Ada kenikmatan di setiap tarikan dan hembusan. Kamu tidak
akan pernah bisa memahaminya, jika kamu tidak merasakannya sendiri. Bahkan
meski kamu berlagak seperti itu pun… dengan dua jarimu ditempelkan ke mulut,
lalu kamu melepaskannya seraya memonyongkan bibir. Apa? Apa yang kamu rasa
selain kesenangan dari mengolok-olokku? Itu tidak nyata. Ini yang nyata…
Dia menjerit, setelah kutarik lengannya lantas kusundut dengan
ujung puntung di pucuk tanganku.
Umurnya sudah 21 tahun, hampir lulus kuliah, dan dia mengadu.
Mama menatapku tajam. Jelas lelah menghadapi anak perempuannya
ini. Suruh siapa punya anak laki-laki manja. Ari menjilati lukanya. Iyek.
“Kakak,” Mama akhirnya beralih pada Ari. “Adek kan udah besar.
Biar aja Adek menentukan keinginannya sendiri, termasuk kalau Adek ingin kena
kanker paru-paru…”
Mendadak hilang hasratku menghisap. Tega sekali Mama mengatakan
seperti itu untukku. Aku meraup kotak rokok dan asbak. Memang tempat paling nyaman
untuk mengasap di rumah ini hanya kamarku sendiri.
Sejauh ini aku sudah berhasil mengendalikan diri. Frekuensiku
mengasap sudah berkurang dibanding waktu aku masih pemula. Aku bisa
menghabiskan dua kotak seminggu. Sekarang, seminggu pun tidak habis satu
kotak.
Jelas ini salah sinetron yang tadi kutonton. Aku begitu
tegang ketika Nyonya Suharti berencana untuk membunuh Amanda dan Ma Icih. Aku
hanya benar-benar butuh mengasap
dalam situasi seperti ini, termasuk ketika hendak menghadapi ujian. Oh,
sepertinya aku harus menyiapkan banyak persediaan untuk UAS besok. Dietku akan
gagal. Kamarku tetap akan jadi zona paling berasap di rumah ini, lebih berasap
dari dapur.
Aku sudah lupa kapan persisnya aku mulai merokok. Yang jelas
teman-temanku juga merokok. Mereka menawariku, si anak manis ini, dan aku
mencoba, karena aku tidak semanis yang mereka sangka, dan kalian bisa lanjutkan
sendiri deh.
Mulanya aku merokok hanya ketika bersama teman-temanku. Jelas
tidak di rumah. Itu pun aku pastikan dulu tidak ada teman Mama melintas.
Lama-lama aku tidak peduli lagi. Bahkan ketika aku bertemu Papa pun, aku tidak
tahan melihatnya merokok sendirian. Papa tidak bisa apa-apa, toh ia sendiri perokok.
Ia menyarankanku agar merokok sesekali saja, ia juga begitu. Tapi sayang
sekali. Papaku terlambat. Aku kadung jadi perokok berat.
Segala slim, mentol, kretek, sudah kuterjang. Tentu aku punya
favoritku, yang ramping dan hitam.
Jelas aku tidak bisa selalu menghilangkan aroma rokok dari sekitarku.
Akhirnya Mama menyaksikannya juga, kamarku yang sudah serupa warung kopi. AC
kamarku sudah lama tidak berfungsi. Dampak positif merokok adalah aku jadi
lebih menyukai udara segar! Kubuka selalu jendela kamar lebar-lebar. Aku bisa
melihat mamaku bertambah sedih… itu membuatku sedih juga… Aku janji padanya
untuk tidak merokok lagi.
Jelas butuh usaha untuk membiasakan dirimu merokok pada tempat
dan waktu tertentu saja… Kamarku harus sudah steril dari aroma rokok dan
menyemburkan hawa sejuk AC saat Mama di rumah. Aku harus ganti pakaian dan
sikat gigi setiap kali habis merokok. Persediaan aku simpan di kotak mainanku
semasa kecil yang ada gemboknya. Memang ribet tapi segalanya beres-beres
saja, rokok tetap jadi teman sejatiku, sampai Kak Ari kembali ke rumah ini.
Lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan ke pesantren atas kehendaknya
sendiri. Ia sangat religius memang. Dulu aku begitu bangga padanya karena ia
juara azan dan MTQ serta jadi vokalis utama marawis SMP-nya. Tapi empat tahun
tanpa kehadirannya cukup untuk membuatku jadi semi berandal dan menyadari
kalau ia aneh.
Lulus pesantren setingkat SMA tersebut, ia mendaftar ke institut
teknologi negeri terbaik di negara ini. Tapi alih-alih mengorek peranti keras
atawa lunak, hingga kini ia asyik-asyik saja belajar menghitung duit dan
mengatur orang di sebuah perguruan tinggi swasta di kotanya semula.
Ia selalu tahu. Ia tahu kapan dan di mana saja mama kami tidur
dengan sang pacar-semasa-SMA. Ia bahkan tahu kenapa Papa dan Mama berpisah,
dan itu ternyata tidak ada hubungannya dengan pria yang sekarang sudah resmi
jadi, euh, papa kami yang lain. Dan
ketika diam-diam aku masih mengepulkan asap dari tepi jendela kamar, kenapa
ia tidak bisa tahu? Ia tahu-tahu menyemburku dengan selang dari halaman. Ia
tidak pernah menyiram tanaman. Ia pulang tidak bilang-bilang. Tapi ketika
Mama pulang, ia bilang. Ia… sialan.
***
Besok Mama akan meninggalkan Kak Ari dan aku berdua saja di
rumah. Suami barunya datang—ah, lidahku masih gatal saat mengucapkan itu. Aku
tidak tahu kenapa. Kalau kakakku saja sudah bisa menerima pria itu dalam
kehidupan kami, kenapa aku tidak? Sekali lagi, aku tidak tahu kenapa.
“Enggak langsung ke sini aja, Ma?” tanya Kak Ari.
Gumaman Mama tak membentuk kata. Dari gesturnya, aku kira
Kak Ari dan aku sama-sama paham kalau membina keluarga baru tidaklah semudah
yang diidam-idamkan. Aku tahu Kak Ari masih sebal karena tinggi badan pria itu
jauh melebihi tinggi badannya dan tinggi badan Papa. Tapi aku juga tahu
kalau Kak Ari tidak lagi membenci pria itu sebagaimana yang ia rasakan dulu.
Beberapa bulan lalu, pria itu akhirnya kembali lagi ke Indonesia
setelah bertahun-tahun meninggalkan Mama dan hubungan asmara mereka yang
menggebu-gebu. Ini memang udah waktunya,
Dek, kata Kak Ari waktu itu, kita
biarkan Mama bahagia. Ketika pria itu meminta izin kami untuk meminang
Mama, Kak Ari menjawab dengan memohon agar pria itu menikahi Mama. Ia bahkan
menunduk saat mengatakan itu.
Aku tidak berdaya saat itu. Aku selalu sebagaimana kakakku.
Pernikahan dihelat dengan sederhana. Hanya orang-orang dekat
yang kami undang, termasuk Papa dan istri-anak barunya. Setelah ijab kabul,
Mama dan pria itu menangis seakan seharusnya ikatan di antara mereka sudah
dikukuhkan sejak dua puluhan tahun lalu.
Untuk pertama kalinya, kakakku dan aku didekap pria itu. Dari
sorot matanya, bisa kurasakan keikhlasan kakakku. Tapi aku… Aku rasa aku
memang sudah tidak bisa sebagaimana kakakku lagi. Aku sudah besar. Aku tidak
harus minta pendapat kakakku setiap kali aku ingin merokok. Aku punya pikiran
dan perasaanku sendiri.
Untunglah pria itu tidak serta merta tinggal bersama kami. Ia
tidak bisa begitu saja meninggalkan kehidupannya di Boston. Dan tahu tidak, ia
ternyata sudah punya anak kandung padahal sebelum Mama ia tidak pernah punya
istri. Coba saja gali segala kemungkinan kenapa itu bisa terjadi. Aku sadar
sisi religius kakakku mungkin terusik dengan fakta ini. Tapi Kak Ari tetap
mempersilahkan pria itu datang ke mari.
Mama tersenyum.
Namun ia tetap membiarkan kami semalam tanpa dirinya. Pada
kesempatan kami berdua saja itu, Kak Ari tidak membicarakan apapun mengenai
kedatangan pria itu. Ia memang tipe orang yang malas bicara. Itu menulariku.
Aku membiarkan jendela kamarku terbuka terus, seiring dengan terusnya asap kubumbungkan
dan pikiranku membayangkan. Dua puluh empat jam dari sekarang, ah bahkan bisa
saja kurang, pria itu sudah berada di rumah ini. Ia akan merangkul mama kami,
menempati ruang yang harusnya diisi papa kami, dan memberikan adik lagi
buat kami. Mungkin.
Ketika aku bertemu kakakku di ruang makan saat sarapan, ia
berdiri di belakangku hanya untuk meraup sejumput rambut ikal panjangku dan
mengendusnya.
“Dek, Kakak mandiin ya.”
Kuhalau ia dengan lengan.
Malam nanti pria itu sudah berada di sini…
…setelah puas bercinta semalaman dengan mamaku di hotel bintang
lima… Lalu mereka menjejali keranjang dengan berbagai bahan masakan. Sampai
mereka di rumah, sampai malam menjelang mamaku masak—pria itu tidak bisa
masak—dan menghidangkan menu spesial yang memenuhi meja makan…
Aku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali Mama melakukan
itu pada papaku.
Kursi di seberangku seharusnya diisi oleh papaku, pria bermata
redup menghangatkan, bukannya oleh pria yang memancarkan hawa janggal ini.
Aku iba padanya, pada upaya sambung rasa yang tidak lancar ini.
Kakakku dan aku sudah berusaha sebaik mungkin dalam menanggapinya, juga mama
kami. Kami belum bisa memanggilnya “papa”.
“Kami belum bisa manggil Om… ‘papa’,” kakakku mengucapkan
itu. Ia nyaris menunduk. Aku terperangah.
“Enggak apa-apa.” Pria itu kelihatan santai kendati Mama tampak
kurang nyaman. “Enaknya Ari dan Vira aja. Panggil ‘ayah’ juga enggak apa-apa.”
Kak Ari menatap pria itu sekilas sebelum melanjutkan lagi kunyahannya.
Canggung senyumku membalas pria itu. Mama tampak puas.
Malam itu, seperti mereka, Kak Ari dan aku lama terjaga. Semalaman
mereka biarkan TV menonton dan kami mendengar mereka berbisik-bisik. Namun tak
sekuat TV, Kak Ari dan aku meninggalkan satu sama lain dengan malu.
Bagaimanapun KUA telah mengesahkan pria itu sebagai bagian
dari keluarga kami. Ia tidak perlu menunggu lama untuk lebih dekat mengenalku.
Kuisi Minggu pagi dengan menebar asap di halaman belakang. Dua penghuni rumah
ini telah menentangku dalam hal ini. Awas saja ia kalau jadi yang ketiga, papa
kandungku saja bisa terima.
Suaranya menyapa dari belakang. Kuiiringi gerakannya dengan
edar mataku. Ia menyenandungkan namaku dengan lembut tadi. Aku bukan lagi anak
manis kemarin pagi, Om.
“Boleh?” Isyaratnya menunjuk pada meja di antara kami. Di sana
tergeletak kotak rokok, lighter Hello Kitty, dan asbak.
Meski aku tidak mengucap apapun, ia menangkap gesturku sebagai
tanda mempersilahkan. Tapi ia hanya mengambil lighter. Ia membawa rokoknya
sendiri, bukan merek domestik. Sembari meletakkan kotaknya berdampingan
dengan milikku, ia menawarkan sebatang. Aku tidak bisa menolak. Ia bahkan
memantikkan lighter untukku. Menghirup rokoknya, aku merasa lebih enteng. Ia
bukan bapak-bapak.
“Dulu saya juga enggak bisa nolak kalau ada yang nawarin rokok.”
Asap bergumpal-gumpal dari hidungnya. “Padahal dulu asma saya masih suka
kambuh.” Ia terkekeh. Aku mendengarkannya terus sembari menikmati sensasi
asing yang merambah rongga mulut dan hidungku. “Tapi gimana ya? Rasanya ada
yang kurang gitu ya, kalau enggak ngudud?” Keningku berkerut. “Ngudud? Ngisep
rokok?” Ah iya. Dulu ia kan orang Bandung.
Tidak berlarut-larut dalam ketidakmengertianku, ia melanjutkan,
“Tapi dulu pernah sempat berhenti, pas pacaran. Tiap kali saya ngerokok di
depan dia…” tahu-tahu tubuhnya mendekat… “gini…” aku ingin berteriak
memanggil Mama, tapi yang ia lakukan hanya mencabut puntung dari kulumanku. Kutangkap
pandangannya tepat ke bibirku. Sejenak aku hanya bisa mendengar dentum
menggeru-geru.
Ia mengembalikan puntungku lantas memadamkan puntungnya
sendiri. “Ini sisanya buat Vira aja.” Matanya terarah pada kotaknya
tadi—sekarang jadi milikku. Tambahnya, “Bebas tar dan nikotin.”
“Oh ya?”
“Enak kan?”
Aku menggeleng sambil tersenyum aneh. Baru kusadari kalau rasa
rokoknya memang tidak selezat rokok manapun yang pernah aku coba.
“Kalau saya sendiri sih, pas sempat tinggal di sini
dulu, sukanya yang ginian juga…” Ia
mengambil kotak milikku. “Minta ya?” Tanpa kuiyakan ia sudah menyulut sebatang.
Sempat kami bertukar lirikan hingga aku jengah. Sementara ia
mengepul dengan enaknya, aku diliputi rasa yang bikin aku salah tingkah. Satu
alasan kenapa dulu kakakku susah membencinya adalah karena pria itu juga
menggemari MU. Tapi aku tidak bisa berbagi merek yang sama dengan… suami baru
mamaku. Bayangan benda yang sama masuk ke dalam mulut kami membuatku mual.
Sosok Mama muncul di samping pria itu. “Ah di sini…” gumamnya
sembari membelai pundak pria itu, tatapannya berpindah antara aku dan pria
itu, sambil tersenyum, “Ternyata bisa cepat akrab juga ya…” Aku merinding.
Mama mencabut puntung dari mulut pria itu. Sebentar Mama menatap bibir pria
itu hingga pria itu melepas Mama dan sang puntung dengan sukarela.
Dan selamanya itu membuatku eneg acap kali melihat rokok.
2-3
Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar