Jumatan
adalah momen aku tergelak bersama beberapa teman perempuanku di dalam kelas.
Berbatik dan berbuat kericuhan, ya, itu, hanya untuk diri kami saja. Namun aku
harus ke luar dari lingkaran tawa itu karena ponselku berbunyi. Berjongkok, aku
memojok. Panggilan mamaku, hal biasa yang kadang menjengkelkan, namun hatiku sedang
terlalu ringan untuk menggerutu.
“Assalamualaikum,” jawabku.
“Bibe, di mana?” suara Mama tidak
terdengar santai.
“Di kelas, Ma.”
Segera suara Mama menukas lagi,
“Bibe udah pernah ke tempat Om Yan kan? Anter Mama ke sana sekarang ya?”
“Sekarang, Ma?”
“Iya.”
“Ke sana mau ngapain, Ma?” Aku
menjaga intonasi agar tetap tenang dan pelan. Suara teman-temanku juga sudah
memanggil.
“Ibunya Om Yan meninggal.”
“Innalillahi…” Kepalaku menoleh ke
belakang. Kepala beberapa temanku terbit di atas meja dengan mata memancarkan
rasa ingin tahu. Setelahnya aku berkoordinasi dengan Mama mengenai ketemuan di
mana, ke sana lebih cepat naik apa, dan seterusnya.
Tidak sampai setengah jam aku sudah
duduk di samping Mama di dalam angkot. Motornya sedang diservis, lagi-lagi
businya bermasalah. Pintu masuk di depan kami. Sempat aku perhatikan Mama yang
sedang mengecek perekamnya. Perekam ia masukkan, ganti notes dan pulpen ia
keluarkan untuk mencatat sesuatu. Sesekali pandang ia arahkan ke depan.
“Mau ngeliput, Ma?” tanyaku.
“Iya, Bibe.”
Aku harap aku tidak lupa rute dari
tempat kami turun dari angkot ke rumah Om Yan. Sudah cukup lama juga ternyata
sejak aku terakhir kali ke sana.
“Be, perlu naik ojek atau becak
enggak?” tanya Mama.
Kalau naik kendaraan umum lagi
sepertinya aku bakal malah tambah bingung.
“Enggak usah, Ma. Jalan kaki paling
sekitar sepuluh menit kok,” jawabku sok tahu. Pada pengalaman sebelumnya, aku
butuh mungkin sekitar setengah jam dari tempatku berpijak sekarang hingga
menemukan rumah gedongan nan klasik itu. Mama menjauh dariku untuk bertanya
pada seorang tukang becak. Setelah itu ia mendekat lagi dan memberi arahan
seakan aku tidak tahu apa-apa. Lalu buat apa sih aku ikut?!
Ah, tentu saja aku harus ikut.
Mama tahu Om Yan orang yang spesial
bagiku.
Ternyata memang tidak sukar untuk
menemukan tujuan kami. Mobil-mobil mewah yang sesekali melesat mendahului kami
bantu menunjukkan jalan. Sekitar beberapa menit kami berjalan, berderet mobil
terparkir di kanan-kiri jalan perumahan yang relatif lebar ini. Ada bendera
putih di atas bangku menghadang di salah satu muka jalan masuk. Ke sana kami
menuju.
Aku takjub melihat gelombang orang
berpakaian gelap jauh di depan sana. Tenda biru terpancang menaungi mereka.
Kursi-kursi hitam berderet membentuk barisan panjang dengan panjang lajur
disesuaikan dengan panjang jalan. Udara dipenuhi suara-suara manusia yang
berusaha menjaga volume. Karangan bunga berbagai warna, ukuran, dan rupa
menyambut di kanan-kiri muka tenda, bagai pagar ayu dan pagar bagus pada
resepsi pernikahan.
Aku menyadari bahwa aku masih
memakai seragam batik sekolah. Aku khawatir kalau-kalau ada yang memerhatikanku
karena salah kostum. Kulihat Mama memakai jilbab abu-abu tua yang senada
blusnya. Di bawahnya, jins biru belel seperti biasa. Mungkin inilah saatnya
untuk berlagak cuek seperti Mama.
Kami
terus berjalan hingga kami turut dinaungi tenda juga. Di hadapan kami, bagian
depan rumah tampak gelap dan ingin menelan manusia-manusia yang hilir mudik di
pelatarannya. Banyak karangan bunga terpajang juga di carport. Aku membaca satu
nama yang terbentuk oleh rangkaian bunga-bunga kuning kecil itu. Dreandara.
Sederet gelar akademis plus agamis mengapitnya. Ibunya Om Yan adalah seorang
pakar dermatologi dan guru besar di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung.
Mama menepuk bahuku. “Be, Mama ke
sana dulu ya. Ikut enggak?” Aku tidak terlalu awas sehinga aku menggeleng saja.
Kulihat Mama bergabung dengan sekumpulan bapak-bapak yang sepertinya sesama
wartawan. Pandanganku juga menangkap bapak-bapak dan ibu-ibu dan yang berdandan
sama necis dan flamboyan selayaknya Om Yan. Ada muda-mudi yang tak kalah menterengnya seperti mereka. Aku tak menyadari
tubuhku jadi ikut berputar karena perhatianku pada ragam orang yang menghadiri
takziah ini. Aku lihat ada beberapa bule juga. Om Yan di mana ya?
Aku rasa sebaiknya aku masuk ke
dalam rumah duka. Mungkin aku akan menemukannya di sana. Baru saja aku hendak
melangkah. Mama dan segenap rekannya sudah mendahuluiku. “Ayo Bibe,” kata Mama
saat berada di dekatku. Aku turut. Semerbak melati menuntun kami. Ketika
menginjak ubin putih teras, aku baru ngeh akan kehadiran bunga-bunga di halaman
rumah yang amat memesonaku kala pertama kali datang ke rumah ini. Warna-warni
mereka tampak redup. Mahkota-mahkota kompak menunduk seakan digelayuti duka.
Ah. Mungkin hanya khayalanku saja.
Mendekati ambang pintu, kami harus
mengantri karena banyak orang lain hendak masuk ke sana juga. Aku khawatir
jangan-jangan ruangan di dalam tidak akan cukup untuk menampung kami sehingga
kami harus menunggu di luar. Tapi aku sangat ingin masuk ke dalam. Aku ingin
melihat wajah Om Yan meski mungkin tidak akan ada kesempatan untuk bercakap
dengannya.
Kami bisa masuk. Yes! Ruangan depan
ternyata memang besar namun rupanya tidak dapat memuat setiap pelayat yang
ingin melihat jenazah almarhumah. Beberapa orang menunggu agar bisa ke luar
ruangan, agar tersedia ruang bagi mereka
yang baru datang.
Mama mendorong lenganku agar menepi.
Punggung orang-orang membelakangiku namun aku masih bisa melihat apa yang
terjadi di tengah ruangan. Rupanya jenazah sudah akan diberangkatkan. Sekilas
aku seperti melihat Tante Zahra. Benar, ia sedang mengobrol dengan Mama.
Perhatianku
teralih lagi. Aku kira aku melihat Om Yan tapi penampilan pria itu tampak beda
dengan Om Yan yang biasa. Rambutnya lebih cepak dan tampangnya serius, terlihat
lebih tua. Garis wajahnya lebih keras. Mungkin itu saudara kembar Om Yan, konon
seorang dokter yang bekerja untuk Badan Dunia. Pria itu berhenti bercakap
dengan seorang bule ketika seseorang menyentuhnya. Ia melangkah pelan ke tengah
ruangan—tempat jenazah terbaring—lalu bersimpuh di samping jenazah. Barulah aku
sadari kalau di dekat jenazah sudah ada Om Yan juga.
Seorang
wanita dengan rambut terang diapit mereka kini. Wajahnya sembap dan merah.
Sesekali terisak. Tiap kali isaknya mengencang, Om Yan merangkul tubuhnya
semakin rapat. Kukira wanita itu adik Om Yan. Di sekitar mereka, aku melihat
suami dan para keponakan Om Yan yang sebelumnya hanya kulihat lewat foto. Sang
suami menggendong bayi. Salah seorang anak yang lebih besar menyerbu pinggang
adiknya Om Yan. Wanita itu merangkul anak tersebut.
Dan
Om Yan sendiri, aduh, seperti ada yang mengiris hatiku. Bagaimana tidak
terenyuh, kamu biasa melihatnya dalam hangat dan ceria, tapi kini ia seredup
bunga-bunga di halaman rumahnya. Tidak kelihatan lebih pilu dari adiknya bukan
berarti keadaanya lebih baik. Tahu-tahu tanganku sudah terangkat ke mata untuk
mengusap basah di sana.
Baik Om Yan maupun wanita itu
bergeser agar pria yang mirip Om Yan mendapat cukup ruang di sisi kepala
jenazah. Pria itu mengecup kening jenazah.
Om
Yan menoleh pada wanita dalam rangkulannya. Wanita itu menghambur ke tubuh
jenazah. Dikecupnya pipi kanan dan kiri. Kepiluannya merambat ke hatiku dan aku
jadi tambah ingin menangis. Mukaku kian panas.
Aku
ingat betapa baiknya ibu Om Yan memperlakukanku pada tiap pertemuan kami. Pada
kue-kuenya yang bercita rasa khas. Pada teh herbal racikannya yang menenangkan
saraf. Aku mengusap sebelah mataku lagi. Aku lihat seorang wanita di seberang
sana juga melakukannya. Ah. Tante Ri.
Ia juga menangis. Sebelah tangannya
menutup mulut dengan sapu tangan. Meski sedang berduka seperti itu ia tetap
terlihat cantik dan gaya. Mungkin seperti itu pula almarhumah ibunya Om Yan di
masa mudanya. Bukankah mereka mirip? Aku tidak lama-lama mengamati wanita itu
karena sebentar lagi giliran Om Yan.
Pria
itu telah bersimpuh di samping kepala almarhumah ibunya. Aku kira ia akan
mengecup kening atau kedua belah pipi sebagaimana kakak dan adiknya lakukan.
Tapi tidak.
Ia
mengecup bibir ibunya. Dalam. Hikmat. Lalu kepalanya miring. Pipinya lekat
menempel pipi ibunya. Pipinya bergerak pelan, dengan mata terpejam menyusuri
pipi itu dengan pipinya, dan diakhirinya dengan mengecup leher yang terbungkus
kafan.
Kepalaku
menoleh ke kanan dan kulihat sebuah punggung berbalik. Aku mengenali rambut
panjang yang jatuh menutupinya sebagai milik Tante Ri. Terhuyung-huyung tubuh
semampai itu meninggalkan ruangan. Langkahku tergerak untuk mengayun.
Mengikutinya. Namun aku tidak bisa lebih dekat dari jarak sekian belas meter.
Dari balik pagar aku hanya bisa mengamati punggungnya yang naik turun menahan
sengguk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar