Senin, 12 Desember 2011

Takziah

Jumatan adalah momen aku tergelak bersama beberapa teman perempuanku di dalam kelas. Berbatik dan berbuat kericuhan, ya, itu, hanya untuk diri kami saja. Namun aku harus ke luar dari lingkaran tawa itu karena ponselku berbunyi. Berjongkok, aku memojok. Panggilan mamaku, hal biasa yang kadang menjengkelkan, namun hatiku sedang terlalu ringan untuk menggerutu.

            “Assalamualaikum,” jawabku.

            “Bibe, di mana?” suara Mama tidak terdengar santai.

            “Di kelas, Ma.”

            Segera suara Mama menukas lagi, “Bibe udah pernah ke tempat Om Yan kan? Anter Mama ke sana sekarang ya?”

            “Sekarang, Ma?”

            “Iya.”

            “Ke sana mau ngapain, Ma?” Aku menjaga intonasi agar tetap tenang dan pelan. Suara teman-temanku juga sudah memanggil.

            “Ibunya Om Yan meninggal.”

            “Innalillahi…” Kepalaku menoleh ke belakang. Kepala beberapa temanku terbit di atas meja dengan mata memancarkan rasa ingin tahu. Setelahnya aku berkoordinasi dengan Mama mengenai ketemuan di mana, ke sana lebih cepat naik apa, dan seterusnya.

            Tidak sampai setengah jam aku sudah duduk di samping Mama di dalam angkot. Motornya sedang diservis, lagi-lagi businya bermasalah. Pintu masuk di depan kami. Sempat aku perhatikan Mama yang sedang mengecek perekamnya. Perekam ia masukkan, ganti notes dan pulpen ia keluarkan untuk mencatat sesuatu. Sesekali pandang ia arahkan ke depan.

            “Mau ngeliput, Ma?” tanyaku.

            “Iya, Bibe.”

            Aku harap aku tidak lupa rute dari tempat kami turun dari angkot ke rumah Om Yan. Sudah cukup lama juga ternyata sejak aku terakhir kali ke sana.

            “Be, perlu naik ojek atau becak enggak?” tanya Mama.

            Kalau naik kendaraan umum lagi sepertinya aku bakal malah tambah bingung.

            “Enggak usah, Ma. Jalan kaki paling sekitar sepuluh menit kok,” jawabku sok tahu. Pada pengalaman sebelumnya, aku butuh mungkin sekitar setengah jam dari tempatku berpijak sekarang hingga menemukan rumah gedongan nan klasik itu. Mama menjauh dariku untuk bertanya pada seorang tukang becak. Setelah itu ia mendekat lagi dan memberi arahan seakan aku tidak tahu apa-apa. Lalu buat apa sih aku ikut?!

            Ah, tentu saja aku harus ikut. Mama  tahu Om Yan orang yang spesial bagiku.

            Ternyata memang tidak sukar untuk menemukan tujuan kami. Mobil-mobil mewah yang sesekali melesat mendahului kami bantu menunjukkan jalan. Sekitar beberapa menit kami berjalan, berderet mobil terparkir di kanan-kiri jalan perumahan yang relatif lebar ini. Ada bendera putih di atas bangku menghadang di salah satu muka jalan masuk. Ke sana kami menuju.

            Aku takjub melihat gelombang orang berpakaian gelap jauh di depan sana. Tenda biru terpancang menaungi mereka. Kursi-kursi hitam berderet membentuk barisan panjang dengan panjang lajur disesuaikan dengan panjang jalan. Udara dipenuhi suara-suara manusia yang berusaha menjaga volume. Karangan bunga berbagai warna, ukuran, dan rupa menyambut di kanan-kiri muka tenda, bagai pagar ayu dan pagar bagus pada resepsi pernikahan.

            Aku menyadari bahwa aku masih memakai seragam batik sekolah. Aku khawatir kalau-kalau ada yang memerhatikanku karena salah kostum. Kulihat Mama memakai jilbab abu-abu tua yang senada blusnya. Di bawahnya, jins biru belel seperti biasa. Mungkin inilah saatnya untuk berlagak cuek seperti Mama.

Kami terus berjalan hingga kami turut dinaungi tenda juga. Di hadapan kami, bagian depan rumah tampak gelap dan ingin menelan manusia-manusia yang hilir mudik di pelatarannya. Banyak karangan bunga terpajang juga di carport. Aku membaca satu nama yang terbentuk oleh rangkaian bunga-bunga kuning kecil itu. Dreandara. Sederet gelar akademis plus agamis mengapitnya. Ibunya Om Yan adalah seorang pakar dermatologi dan guru besar di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung.

            Mama menepuk bahuku. “Be, Mama ke sana dulu ya. Ikut enggak?” Aku tidak terlalu awas sehinga aku menggeleng saja. Kulihat Mama bergabung dengan sekumpulan bapak-bapak yang sepertinya sesama wartawan. Pandanganku juga menangkap bapak-bapak dan ibu-ibu dan yang berdandan sama necis dan flamboyan selayaknya Om Yan. Ada muda-mudi yang tak kalah  menterengnya seperti mereka. Aku tak menyadari tubuhku jadi ikut berputar karena perhatianku pada ragam orang yang menghadiri takziah ini. Aku lihat ada beberapa bule juga. Om Yan di mana ya?

            Aku rasa sebaiknya aku masuk ke dalam rumah duka. Mungkin aku akan menemukannya di sana. Baru saja aku hendak melangkah. Mama dan segenap rekannya sudah mendahuluiku. “Ayo Bibe,” kata Mama saat berada di dekatku. Aku turut. Semerbak melati menuntun kami. Ketika menginjak ubin putih teras, aku baru ngeh akan kehadiran bunga-bunga di halaman rumah yang amat memesonaku kala pertama kali datang ke rumah ini. Warna-warni mereka tampak redup. Mahkota-mahkota kompak menunduk seakan digelayuti duka. Ah. Mungkin hanya khayalanku saja.

            Mendekati ambang pintu, kami harus mengantri karena banyak orang lain hendak masuk ke sana juga. Aku khawatir jangan-jangan ruangan di dalam tidak akan cukup untuk menampung kami sehingga kami harus menunggu di luar. Tapi aku sangat ingin masuk ke dalam. Aku ingin melihat wajah Om Yan meski mungkin tidak akan ada kesempatan untuk bercakap dengannya.

            Kami bisa masuk. Yes! Ruangan depan ternyata memang besar namun rupanya tidak dapat memuat setiap pelayat yang ingin melihat jenazah almarhumah. Beberapa orang menunggu agar bisa ke luar ruangan, agar tersedia ruang  bagi mereka yang baru datang.

            Mama mendorong lenganku agar menepi. Punggung orang-orang membelakangiku namun aku masih bisa melihat apa yang terjadi di tengah ruangan. Rupanya jenazah sudah akan diberangkatkan. Sekilas aku seperti melihat Tante Zahra. Benar, ia sedang mengobrol dengan Mama.

Perhatianku teralih lagi. Aku kira aku melihat Om Yan tapi penampilan pria itu tampak beda dengan Om Yan yang biasa. Rambutnya lebih cepak dan tampangnya serius, terlihat lebih tua. Garis wajahnya lebih keras. Mungkin itu saudara kembar Om Yan, konon seorang dokter yang bekerja untuk Badan Dunia. Pria itu berhenti bercakap dengan seorang bule ketika seseorang menyentuhnya. Ia melangkah pelan ke tengah ruangan—tempat jenazah terbaring—lalu bersimpuh di samping jenazah. Barulah aku sadari kalau di dekat jenazah sudah ada Om Yan juga.

Seorang wanita dengan rambut terang diapit mereka kini. Wajahnya sembap dan merah. Sesekali terisak. Tiap kali isaknya mengencang, Om Yan merangkul tubuhnya semakin rapat. Kukira wanita itu adik Om Yan. Di sekitar mereka, aku melihat suami dan para keponakan Om Yan yang sebelumnya hanya kulihat lewat foto. Sang suami menggendong bayi. Salah seorang anak yang lebih besar menyerbu pinggang adiknya Om Yan. Wanita itu merangkul anak tersebut.

Dan Om Yan sendiri, aduh, seperti ada yang mengiris hatiku. Bagaimana tidak terenyuh, kamu biasa melihatnya dalam hangat dan ceria, tapi kini ia seredup bunga-bunga di halaman rumahnya. Tidak kelihatan lebih pilu dari adiknya bukan berarti keadaanya lebih baik. Tahu-tahu tanganku sudah terangkat ke mata untuk mengusap basah di sana.

            Baik Om Yan maupun wanita itu bergeser agar pria yang mirip Om Yan mendapat cukup ruang di sisi kepala jenazah. Pria itu mengecup kening jenazah.

Om Yan menoleh pada wanita dalam rangkulannya. Wanita itu menghambur ke tubuh jenazah. Dikecupnya pipi kanan dan kiri. Kepiluannya merambat ke hatiku dan aku jadi tambah ingin menangis. Mukaku kian panas.

Aku ingat betapa baiknya ibu Om Yan memperlakukanku pada tiap pertemuan kami. Pada kue-kuenya yang bercita rasa khas. Pada teh herbal racikannya yang menenangkan saraf. Aku mengusap sebelah mataku lagi. Aku lihat seorang wanita di seberang sana juga melakukannya. Ah. Tante Ri.

            Ia juga menangis. Sebelah tangannya menutup mulut dengan sapu tangan. Meski sedang berduka seperti itu ia tetap terlihat cantik dan gaya. Mungkin seperti itu pula almarhumah ibunya Om Yan di masa mudanya. Bukankah mereka mirip? Aku tidak lama-lama mengamati wanita itu karena sebentar lagi giliran Om Yan.       

Pria itu telah bersimpuh di samping kepala almarhumah ibunya. Aku kira ia akan mengecup kening atau kedua belah pipi sebagaimana kakak dan adiknya lakukan. Tapi tidak.

Ia mengecup bibir ibunya. Dalam. Hikmat. Lalu kepalanya miring. Pipinya lekat menempel pipi ibunya. Pipinya bergerak pelan, dengan mata terpejam menyusuri pipi itu dengan pipinya, dan diakhirinya dengan mengecup leher yang terbungkus kafan.

Kepalaku menoleh ke kanan dan kulihat sebuah punggung berbalik. Aku mengenali rambut panjang yang jatuh menutupinya sebagai milik Tante Ri. Terhuyung-huyung tubuh semampai itu meninggalkan ruangan. Langkahku tergerak untuk mengayun. Mengikutinya. Namun aku tidak bisa lebih dekat dari jarak sekian belas meter. Dari balik pagar aku hanya bisa mengamati punggungnya yang naik turun menahan sengguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain