Sabtu, 04 Februari 2012

Rokok

Ada kenikmatan di setiap tarikan dan hembusan. Kamu tidak akan pernah bisa memahaminya, jika kamu tidak me­ra­sa­kan­nya sendiri. Bahkan meski kamu berlagak seperti itu pun… de­ngan dua jarimu ditempelkan ke mulut, lalu kamu me­le­pas­kan­nya seraya memonyongkan bibir. Apa? Apa yang kamu ra­sa selain kesenangan dari mengolok-olokku? Itu tidak nyata. I­ni yang nyata…

Dia menjerit, setelah kutarik lengannya lantas kusundut de­ngan ujung puntung di pucuk tanganku.

Umurnya sudah 21 tahun, hampir lulus kuliah, dan dia meng­adu.

Mama menatapku tajam. Jelas lelah menghadapi anak pe­rem­pu­annya ini. Suruh siapa punya anak laki-laki manja. Ari men­jilati lukanya. Iyek.

“Kakak,” Mama akhirnya beralih pada Ari. “Adek kan udah be­sar. Biar aja Adek menentukan keinginannya sendiri, ter­ma­suk kalau Adek ingin kena kanker paru-paru…”

Mendadak hilang hasratku menghisap. Tega sekali Mama me­nga­takan seperti itu untukku. Aku meraup kotak rokok dan as­bak. Memang tempat paling nyaman untuk mengasap di ru­mah ini hanya kamarku sendiri.

Sejauh ini aku sudah berhasil mengendalikan diri. Fre­ku­en­si­ku mengasap sudah berkurang dibanding waktu aku masih pe­mu­la. Aku bisa menghabiskan dua kotak seminggu. Sekarang, se­minggu pun tidak habis satu kotak.

Jelas ini salah sinetron yang tadi kutonton. Aku begitu tegang ke­tika Nyonya Suharti berencana untuk membunuh Amanda dan Ma Icih. Aku hanya benar-benar butuh mengasap dalam si­tuasi seperti ini, termasuk ketika hendak menghadapi ujian. Oh, sepertinya aku harus menyiapkan banyak persediaan un­tuk UAS besok. Dietku akan gagal. Kamarku tetap akan jadi zo­na paling berasap di rumah ini, lebih berasap dari dapur.

Aku sudah lupa kapan persisnya aku mulai merokok. Yang je­las teman-temanku juga merokok. Mereka menawariku, si a­nak manis ini, dan aku mencoba, karena aku tidak semanis yang mereka sangka, dan kalian bisa lanjutkan sendiri deh.

Mulanya aku merokok hanya ketika bersama teman-temanku. Je­las tidak di rumah. Itu pun aku pastikan dulu tidak ada te­man Mama melintas. Lama-lama aku tidak peduli lagi. Bah­kan ketika aku bertemu Papa pun, aku tidak tahan melihatnya me­rokok sendirian. Papa tidak bisa apa-apa, toh ia sendiri pe­ro­kok. Ia menyarankanku agar merokok sesekali saja, ia juga be­gitu. Tapi sayang sekali. Papaku terlambat. Aku kadung ja­di perokok berat.

Segala slim, mentol, kretek, sudah kuterjang. Tentu aku punya fa­voritku, yang ramping dan hitam.

Jelas aku tidak bisa selalu menghilangkan aroma rokok dari se­kitarku. Akhirnya Mama menyaksikannya juga, kamarku yang sudah serupa warung kopi. AC kamarku sudah lama ti­dak berfungsi. Dampak positif merokok adalah aku jadi lebih me­nyukai udara segar! Kubuka selalu jendela kamar lebar-le­bar. Aku bisa melihat mamaku bertambah sedih… itu mem­bu­at­ku sedih juga… Aku janji padanya untuk tidak merokok la­gi.

Jelas butuh usaha untuk membiasakan dirimu merokok pada tem­pat dan waktu tertentu saja… Kamarku harus sudah steril da­ri aroma rokok dan menyemburkan hawa sejuk AC saat Ma­ma di rumah. Aku harus ganti pakaian dan sikat gigi setiap ka­li habis merokok. Persediaan aku simpan di kotak mainanku se­masa kecil yang ada gemboknya. Memang ribet tapi se­ga­la­nya beres-beres saja, rokok tetap jadi teman sejatiku, sampai Kak Ari kembali ke rumah ini.

Lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren atas ke­hen­daknya sendiri. Ia sangat religius memang. Dulu aku begitu bang­ga padanya karena ia juara azan dan MTQ serta jadi vo­ka­lis utama marawis SMP-nya. Tapi empat tahun tanpa ke­ha­dir­annya cukup untuk membuatku jadi semi berandal dan me­nya­dari kalau ia aneh.

Lulus pesantren setingkat SMA tersebut, ia mendaftar ke ins­ti­tut teknologi negeri terbaik di negara ini. Tapi alih-alih me­ngo­rek peranti keras atawa lunak, hingga kini ia asyik-asyik sa­ja belajar menghitung duit dan mengatur orang di sebuah per­guruan tinggi swasta di kotanya semula.

Ia selalu tahu. Ia tahu kapan dan di mana saja mama kami ti­dur dengan sang pacar-semasa-SMA. Ia bahkan tahu kenapa Pa­pa dan Mama berpisah, dan itu ternyata tidak ada hu­bung­an­nya dengan pria yang sekarang sudah resmi jadi, euh, papa ka­mi yang lain. Dan ketika diam-diam aku masih me­nge­pul­kan asap dari tepi jendela kamar, kenapa ia tidak bisa tahu? Ia ta­hu-tahu menyemburku dengan selang dari halaman. Ia tidak per­nah menyiram tanaman. Ia pulang tidak bilang-bilang. Ta­pi ketika Mama pulang, ia bilang. Ia… sialan.

***

Besok Mama akan meninggalkan Kak Ari dan aku berdua saja di rumah. Suami barunya datang—ah, lidahku masih gatal sa­at mengucapkan itu. Aku tidak tahu kenapa. Kalau kakakku sa­ja sudah bisa menerima pria itu dalam kehidupan kami, ke­na­pa aku tidak? Sekali lagi, aku tidak tahu kenapa.

“Enggak langsung ke sini aja, Ma?” tanya Kak Ari.

Gumaman Mama tak membentuk kata. Dari gesturnya, aku ki­ra Kak Ari dan aku sama-sama paham kalau membina ke­lu­ar­ga baru tidaklah semudah yang diidam-idamkan. Aku tahu Kak Ari masih sebal karena tinggi badan pria itu jauh me­le­bih­i tinggi badannya dan tinggi badan Papa. Tapi aku juga ta­hu kalau Kak Ari tidak lagi membenci pria itu sebagaimana yang ia rasakan dulu.

Beberapa bulan lalu, pria itu akhirnya kembali lagi ke In­do­nesia setelah bertahun-tahun meninggalkan Mama dan hu­bung­an asmara mereka yang menggebu-gebu. Ini memang u­dah waktunya, Dek, kata Kak Ari waktu itu, kita biarkan Ma­ma bahagia. Ketika pria itu meminta izin kami untuk me­mi­nang Mama, Kak Ari menjawab dengan memohon agar pria itu menikahi Mama. Ia bahkan menunduk saat mengatakan itu.

Aku tidak berdaya saat itu. Aku selalu sebagaimana kakakku.

Pernikahan dihelat dengan sederhana. Hanya orang-orang de­kat yang kami undang, termasuk Papa dan istri-anak barunya. Se­telah ijab kabul, Mama dan pria itu menangis seakan se­ha­rus­nya ikatan di antara mereka sudah dikukuhkan sejak dua pu­luhan tahun lalu.

Untuk pertama kalinya, kakakku dan aku didekap pria itu. Da­ri sorot matanya, bisa kurasakan keikhlasan kakakku. Tapi a­ku… Aku rasa aku memang sudah tidak bisa sebagaimana ka­kak­ku lagi. Aku sudah besar. Aku tidak harus minta pendapat ka­kakku setiap kali aku ingin merokok. Aku punya pikiran dan perasaanku sendiri.

Untunglah pria itu tidak serta merta tinggal bersama kami. Ia ti­dak bisa begitu saja meninggalkan kehidupannya di Boston. Dan tahu tidak, ia ternyata sudah punya anak kandung padahal se­belum Mama ia tidak pernah punya istri. Coba saja gali se­gala kemungkinan kenapa itu bisa terjadi. Aku sadar sisi re­li­gi­us kakakku mungkin terusik dengan fakta ini. Tapi Kak Ari te­tap mempersilahkan pria itu datang ke mari.

Mama tersenyum.

Namun ia tetap membiarkan kami semalam tanpa dirinya. Pa­da kesempatan kami berdua saja itu, Kak Ari tidak mem­bi­ca­ra­kan apapun mengenai kedatangan pria itu. Ia memang tipe o­rang yang malas bicara. Itu menulariku. Aku membiarkan jen­dela kamarku terbuka terus, seiring dengan terusnya asap ku­bumbungkan dan pikiranku membayangkan. Dua puluh em­pat jam dari sekarang, ah bahkan bisa saja kurang, pria itu su­dah berada di rumah ini. Ia akan merangkul mama kami, me­nempati ruang yang harusnya diisi papa kami, dan mem­be­ri­kan adik lagi buat kami. Mungkin.

Ketika aku bertemu kakakku di ruang makan saat sa­ra­pan, ia ber­diri di belakangku hanya untuk meraup sejumput rambut ikal panjangku dan mengendusnya.

“Dek, Kakak mandiin ya.”

Kuhalau ia dengan lengan.

Malam nanti pria itu sudah berada di sini…

…setelah puas bercinta semalaman dengan mamaku di hotel bin­tang lima… Lalu mereka menjejali keranjang dengan ber­ba­gai bahan masakan. Sampai mereka di rumah, sampai ma­lam menjelang mamaku masak—pria itu tidak bisa masak—dan menghidangkan menu spesial yang memenuhi meja ma­kan…

Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali Mama me­la­ku­kan itu pada papaku.

Kursi di seberangku seharusnya diisi oleh papaku, pria ber­ma­ta redup menghangatkan, bukannya oleh pria yang me­man­car­kan hawa janggal ini.

Aku iba padanya, pada upaya sambung rasa yang tidak lancar i­ni. Kakakku dan aku sudah berusaha sebaik mungkin dalam me­nanggapinya, juga mama kami. Kami belum bisa me­mang­gil­nya “papa”.

“Kami belum bisa manggil Om… ‘papa’,” kakakku meng­u­cap­kan itu. Ia nyaris menunduk. Aku terperangah.

“Enggak apa-apa.” Pria itu kelihatan santai kendati Mama tam­pak kurang nyaman. “Enaknya Ari dan Vira aja. Panggil ‘a­yah’ juga enggak apa-apa.”

Kak Ari menatap pria itu sekilas sebelum melanjutkan lagi ku­nyahannya. Canggung senyumku membalas pria itu. Mama tam­pak puas.

Malam itu, seperti mereka, Kak Ari dan aku lama terjaga. Se­ma­laman mereka biarkan TV menonton dan kami mendengar me­reka berbisik-bisik. Namun tak sekuat TV, Kak Ari dan aku meninggalkan satu sama lain dengan malu.

Bagaimanapun KUA telah mengesahkan pria itu sebagai ba­gi­an dari keluarga kami. Ia tidak perlu menunggu lama untuk le­bih dekat mengenalku. Kuisi Minggu pagi dengan menebar asap di halaman belakang. Dua penghuni rumah ini telah me­nen­tangku dalam hal ini. Awas saja ia kalau jadi yang ketiga, pa­pa kandungku saja bisa terima.

Suaranya menyapa dari belakang. Kuiiringi gerakannya de­ngan edar mataku. Ia menyenandungkan namaku dengan lem­but tadi. Aku bukan lagi anak manis kemarin pagi, Om.

“Boleh?” Isyaratnya menunjuk pada meja di antara kami. Di sa­na tergeletak kotak rokok, lighter Hello Kitty, dan asbak.

Meski aku tidak mengucap apapun, ia menangkap gesturku se­bagai tanda mempersilahkan. Tapi ia hanya mengambil lighter. Ia membawa rokoknya sendiri, bukan merek do­mes­tik. Sembari meletakkan kotaknya berdampingan dengan mi­lik­ku, ia menawarkan sebatang. Aku tidak bisa menolak. Ia bah­kan memantikkan lighter untukku. Menghirup rokoknya, a­ku merasa lebih enteng. Ia bukan bapak-bapak.

“Dulu saya juga enggak bisa nolak kalau ada yang nawarin ro­kok.” Asap bergumpal-gumpal dari hidungnya. “Padahal dulu as­ma saya masih suka kambuh.” Ia terkekeh. Aku men­de­ngar­kan­nya terus sembari menikmati sensasi asing yang me­ram­bah rongga mulut dan hidungku. “Tapi gimana ya? Rasanya a­da yang kurang gitu ya, kalau enggak ngudud?” Keningku ber­kerut. “Ngudud? Ngisep rokok?” Ah iya. Dulu ia kan o­rang Bandung.

Tidak berlarut-larut dalam ketidakmengertianku, ia me­lan­jut­kan, “Tapi dulu pernah sempat berhenti, pas pacaran. Tiap ka­li saya ngerokok di depan dia…” tahu-tahu tubuhnya men­de­kat… “gini…” aku ingin berteriak memanggil Mama, tapi yang ia lakukan hanya mencabut puntung dari kulumanku. Ku­tangkap pandangannya tepat ke bibirku. Sejenak aku hanya bi­sa mendengar dentum menggeru-geru.

Ia mengembalikan puntungku lantas memadamkan pun­tung­nya sendiri. “Ini sisanya buat Vira aja.” Matanya terarah pada ko­taknya tadi—sekarang jadi milikku. Tambahnya, “Bebas tar dan nikotin.”

“Oh ya?”

“Enak kan?”

Aku menggeleng sambil tersenyum aneh. Baru kusadari kalau ra­sa rokoknya memang tidak selezat rokok manapun yang per­nah aku coba.

“Kalau saya sendiri sih, pas sempat tinggal di sini dulu,  su­ka­nya yang ginian juga…” Ia mengambil kotak milikku. “Minta ya?” Tanpa kuiyakan ia sudah menyulut sebatang.

Sempat kami bertukar lirikan hingga aku jengah. Sementara ia me­ngepul dengan enaknya, aku diliputi rasa yang bikin aku sa­lah tingkah. Satu alasan kenapa dulu kakakku susah mem­ben­cinya adalah karena pria itu juga menggemari MU. Tapi a­ku tidak bisa berbagi merek yang sama dengan… suami baru ma­maku. Bayangan benda yang sama masuk ke dalam mulut ka­mi membuatku mual.

Sosok Mama muncul di samping pria itu. “Ah di sini…” gu­mam­nya sembari membelai pundak pria itu, tatapannya ber­pin­dah antara aku dan pria itu, sambil tersenyum, “Ternyata bi­sa cepat akrab juga ya…” Aku merinding. Mama mencabut pun­tung dari mulut pria itu. Sebentar Mama menatap bibir pria itu hingga pria itu melepas Mama dan sang puntung dengan su­karela.

Dan selamanya itu membuatku eneg acap kali melihat rokok.

 

2-3 Februari 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain