Ketika
disebutkan istilah “bule”, imaji kita mengacu pada sosok jangkung, berhidung
mancung, dan berambut jagung. Seperti itulah Om Pir. Ia tipe bule yang rajin
joging keliling kompleks perumahan—berkacamata hitam, kaos garis-garis, celana
training pendek, kaos kaki tebal, dan sepatu keds—lalu menyapa “selamat pagi!”
de ngan ramah pada tiap orang lokal yang ditemui—entah ia kenal apa tidak.
Suatu
waktu menjelang akhir dekade 90-an, lewat sambungan internasional Tante As
menelepon papanya. Ia bilang kalau ia akan menikah dengan seorang kliennya.
Respons Kakek hanya, “Asal muslim.” Maka Pierre Laurent mengubah namanya
menjadi Firdaus Zain. Namun status perceraiannya dengan istri sebelumnya, yang
telah memberinya dua anak, belum resmi. Kenyataan yang baru terkuak setelah
mereka menikah itu membuat Tante As merasa sangat terhina. Dan Om Pir pun masih
belum begitu bisa membedakan Indonesia dengan Malaysia. Maka Tante As minggat
ke Indonesia. Carilah aku di Malaysia dan kita tidak akan pernah lagi bersua,
da-da!
Saat
itu aku masih SMP, ketika suatu petang aku sampai di jalanan sempit depan
rumahku, yang di ujungnya telah berkerumun beberapa ibu-ibu, di mana aku
bergabung setelah itu, dan ikut menyimak dialog sengit berbahasa Inggris. Aku
belum begitu menguasai bahasa Inggris waktu itu, jadi yang aku tangkap hanya Tante
As meneriaki seseorang untuk pergi ke neraka. Lalu aku melihat Om Pir untuk
pertama kali serta bukti kalau orang Barat itu sungguh gigih. Pencariannya
selama bertahun-tahun akhirnya membuahkan hasil.
Om
Pir mampu bergaul baik dengan kedua orangtuaku. Tante As suka berselisih dengan
mamaku, tapi ia tidak bisa tidak segan pada Papa. Entah ini ada hubungannya
atau tidak dengan spesialisasi Papa sebagai peliput konflik. Tanpa perlu
arbitrasi, perdamaian tercipta hanya dengan mediasi.
Drama
berakhir. Itulah asal mula berdirinya rumah mewah Tante As, sebuah rumah yang
dibangun hanya untuk memenuhi kebutuhan diri seorang. Tiap kali di rumah Tante
As, aku selalu berusaha untuk bantu membersihkannya. Apalagi ketika kandungan
Tante As makin berat. Aku ingin ia mengurangi pergerakannya. Biar aku saja yang
mengemoceng, menyapu, mengepel, menyedot debu, bahkan mencuci. Biar selalu ada
protesnya karena hasil sapuan atau bilasanku kurang bersih, namun ia
membiarkanku menyelesaikan apapun yang kumulai. Khusus untuk mengepel, ia
sendiri yang melakukannya. Tidak pakai tongkat pula—padahal biasanya begitu.
Konon gerakan saat mengepel bisa memperlancar persalinan.
Kedatangan
Om Pir pada kehamilan yang kian menua ini, membuat hatiku tenang. Yang bikin
aku kian bersorak adalah karena Om Pir akan tinggal dalam waktu yang lebih lama
dari biasa. Sudah sejak awal kehamilan istrinya, ia mengajukan cuti beberapa
bulan untuk waktu yang diperkirakan rawan ini. Trisemester ketiga akan segera
lalu. Ia harus jadi suami siaga.
Ada
Om Pir, jelas kedua orangtuaku makin rajin mengatakan, “pulang!” padaku. Aku
hanya akan makin dirusuhi tentang pilihan minatku di perguruan tinggi saja,
juga hubunganku dengan Om Yan yang terus jalan, jadi aku kukuh tinggal di rumah
Tante As.
Kukerahkan
segala alasan, mulai dari aku harus menolong Tante As menyelesaikan pekerjaan
rumahnya, sampai aku ingin ikut mempersiapkan kelahiran calon adikku. Toh Om
Pir juga tidak pernah protes karena kehadiranku. Ia selalu bersikap santun
padaku.
Om
Pir suka memasak. Ia membawa bumbu-bumbunya sendiri, dengan label bertulisan
bahasa-bahasa yang tak kumengerti. Aroma bawang dan rempah khas Indonesia lain
hanya bikin hidungnya berkernyit. Om Pir bilang padaku kalau Tante As selalu
bilang hasil masakannya enak. Terdengar ganjil di telingaku—Tante As kan pelit
pujian.
Bahasa
Indonesia Om Pir masih berlepotan, tapi aku senang saja meladeninya berbahasa
Inggris, sekalian belajar.
Yang
aku senangi lagi dari dirinya adalah bahwa ia menjadi muslim secara
sungguh-sungguh. Sebelum rujuk dengan Tante As, ia sudah dua kali mengunjungi
tanah suci. Ia selalu solat tepat waktu, meski tidak ajak-ajak, dengan kopiah
terpasang. Kalau bersua papaku, mereka suka mendiskusikan agama. Menurutku ia
justru lebih soleh dari Tante As.
Aku
yang dulu bilang padanya kalau tradisi di sini adalah solat dengan kopiah.
Sebetulnya aku asal saja bilang begitu. Namun ia menurutinya jua dan suka lupa
copot kopiah sehabis solat. Maka ia pun berkopiah ke mana-mana. Ketika sadar
bahwa kopiah masih terpasang di kepalanya, ia berkata, “I feel like Soekarno.”
Karena
ia sudah punya dua anak dari pernikahan sebelumnya, aku optimis ia bisa
mengajari Tante As bagaimana cara mengasuh bayi mereka kelak. Untuk menambah
pengetahuanku sendiri, ketika sedang di suatu swalayan aku iseng masuk ke
nursery room dan mengamati bagaimana seorang ibu mengganti popok anaknya.
Suatu
usai sekolah, seperti biasa aku pulang ke Tante As dengan riang. Begitu sampai,
aku lihat Om Pir sedang di dapur. Aku mendekatinya. “What are you doing, Uncle
Pir?” sapaku. Wow, rupanya ia akan membuat banana split! Sebuah mangkuk kristal
telah disiapkan untuk itu.
“Don’t
forget putting chips on the top, honey!” terdengar seruan Tante As dari dalam.
Aku duga itu berasal dari kamar di studionya.
“Yes,
my dear!” balas Om Pir. Perhatiannya tertuju untuk menata berbagai ornamen di
atas bangunan pisang.
“I’ll
go there,” kataku sembari membalikkan badan.
“Watch
your step, kid.”
“I’m
not a kid anymore!” protesku. Ia tersenyum.
Di
kamar, aku mendapati Tante As duduk mengangkang dengan muka bercahaya. Ia
mengelus-elus perutnya. Ketika aku mendekat, tanganku diraihnya. Aku lekas tahu
ia akan membawaku ke mana. Kurasakan sundulan keras di telapak tanganku.
“She’s
kicking me!” sahutku. Kutempelkan telingaku di perutnya. Kunikmati
sundulan-sundulan kecil itu menggelitik telinga. Aku duga ia akan menjadi gadis
yang aktivitasnya sebanyak apa yang ia makan. Postur tubuhnya akan ideal.
Bayangan gadis indo yang cantik mengisi benakku. Dan ia mungkin bakal benci
setengah mati pada pria dewasa lajang.
“I
never think it could be so nice for having a baby…” kata Tante As, tersenyum
memandangi lalu mengusap perutnya. Kapan aku pernah melihatnya sebahagia ini?
Tak lama lagi sang bayi akan mewujud nyata. Sabarlah, Tante. “Little boy in
here…”
“Are
you sure eeu… it’s a boy?” koreksiku.
“Boy
or girl, doesn’t matter for me…”
Ketika
sundulan itu berhenti, aku mengetuk-ngetuk perut Tante As pelan. Beberapa kali
aku pernah lihat Tante As jadi sedih ketika janinnya berhenti menyundul setelah
frekuensi yang begitu kerap. “Knock,
knock… who’s in there? C’mon… Play with your big sister, dear…”
Aku
baru mengangkat kepala ketika Tante As berkata lagi. “I’d never be alone
anymore…”
“I think you’re such a loner.”
“No,
I like being accompanied. I need to be alone just when i do my job. but he
never leave me…” Ia mengelus perutnya lagi.
“Well,
i think the doctor had told us that it-would-be-a-girl…”
“Don’t
use “it”, Beib, he’s human.”
“Yeah,
but, HE-IS-A-GIRL. Aa… Now it sounds so odd for my ear…” Aku menutup kedua belah telingaku sesaat. Om
Pir mengetuk meski daun pintu sudah terbuka lebar.
“The
lunch is coming…” Tante As berkata lagi dengan suara lembut pada perutnya.
Tersentuh aku mendengarnya. Seakan tidak percaya kalau sebentar lagi ia akan
menjadi seorang ibu. Ia tidak pernah kelihatan keibuan sebelumnya!
Om
Pir melabuhkan tubuhnya di samping Tante As. Tante As bahkan membiarkan
seseorang membawa makanan ke atas kasurnya! Om Pir menyuapi Tante As. Sang
istri bergumam meresapi rasa yang melumer di mulutnya lalu memberikan pujian
tulus.
“Really?”
“I
do mean it, honey.”
“Ehm,
Baby,” Ia tidak bisa mengucap “Bibe” dengan sempurna. “Would you please to…”
pinta Om Pir dengan nada sopan, namun tanpa harus diselesaikan aku sudah bisa
membaca apa maksudnya.
“Okay,
okay…” Aku beranjak dari kasur. “Do I need to close the door?”
“Enggak
usah. Pintu studionya aja,” kata Tante As. Om Pir menciumi lehernya.
Jelas
aku mengerti kenapa Papa dan Mama tidak ingin aku selalu berada di rumah Tante
As ketika Om Pir ada. Aku bisa kena diabetes.
Aku
menyalakan TV dengan suara keras. Sambil ngemil, sambil buka-buka buku
pelajaran, sambil sesekali menonton serial kriminal Amerika, oh sungguh nikmat
dunia. Aku bertahan sampai sekitar ashar. Om Pir dan Tante As keluar dari studio
dengan senyum. Kalau tidak hamil, Tante As akan terlihat mungil apabila
bersanding Om Pir. Sekarang, mereka terlihat seperti angka 10.
Keadaan
mereka masih utuh, tentu saja. Aku berusaha menghalau sangkaan yang
tidak-tidak. Masak bisa sih, melakukan “itu” pas hamil besar?
Om
Pir dan Tante As hendak keluar setelah maghrib. Om Pir mengajakku serta.
“Preparing the baby room for my baby,” katanya.
“Ikut!”
teriakku dengan semangat.
Tungkai
kaki Om Pir sebetulnya terlalu panjang untuk ukuran mobil Tante As. Begitupun
tubuhnya. Ia memundurkan jok kemudi sampai pol. Dalam ruang yang terbatas, ia
masih terlihat nyaman mengemudi.
Sepanjang
perjalanan, kami membicarakan alternatif cara melahirkan yang semakin beragam
saja. “Tante, mau coba melahirkan di air enggak?” tanyaku.
Tanteku
rupanya tidak mau yang macam-macam. “Yang biasa aja ah!” katanya. Mereka belum
memutuskan akan ke rumah sakit mana. Aku harap rumah sakit apapun yang mereka
pilih nanti akan memungkinkanku untuk menyaksikan proses kelahiran.
Kami
pergi ke pusat perbelanjaan yang menyajikan berbagai rupa perlengkapan bayi.
Aku merasa bagai kakak sungguhan ketika melihat-lihat produk lalu mulai
menentukan pilihan. Calon adikku perempuan, tapi aku tidak ingin nuansa
kamarnya melulu pink. Aku ingin memberinya warna lembut yang beraneka ragam
meski sesungguhnya Tante As yang lebih menguasai warna.
“Tante,
emang kamar bayinya mau di mana?” tanyaku ketikabertemu lagi dengan Tante As
dan Om Pir di area ranjang bayi, mengingat hanya ada dua ruang tidur di rumah Tante
As.
“Ya
yang di tengah dong Be,” ujar Tante As.
Oh.
Berarti kamar bayinya akan luas sekali. Sebetulnya aku masih ingin tahu apakah
rumah itu akan dirombak lagi sehingga ruang tidur yang tersedia bisa lebih
banyak.
Melihat
bagaimana Om Pir memperlakukan istrinya dengan mesra, entah kenapa melayangkan
pikiranku pada Om Yan. Aku kira Om Yan pun tipe pria yang demikian, kalau ia
punya istri. Kubayangkan kalau Om Yan akan lebih-lebih lagi, sampai membuat iri
siapapun yang melihat, sebagaimana waktu ia pacaran dengan Tante Ri dulu—aku
masih ingat cerita Mama. Yang masih bikin aku gamang adalah, Om Yan tidak
sekalipun pernah menyinggung pernikahan tiap aku berhasil membuatnya bicara
tentang Tante Ri, meski sedikit, hanya… “iya, kemarin keluar bareng lagi,” dan
itu saja.
Aku
akan senang sekali jika Om Yan bisa mengalami seperti Om Pir. Aku pikir itulah
yang diam-diam Om Yan inginkan: istri, bayi, anak, keluarga. Kebahagiaannya
akan terpenuhi. Tapi ah mana aku bisa memastikannya.
Langkahku
tertahan ketika hendak meninggalkan pasutri itu lagi. Kudengar Tante As bilang
pada suaminya, ia tidak yakin kalau ia bakal siap menghadapi semua ini.
Hei,
ke mana hawa euforia tadi siang? Kenapa selekas ini berganti resah?
Om
Pir menanggapinya dengan nada tenang. Kamu
sudah punya nalurinya, kamu akan tahu apa yang harus kamu lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar