aku jadi terperhatikan. Malah Mama yang tidak kelihatan.

            Aku dan Om Yan tidak membuat janji pertemuan lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain