Minggu, 04 Desember 2011

Minat

Waktu aku masih kecil, Om Mayong suka bilang kalau aku mirip dengan mamaku waktu kecil juga. Aku tidak mau dibilang mirip Mama. Kemiripanku dengan Mama hanya membuatku jadi tidak disukai Tante As. Mamaku juga tidak ingin aku menjadi seperti dirinya. Dengan mamanya sendiri saja Mama tidak suka dibanding-bandingkan.

Mama adalah seorang pemimpi. Ia dibesarkan nada-nada optimis yang dilantunkan para biduan dan biduanita pada zaman mudanya. Chaseiro, Atik CB, Chandra Darusman, January Christy, Denny Malik, Yopie Latul, Anggun C. Sasmi, dan sekian manusia berjambul, berambut megar, berkumis, atau bergincu merah tebal lainnya: kamu akan menemukan kaset-kaset mereka di rumah kami. Mamaku ingin jadi banyak hal meski obsesi utamanya mungkin jadi rocker.

Ia tidak pernah bisa meraihnya.

Mama tidak punya bekal apa-apa untuk meraih itu semua. Ia tidak punya keterampilan khusus, tidak pernah dikursuskan apapun, bakatnya tidak ada yang berkembang. Semua yang ia lakukan adalah sekehendak hatinya—ia tidak punya disiplin. Pikirannya yang abstrak membuatnya tidak fokus untuk setidaknya meraih satu hal saja yang jadi keinginannya. Ia sadar potensinya telah tersia-siakan dan tidak ada gunanya terus memendam sakit hati. Ia masih punya aku.

Mama tidak ingin aku jadi orang payah seperti dirinya. Belajar dari kegagalan orangtuanya dalam mendidiknya, ia perhatikan benar kebutuhanku. Tujuannya bekerja lebih untuk membiayai berbagai sarana pengasahan potensiku ketimbang alasan klasik membantu suami mencari nafkah. Gaji Papa waktu itu, sebagai wartawan harian nasional terkemuka, relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil kami—meski kadang masih dapat sokongan sana-sini.

Sejak TK, aku diikutkan berbagai macam kegiatan oleh Mama: Minggu aku menari di RRI; Senin, Rabu, dan Jumat aku belajar bahasa Inggris di Cinderella; Selasa dan Kamis aku berenang di Centrum; Rabu dan Sabtu aku latihan karate di gelanggang; belum lagi les vokal di Nada tiap Senin. Setidaknya pada waktu itu kesibukan ini menjauhkanku dari Kakek yang kutakuti. Saat SD, aku mulai dikursuskan gitar.

Upaya Mama memang tidak sia-sia. Meski Tante Zahalah yang mula-mula menggiringku ke gerbang kompetisi, pencapaianku selama ini selalu membuat Mama bangga tak terkira—apalagi Papa, terlebih karena ia tidak bisa dekat denganku pada banyak waktu. Tidak peduli meski aku hanya menang lomba balap kerupuk sekalipun, Mama akan memberiku pelukan hadiah. Apalagi saat aku berpartisipasi dalam membawa sekolahku jadi juara di berbagai perlombaan.

Namun ketika sekarang ada sebentuk hasil lain yang ingin dituai, aku malah tidak bisa merangkainya.

Berbagai perguruan tinggi sudah membuka pendaftaran. Mama merongrongku untuk segera menentukan pilihan. Jika aku melewatkan kesempatan besar ini, kesempatanku akan mengecil di jalur seleksi berikutnya. Tapi aku belum bisa memutuskan hendak jadi apa!

Dulu percakapan kami masih bisa seperti berikut.

“Ayo Bibe, Mama pingin liat Bibe jadi sesuatu. Terserah Bibe mau jadi musisi, pelukis, penyair, Mama akan dukung 100% kalau emang itu yang terbaik untuk Bibe dan Bibe suka.”

“Ah, Mama, wajar kan kalau anak seumuranku belum mikirin itu? Mama maksa ih.”

“Ya pokoknya apa pun pilihan Bibe, itu harus karena kesadaran sendiri, bukan karena ikut-ikutan orang lain, ya?”

“Kalau aku nurutin perkataan Mama berarti sama aja aku ikut-ikutan Mama dong, padahal kata Mama jangan ikut-ikutan orang lain. Gimana kalau atas kesadaranku sendiri aku milih buat ikut-ikutan orang lain?”

“Ah dasar kamu, main-mainin orangtua aja. Bingung Mama ngasih tahu kamu gimana…”

Tapi kini tak bisa begitu lagi.

Mengapa mereka harus sebegini serius? Suatu kesempatan, aku dikepung mereka. Hendak ke mana aku kabur, pikiranku ruwet.

“Terserah Mama aja deh. Mama yang isiin. Dari dulu juga terserah Mama kan…” Sungguh aku tidak peduli aku akan kuliah di mana. Semua sama saja menurutku—sama-sama membutuhkan kerja keras untuk dapat menguasai ilmu dan aplikasinya. Di mana pun aku kuliah nanti, aku tidak akan beranggapan kalau aku tersasar, asal perguruan tingginya oke.

“Bibe, Mama tuh ngelesin Bibe macam-macam biar Bibe bisa menentukan minat sama potensi Bibe di mana.” Papa menurunkan koran. Perhatiannya sungguh teralih padaku.

“Ya udah, aku enggak kepikiran kuliah. Aku mau nyerap kehidupan sebanyak-banyaknya aja.”

“Ya sudah, jadi wartawan saja, biar tahu banyak…”

“Enggaak…!” Lekas aku meralat. “Sama aja semuanya, Pa, Bibe suka semua. Bingung milihnya. Terserah aja deh.” Tatapan mereka belum juga lepas. Tambahku, “Asal jangan jurnalistik.”

            Berbagai macam les jadi terasa tak berguna bagiku. Mungkin tidak ada bakat, minat, maupun potensiku yang sesungguhnya di situ. Kebisaanku atas banyak hal adalah karena dilatih. Mama berucap padaku dengan nada tajam, “Selamanya Mama selalu gelisah, enggak pernah tahu apa yang benar-benar Mama pingin. Kamu mau jadinya kayak Mama gini, hah? Dilesin macam-macam, hasilnya sama saja.”

            “Enak aja. Aku enggak kayak Mama!” sanggahku.

            “Ya sudah Ma, biar ayah barunya itu saja yang tentukan.” Papa menyibak korannya lagi.

            Itu pertama kalinya Papa menyindir hubunganku dengan Om Yan.

            Sesaat aku merasa gamang.

            Pada waktu itu aku masih belum merespons. Ketika Papa mengulangi lagi berkali-kali di lain hari, ia sama menggerahkannya dengan Tante As. Tapi rasanya lebih menyinggung.

Aku berusaha untuk tidak menggubrisnya. Aku dan Om Yan tetap membuat janji pertemuan baru sebelum menyudahi acara jalan-jalan kami. Kadang kami hanya menghabiskan waktu bersama di kafe, dengan gelas-piring-sendok-garpu-pisau-apapun di antara kami, sementara kami larut dalam kesibukan masing-masing: aku mengerjakan kumpulan soal sedang ia berkutat dengan komputer tabletnya. Aku tidak lagi risi dengan panggilan “sayang” serta belaian lembut tangannya di kepalaku. Hanya itu—ia sama sekali tidak mengundang untuk melakukan apapun yang… macam-macam.

            “Be, punya papa baru kok enggak bilang-bilang sih?” atau, “Be, enggak keluar sama papa baru kamu?”

            “Enggak ada urusannya sama Papa,” akhirnya aku berkata begitu pada Papa, setelah entah ke berapa kali ia menjengkelkanku seperti itu. Dan aku mengatakannya dengan nada melawan. Toh mereka juga yang memberiku nama itu, yang kali ini kuartikan jadi “bisa berani”.

            Justru di saat mereka tidak di rumah, aku merasa lebih tenteram. Pada masa ini, ketika kami bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama, hubungan kami malah diuji.

            Papa meletakkan koran. Ia mendekatiku. “Bibe, dengar, Papa enggak tahu kamu ngapain aja sama teman mama kamu itu, tapi jangan bersikap seolah-olah kamu enggak punya Papa ya.”

            “Aku enggak kayak gitu,” sanggahku. “Siapa juga yang sering pergi lama-lama.”

Lalu air mataku seperti hendak meruap. Aku ingat malam-malam heningku bersama Tante As. Pada masa itu, aku sering melewatkan malam di mana Mama mungkin sedang menggaruk-garuk kepala—karena kehabisan kata untuk memenuhi jatah kolomnya—di depan layar komputer ruang redaksi, sementara itu, Papa mungkin sedang mengiris daging steak sembari menyimak percakapan para pejabat penting negara. Dan aku lagi-lagi mengorek bagian dalam kaleng kornet dengan Tante As membisu di hadapanku—di ruang depan rumah kecil kami.

            Aku beranjak. Aku tak tahan lagi berada dekatnya. Ada kalanya ia terasa asing bagiku. Sekarang itu terjadi lagi.

            Sentak papaku dengan sengit, “Kurang apa sih Be? Papa selalu luangin jeda Papa buat kamu, Papa juga masih mampu bayarin segala keperluan kamu, malah cari papa lain, kayak yang enggak punya papa aja!”

            Tante As selalu mengataiku anak manja. Maka aku bilang pada papaku, “Iya, emang aku anak manja. Aku butuh banyak waktu sama papa, makanya aku enggak cukup punya satu papa, kalau perlu seribu sekalian!” Aku berharap air mataku belum merebak. Dari sofa ruang depan, aku terduduk di kursi meja makan. Mulutku mencebik. Jiwaku menyusut jadi anak seumuran Vira.

            “Kamu ini, enggak tahu dikasih perhatian apa ya?!”

            “Ini mau makan apa marah-marah terus, heh…” Mama meletakkan masakannya di atas meja makan. Tubuhnya kembali lalu ke dapur. “Apa perlu Mama pecahin gelas biar tambah ramai?”

            Air mataku tidak jadi keluar. Tapi nafasku menggebu-gebu. “Aku enggak mau makan sama papaku SATU-SATUNYA yang menyebalkan itu ah.” Aku mengeloyor ke dalam kamarku sendiri. Kututup pintu. Aku berusaha melakukannya setenang mungkin. Tapi kuputar kunci dalam lubang itu.

            “BE!” bentak papaku.

            Aku sudah tidak mau dengar lagi. Malam ini akan segera berlalu. Esok pagi keadaan sudah akan biasa-biasa lagi.

            “Ya udaaah Papa, nanti aku ngomong sama temanku itu…” Mau tak mau suara Mama terdengar jua. Kalau aku tidak mau dengar sama sekali, satu-satunya cara memang keluar dari rumah ini lalu pergi sejauh-jauhnya. Tapi aku tidak sefrontal itu. Jadi aku sandarkan saja tubuhku di tepi tempat tidur. Aku hanya ingin diriku stabil lagi.

            “Kapan?”

            “Kapan-kapan. Pokoknya pas Papa lagi kerja.”

            “Mama!”

            Tidak seorangpun bersuara lagi, melainkan benda-benda—denting piring, kursi ditarik, entah makhluk apa dalam TV, dan segalanya—yang menandakan bahwa kedua orangtuaku memulai makan malam tanpa aku.

            “Kenapa dia itu? Enggak punya kerjaan lain apa?’ gerundel Papa. “Kerjanya apa sih? Main sama anak kecil?”

            Siapa yang anak kecil?!

            Desahan Mama. “Rewel amat sih Papa, kayak enggak pernah main sama anak sendiri aja.”

            “Emang dia enggak punya anak sendiri? Main aja sama anaknya sendiri.”

            “Enggak nikah dia tuh.”

            “Kenapa?”

            Mama tidak kunjung menjawab, jadi Papa bersungut lagi, “Enggak sama pacarnya yang dulu itu? Dekat sekali kan mereka itu?”

            “Iya. Cantik lagi,” sahut Mama dengan nada judes.

            “Kenapa enggak jadi ya?”

            “Iyaa… Pacarnya kan udah keburu dinikah orang. Ngerasa dikhianatin kali. Kamu tuh enggak tahu si Yan itu orangnya kayak gimana…” Nada Mama jadi seperti mengomel juga.

            Gerutuan Papa tidak terdengar jelas sampai… “…pacar-pacaran segala. Nikah ya nikah. Dikhianatin malah enggak mau nikah. Macam-macam…!”

            Karena Mama tidak kunjung menjawab lagi, Papa jua yang menyambung, “Cari yang lain kan bisa. Kalau mau yang cantik kan banyak…”

            “Lah kamu juga kenapa milihnya aku? Yang lebih pinter kan banyak, cantik apalagi. Yang lebih jago masak, enggak cuman tumis kangkung doang…”

            “Kalau enggak sama Mama, enggak jadi dong Bibe kita itu…”

            Ih, mulai merinding aku mendengarnya. Aku naik ke tempat tidur lalu menyelubungi tubuhku dengan selimut. Namun masih bisa kutangkap percakapan mereka selanjutnya.

            “Aku tahu kamu dulu ikutan Aliansi Penggemar Kembang Sekolah.”

            “Ah Mama, itu kan gurauannya anak SMA!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain