…ya…
ya ya ya ya ya… ya ya ya ya… ya ya ya ya ya…
…ke
mana… ke mana… ke mana… ku harus… mencari ke mana…
Minggu lalu kami telah mengisi formulir
untuk menjadi anggota komunitas yang sudah eksis sejak enam tahun lalu ini,
membayar 10.000 rupiah untuk setahun yang antara lain akan digunakan untuk
jarkom dan pin, serta mengikuti ngaleut pertama kami ke berbagai taman kota
yang ada di kawasan Bandung utara. Buku “Semerbak Bunga di Bandung Raya” buah
kata Haryoto Kunto (Bandung: PT Granesia, 1986) adalah babon yang sempurna
untuk mengiringi perjalanan asyik waktu itu.
Maka Minggu (12/02/12) ini jadi ngaleut
kedua kami dengan agenda: JELAJAH MAKAM PANDU. Wow apa yang menarik dari sebuah
makam? Pernahkah kamu membayangkan makam sebagai museum yang menyimpan
kekayaan budaya dan sejarah? Kalau selama ini kamu sekadar tahu bahwa pemakaman
terdiri dari makam-makam yang berjajar dan menghadap satu arah, berupa gundukan
atau kadang-kadang diperkeras, pemakaman kali ini mempersembahkan makam-makam
yang beda. Kamu bisa lihat sepasang makam berhadapan, makam dengan pot tanaman
(yang mungkin saja sebenarnya tempat dupa), makam orang Batak, Nias, Maluku, China,
Belanda, Jerman, Italia, Prancis, Amerika, penganut Freemason, sampai makam
pejuang, makam yang belum ada isinya, makam yang menyerupai pura mini, makam
dengan gambar traktor di nisannya, makam berupa laci, hingga kerangka tak
beridentitas. Beberapa makam bahkan menampilkan potret orang yang dimakamkan
semasa hidup. Tapi itu belum semua. Dari apa yang tertera di nisan saja, ada
banyak informasi yang bisa kita gali.
Aleut sendiri adalah komunitas di
Bandung yang berkegiatan setiap Minggu pagi hingga siang atau bahkan sore.
Deskripsi kegiatannya adalah jalan-jalan beramai-ramai, tapi esensinya lebih
dari itu. Aleut adalah cara untuk mencintai sebuah kota. Aleut terbuka bagi
siapa saja, bahkan untuk keluarga, meski sebagian besar peserta adalah
mahasiswa. Saya sudah pernah mengulas sedikit tentang Aleut sebelumnya di sini.
Kalau kamu penasaran ingin mengenal Aleut lebih jauh, silahkan mencarinya di
Facebook atau di blog.
Taman Otten di seberang gedung lama RSHS |
Syahdan, saya dan Ayunina berhasil jua
menemukan ngaleutmania di Taman Otten. Karena kunjungan ke Makam Pandu
sebelumnya telah memakan korban demam berdarah, maka kami dianjurkan untuk
siaga dengan lotion anti nyamuk.
Cuaca amat cerah kala itu setelah malam sebelumnya hujan mengguyur Bandung.
Setelah sekitar satu setengah jam
berlalu dari waktu kumpul (7.30 WIB), semua berdiri melingkar untuk
memperkenalkan diri masing-masing. Ternyata peserta ngaleut tidak hanya warga
Bandung, tapi ada juga yang berasal dari Ambarawa, Salatiga, bahkan Surabaya. Setelah
Bang Ridwan memberi prolog, kami pun cabut. O ya Bang Ridwan alias Ridwan
Hutagalung ini adalah satu dari dua penulis buku “Braga – Jantung Parijs van
Java” (Depok: Ka Bandung). Dalam ngaleut sebelumnya dan kali ini, beliau adalah
salah satu narasumber yang berbagi banyak pengetahuan mengenai titik-titik yang
kami lalui.
Kompleks Makam Pandu merupakan salah
satu makam tertua di Bandung yang kini menjadi taman pemakaman umum. Umumnya
orang yang dimakamkan di sini beragama non muslim, terutama Kristen, dengan
berbagai latar budaya memengaruhi tata cara pemakaman hingga bentuk makam itu
sendiri. Sebagaimana kata Bang Ridwan, makam ini memang tidak sedahsyat Taman
Prasasti di Jakarta namun kita masih bisa melihat beberapa hal yang menarik.
Anak-anak bermain bola di bawah jalan layang. Lapangannya ke mana, Dek? |
Dari Taman Otten, kami berjalan ke
barat—kalau saya tidak salah arah. Jadi Makam Pandu terletak di selatan jalan
yang saya tengarai bernama Jalan Pasteur—pokoknya ada jalan layang di
atasnyalah. Kami memasukinya melewati jalan setapak yang dikepung semak-semak. Sepanjang
jalan, pertemanan mulai terjalin melalui kenalan ulang, saling menanggapi,
bahkan mengobrol dengan peserta lain yang sebelumnya tidak dikenal.
Makam
Kristen
Makam-makam di Makam Pandu berukuran
relatif besar dan disemen. Orang Kristen biasanya dimakamkan dalam peti lalu
peti itu dikuburkan. Ketika peti mulai rapuh, katakanlah enam bulan, tanah akan
turun. Saat itulah makam disemen. Kalau disemen terlalu cepat, tanah di dalam
makam tersebut akan growong sehingga
makam bisa amblas atau retak-retak. Setelah disemen, bangunan di atas makam
bisa bervariasi sesuai adat atau selera. Bentuk makam yang relatif besar dan
datar membuat tempat ini rawan akan kegiatan esek-esek. Bang Ridwan pernah menemukan gincu di satu makam, tapi
kami malah menemukan pakaian tergantung.
Pakaian siapa itu? |
Tanggal lahir maupun tanggal meninggal
disertai tempat dan simbol di depannya. Bintang menandai tanggal lahir sedang
salib menandai tanggal meninggal. Kita juga bisa menemukan tanda salib pada
bacaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan meninggalnya seseorang.
Salib tersebut biasanya menandai suatu istilah tertentu yang berarti istilah
tersebut sudah tidak digunakan lagi. Ini merupakan tradisi dalam bahasa Latin
yang diterapkan di Indonesia kendati mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim
(cek kamus buatan Poerwadarminta). “Sistem itu bisa aja diubah tapi entar kalau
kita keluar negeri bingung,” kata Bang Ridwan. Sebagai contoh, kita tidak akan
menemukan negara Pantai Gading, Aljazair, apalagi Selandia Baru di peta
internasional.
Ayat Alkitab di salah satu makam |
Beberapa makam memuat kutipan ayat
Alkitab. Ayat tersebut bisa diambil dari sertifikat katekisasi maupun ayat yang
dapat menggambarkan keseharian mendiang. Dalam sertifikat katekisasi, terdapat
ayat yang dipilihkan secara random oleh pendeta. Sertifikat katekisasi sendiri,
kalau saya tidak salah tangkap, adalah sertifikat yang diberikan oleh umat Kristen
yang telah lulus pelajaran agama. Sertifikat itu menandakan bahwa orang
tersebut telah dapat bertanggung jawab atas dirinya, sudah boleh menikah, dan
ikut perjamuan kudus (ingat lukisan “The Last Supper” yang ada di film “Da
Vinci Code”). Dalam perjamuan kudus, roti disimbolkan sebagai daging Kristus
sedang anggur adalah darahnya. “Makanya anggur kalau dalam tradisi Kristen
tidak aneh, tapi kalau di sini dipakai mabok,” kata Bang Ridwan.
Makam
Batak
Nisan makam Batak menyertakan tulisan
“dison maradian” yang berarti “di sini beristirahat”.
Bang Ridwan menunjukkan makam ibunya
yang baru meninggal 19 Januari lalu. Di sana tertera nama ibunya dilengkapi
nama marga—namun bukan marga suami. Menurut Bang Ridwan, ketentuan istri ikut
marga suami tidak berlaku lagi dalam keadaan seperti ini meski ada juga yang memasang.
Di bawah nama ibunya, terdapat tulisan
“Ompung Boru Martha”—harusnya “Ompung Martha Boru”. Ini berarti ibunya
merupakan nenek dari anak pertama Bang Ridwan yang bernama Martha. Bang Ridwan
sendiri anak pertama ibunya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa anak pertama
laki-laki belum memberi cucu laki-laki. Menurut Bang Ridwan, dalam tradisi
Batak seharusnya kita tidak secara langsung menyebut nama seseorang—bahkan
dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, seseorang memiliki anak bernama Sondang.
Maka ia tidak disebut dengan nama aslinya melainkan dengan Mama Sondang. Kalau
untuk hal ini, sepengetahuan saya hal yang sama berlaku dalam tradisi Arab.
Jika seseorang memiliki anak bernama Sufyan, maka ia dipanggil Abu Sufyan yang
berarti ayahnya Sufyan.
“Sistem kekeluargaan paling rumit itu
orang Batak. Saya enggak kenal sama ini, tahu marganya, tinggal lihat
silsilahnya tahu panggilnya apa. Jadi bisa bersaudara begitu saja,” jelas Bang
Ridwan. Kita tidak bisa begitu saja memanggil nama seseorang tanpa mengetahui
marganya. Kalau begitu, kita bisa kena sanksi sosial. “Tidak terlalu jelas
sekarang kalau di sini tapi kalau di kampung itu berat. Ya dikucilkan aja dalam
keseharian. Ditanya tapi teu diajakan
nanaon. Kita hidup hanya dari adat.”
Setiap orang memiliki nomor dalam
marganya yang menunjukkan orang tersebut adalah ke generasi berapa dari
marganya itu. Di atas suatu marga ada marga lainnya yang bisa ditelusuri hingga
ke Raja Batak. Cek buku “Tuanku Rao” oleh Mangaradja Onggang Parlindungan
(LKis) untuk informasi yang lebih seru.
Selama jenazah belum dimakamkan dan
masih berada di rumah, pihak keluarga harus memberi uang pada setiap tamu yang
datang. Nominal yang diberikan pun beragam karena setiap tamu memiliki kategori
tertentu. Setelah jenazah dimakamkan pun, masih ada prosesi lainnya.
Makam
China
Jika tradisi Batak menempatkan marga di
belakang nama seseorang, maka tradisi China sebaliknya. Marga terletak di
depan. Namun yang tertera pada nisan makam China tidak hanya nama China.
Sekitar tahun 1960-an, keadaan sosial politik Indonesia saat itu membuat orang China
harus mengganti nama China mereka menjadi nama yang “ngindonesia”. Mereka
biasanya memilih nama yang terdengar ningrat padahal tidak ada dalam tradisi
keningratan. Misalnya Yunus Wangsa, nama ini mungkin terdengar ganjil bagi
orang Jawa. Kami juga menemukan nama Islam seperti Halimah, Usman, bahkan
Abdullah di makam bersalib.
Makam yang dibuat menyerupai bentuk rahim |
Tidak semua makam China mengikuti
tradisi Kristen, sebagian mengikuti tradisi konghucu. Makam konghucu menyerupai
bentuk rahim. Filosofinya, dari rahim kembali ke rahim. Bisa dibilang kalau
bentuk rahim di sini lebih seperti bentuk tabung erlenmeyer yang rada lebar.
Bagian kepala terletak di lengkungan sehingga nisan berada di bagian kaki.
Beberapa nisan bertulisan China, eh Mandarin—eh begitulah. Pada bagian
tertentu, terdapat patok-patok dengan aksara yang melambangkan dewa bumi dan
dewa kemakmuran.
Lambang dewa bumi |
Jika makam Islam menghadap kiblat, makam
konghucu serupa makam Kristen yang tidak memiliki arah hadap khusus. Akan
tetapi, makam konghucu menghadap arah yang disukai orang yang dimakamkan semasa
ia hidup—bisa rumahnya atau rumah siapanya.
Bak pengumuman di koran, orang China pun
mencantumkan nama istri dan keturunannya mulai dari anak, menantu, sampai cicit
pada nisan. Menurut Bang Ridwan, di Cikadut—yang memang terkenal dengan makam Chinanya—informasi
yang dipatri pada nisan lebih lengkap. Jika orang tersebut berasal dari China,
maka nama kampung asalnya pun akan dituliskan dalam aksara tersebut. Di Cikadut
juga kita bisa menemukan hal yang lebih aneh. Misalnya saja simbol dewa bumi
ditulis tidak dalam aksara China melainkan Arab.
...selanjutnya: Makam Freemason, Makam Schumaker, Ereveld, Makam Ursone, dan Makam pilot dan kopilot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar