Minggu, 12 Februari 2012

Bukan Sekadar Makam – Menilik Makam Pandu bersama Aleut (Bag. 1)

Saat itu sekitar jam setengah delapan pagi pada hari Minggu ketika saya dan Ayunina berada di kawasan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Tanpa arah yang pasti menuju Jalan Otten, kami bertanya untuk ketiga kalinya pada seorang pria di tepi jalan. Dengan penuh perhatian, pria itu menguraikan jalan dan arah yang harus kami tempuh agar sampai di tempat yang ditentukan oleh pengurus Aleut. Di tengah penjelasan, sebuah intro yang amat familier bagi rakyat Indonesia mengalun dengan kerasnya dari arah pria tersebut. Sepertinya ponselnya berbunyi. Untung saja kami sudah berlalu sebelum intro tersebut sampai pada lirik yang begitu tepat menggambarkan apa yang tengah kami alami…

…ya… ya ya ya ya ya… ya ya ya ya… ya ya ya ya ya…
…ke mana… ke mana… ke mana… ku harus… mencari ke mana…

Minggu lalu kami telah mengisi formulir untuk menjadi anggota komunitas yang sudah eksis sejak enam tahun lalu ini, membayar 10.000 rupiah untuk setahun yang antara lain akan digunakan untuk jarkom dan pin, serta mengikuti ngaleut pertama kami ke berbagai taman kota yang ada di kawasan Bandung utara. Buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” buah kata Haryoto Kunto (Bandung: PT Granesia, 1986) adalah babon yang sempurna untuk mengiringi perjalanan asyik waktu itu.

Maka Minggu (12/02/12) ini jadi ngaleut kedua kami dengan agenda: JELAJAH MAKAM PANDU. Wow apa yang menarik dari sebuah makam? Pernahkah kamu membayangkan makam sebagai museum yang menyimpan kekayaan budaya dan sejarah? Kalau selama ini kamu sekadar tahu bahwa pemakaman terdiri dari makam-makam yang berjajar dan menghadap satu arah, berupa gundukan atau kadang-kadang diperkeras, pemakaman kali ini mempersembahkan makam-makam yang beda. Kamu bisa lihat sepasang makam berhadapan, makam dengan pot tanaman (yang mungkin saja sebenarnya tempat dupa), makam orang Batak, Nias, Maluku, China, Belanda, Jerman, Italia, Prancis, Amerika, penganut Freemason, sampai makam pejuang, makam yang belum ada isinya, makam yang menyerupai pura mini, makam dengan gambar traktor di nisannya, makam berupa laci, hingga kerangka tak beridentitas. Beberapa makam bahkan menampilkan potret orang yang dimakamkan semasa hidup. Tapi itu belum semua. Dari apa yang tertera di nisan saja, ada banyak informasi yang bisa kita gali.

Aleut sendiri adalah komunitas di Bandung yang berkegiatan setiap Minggu pagi hingga siang atau bahkan sore. Deskripsi kegiatannya adalah jalan-jalan beramai-ramai, tapi esensinya lebih dari itu. Aleut adalah cara untuk mencintai sebuah kota. Aleut terbuka bagi siapa saja, bahkan untuk keluarga, meski sebagian besar peserta adalah mahasiswa. Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang Aleut sebelumnya di sini. Kalau kamu penasaran ingin mengenal Aleut lebih jauh, silahkan mencarinya di Facebook atau di blog.

Taman Otten di seberang gedung lama RSHS
Syahdan, saya dan Ayunina berhasil jua menemukan ngaleutmania di Taman Otten. Karena kunjungan ke Makam Pandu sebelumnya telah memakan korban demam berdarah, maka kami dianjurkan untuk siaga dengan lotion anti nyamuk. Cuaca amat cerah kala itu setelah malam sebelumnya hujan mengguyur Bandung.

Setelah sekitar satu setengah jam berlalu dari waktu kumpul (7.30 WIB), semua berdiri melingkar untuk memperkenalkan diri masing-masing. Ternyata peserta ngaleut tidak hanya warga Bandung, tapi ada juga yang berasal dari Ambarawa, Salatiga, bahkan Surabaya. Setelah Bang Ridwan memberi prolog, kami pun cabut. O ya Bang Ridwan alias Ridwan Hutagalung ini adalah satu dari dua penulis buku “Braga – Jantung Parijs van Java” (Depok: Ka Bandung). Dalam ngaleut sebelumnya dan kali ini, beliau adalah salah satu narasumber yang berbagi banyak pengetahuan mengenai titik-titik yang kami lalui.

Kompleks Makam Pandu merupakan salah satu makam tertua di Bandung yang kini menjadi taman pemakaman umum. Umumnya orang yang dimakamkan di sini beragama non muslim, terutama Kristen, dengan berbagai latar budaya memengaruhi tata cara pemakaman hingga bentuk makam itu sendiri. Sebagaimana kata Bang Ridwan, makam ini memang tidak sedahsyat Taman Prasasti di Jakarta namun kita masih bisa melihat beberapa hal yang menarik. 

Anak-anak bermain bola di bawah jalan layang. Lapangannya ke mana, Dek?
Dari Taman Otten, kami berjalan ke barat—kalau saya tidak salah arah. Jadi Makam Pandu terletak di selatan jalan yang saya tengarai bernama Jalan Pasteur—pokoknya ada jalan layang di atasnyalah. Kami memasukinya melewati jalan setapak yang dikepung semak-semak. Sepanjang jalan, pertemanan mulai terjalin melalui kenalan ulang, saling menanggapi, bahkan mengobrol dengan peserta lain yang sebelumnya tidak dikenal.

Makam Kristen

Makam-makam di Makam Pandu berukuran relatif besar dan disemen. Orang Kristen biasanya dimakamkan dalam peti lalu peti itu dikuburkan. Ketika peti mulai rapuh, katakanlah enam bulan, tanah akan turun. Saat itulah makam disemen. Kalau disemen terlalu cepat, tanah di dalam makam tersebut akan growong sehingga makam bisa amblas atau retak-retak. Setelah disemen, bangunan di atas makam bisa bervariasi sesuai adat atau selera. Bentuk makam yang relatif besar dan datar membuat tempat ini rawan akan kegiatan esek-esek. Bang Ridwan pernah menemukan gincu di satu makam, tapi kami malah menemukan pakaian tergantung.

Pakaian siapa itu?
Tanggal lahir maupun tanggal meninggal disertai tempat dan simbol di depannya. Bintang menandai tanggal lahir sedang salib menandai tanggal meninggal. Kita juga bisa menemukan tanda salib pada bacaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan meninggalnya seseorang. Salib tersebut biasanya menandai suatu istilah tertentu yang berarti istilah tersebut sudah tidak digunakan lagi. Ini merupakan tradisi dalam bahasa Latin yang diterapkan di Indonesia kendati mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim (cek kamus buatan Poerwadarminta). “Sistem itu bisa aja diubah tapi entar kalau kita keluar negeri bingung,” kata Bang Ridwan. Sebagai contoh, kita tidak akan menemukan negara Pantai Gading, Aljazair, apalagi Selandia Baru di peta internasional.

Ayat Alkitab di salah satu makam
Beberapa makam memuat kutipan ayat Alkitab. Ayat tersebut bisa diambil dari sertifikat katekisasi maupun ayat yang dapat menggambarkan keseharian mendiang. Dalam sertifikat katekisasi, terdapat ayat yang dipilihkan secara random oleh pendeta. Sertifikat katekisasi sendiri, kalau saya tidak salah tangkap, adalah sertifikat yang diberikan oleh umat Kristen yang telah lulus pelajaran agama. Sertifikat itu menandakan bahwa orang tersebut telah dapat bertanggung jawab atas dirinya, sudah boleh menikah, dan ikut perjamuan kudus (ingat lukisan “The Last Supper” yang ada di film “Da Vinci Code”). Dalam perjamuan kudus, roti disimbolkan sebagai daging Kristus sedang anggur adalah darahnya. “Makanya anggur kalau dalam tradisi Kristen tidak aneh, tapi kalau di sini dipakai mabok,” kata Bang Ridwan.

Makam Batak

Nisan makam Batak menyertakan tulisan “dison maradian” yang berarti “di sini beristirahat”.

Bang Ridwan menunjukkan makam ibunya yang baru meninggal 19 Januari lalu. Di sana tertera nama ibunya dilengkapi nama marga—namun bukan marga suami. Menurut Bang Ridwan, ketentuan istri ikut marga suami tidak berlaku lagi dalam keadaan seperti ini meski ada juga yang memasang.

Di bawah nama ibunya, terdapat tulisan “Ompung Boru Martha”—harusnya “Ompung Martha Boru”. Ini berarti ibunya merupakan nenek dari anak pertama Bang Ridwan yang bernama Martha. Bang Ridwan sendiri anak pertama ibunya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa anak pertama laki-laki belum memberi cucu laki-laki. Menurut Bang Ridwan, dalam tradisi Batak seharusnya kita tidak secara langsung menyebut nama seseorang—bahkan dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, seseorang memiliki anak bernama Sondang. Maka ia tidak disebut dengan nama aslinya melainkan dengan Mama Sondang. Kalau untuk hal ini, sepengetahuan saya hal yang sama berlaku dalam tradisi Arab. Jika seseorang memiliki anak bernama Sufyan, maka ia dipanggil Abu Sufyan yang berarti ayahnya Sufyan.

“Sistem kekeluargaan paling rumit itu orang Batak. Saya enggak kenal sama ini, tahu marganya, tinggal lihat silsilahnya tahu panggilnya apa. Jadi bisa bersaudara begitu saja,” jelas Bang Ridwan. Kita tidak bisa begitu saja memanggil nama seseorang tanpa mengetahui marganya. Kalau begitu, kita bisa kena sanksi sosial. “Tidak terlalu jelas sekarang kalau di sini tapi kalau di kampung itu berat. Ya dikucilkan aja dalam keseharian. Ditanya tapi teu diajakan nanaon. Kita hidup hanya dari adat.”

Setiap orang memiliki nomor dalam marganya yang menunjukkan orang tersebut adalah ke generasi berapa dari marganya itu. Di atas suatu marga ada marga lainnya yang bisa ditelusuri hingga ke Raja Batak. Cek buku “Tuanku Rao” oleh Mangaradja Onggang Parlindungan (LKis) untuk informasi yang lebih seru.

Selama jenazah belum dimakamkan dan masih berada di rumah, pihak keluarga harus memberi uang pada setiap tamu yang datang. Nominal yang diberikan pun beragam karena setiap tamu memiliki kategori tertentu. Setelah jenazah dimakamkan pun, masih ada prosesi lainnya.

Makam China

Jika tradisi Batak menempatkan marga di belakang nama seseorang, maka tradisi China sebaliknya. Marga terletak di depan. Namun yang tertera pada nisan makam China tidak hanya nama China. Sekitar tahun 1960-an, keadaan sosial politik Indonesia saat itu membuat orang China harus mengganti nama China mereka menjadi nama yang “ngindonesia”. Mereka biasanya memilih nama yang terdengar ningrat padahal tidak ada dalam tradisi keningratan. Misalnya Yunus Wangsa, nama ini mungkin terdengar ganjil bagi orang Jawa. Kami juga menemukan nama Islam seperti Halimah, Usman, bahkan Abdullah di makam bersalib.

Makam yang dibuat menyerupai bentuk rahim
Tidak semua makam China mengikuti tradisi Kristen, sebagian mengikuti tradisi konghucu. Makam konghucu menyerupai bentuk rahim. Filosofinya, dari rahim kembali ke rahim. Bisa dibilang kalau bentuk rahim di sini lebih seperti bentuk tabung erlenmeyer yang rada lebar. Bagian kepala terletak di lengkungan sehingga nisan berada di bagian kaki. Beberapa nisan bertulisan China, eh Mandarin—eh begitulah. Pada bagian tertentu, terdapat patok-patok dengan aksara yang melambangkan dewa bumi dan dewa kemakmuran. 

Lambang dewa bumi
Jika makam Islam menghadap kiblat, makam konghucu serupa makam Kristen yang tidak memiliki arah hadap khusus. Akan tetapi, makam konghucu menghadap arah yang disukai orang yang dimakamkan semasa ia hidup—bisa rumahnya atau rumah siapanya.

Bak pengumuman di koran, orang China pun mencantumkan nama istri dan keturunannya mulai dari anak, menantu, sampai cicit pada nisan. Menurut Bang Ridwan, di Cikadut—yang memang terkenal dengan makam Chinanya—informasi yang dipatri pada nisan lebih lengkap. Jika orang tersebut berasal dari China, maka nama kampung asalnya pun akan dituliskan dalam aksara tersebut. Di Cikadut juga kita bisa menemukan hal yang lebih aneh. Misalnya saja simbol dewa bumi ditulis tidak dalam aksara China melainkan Arab.

...selanjutnya: Makam Freemason, Makam Schumaker, Ereveld, Makam Ursone, dan Makam pilot dan kopilot 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain