Cihapit sudah familier bagi saya. Di
sini ada SDN Sabang, yang masuk dalam rute sopir jemputan saya waktu SD, sedang
saya sendiri sekolah di SD Istiqamah yang lokasinya tak jauh dari situ. Seingat
saya di dekat SDN Sabang ada toko MM, yang mana berkali-kali saya pernah dibawa
ibu saya belanja di situ. Tidak tahu apakah toko tersebut masih ada, Aleut
(26/02/12) tidak menggiring kami sampai sana.
|
Pintu masuk yang nyempil di antara dua bangunan |
Di Pasar Cihapit kami berpencar. Pintu
masuknya berupa lorong yang diapit dua dinding bangunan yang lumayan tinggi.
Bagian dalamnya seperti pasar pada lazimnya. Beragam barang didagangkan di
sini, mulai dari makanan tradisional, buah-buahan, lauk-pauk, bumbu masak,
hingga pakaian dan elektronik. Namun yang menjadikannya demikian terkenal
sebagai salah satu tujuan wisata kuliner di Bandung adalah kehadiran beberapa
tempat makan khas seperti warung makan Bu Eha, Surabi Cihapit, dan Kupat Tahu
Galunggung.
|
Surabi Cihapit campur telor |
Saat kami melintasi los Bu Eha, warung
makan tersebut tidak buka. Saya sendiri belum pernah makan di sana. Konon
warung makan tersebut menjual masakan khas Sunda biasa—masakan rumahan—yang
saking maknyusnya, Bondan Winarno pernah bertandang ke sana. Pasar Cihapit
konon sudah berdiri sejak lama, meski mungkin tidak selama Nyonya Meneer,
begitupun warung makan Bu Eha.
|
Penyambung nyawa para survivor |
Di sini pula menjadi ajang reuni saya
dengan honje. Bagian buahnya yang berwarna merah muda itu dikupas hingga tersisa
bagian berwarna putih dengan rasa agak sepet. Buah inilah yang menjadi salah
satu penyambung saya dan kawan-kawan yang melakukan survival di Situ Lembang
dalam rangka Diksar Jamadagni.
|
Belajar nama-nama lalapan yuk... Dari atas: gandaria (penyedap), belimbing wuluh, eceng gondok, dan kembang pepaya. |
Masih di kawasan Cihapit, terdapat Taman
Cibeunying. Taman ini terbagi karena dipisahkan jalan. Salah satu pulau taman
menjadi sentra penjualan tanaman hias. Saya pernah ikut bapak saya belanja ke
situ. Sudah begitu, pohon-pohon besar masih anteng merindangi sehingga kawasan
ini menjadi salah satu kawasan terhijau di Bandung.
Di mana ada kawasan hijau di Bandung,
itu rupanya memiliki keterkaitan dengan sejarah pembangunan kota pada masa
pendudukan Belanda. Taman merupakan elemen yang wajib ada pada pemukiman orang
Belanda saat itu sebagai ruang aktivitas warga. Merupakan tradisi pula bagi
warga Eropa untuk menghabiskan waktu dengan mengaso di halaman rumah sambil
minum teh, makan kue, mengobrol dengan tetangga, dan sebagainya.
Sebagian taman memang telah raib, namun
sebagian taman masih ada dan menawarkan kenyamanan bagi penduduk Kota Bandung
kini. Contohnya ya taman-taman yang dilalui dalam lawatan Aleut kali ini. Taman
Cibeunying sendiri dulu merupakan pusat pembibitan tanaman
(Tjibeunjingplantsoen).
|
Bank yang terletak di seberang Taman Cibeunying ini ternyata warisan Belanda. Cek di sini. |
Siapa sangka, Cihapit ternyata pernah
mengalami masa kelam. Pada masa pendudukan Jepang, Cihapit yang merupakan
kawasan pemukiman orang Belanda notabene menjadi kamp interniran terbesar bagi
kaum wanita, orang tua, dan anak-anak, sedang para pria ditempatkan di kamp
interniran di daerah lain. Sekeliling kawasan diberi pagar berduri. Para
interniran pun memanfaatkan gorong-gorong di bawah tanah sebagai sarana
berkomunikasi. Dalam masa itu, warga hanya bisa beraktivitas di taman-taman.
Hiburan datang dari simpatisan Belanda atau Jerman yang melawat ke Asia
Tenggara. Salah satunya adalah
Corry Vonk.
Dari Cihapit, kami memasuki jalan demi
jalan di pemukiman sekitarnya. Kami bertemu beberapa bangunan tua seperti Gereja
Maranatha yang dibangun sekitar 1925 dengan gaya arsitektur khas kolonial,
rumah khas Belanda dengan nama anak perempuan pertama di bawah atapnya (Helena
dan Leonie), rumah pribumi, dan toko-toko (pertokoan China dan Toko Cairo).
|
Gereja Maranatha yang antara lain terkenal karena loncengnya |
|
Salah satu rumah pribumi yang tersisa di jalan buah-buahan |
|
Dengan jam buka dari 1 PM – 3 AM, Toko
Cairo masih mengikuti tradisi tidur siang dari Eropa yang disebut siesta
|
|
Rumah bernama Leonie (haha enggak kelihatan yah namanya) di seberang Taman Cempaka |
Melewati SDN Priangan, lagi-lagi saya
merasa familier. Beberapa orang yang saya kenal di masa awal SD saya merupakan
murid SD tersebut. Saya bertemu mereka dalam mobil jemputan setiap pagi dan
siang selama enam hari sekolah, sebanyak itu pula saya melintasi daerah ini
kala itu. Di sekitar SDN Priangan itulah terdapat bangunan pertokoan khas China
dengan lima pintu yang mempengaruhi bentuk rumah khas Betawi.
|
Di pinggir lapangan ini mobil jemputan saya biasa nongkrong. Di seberang sana adalah deretan toko China, namun ternyata sudah ada yang bersalin rupa. |
Tidak jauh dari SDN Priangan, terdapat
SDN Ciujung. Lapangan yang rada becek berada di seberangnya, dilingkari jalan, dulunya
bernama Houtmanplein. Masih dua taman lagi di depan yang kami jumpai. Konon dua
taman tersebut berpasangan. Taman yang dinamai dengan nama raja dari Belanda berukuran
lebih kecil dan tampak tidak terawat bila dibandingkan dengan taman satunya,
yang dinamai dengan nama ratu dari Belanda namun kini lebih dikenal sebagai
Taman Cempaka.
|
Lapangan Ciujung alias Houtmanplein yang tertutup semak-semak... :9 |
|
Sisi taman (aslinya plein atau lapangan) raja Belanda: sampah apa lemarinya tuna wisma? |
|
Kondisi taman raja Belanda |
|
Pemukim di Taman Cempaka |
|
Beginilah sebaiknya taman dimanfaatkan :D |
Empat pohon ki hujan alias trembesi (Samanea saman) berdiameter sekitar 1,5 m
cukup untuk menaungi taman yang cukup luas bagi warga untuk melakukan beberapa
aktivitas itu. Beberapa sarana bermain anak menancap di rumputnya yang sebagian
telah tergerus. Di sana kami memakan bekal yang kami beli di Pasar Cihapit lalu
mendemonstrasikan beberapa permainan di masa lampau.
|
Gambar kotak-kotak di paving block, lempar batu atau potongan genting, lalu loncat-loncat deh (#lupanamapermainannya) |
|
Permainan congklak konon mengandung filosofi menabung |
Entah apakah anak-anak zaman sekarang
masih ada yang merasakan kesenangan dari permainan-permainan ini, sebut saja
congklak, gatrik, dan benteng-bentengan atau pris-prisan. Saya termasuk
generasi yang cukup beruntung dapat merasakannya. Melalui permainan yang
sekaligus tampak melelahkan dan sadis inilah anak-anak belajar berstrategi,
bersosialisasi, sekaligus mengasah daya motorik seluruh tubuh—tidak hanya jari.
|
Gatrik, belum pernah saya mencoba permainan satu ini |
Kini kemajuan teknologi yang dibarengi
penyempitan lahan telah membuat anak-anak lebih memilih untuk jadi anak
rumahan. Permainan individualis tapi aman, misalnya bunuh-bunuhan dengan teman
tapi cuman dalam layar, lebih menyita minat mereka.
|
Mana nih yang lagi main benteng-bentengan? |
Bang Ridwan—salah satu narasumber Aleut—tidak sependapat bahwa
permainan zadul secara persis membentuk karakter. Para "pembesar" negeri ini, yang
notabene besar-besaran dalam KKN, juga besar dengan melakukan permainan-permainan
zadul.
Tan
hana nguni, tan hana mangke, pepatah Sunda kunoyang berarti tidak ada masa lalu, tidak ada pula sekarang,
demikian jargon Aleut. Minggu itu, bersama Aleut dan kru Metro TV yang hendak
meliput kegiatan komunitas-komunitas di Bandung, saya menapaktilasi bagian dari
masa silam yang ikut membentuk saya yang sekarang. Seperti apa saya yang
sekarang hanyalah masa lalu bagi saya di masa yang akan datang. Jika masa lalu
demikian nikmat dikenang, maka seyogyanya masa yang dijalani kini bisa menjadi
sesuatu yang berharga pula untuk dikenang nanti. Persoalannya, bagaimana
caranya?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar