“Om,
kemarin aku nginep di tempatnya Tante Ri lagi lo.”
“Hm….
Ngapain aja Bibe?”
“Ya
biasa, main-main aja sama anak-anaknya Tante Ri. Kalau Om, wikennya ngapain
Om?”
“Ya
biasa juga, main-main sama teman lama…”
Melihat
reaksinya santai begitu, aku jadi urung untuk lebih jauh mengorek keterangan.
Aku tanamkan terus prasangka baik pada pikiranku yang doyan merangkai imaji
bukan-bukan dengan sendirinya. Pokoknya, asas praduga tak bersalah harus
dikedepankan. Citra baik Om Yan muskil dihancurkan, apalagi hanya oleh seorang
bocah aneh lagi tak berperasaan.
Tapi,
ketika aku turun dari mobilnya dalam sore yang rintik itu, aku bilang padanya
untuk tidak bertemu dulu sementara waktu. Aku mungkin akan lebih konsentrasi
dalam mempersiapkan kelulusanku jika aku di rumah saja.
Bohong,
bohong benar. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku bisa belajar di mana saja,
kapan saja, termasuk ketika berhadapan dengannya di kafe, dengan ia sesekali
menyinggung suatu hal yang sedang ia simak melalui komputer tabletnya.
Bibe
si pencuriga, Ari telah mengubahku jadi seperti itu.
Aku
tidak bisa minta dijemput pria itu lagi sepulang sekolah. Aku kembali jadi
pelanggan angkot nan setia sekaligus pedestrian tangguh. Bahkan kala deras
hujan merundung, payung tetap kupegang teguh.
“Hei
Bibe, mau bareng enggak?” Hujan tidak bulat-bulat menelan seruan itu. Sebuah
motor yang kukenal melipir ke sisi trotoar di depanku. Hanya setengah mukanya
yang terlihat. Hampir seluruh tubuhnya dilindungi ponco hijau.
Aku
kembali melaju. Rok rempel kelabuku menembus genangan air semata kaki. Kuamati
orang itu dari dekat. Wajah cokelat dan dagunya yang membulat kukenali pula.
Manda.
Jadi
aku pun membonceng. Aku duduk menyamping lalu kututupi tubuhku dengan ponco.
Sekian peluru air menyambar-nyambar namun aku tak lagi tambah basah—kecuali
pangkuanku, payung kuletakkan di sana. Belum lama motor itu jalan sempoyongan,
Manda sudah berhenti lagi. “Be, ujannya deres pisan. Neduh di rumah aku dulu
gimana? Deket lagi da!” serunya di tengah deru.
“Gimana
kamu aja!” balasku, berharap ia bisa dengar.
Motor
itu kembali terhuyung-huyung lagi. Dipikir-pikir, wajar juga Manda kepayahan begitu.
Selain karena medan yang berlubang-lubang lagi terendam air, tubuh kami berdua
juga sama-sama berisi.
Sesaat,
motor meluncur lancar. Di bawah kami tidak lagi butek air melainkan jalanan
yang disemen. Setelah beberapa kali belokan, belok sekali lagi lalu motor
melambat, kiranya kami sudah sampai tujuan. Hujan tak lagi menggeru di atas
kepala. Aku menyingkap ponco.
Kami
telah berada di pekarangan, di tepi sebuah gang. Rumah di belakangku tampak
begitu mungil, namun halaman di depannya cukup luas untuk menampung banyak pot.
Di pojok halaman malah ada sepetak tanah menghijau dengan sebatang pohon kecil
tumbuh di atasnya.
“Ini
rumahku Be…” Manda menyampirkan ponconya di atas motor. Mendung telah
menyingkir, seiring hujan merintik saja. Manda sudah masuk ke dalam rumah, jadi
mau tak mau aku mengikutinya. Setelah menaruh payung dalam keadaan terbuka di
teras, kutapaki balok-balok yang tenggelam dalam baris di atas tanah. Astaga.
Aku langsung berada di dapur. Di sebelah kiriku ada ruang tengah, yang meski bersambung
dengan ruang depan tetap saja, tidak bisa dibilang luas. Apakah seabrek saudara
Manda juga tinggal di rumah kecil ini?
Di
ruang tengah, Manda disambut oleh dua gadis kembar. Kuduga mereka baru masuk
SD. Keduanya berambut lurus dan berponi, dengan bando menghias kepala. Pakaian
mereka juga serupa. “Salam dulu tuh sama Kak Bibe…”
Mereka
tidak mirip Manda, pun tidak seberisi Manda. Mereka saling memandang dalam
senyum ketika aku menyalami mereka sambil menyebutkan namaku. Nama mereka Aza
dan Azi.
“Sebentar
ya Be,” kata Manda padaku, lalu pada kedua adiknya. “Kak Bibe ditemenin dulu
ya…”
“Ayo
duduk sini Kak!” Mereka menggiringku ke sofa kulit yang ada di ruang depan.
Begitu banyak barang menjejali setiap sudut dan sisi rumah ini, sekaligus
menciptakan kesan ramai dengan warna-warninya. Berantakan, menurutku. Aza dan
Azi duduk di bawah dengan menjaga jarak dariku.
“Kalian
enggak duduk di atas juga?”
Mereka
menggeleng, jadi aku menggelesot.
“Eh,
Kak, kenapa duduk di bawah?”
“Iya,
di atas aja Kak.”
Ganti
aku menggeleng. “Biar bareng kalian.”
Mereka
tertawa kecil lalu menoleh ketika kakak mereka muncul di ambang pintu yang
memisahkan ruangan ini dengan entah ruang apa di sana. Manda sudah berganti
pakaian jadi kaos dan celana pendek—asalnya ia pakai kemeja dan jins. Ia sedang
mengelap rambut sebahunya dengan handuk. Mulutnya manyun, tapi bukan berarti ia
sedang dalam suasana hati buruk.
“Be,
mau ganti baju juga?” tanyanya begitu mendekat padaku.
“Enggak
usah. Enggak terlalu basah kok.”
“Kak
Melia udah pulang belum?” tegur Manda pada Aza dan Azi. Si kembar menggeleng.
Lalu padaku lagi, “Be, suka roti bakar?”
Suka bakar roti.
“Boleh…”
Aku mengangguk dalam keterpanaan.
Sembari
membuat roti bakar, Manda, Aza, dan Azi bercakap dengan akrab. Manda membujuk
kedua adiknya untuk membereskan rumah. “Ayo dong… Kak Manda kan udah rapiin
tadi pagi…”
“Aaah…
Asal Kak Manda…” Aza dan Azi saling melirik, lalu entah Aza atau Azi—aku belum
bisa membedakan mereka, membisikkan sesuatu di telinga Manda yang kontan
membungkuk.
“Aduuuh…
Itu lagi. Ya udah, ya udah… Tapi sekarang beresin dulu dong ya… Ya?”
“Yaaa…”
Kedua adik menjawab kompak. Mereka menyerbu ruang tengah. Yang satu mengangkat guling
dan bantal dari karpet. Yang satu lagi mengambil sapu lidi. Pekerjaan mereka
tidak bisa dibilang baik, tapi melihat mereka berusaha bikin aku jadi gemas.
Tidak suka rumah berantakan.
Aduh.
Aduh. Perasaanku jadi tidak karuan lagi. Ia membuat empat tangkup roti bakar.
Kami duduk lesehan di ruang depan. Suguhan minuman berupa air putih sudah cukup
bagiku.
“Saudara-saudara
kamu yang lain mana?” tanyaku.
“Tuh.”
Ia menunjuk ke atas. Pada dinding seberang kami, ada beberapa foto terpajang.
Dari jauh, wajah-wajah itu tak terlihat jelas. Jadi aku mendekat. Beberapa
adalah foto lama. Aku kira salah satu foto menampilkan personil keluarga Manda
secara lengkap.
Ayahnya
kurus, agak cokelat, dan berambut keriting. Ibunya berambut lurus—diikat ke
belakang, agak gemuk, dan putih. Ia menggendong bayi gembil yang mungkin mirip
Manda saat masih batita. Ia punya seorang kakak perempuan yang cantik: rambut
lurus dan senyum usil berseri. Adiknya yang laki-laki tidak begitu mirip
dengannya. Adiknya setelah itu, perempuan, mirip dengan si sulung namun lebih
berisi. Lalu ada Aza dan Azi. Semua yang perempuan tampak mirip satu sama lain.
“Yang
di rumah cuman Aza sama Azi?”
Manda
menahan sendawa. “Iya, jam segini biasanya belum pada balik…” Ia mengamat-amati
isi rumahnya sendiri. Pada jendela, ia mengamati agak lama. “Udah reda,”
katanya lagi. “Mau naik ke atap enggak Be? Pemandangannya bagus kalau sore-sore
abis ujan gini…”
Aku
menurut saja. Kami masuk ke ruangan setelah ruang tengah. Hanya sebuah lorong
sempit ternyata. Ada pintu bersanding tangga di ujung kanan. Sebelum naik
tangga, Manda menunjuk pintu sambil berkata, “Dulu aku nanam jamur di situ.”
Punya ladang jamur.
Melintas
sejenak, sepertinya lantai dua dikuasai kaum perempuan. Ada tangga lagi. Lantai
tiga adalah sebuah ruang terbuka. Bagian yang ternaungi atap dijadikan tempat
penimbunan barang sedang bagian yang tidak: dilintangi tali-tali untuk jemuran.
Aku terpukau menyaksikan cakrawala biru muda nan sendu membentang di atas
hamparan atap-atap berlumut. Beberapa layangan menukik-nukik di angkasa. Coba
aku bawa SLR ke mari.
Ada
beberapa lembar layangan tergantung di salah satu sisi dinding bangunan. Manda
mengambil satu yang bergaris merah dan putih. Hati-hati, ia hela benang
layangan, menggerakkannya sedemikian rupa, bila perlu melangkah sedikit ke sana
ke mari, hingga layangan itu membumbung di latar langit.
Entah
berapa lama yang aku habiskan hanya untuk memandangi caranya memainkan
layangan. Seperti jiwaku hanyut bersama layangan tersebut. Dibumbungkan ke
manapun angin hendak. Dibuai-buai hingga kesadaran memutus.
Suka main layangan.
“Aku
tahu lo Be,” kata Manda.
“Apa?”
“Kriteria
kamu.”
“Heh?”
Ia
menggaruk-garuk ujung hidungnya, sambil melirikku beberapa lama, “Waktu itu aku
masih satu kelas sama kamu. Kamu cerita sama temen-teman kamu soal kriteria,
uhm, cowok idaman kamu.”
“Eh?
Ya…” Aku juga ingat. Waktu itu jam istirahat. Di kelas hanya ada aku dan
teman-temanku serta Manda. Kami duduk di belakang Manda. Sementara kami ricuh,
ia tenang saja membaca buku pelajaran Matematika SD.
“Aku…
masih suka masukin duit ke celengan sampai sekarang…” Rajin menabung. “Dulu aku suka ngemil biskuit anjing, tapi
alhamdulillah sekarang udah enggak.” Tidak
masalah dengan selera makan yang aneh. “Tapi kayaknya gara-gara itu juga
deh makanya dulu aku enggak kelihatan suram…” ucapnya sambil menahan geli.
Helai-helai rambutnya yang mulai kering melayang-layang diterpa angin.
Sesungguhnya rambutnya lurus mengikal di bawah. Masih aku ingat juga betapa
tampan dan bersinarnya ia dulu. Tidak
suram. Katanya lagi, “Aku juga dulu enggak bisa pedean kayak kamu Be.” Beda. “Tapi kamu bikin kriteria kayak
gitu cuman main-main aja kan Be?” Ia menatapku.
Aku
tidak langsung menjawab. Kutarik nafas terlebih dulu, baru kukatakan, “Enggak.
Aku mikir betul-betul pas bikin itu.”
Seiman
dan beriman adalah syarat mutlak untuk jadi pendamping hidupku. Aku sudah
mengagumi Ardian Hayyra saat itu, sehingga aku ingin seseorang yang bisa
memainkan piano untukku. Aku tidak punya saudara kandung, jadi ia harus punya
banyak untuk meramaikan lebaran-lebaranku kelak. Intelegensinya setara atau
lebih agar obrolan kami bisa klop. Aku ingin ia punya banyak waktu untuk
keluarga—tidak seperti papaku yang waktunya terbatas. Ia tidak boleh keberatan
dengan selera makan yang aneh-aneh, karena kadang aku masih suka mencampur roti
dengan sarden. Ia bukan orang yang suka berantakan karena Tante As mendidikku
demikian. Memiliki ladang jamur dan rajin menabung berarti ia mempersiapkan
masa depannya dengan baik. Aku tidak suka yang suram karena konon papaku begitu
waktu SMA. Aku tidak suka kalau kedua orangtuaku mulai norak atau menggombal.
Waktu kecil akuselalu minta Mama membawakanku roti bakar. Aku selalu kagum pada
orang yang piawai memainkan layangan karena aku tidak kunjung bisa. Aku tidak
suka orang songong, aku mencari orang yang beda, karena aku ingin ia bisa
mengimbangi—melengkapi—karakterku.
“Jadi…
Aku banget ya Be?”
“…iya.
Kamu banget.”
“Tapi
kayaknya aku bukan tipe kamu.”
Sejenak
aku diam saja. “Kamu… mau secara halus bilang kalau aku bukan tipe kamu?” Aku
bisa mengerti kalau ia menyukai cewek tipe lain. Ah. Sudah. Toh aku tidak mau
Manda jadi sasaran papaku selanjutnya. Yang seperti ini belum jadi prioritasku
sekarang. Aku. Tidak akan takut. Untuk kehilangan dia.
“Eng…gak…
Aku pikir… tipe kamu itu yang kayak… Ardian Hayyra.”
Nama
itu menyengat tengkukku. Berdesing keras melintasi rongga telingaku. Ada apa
sih orang-orang ini dengan Om Yan—Ardian Hayyra?
Aku
tak mau bicara lagi, meski aku harus melontar pamit sebelum meninggalkan tempat
ini. Tidak, tidak tentang Ardian Hayyra, Om Yan, siapa deh, jangan orang itu.
Manda minta maaf. Tapi itu tidak bisa mengembalikan yang sudah runtuh.
“Aku antar ya Bibe.”
“Enggak usah. Aku tahu kok naik
angkot apa dari sini.”
“Ayolah Be…”
Kelebatan berbagai pikiran melintas
dalam benakku. Kutangkap satu dan kubaca. Benar juga. Aku harus menuntaskannya.
Tapi sebelumnya aku akan keluar dari rumah ini.
Manda minta maaf sekali lagi. “Kita
tetep temen kan Be?”
Aku mengangguk disertai senyum tipis.
Lucu sekali, kenapa ia yang harus minta maaf? Lagipula aku memang tidak
berharap untuk punya pacar lagi kok sekarang ini. Aku hanya merancang kriteria
logis untuk pendamping hidupku kelak. Kalau bukan dia, kriteriaku tidak
terpenuhi, adalah saatnya bagiku untuk belajar… ikhlas. Berat ya ternyata,
mengucapkan kata itu.
“Tapi tipeku bukan dia, Manda. Dia
itu… tipe orang yang… kalau kamu enggak bener-bener kenal dia mungkin kamu
bakal mikir yang enggak-enggak, tapi kalau kamu deket sama dia, kamu bakal
sayang sama dia, pingin yang terbaik buat dia…”
“Iya.” Ia membalas senyumku. “Aku
juga suka sama dia kok. Maksud aku… eh, aku bakal terus nunggu karya-karyanya
dia.”
Aku menghembuskan nafas. Lalu
benar-benar pamit. Gerimis mengiringiku menapaki jalanan putih bergaris-garis
itu. Lalu untuk pertama kali aku manfaatkan nomor yang dulu ia berikan di Kedai
Buncong.
“Kapan Bibe?” tanyanya ramah.
“Sekarang Om…?” Aku berusaha
menyembunyikan sendu.
Aku berusaha menahan lara agar tidak
lekas meluap. Tunggu, tunggu dulu. Om Yan masih ada urusan. Aku berkeliaran di
jalanan. Aku berusaha melihat kota dari sudut pandang Mama. Berburu ragam hal
yang mengandung elemen berita. Sampai aku berlabuh di tempat yang dijanjikan.
Biar aku langsung menunggunya di sini saja, dalam interior dan pencahayaan yang
membuatku merasa pakai jaket dan minum teh hangat, meski di mejaku belum
tersaji apa-apa.
“Maaf Bibe.” Ia datang setelah gelap
bersambang. Mata besarnya yang selalu berbinar terus menyorotku. Ia mesti tahu
ada yang kupendam. “Sudah selesai ujiannya?”
“Belum,” jawabku pelan. Setelah ia
pesan minuman dan kudapan—aku mau dipesankan apapun—baru aku mendapat
kesempatan yang pas untuk mengungkapkannya. “Kadang aku ngerasa Om Yan kayaknya
ayahku sungguhan,” aku memulai. “tapi senyatanya aku juga punya papa sungguhan.
Aku juga sayang sama papaku.”
“Ya.” Ia mengangguk. Ia selalu
memerhatikan setiap ucapanku dengan simpatik. Lihatlah matanya. Kamu dapat
menceritakan segala padanya, tanpa khawatir bahwa itu adalah aib. Ia dewasa, ia
teman, dan ia baik—itu yang selalu kita dambakan untuk meretas kesepian bukan?
“Bibe menghayati sekali ya…” selorohnya.
Aku terpana. Sebelum hilang apa yang
hendak aku sampaikan, aku lekas lanjut, “Maaf Om, akhir-akhir ini aku…” menelan
ludah… “…berprasangka yang enggak-enggak tentang Om.” Tarikan nafasku jadi tak
stabil. Ketika aku lihat wajahnya, yang terproyeksi dalam benakku hanya
pergumulan liar yang ingin kugusah sejauh-jauhnya.
“Prasangka yang seperti apa?”
tanyanya dengan raut sabar.
Aku jadi tidak enak menjawabnya. Aku
susah mengatakannya. Setelah agak lama aku membisu, akhirnya ia yang berkata,
“Bibe,” suaranya lembut, “Perasaan saya sendiri sama Bibe tulus.”
Lamat-lamat aku menatapnya, ingin
menghunjamnya di mata, tanyaku, “Gimana kalau ada perasaan lainnya?”
Matanya juga tidak lepas dariku.
Tubuhnya condong, kepalanya teleng sedikit, aku tahu ia mengatakannya dengan
sungguh-sungguh, “Kalau sampai ada perasaan lainnya, saya enggak bakal
membiarkan itu.” Aku tidak langsung merespons. Pandangan kuturunkan ke bawah.
Ia sendiri diam sejenak, baru berkata lagi, “Om ngerti, kalau hubungan dengan
Bibe terbatas. Papa Bibe lebih punya wewenang sama Bibe. Selama enggak ada
batasan yang dilanggar, saya ingin berbuat apapun yang saya bisa buat Bibe. Kalau
Bibe malah jadi enggak nyaman, enggak apa-apa… Kalau suatu saat Bibe butuh
lebih banyak bantuan, Om harap Bibe ingat Om sebagai orang yang udah Bibe
anggap ayah sendiri. Om siap bantu.”
“Om seharusnya punya anak sendiri.”
“Saya tahu.” Ia tersenyum. “Papa
Bibe juga tadi bilang gitu. Katanya, ‘Ayo, kapan punya istri? Saya banyak teman
wanita, cantik-cantik, masih lajang lo…’”
“Hah, betulan ngomong gitu?”
“Ha ha… Enggak, yang terakhir saya
karang aja Bibe…”
“Kapan Om ketemu sama Papa?”
“Baru aja tadi, sebelum ini. Sama
Mama Bibe juga…”
Alamak. “Papa enggak ngapa-ngapain
Om kan?” Lagi, aku perhatikan benar wajahnya. Semoga tidak ada syarafnya yang
rusak.
“Enggak Bibe. Papa Bibe kalau ketawa
meriah sekali…”
Syukurlah. Aku lega. Tapi tetap tak
terima. “Maaf ya Om, papaku emang suka lebay,” tukasku. “Yang diomongin apa aja
Om?”
“Hm…” Om Yan tercenung sebentar. Ia
memandang langit-langit, lalu turun ke mukaku. “Nanti saja, kalau Bibe udah
lebih besar ya?”
Apa sih?
“Asyik ya ngobrol sama papanya Bibe.
Padahal dulu kakak kelas dua tahun di SMA, tapi baru pernah ngobrol panjang
lebar sekali ini.”
Aku masih menerka-nerka apa yang
mungkin mereka bicarakan. Om Yan menegurku lagi, “Kalau Bibe tadi habis dari
mana? Masih pakai seragam?”
Seperti hanya ditemani pendar pelita
tatkala pemadaman bergilir, lalu bersorak karena listrik kembali mengalir, eh
mendadak biarpet lagi. Demikian juga aku. Aku tidak bernafsu saat menceritakan
Manda. Tapi aku tahu kalau ia pasti mau memahamiku. Tidak nyaman untuk
mengulang peristiwa petang tadi. “Rasanya kayak… sesuatu itu udah di depan mata
banget. Tahu pasti itu dia. Tapi enggak bisa dijangkau… Mungkin emang belum
saatnya.” Kucoba untuk tersenyum.
Ia
tidak lagi memandangku dengan simpati, melainkan empati. “Iya Bibe, saya ngerti
rasanya gimana.”
“Serius Om. Aku pingin tahu.”
“Apa?”
“Aku pikir Om bakal balikan lagi
sama Tante Ri. Om bakal nikah sama Tante Ri,” kataku pelan, hati-hati, aku
sungguh ingin meluruskan ini.
“Belum jodoh aja Bibe…” responsnya
dengan ringan, bahkan sambil tertawa. Dan itu malah membuatku kecewa. Padahal…
mereka
sudah
begitu.
Seharusnya
aku tidak usah heran, seolah konsumsi mediaku terbatas saja, toh aku biasa
menyaksikan itu di layar.
Biasa.
Dan aku pun sadar. Aku masih seorang
anak kecil yang memandang dunia secara hitam putih, seperti Ari dan Vira.
Sebagai anak kecil, kami diajar untuk membedakan yang benar dan yang salah,
yang baik dan yang buruk. Namun itu tidak ada gunanya setelah kami besar. Semua
sama saja. Bias. Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Tidak ada yang
baik dan tidak ada yang buruk. Semua relatif. Kita hidup dalam ranah abu-abu.
Apa gunanya kami diajarkan itu toh kemudian akan terburai juga? Aku tahu. Ini
semua bertujuan untuk bikin kalbuku koyak.
Om Yan mengantarku sampai ke depan
pintu rumah. Benar, Papa menyambutnya dengan ramah. Aku benar-benar penasaran
apa saja yang mereka obrolkan tadi.
Secara
aku jarang pulang ke rumah akhir-akhir ini, Papa menjuduli kejadian ini dengan
“Kembalinya si Anak Hilang”. Kenapa sih Papa jadi sering di rumah begini, kan
mau tidak mau aku jadi terperhatikan. Malah Mama yang tidak kelihatan.
Aku dan Om Yan tidak membuat janji
pertemuan lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar