Waktu
aku masih kecil, Om Mayong suka bilang kalau aku mirip dengan mamaku waktu
kecil juga. Aku tidak mau dibilang mirip Mama. Kemiripanku dengan Mama hanya
membuatku jadi tidak disukai Tante As. Mamaku juga tidak ingin aku menjadi
seperti dirinya. Dengan mamanya sendiri saja Mama tidak suka
dibanding-bandingkan.
Mama
adalah seorang pemimpi. Ia dibesarkan nada-nada optimis yang dilantunkan para
biduan dan biduanita pada zaman mudanya. Chaseiro, Atik CB, Chandra Darusman,
January Christy, Denny Malik, Yopie Latul, Anggun C. Sasmi, dan sekian manusia
berjambul, berambut megar, berkumis, atau bergincu merah tebal lainnya: kamu
akan menemukan kaset-kaset mereka di rumah kami. Mamaku ingin jadi banyak hal
meski obsesi utamanya mungkin jadi rocker.
Ia
tidak pernah bisa meraihnya.
Mama
tidak punya bekal apa-apa untuk meraih itu semua. Ia tidak punya keterampilan
khusus, tidak pernah dikursuskan apapun, bakatnya tidak ada yang berkembang.
Semua yang ia lakukan adalah sekehendak hatinya—ia tidak punya disiplin. Pikirannya
yang abstrak membuatnya tidak fokus untuk setidaknya meraih satu hal saja yang
jadi keinginannya. Ia sadar potensinya telah tersia-siakan dan tidak ada
gunanya terus memendam sakit hati. Ia masih punya aku.
Mama
tidak ingin aku jadi orang payah seperti dirinya. Belajar dari kegagalan
orangtuanya dalam mendidiknya, ia perhatikan benar kebutuhanku. Tujuannya
bekerja lebih untuk membiayai berbagai sarana pengasahan potensiku ketimbang
alasan klasik membantu suami mencari nafkah. Gaji Papa waktu itu, sebagai
wartawan harian nasional terkemuka, relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga kecil kami—meski kadang masih dapat sokongan sana-sini.
Sejak
TK, aku diikutkan berbagai macam kegiatan oleh Mama: Minggu aku menari di RRI;
Senin, Rabu, dan Jumat aku belajar bahasa Inggris di Cinderella; Selasa dan
Kamis aku berenang di Centrum; Rabu dan Sabtu aku latihan karate di gelanggang;
belum lagi les vokal di Nada tiap Senin. Setidaknya pada waktu itu kesibukan
ini menjauhkanku dari Kakek yang kutakuti. Saat SD, aku mulai dikursuskan
gitar.
Upaya
Mama memang tidak sia-sia. Meski Tante Zahalah yang mula-mula menggiringku ke
gerbang kompetisi, pencapaianku selama ini selalu membuat Mama bangga tak
terkira—apalagi Papa, terlebih karena ia tidak bisa dekat denganku pada banyak
waktu. Tidak peduli meski aku hanya menang lomba balap kerupuk sekalipun, Mama
akan memberiku pelukan hadiah. Apalagi saat aku berpartisipasi dalam membawa
sekolahku jadi juara di berbagai perlombaan.
Namun
ketika sekarang ada sebentuk hasil lain yang ingin dituai, aku malah tidak bisa
merangkainya.
Berbagai
perguruan tinggi sudah membuka pendaftaran. Mama merongrongku untuk segera
menentukan pilihan. Jika aku melewatkan kesempatan besar ini, kesempatanku akan
mengecil di jalur seleksi berikutnya. Tapi aku belum bisa memutuskan hendak
jadi apa!
Dulu
percakapan kami masih bisa seperti berikut.
“Ayo Bibe, Mama pingin liat
Bibe jadi sesuatu. Terserah Bibe mau jadi musisi, pelukis, penyair, Mama akan
dukung 100% kalau emang itu yang terbaik untuk Bibe dan Bibe suka.”
“Ah, Mama, wajar kan kalau anak seumuranku
belum mikirin itu? Mama maksa ih.”
“Ya pokoknya apa pun pilihan Bibe, itu harus
karena kesadaran sendiri, bukan karena ikut-ikutan orang lain, ya?”
“Kalau aku nurutin perkataan Mama berarti sama
aja aku ikut-ikutan Mama dong, padahal kata Mama jangan ikut-ikutan orang lain.
Gimana kalau atas kesadaranku sendiri aku milih buat ikut-ikutan orang lain?”
“Ah dasar kamu, main-mainin
orangtua aja. Bingung Mama ngasih tahu kamu gimana…”
Tapi
kini tak bisa begitu lagi.
Mengapa
mereka harus sebegini serius? Suatu kesempatan, aku dikepung mereka. Hendak ke
mana aku kabur, pikiranku ruwet.
“Terserah
Mama aja deh. Mama yang isiin. Dari dulu juga terserah Mama kan…” Sungguh aku
tidak peduli aku akan kuliah di mana. Semua sama saja menurutku—sama-sama
membutuhkan kerja keras untuk dapat menguasai ilmu dan aplikasinya. Di mana pun
aku kuliah nanti, aku tidak akan beranggapan kalau aku tersasar, asal perguruan
tingginya oke.
“Bibe,
Mama tuh ngelesin Bibe macam-macam biar Bibe bisa menentukan minat sama potensi
Bibe di mana.” Papa menurunkan koran. Perhatiannya sungguh teralih padaku.
“Ya
udah, aku enggak kepikiran kuliah. Aku mau nyerap kehidupan sebanyak-banyaknya
aja.”
“Ya
sudah, jadi wartawan saja, biar tahu banyak…”
“Enggaak…!”
Lekas aku meralat. “Sama aja semuanya, Pa, Bibe suka semua. Bingung milihnya.
Terserah aja deh.” Tatapan mereka belum juga lepas. Tambahku, “Asal jangan
jurnalistik.”
Berbagai macam les jadi terasa tak
berguna bagiku. Mungkin tidak ada bakat, minat, maupun potensiku yang
sesungguhnya di situ. Kebisaanku atas banyak hal adalah karena dilatih. Mama
berucap padaku dengan nada tajam, “Selamanya Mama selalu gelisah, enggak pernah
tahu apa yang benar-benar Mama pingin. Kamu mau jadinya kayak Mama gini, hah?
Dilesin macam-macam, hasilnya sama saja.”
“Enak aja. Aku enggak kayak Mama!”
sanggahku.
“Ya sudah Ma, biar ayah barunya itu
saja yang tentukan.” Papa menyibak korannya lagi.
Itu pertama kalinya Papa menyindir
hubunganku dengan Om Yan.
Sesaat aku merasa gamang.
Pada waktu itu aku masih belum
merespons. Ketika Papa mengulangi lagi berkali-kali di lain hari, ia sama
menggerahkannya dengan Tante As. Tapi rasanya lebih menyinggung.
Aku
berusaha untuk tidak menggubrisnya. Aku dan Om Yan tetap membuat janji
pertemuan baru sebelum menyudahi acara jalan-jalan kami. Kadang kami hanya
menghabiskan waktu bersama di kafe, dengan
gelas-piring-sendok-garpu-pisau-apapun di antara kami, sementara kami larut
dalam kesibukan masing-masing: aku mengerjakan kumpulan soal sedang ia berkutat
dengan komputer tabletnya. Aku tidak lagi risi dengan panggilan “sayang” serta
belaian lembut tangannya di kepalaku. Hanya itu—ia sama sekali tidak mengundang
untuk melakukan apapun yang… macam-macam.
“Be, punya papa baru kok enggak
bilang-bilang sih?” atau, “Be, enggak keluar sama papa baru kamu?”
“Enggak ada urusannya sama Papa,”
akhirnya aku berkata begitu pada Papa, setelah entah ke berapa kali ia
menjengkelkanku seperti itu. Dan aku mengatakannya dengan nada melawan. Toh
mereka juga yang memberiku nama itu, yang kali ini kuartikan jadi “bisa
berani”.
Justru di saat mereka tidak di
rumah, aku merasa lebih tenteram. Pada masa ini, ketika kami bisa lebih banyak
menghabiskan waktu bersama, hubungan kami malah diuji.
Papa meletakkan koran. Ia
mendekatiku. “Bibe, dengar, Papa enggak tahu kamu ngapain aja sama teman mama
kamu itu, tapi jangan bersikap seolah-olah kamu enggak punya Papa ya.”
“Aku enggak kayak gitu,” sanggahku.
“Siapa juga yang sering pergi lama-lama.”
Lalu
air mataku seperti hendak meruap. Aku ingat malam-malam heningku bersama Tante
As. Pada masa itu, aku sering melewatkan malam di mana Mama mungkin sedang
menggaruk-garuk kepala—karena kehabisan kata untuk memenuhi jatah kolomnya—di
depan layar komputer ruang redaksi, sementara itu, Papa mungkin sedang mengiris
daging steak sembari menyimak percakapan para pejabat penting negara. Dan aku
lagi-lagi mengorek bagian dalam kaleng kornet dengan Tante As membisu di
hadapanku—di ruang depan rumah kecil kami.
Aku beranjak. Aku tak tahan lagi
berada dekatnya. Ada kalanya ia terasa asing bagiku. Sekarang itu terjadi lagi.
Sentak papaku dengan sengit, “Kurang
apa sih Be? Papa selalu luangin jeda Papa buat kamu, Papa juga masih mampu
bayarin segala keperluan kamu, malah cari papa lain, kayak yang enggak punya
papa aja!”
Tante As selalu mengataiku anak
manja. Maka aku bilang pada papaku, “Iya, emang aku anak manja. Aku butuh
banyak waktu sama papa, makanya aku enggak cukup punya satu papa, kalau perlu
seribu sekalian!” Aku berharap air mataku belum merebak. Dari sofa ruang depan,
aku terduduk di kursi meja makan. Mulutku mencebik. Jiwaku menyusut jadi anak
seumuran Vira.
“Kamu ini, enggak tahu dikasih
perhatian apa ya?!”
“Ini mau makan apa marah-marah
terus, heh…” Mama meletakkan masakannya di atas meja makan. Tubuhnya kembali
lalu ke dapur. “Apa perlu Mama pecahin gelas biar tambah ramai?”
Air mataku tidak jadi keluar. Tapi
nafasku menggebu-gebu. “Aku enggak mau makan sama papaku SATU-SATUNYA yang
menyebalkan itu ah.” Aku mengeloyor ke dalam kamarku sendiri. Kututup pintu.
Aku berusaha melakukannya setenang mungkin. Tapi kuputar kunci dalam lubang
itu.
“BE!” bentak papaku.
Aku sudah tidak mau dengar lagi.
Malam ini akan segera berlalu. Esok pagi keadaan sudah akan biasa-biasa lagi.
“Ya udaaah Papa, nanti aku ngomong
sama temanku itu…” Mau tak mau suara Mama terdengar jua. Kalau aku tidak mau
dengar sama sekali, satu-satunya cara memang keluar dari rumah ini lalu pergi
sejauh-jauhnya. Tapi aku tidak sefrontal itu. Jadi aku sandarkan saja tubuhku
di tepi tempat tidur. Aku hanya ingin diriku stabil lagi.
“Kapan?”
“Kapan-kapan. Pokoknya pas Papa lagi
kerja.”
“Mama!”
Tidak seorangpun bersuara lagi,
melainkan benda-benda—denting piring, kursi ditarik, entah makhluk apa dalam
TV, dan segalanya—yang menandakan bahwa kedua orangtuaku memulai makan malam
tanpa aku.
“Kenapa dia itu? Enggak punya
kerjaan lain apa?’ gerundel Papa. “Kerjanya apa sih? Main sama anak kecil?”
Siapa yang anak kecil?!
Desahan Mama. “Rewel amat sih Papa,
kayak enggak pernah main sama anak sendiri aja.”
“Emang dia enggak punya anak
sendiri? Main aja sama anaknya sendiri.”
“Enggak nikah dia tuh.”
“Kenapa?”
Mama tidak kunjung menjawab, jadi
Papa bersungut lagi, “Enggak sama pacarnya yang dulu itu? Dekat sekali kan
mereka itu?”
“Iya. Cantik lagi,” sahut Mama
dengan nada judes.
“Kenapa enggak jadi ya?”
“Iyaa… Pacarnya kan udah keburu
dinikah orang. Ngerasa dikhianatin kali. Kamu tuh enggak tahu si Yan itu
orangnya kayak gimana…” Nada Mama jadi seperti mengomel juga.
Gerutuan Papa tidak terdengar jelas
sampai… “…pacar-pacaran segala. Nikah ya nikah. Dikhianatin malah enggak mau
nikah. Macam-macam…!”
Karena Mama tidak kunjung menjawab
lagi, Papa jua yang menyambung, “Cari yang lain kan bisa. Kalau mau yang cantik
kan banyak…”
“Lah kamu juga kenapa milihnya aku?
Yang lebih pinter kan banyak, cantik apalagi. Yang lebih jago masak, enggak
cuman tumis kangkung doang…”
“Kalau enggak sama Mama, enggak jadi
dong Bibe kita itu…”
Ih, mulai merinding aku
mendengarnya. Aku naik ke tempat tidur lalu menyelubungi tubuhku dengan
selimut. Namun masih bisa kutangkap percakapan mereka selanjutnya.
“Aku tahu kamu dulu ikutan Aliansi
Penggemar Kembang Sekolah.”
“Ah Mama, itu kan gurauannya anak
SMA!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar