Selasa, 28 Februari 2012

Dalam Memorabilia Masa Anak-anak bersama Aleut

Cihapit sudah familier bagi saya. Di sini ada SDN Sabang, yang masuk dalam rute sopir jemputan saya waktu SD, sedang saya sendiri sekolah di SD Istiqamah yang lokasinya tak jauh dari situ. Seingat saya di dekat SDN Sabang ada toko MM, yang mana berkali-kali saya pernah dibawa ibu saya belanja di situ. Tidak tahu apakah toko tersebut masih ada, Aleut (26/02/12) tidak menggiring kami sampai sana.

Pintu masuk yang nyempil di antara dua bangunan

Di Pasar Cihapit kami berpencar. Pintu masuknya berupa lorong yang diapit dua dinding bangunan yang lumayan tinggi. Bagian dalamnya seperti pasar pada lazimnya. Beragam barang didagangkan di sini, mulai dari makanan tradisional, buah-buahan, lauk-pauk, bumbu masak, hingga pakaian dan elektronik. Namun yang menjadikannya demikian terkenal sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di Bandung adalah kehadiran beberapa tempat makan khas seperti warung makan Bu Eha, Surabi Cihapit, dan Kupat Tahu Galunggung.

Surabi Cihapit campur telor

Saat kami melintasi los Bu Eha, warung makan tersebut tidak buka. Saya sendiri belum pernah makan di sana. Konon warung makan tersebut menjual masakan khas Sunda biasa—masakan rumahan—yang saking maknyusnya, Bondan Winarno pernah bertandang ke sana. Pasar Cihapit konon sudah berdiri sejak lama, meski mungkin tidak selama Nyonya Meneer, begitupun warung makan Bu Eha.

Penyambung nyawa para survivor


Di sini pula menjadi ajang reuni saya dengan honje. Bagian buahnya yang berwarna merah muda itu dikupas hingga tersisa bagian berwarna putih dengan rasa agak sepet. Buah inilah yang menjadi salah satu penyambung saya dan kawan-kawan yang melakukan survival di Situ Lembang dalam rangka Diksar Jamadagni—ekskul pecinta alam di SMAN 3 Bandung. 

Belajar nama-nama lalapan yuk... Dari atas: gandaria (penyedap), belimbing wuluh, eceng gondok, dan kembang pepaya.

Masih di kawasan Cihapit, terdapat Taman Cibeunying. Taman ini terbagi karena dipisahkan jalan. Salah satu pulau taman menjadi sentra penjualan tanaman hias. Saya pernah ikut bapak saya belanja ke situ. Sudah begitu, pohon-pohon besar masih anteng merindangi sehingga kawasan ini menjadi salah satu kawasan terhijau di Bandung.

Di mana ada kawasan hijau di Bandung, itu rupanya memiliki keterkaitan dengan sejarah pembangunan kota pada masa pendudukan Belanda. Taman merupakan elemen yang wajib ada pada pemukiman orang Belanda saat itu sebagai ruang aktivitas warga. Merupakan tradisi pula bagi warga Eropa untuk menghabiskan waktu dengan mengaso di halaman rumah sambil minum teh, makan kue, mengobrol dengan tetangga, dan sebagainya.

Sebagian taman memang telah raib, namun sebagian taman masih ada dan menawarkan kenyamanan bagi penduduk Kota Bandung kini. Contohnya ya taman-taman yang dilalui dalam lawatan Aleut kali ini. Taman Cibeunying sendiri dulu merupakan pusat pembibitan tanaman (Tjibeunjingplantsoen).

Bank yang terletak di seberang Taman Cibeunying ini ternyata warisan Belanda. Cek di sini.


Siapa sangka, Cihapit ternyata pernah mengalami masa kelam. Pada masa pendudukan Jepang, Cihapit yang merupakan kawasan pemukiman orang Belanda notabene menjadi kamp interniran terbesar bagi kaum wanita, orang tua, dan anak-anak, sedang para pria ditempatkan di kamp interniran di daerah lain. Sekeliling kawasan diberi pagar berduri. Para interniran pun memanfaatkan gorong-gorong di bawah tanah sebagai sarana berkomunikasi. Dalam masa itu, warga hanya bisa beraktivitas di taman-taman. Hiburan datang dari simpatisan Belanda atau Jerman yang melawat ke Asia Tenggara. Salah satunya adalah Corry Vonk.

Dari Cihapit, kami memasuki jalan demi jalan di pemukiman sekitarnya. Kami bertemu beberapa bangunan tua seperti Gereja Maranatha yang dibangun sekitar 1925 dengan gaya arsitektur khas kolonial, rumah khas Belanda dengan nama anak perempuan pertama di bawah atapnya (Helena dan Leonie), rumah pribumi, dan toko-toko (pertokoan China dan Toko Cairo). 

Gereja Maranatha yang antara lain terkenal karena loncengnya

Salah satu rumah pribumi yang tersisa di jalan buah-buahan

Dengan jam buka dari 1 PM – 3 AM, Toko Cairo masih mengikuti tradisi tidur siang dari Eropa yang disebut siesta

Rumah bernama Leonie (haha enggak kelihatan yah namanya) di seberang Taman Cempaka

Melewati SDN Priangan, lagi-lagi saya merasa familier. Beberapa orang yang saya kenal di masa awal SD saya merupakan murid SD tersebut. Saya bertemu mereka dalam mobil jemputan setiap pagi dan siang selama enam hari sekolah, sebanyak itu pula saya melintasi daerah ini kala itu. Di sekitar SDN Priangan itulah terdapat bangunan pertokoan khas China dengan lima pintu yang mempengaruhi bentuk rumah khas Betawi.

Di pinggir lapangan ini mobil jemputan saya biasa nongkrong. Di seberang sana adalah deretan toko China, namun ternyata sudah ada yang bersalin rupa.

Tidak jauh dari SDN Priangan, terdapat SDN Ciujung. Lapangan yang rada becek berada di seberangnya, dilingkari jalan, dulunya bernama Houtmanplein. Masih dua taman lagi di depan yang kami jumpai. Konon dua taman tersebut berpasangan. Taman yang dinamai dengan nama raja dari Belanda berukuran lebih kecil dan tampak tidak terawat bila dibandingkan dengan taman satunya, yang dinamai dengan nama ratu dari Belanda namun kini lebih dikenal sebagai Taman Cempaka. 

Lapangan Ciujung alias Houtmanplein yang tertutup semak-semak... :9

Sisi taman (aslinya plein atau lapangan) raja Belanda:  sampah apa lemarinya tuna wisma?

Kondisi taman raja Belanda

Pemukim di Taman Cempaka

Beginilah sebaiknya taman dimanfaatkan :D


Empat pohon ki hujan alias trembesi (Samanea saman) berdiameter sekitar 1,5 m cukup untuk menaungi taman yang cukup luas bagi warga untuk melakukan beberapa aktivitas itu. Beberapa sarana bermain anak menancap di rumputnya yang sebagian telah tergerus. Di sana kami memakan bekal yang kami beli di Pasar Cihapit lalu mendemonstrasikan beberapa permainan di masa lampau.

Gambar kotak-kotak di paving block, lempar batu atau potongan genting, lalu loncat-loncat deh (#lupanamapermainannya)

Permainan congklak konon mengandung filosofi menabung

Entah apakah anak-anak zaman sekarang masih ada yang merasakan kesenangan dari permainan-permainan ini, sebut saja congklak, gatrik, dan benteng-bentengan atau pris-prisan. Saya termasuk generasi yang cukup beruntung dapat merasakannya. Melalui permainan yang sekaligus tampak melelahkan dan sadis inilah anak-anak belajar berstrategi, bersosialisasi, sekaligus mengasah daya motorik seluruh tubuh—tidak hanya jari. 

Gatrik, belum pernah saya mencoba permainan satu ini


Kini kemajuan teknologi yang dibarengi penyempitan lahan telah membuat anak-anak lebih memilih untuk jadi anak rumahan. Permainan individualis tapi aman, misalnya bunuh-bunuhan dengan teman tapi cuman dalam layar, lebih menyita minat mereka. 

Mana nih yang lagi main benteng-bentengan?


Bang Ridwan—salah satu narasumber Aleut—tidak sependapat bahwa permainan zadul secara persis membentuk karakter. Para "pembesar" negeri ini, yang notabene besar-besaran dalam KKN, juga besar dengan melakukan permainan-permainan zadul.

Tan hana nguni, tan hana mangke, pepatah Sunda kunoyang berarti tidak ada masa lalu, tidak ada pula sekarang, demikian jargon Aleut. Minggu itu, bersama Aleut dan kru Metro TV yang hendak meliput kegiatan komunitas-komunitas di Bandung, saya menapaktilasi bagian dari masa silam yang ikut membentuk saya yang sekarang. Seperti apa saya yang sekarang hanyalah masa lalu bagi saya di masa yang akan datang. Jika masa lalu demikian nikmat dikenang, maka seyogyanya masa yang dijalani kini bisa menjadi sesuatu yang berharga pula untuk dikenang nanti. Persoalannya, bagaimana caranya?***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...