Aku mengangkat sedikit kepala.
“Ari? Ya?” Cewek itu, si pengkhianat.
Aku menurunkan kepala lagi. Menarik sekali desain sampul
buku ini.
“Hei… Halo?”
Jadi tidak menarik lagi. Aku menaruh buku tersebut.
Sebaiknya aku menjauh.
Cewek itu mengikutiku. Coba mengiringi langkahku.
Sekalian saja aku menuruni tangga. Hawa toko buku ini jadi menyesakkan.
Tubuhnya setengah
menghadangku. Aku tetap meneruskan langkah. Dia mengikutiku.
“Kok sendirian aja? Nggak sama adik kamu?”
Aku tidak menggubris. Tidak mendengarkan celotehannya
juga.
Aku telah sampai di tepi jalan raya. Mungkin sebaiknya
aku langsung pulang saja ke rumah eyang.
Dia mengiringiku sampai ke seberang jalan. Menjengkelkan.
Sebuah angkot meluncur ke depanku. Aku merogoh saku.
Tidak ada duit.
Aku merogoh saku lainnya.
Tidak ada juga.
Tasku.
Kadal.
Mungkin aku naik taksi saja.
Aku ingat. Aku ke sini tanpa membawa apa-apa. Aku biarkan
kaki menyusuri jalan yang aku kenal. Tahu-tahu aku di sini. Gramedia selalu
menarik. Harus cari Detektif Conan edisi terbaru.
Gundah berkuasa, sesat di
jalan.
Eyang putra, Eyang putri,dan
Vira katanya baru pulang malam. Mama? Ck, paling dia lagi kencan sama si
Pengganggu. Masak aku minta duit sama pembantu atau satpam?
Argh!
Aku melihat wajahnya yang masih di dekatku. Minta duit
sama Bik Mirah atau Pak Supri mungkin bukan masalah.
“Eh! Ari! Main yuk!”
“Main apa?”
“Game Master aja.”
“Nggak punya duit.”
“Aku bayarin.”
“Nggak usah.”
“Ayo!”
“Mau pulang.” Tapi tidak ada duit.
“Yaah…” Ekspresi kekecewaannya tidak lama. “Tapi main
dulu mau kan?”
Mungkin aku bisa pinjam duitnya.
Lupakan.
“Aku traktir Rotiboy, mau?”
Sebetulnya aku juga lapar.
“Kamu siapanya Om ***?” Sebetulnya aku tidak mau
menyebut, mendengar, apalagi mengingat nama si Pengganggu.
“Dia temen mamaku.”
“Seberapa deket?”
Dia terdiam. “Nggak deket-deket amat juga sih. Cuman
kadang jalan-jalan bareng aja.”
“Kenapa?”
Dia tercenung. “Eh, jangan mikir macem-macem ya!”
“Kamu pernah nemenin dia juga pas cuman ada mamaku doang?”
“Belum pernah.” Dia menggeleng. “Jadi mau main nggak?”
Geraman di perutku mengiyakan.
“Rotiboy?”
“Iya!” Dia tersenyum.
Kami jalan beriringan memasuki pelataran Bandung Indah
Plaza.
“Kamu kelas berapa sih?”
Hypermart.
“Sembilan.” Dia pasti jauh lebih tua.
“O. Mau nerusin ke SMA mana?”
“Delapan, paling.”
“Delapan Bandung?”
“Jakartalah!”
“Wah, udah mantep yah… Aku sih masih bingung mau kuliah
di mana…”
Rotiboy. Hangat. Sedap. Aku langsung meraupnya
besar-besar. Dia terperangah memerhatikanku. Peduli amat.
“Mau lagi?” Pandangannya perlahan beralih ke rotinya
sendiri.
“Mau.”
“Aku beliin, tapi pake uang kamu sendiri ya?”
Aku memperkecil raupanku.
“Ke mana nih?”
“Game Master!” Dia menunjuk eskalator.
“Aku nggak bawa duit.”
“Aku bayarin!”
Kami menuju tempat itu. Dia membeli banyak koin. Dia
menanyakanku mau main apa. “Terserah,” jawabku. Dan aku unggul sepuluh angka
darinya dalam adu memasukkan basket ke ranjang. Tapi dia menghasilkan lebih
banyak kupon saat adu memasukkan pingpong ke mulut bebek. Lalu kami bertanding
memasukkan kepingan bundar ke dalam lubang. Tingkah lakunya sangat lebay.
Selanjutnya kami bermain dayung bersama-sama. Ck, dia tidak cekatan. Tapi dia
menyenangkan. Sialan.
“Bodoh!” seruku waktu kami game over.
“Biarin!”
“Ngapain lagi nih?”
“Kamu pasti kalah kalo main DDR.”
Cih, tidak doyan.
Aku lihat beberapa ruas
rambutnya lengket ke pelipis. Nafasnya tersengal-sengal. Badanku sendiri sudah
panas. “Istirahat dulu aja, Kak.”
“Iya yah?” Matanya berbinar
menatapku.
“Ke foodcourt, gitu.” Mungkin
saja dia mau menraktirku lagi.
“Tapi koinnya masih sisa nih.
Kamu mau main lagi?”
“Ya disimpen dulu aja.”
“Asik juga yah punya adik
kayak kamu,” katanya saat kami berjalan menuju foodcourt. Aku mengerutkan dahi.
Dasar orang aneh. Dia sedang menghitung jumlah kupon yang dia hasilkan.
“Eh Ari, katanya cita-cita
kamu jadi kiai ya?”
“Enggak! Cita-cita gue sih
pingin jadi insinyur, tapi karena sekarang udah enggak ada insinyur lagi, gue
mau jadi kiai aja.”
“Lo, kan insinyur sekarang
udah jadi es-te.”
“i-er ya i-er, es-te ya es-te.
i-er itu di depan, es-te itu di belakang. Beda tahu!”
“Ah!”
Kami mengambil tempat duduk
untuk berempat. Matanya menyapu deretan penjual makanan dan minuman dengan
hasrat kepingin. Aku curiga duitnya sudah habis untuk koin-koin tadi.
“Sayang banget yah, tadi,
padahal kita baru main bentar, eh, udah game over aja…” Logat Sundanya
terdengar kental.
“Ya elo juga sih mainnya
ngaco.”
“Iiih… Susah tau…”
Ponselnya menyala. Dia
menempelkan benda itu di telinganya.
“…heuheu… Bodor pisan atuh si
Papa, meni pake ketinggalan kunci rumah segala. Jadi sekarang pada di rumahnya
Tante As, Ma? Oh… Ya udah atuh, Ma, si Papa disuruh beli martabak Mas Edi… Ya,
kan, entar buat perbandingan gitu enakan mana martabaknya sama buatan Mama,
hahaha…”
Tawanya berderai dengan enak
sekali.
“Itu
yang jadi mempelai, bokap lo, ya?”
“Iya,
bokap.”
Aku
melihat mata temanku itu melihat sosok mamaku di dekat meja penerima tamu.
Tertawa girang bersama sekompi ibu-ibu menor berkebaya.
Dia melirikku lalu buru-buru
menyudahi sambungan telepon. Dia terlihat salah tingkah karena aku terus
menatapnya. Padahal aku sedang melihat papaku menoleh dari balik kursi
pengemudi.
“Katanya
ada yang lagi dekat sama Mama ya?”
Ah,
mana mungkin Papa tahu. Papa tidak serumah lagi dengan kami. Papa tahu dengan
siapa Mama bertelepon atau chatting malam-malam selama ini? Itu dia orangnya,
Pa. Si Pengganggu.
Papa
kembali melihat jalan. Aku lihat di kaca spion matanya tersenyum.
Papa
sudah tahu.
“Kalo mau ngomong sesuatu
sekarang aja. Mumpung ketemu,” ujarku. “Gue tau lo pasti di pihak dia.”
“Ngomongin apa?”
“Alah, sok pake ngajak gue
maen segala…” Aku menepis pandangan bingungnya.
Tampaknya dia sudah mencerna.
Dia terpana. “Yee… Kalaupun harus mihak, harusnya aku di pihak anak dong…”
“Ah. Mana mungkin lo bisa
ngerasain apa yang kami rasain kalo lo nggak ngalamin sendiri?”
Dia diam.
“Ari.” Dia lalu memanggilku hati-hati. “Ari sayang sama
mama Ari?”
“Ya iyalah.” Sekilas aku memandang dia dengan tak acuh.
Aku lipat tangan dan memperbaiki posisi duduk.
“Kalau mama Ari ternyata lebih bahagia sama Om ***,
gimana?”
“Kalau ternyata kami lebih bahagia dengan kedua orangtua
kami semula, gimana?”
Dia merengut. “Belum tentu…”
“Terus kenapa gue harus dengerin kata-kata lo juga, yang
pastinya belum tentu juga?”
Dia diam lagi.
“Heran gue, kenapa emak gue
nggak sama orang itu dari awal aja?” Aku merutuk.
Dia menarik tubuhnya. Kedua lengannya bersembunyi di
balik meja. Katanya pelan, “Entar nggak jadi kamu dong?” Jeda. “Kalo gitu, sore
ini aku main sama siapa?”
Heh?
“Mungkin karena satu papa aja
nggak cukup buat kamu, makanya kamu dikasih dua papa. Enak kan?” Dia mencoba
tersenyum. “Papaku aja cuman satu loh, dan kadang aku ngerasa nggak cukup punya
satu papa, tapi ya harus aku terima apa adanya papaku yang satu-satunya itu,
hehe…”
“Dua mama aja gue nggak butuh, apalagi dua papa.”
Aku membuang muka. Aku putuskan untuk pulang naik taksi
saja. Tahu deh siapa nanti yang bayar di rumah. Pokoknya harus ada.
Aku tidak mendengarkan lagi kata-katanya kemudian.
Dia mengikutiku turun.
“Kapan-kapan kita main lagi yuk?”
Lama aku tidak menanggapinya.
Setelah dua eskalator, “Kak
Bibe langsung pulang?”
“Eh? Iya, mungkin. Sebetulnya
udah ditungguin juga sih.”
“Berdoa aja moga-moga orangtua
Kakak nggak lagi nungguin Kakak karena mau ngasih kejutan.”
“Kejutan apa?”
“Ngasih tau Kakak kalau mereka
mau cerai.”
Dan mereka mengatakannya
dengan enteng. Betapa banyaknya hal tersembunyi tentang diri mereka.
“Ah, nggak mungkin.”
“Mugkin aja lagi.”
Aku juga tidak pernah mengira
bahwa itu mungkin. Mama dan Papa tidak pernah berkonflik sebelumnya. Tidak ada
yang salah pada keluarga kami.
“Tapi—”
Tapi pada akhirnya aku
mengalami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar