Hei, siapa yang tidak butuh tawa apalagi
senyum? Butuh dong. Apalagi kalau kamu sedang mengerjakan skripsi—meski metodemu baca, nulis, dan ngobrol doang. Rasulullah SAW saja pernah berkelakar.
Jadi sejenak saya beranjak pada sebuah artikel berjudul “Learning
to Write Comedy. or Why It’s Impossible and How to Do It.” karya Connie Willis.
Saya tidak tahu siapa dia. Tapi mari kita ikuti kata hadis untuk tidak melihat
wacana tidak dari orangnya tapi dari isi wacana itu sendiri (padahal mengetahui
latar belakang sumber dalam dunia ilmiah itu penting ya?).
Saya butuh berkali-kali membaca artikel ini sebelum dapat sok
menganalisisnya. Eh. Ini efek samping
skripsi loh. Segala teks jadi serasa minta dianalisis begitu.
Sebelum mengkaji artikel ini secara lebih rinci, ada beberapa
istilah terkait komedi yang saya coba lacak pengertiannya dalam Oxford
Learner’s Pocket Dictionary.
comedy n 1 amusing play, film, etc 2 amusing aspect of sth
amusing adj causing you to laugh or smile
criticize v 1 point out the faults of sb/sth; express disapproval of sb/sth 2 judge the good and bad qualities of sth
satire n 1 way of criticizing a person, idea or institution, using humour to show their faults 2 piece of writing that uses this type of criticism
humour n (ability to cause or feel) amusement
irony n 1 amusing or strange aspect of an unexpected event or situation 2 saying the opposite of what you really mean, often as joke
sarcasm n (use of) ironic remarks, intended to hurt sb’s feelings
Dari pengertian berbagai istilah di atas, saya mendapati
adanya hubungan di antara mereka
sebagaimana yang kemudian saya rumuskan dalam sebuah bagan.
Berdasarkan interpretasi saya, modal awal yang kita butuhkan untuk menulis
komedi adalah kritis! Dari situlah kamu menemukan bahan untuk dikemas, tidak
saja untuk komedi sebetulnya, melainkan untuk bentuk tulisan apapun. Dan satir
adalah wadah untuk menumpahkan kekritisan tersebut dengan cara yang amusing. Namun kita bisa tertawa apalagi
tersenyum bukan hanya karena merasa tersentil (sebagaimana yang diakibatkan
oleh satir), namun juga karena menemukan ironi dalam sesuatu hal. Bentuk ironi
yang kasar dinamakan sarkasme.
Tidak hanya kritis, penulisan komedi menuntut sejumlah hal lain. Kalau kamu
ingin bisa menulis komedi tapi merasa tidak punya bakat, atau punya bakat tapi
juga percaya kalau bakat harus diiringi upaya, ada baiknya kita coba belajar
dari apa yang Connie Willis tawarkan. Meski semua rujukannya berasal dari karya
fiksi, namun saya kira itu tidak lantas membuat petunjuk-petunjuknya jadi tidak
applicable buat mereka yang non-fiction minded (*aduh apa ini jadi
sok nginggris). Tinggal disesuaikan kan. Santai…
Berdasarkan analisis saya terhadap artikel ini (ha!), setidaknya ada tiga
aspek yang harus diperhatikan oleh kita-kita yang ingin belajar menulis komedi.
·
Kemampuan berbahasa
Menurut Connie Willis, sekadar situasi lucu tidak cukup untuk membangun
komedi. Semuanya bergantung pada teknik yang digunakan. Dan teknik paling
penting dalam komedi adalah bahasa.
A great deal of comic writing depends not on punchlines but on conjuring up a funny picture in the reader’s mind, and here language is everything. Comic writing has to be specific, using those minor, telling details that make us see the whole picture clearly.
Comedy writings uses all sorts of linguistic special effects, from creative comparisons, unusual descriptions, surprising metaphors, to complicated worldplay.
Nama-nama atau kata-kata lucu juga bisa jadi berguna, cobalah belajar
merangkainya. :D
·
Kemampuan
berpikir
Kemampuan berpikir di sini tidak hanya berpikir kritis sebagaimana yang
sudah disebutkan di atas, tapi juga kemampuan berpikir secara divergen. Ah tapi
divergen dalam KBBI dengan divergent
dalam kamus Oxford berbeda loh. Divergent
dalam kamus Oxford berasal dari kata differ
yang berarti be different from sb/sth
else atau disagree with sb
sedangkan divergen dalam KBBI berarti menyebar.
Lebih baik kita biarkan Connie Willies sendiri yang menjelaskan apa itu divergent dalam konteks menulis komedi.
It refuses to take things seriously. It takes all the wrong things seriously. All of this is called divergent thinking.
Kemampuan ini menjadi begitu penting karena berdasarkan kemampuan inilah
kamu merangkai ceritamu.
·
Cerita itu
sendiri
Dalam dunia fiksi, kekuatan suatu cerita dapat berarti kekuatan para
karakter yang bermain di dalamnya. Menurut Novakovich dalam “Berguru kepada
Sastrawan Dunia” (diterbitkan oleh Penerbit Kaifa dan yang ada di meja saya
adalah cetakan tahun 2003), karakter yang meyakinkan akan membuat hal-hal
lainnya tercipta lebih mudah. Sebagaimana yang ia kutip dari F. Scott
Fitzgerald, “Tokoh adalah plot dan plot adalah tokoh.” Lanjut Novakovich,
“Bahkan, tokoh sebenarnya lebih penting daripada plot. Dari sosok tokoh, plot
mudah berkembang, tetapi dari plot belum tentu bisa muncul tokoh.” (hal. 67)
Apa yang Connie Willis katakan mengenai kekuatan karakter dalam komedi
menurut saya ada benarnya. Ketika saya menonton serial komedi, ucapan tidak
penting yang dilontarkan seorang tokoh bisa menimbulkan kegelian. Dalam
kehidupan nyata, ucapan-ucapan polos teman bisa jadi menggelitik.
Characters in comedy expound and chatter and banter and orate and prattle, bringing far more energy and enthusiasm to their conversations than is probably necessary, with the delightful that their dialogue ranges from rambling to witty.
Jika alur merupakan serangkaian situasi di mana kamu menghidupkan
karaktermu melaluinya, maka kamu bisa coba merangkai situasi-situasi lucu, atau
situasi yang membuat pembaca membayangkan suatu situasi lain sebagai
kelanjutannya namun kamu malah menampilkan situasi yang tak terduga, dan
mengaku saja kalau kadang-kadang situasi yang lebay bisa bikin ngakak.
Namun menulis fiksi humor bukan sekadar menulis serangkaian kelucuan. Jika
demikian, maka ceritamu bukanlah cerita.
It was merely a setup (Oxford: way of organizing sth or system situation in which sb makes it). These setups were ingenious and often very funny, but with a joke, the only thing that matters in the punchline, and the setup is nothing more than a means of getting to it.
Comedy writing means jokes, certainly. And setups and worldplay and banter and funny names and clever dialogue, but it also tells a story that exists for its own sake and makes the reader laugh not lust at the gags but at the world the writer has created. This world is frequently an exaggerated version of our own.
Bahkan karakter pun tidak akan berarti apabila tidak ada dunia yang
menaunginya.
Both exaggeration and understatement are funny because of their inapproriateness to the situation, the unexpectedness of the writer’s response to what is happening, and it is this that is the essence of comedy.
Nah di sinilah divergent thinking
memainkan perannya.
The reader is led to expect one thing and gets another. Comedy is in this sense very much like mysteries. It deals in misdirection, in playing on our assumptions and then using them against us.
Jadi menulis komedi bukanlah sekadar mengumpulkan kelucuan—meski itu bisa
jadi acara TV sendiri yang dijuduli SKETSA, melainkan bagaimana agar
serangkaian situasi membentuk koherensi. Ini adalah bagaimana menjadikan humor agar
memberi hasil yang lebih meledak. Winnie Collis menamakannya: efek kumulatif.
In movies and plays, people will frequently smile or giggle intermittently throughout a scene and then burst out loudly at the end. They are not really laughing at the capper. They are laughing at the cumulative effect of the entire scene, which somehow the capper has summed up.
Toh bukankah begitu juga fiksi yang berkualitas? Membacanya
sepenggal-sepenggal saja tidak akan bikin kita puas. Bandingkan dengan karya
yang dengan baca bab awal serta bab akhirnya saja sudah bikin kita tidak merasa
perlu lagi untuk melahap tengah-tengahnya.
***
Hanya membaca artikel ini saja, termasuk menganalisisnya pun, sebetulnya
bukan merupakan cara yang tepat untuk belajar menulis komedi. Begitulah yang
Connie Willis katakan.
If you want to learn to write comedy, you have to read it and watch it, not in the little snips like this, but the real stuff.
Secara saya suka komedi yang berupa parodi dan atau satir, maka film macam
“Naked Gun” (trilogi, tapi favorit saya yang 2 ½), “The Host”, “Hot Fuzz”,
“Shaun of the Dead”, “Kwalitet 2”, “Alangkah Lucunya Negeri Ini”, serta serial
macam “30 Rock”, “Community”, dan “The Simpsons” menjadi rekomendasi.
Untuk bentuk tertulis, kita sempat kebanjiran genre komedi pada suatu
masa—atau masih? Bahkan yang tidak dilabeli komedi pun tetap bisa bikin kita
tertawa apalagi tersenyum. Berdasarkan preferensi saya, bolehlah Pidi Baiq dan
Arwah Setiawan jadi anjuran kendati mereka bukan berasal dari ranah fiksi (eh
karya-karyanya Pidi Baiq itu fiktif bukan yah?). Jika ada yang bisa membuat
fiksi dengan humor ala mereka—tanpa bermaksud menyinggung orisinalitas—maka karya
tersebut amatlah patut untuk diapresiasi.
Menurut saya, humor yang berkualitas adalah yang bisa bikin kita merasa
tersentil lantas berpikir. Menurut saya ya seperti contoh-contoh yang sudah
saya sebutkan tadi itu. Komedi sebagai wadah humor bukan semata untuk bikin
kita banyak tertawa lantas mati hati, melainkan cara yang menyenangkan untuk
mendorong kita ke arah yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar