Selasa (21/02/12), sekitar pukul
setengah sepuluh pagi, saya duduk di Jalan Marconi yang diapit komplek Nehru
Memoriam International School dan Museum Mandala Wangsit Siliwangi (selanjutnya
Museum MWS). Gedung sekolah internasional di seberang saya dilapisi keramik
yang telah dilumuri noda di mana-mana. Murid-murid sekolah ini bermain di
sebidang lahan yang mengingatkan saya akan masa SMP saya di SMP Istiqamah
Bandung. Kemudian Fida datang bermotor. Menyusul tidak lama, pasangan Nuhe dan
Pras.
Kami semua belum pernah ke Museum MWS
sebelumnya. Yang saya pernah dengar beberapa kali, museum tersebut memiliki
kesan menyeramkan. Fida tertarik untuk mengunjungi museum tersebut sejak
singgahnya komunitas Aleut sejenak di sana pada Minggu (19/02/12) di mana Fida
mulai gabung dengan komunitas tersebut. Menurut keterangan seorang pria
berpakaian loreng-loreng yang tengah berjaga saat itu, Museum MWS buka hanya
pada waktu kerja—setidaknya itu waktu “aman” untuk mengunjungi apapun bukan?
Kami dipersilahkan memasuki museum dari
belakang sebab bagian depan sedang direnovasi. Sebelum pintu masuk bagian
belakang tersebut, terdapat kantin dan tempat parkir mobil. Salah satu mobil
yang bertengger di situ adalah sebuah ambulan yang digunakan pada sekitar tahun
1950-an untuk menolong para pejuang. Ambulan tersebut dikenal juga dengan “Si
Gajah” atau “Si Dukun”. Siliwangi sendiri tampaknya merupakan sebutan bagi
pasukan loreng-loreng di daerah Jawa Barat pada masa itu—berdasarkan legenda
Prabu Siliwangi yang dianggap sebagai leluhur orang Sunda.
Di ruang belakang, kami disambut oleh
seorang bapak berpakaian training yang cukup ramah. Di buku tamu, cukup
perwakilan saja yang mengisi identitas dan sebagainya. Barang bawaan harus
ditinggalkan di ruangan itu kecuali ponsel dan dompet. Bapak tersebut juga
menuturkan sejumlah ketentuan lain. Bagi yang muslim, ucapkan basmalah sebelum
memasuki ruangan, ucapkan basmalah tiga kali lagi ketika hendak memotret,
keluar melalui pintu yang sama karena pintu satunya terletak di bagian depan
yang sedang direnovasi, serta meninggalkan uang ala kadarnya untuk biaya
perawatan.
Setelah menaiki tangga, sampailah kami
di ruangan pertama yang memamerkan benda-benda peninggalan prajurit Siliwangi.
Ada sekitar belasan ruangan dalam museum tersebut. Atap kecokelatan karena
rembesan air. Ada satu ruangan yang dibatasi garis kuning karena atap di
atasnya berpotensi runtuh sewaktu-waktu.
Setiap lukisan diberi kertas di bawahnya
dengan tulisan yang meminta pengunjung agar tidak memotret lukisan tersebut.
Saya mewanti-wanti Fida agar tidak lupa mengucap basmalah tiga kali saat hendak
memotret sesuatu—dia hanya mengucap sekali.
Kami terkesima dengan kesuraman atmosfer
museum dan menggapai-gapai kesan angker yang konon katanya. Foto-foto yang
memudar, diorama nan berdebu, serta berbagai perkakas perang tampak menjadi
bagian dari kekusaman tersebut. Beberapa jenis koleksi dipajang dalam kotak
kaca dengan ditemani bola(-bola) kamper yang kalau di rumah saya digeletakkan
begitu saja dalam kamar mandi.
Eh ada Inspektur Vijay! Aca... Aca... |
Berbagai pangkat dalam ketentaraan—baik
dalam batalyon Siliwangi maupun DI/TII, bendera-bendera (tiap daerah beda),
meja-kursi yang digunakan dalam peristiwa di Rengasdengklok, peta pergerakan
tentara Siliwangi, sampai potret Jenderal Sudirman pun ada di sini. Liputan
peristiwa G30SPKI juga tersedia. Dalam bangunan rapuh ini, setidaknya berbagai
pajangan yang mengepung masih bisa melayangkan imajinasi pengunjung
ke suasana saat itu.
Hal menarik juga melihat-lihat berbagai rupa senjata yang berhasil dirampas dari penjajah. Ada yang bentuknya seperti samurai, ada berbagai model pistol, dan lain-lain. Tidak ketinggalan dipamerkan juga senjata khas Indonesia berupa pedang-pedangan yang sayang sekali saya tidak ingat dan sengaja hapalkan namanya. Saya kira bambu runcing itu hanya sekadar bambu dipotong dari rumpunnya, dihaluskan, lalu diruncingkan ujungnya. Ternyata ada juga bambu yang memang diraut sampai bentuknya menyerupai pedang. Bakal lebih mengerikan lagi kalau ujungnya masih berlumuran darah. Salah satu kotak kaca memamerkan pedang yang digunakan seorang pejuang wanita bernama Susilowati untuk memenggal kepala musuh, luar biasa.
Pada ruangan yang bertemakan penumpasan
DI/TII, foto-foto jasad dalam kondisi mengenaskan disajikan. Ada mayat gosong,
hilang kepala, atau masih utuh tapi beberapa bagian tubuhnya kena gorok. Kesan
superior yang hendak ditampilkan pihak di balik museum ini kuat terasa. Oknum
DI/TII digambarkan begitu keji. Selain itu, ditampilkan juga tabel yang
menunjukkan untung-rugi antara pihak “kita” dengan pihak DI/TII.
Sebagai orang yang sebetulnya tidak
begitu meminati sejarah, saya bisa merasa miris juga melihat bagaimana sejarah
diperlakukan. Demikian pun teman-teman saya. Fida tak ingat apa itu Perjanjian
Renville (begitupun kami semua). Pras yang ayahnya tentara malah tidak berdaya
saat kami menodongnya untuk jadi pemandu. Latar pembubuhan “Irianto” sebagai
nama belakangnya adalah karena ayahnya pernah bertugas di Irian. “Zamannya udah
beda,” kata Pras. Seharusnya kami ke museum ini dengan membawa buku pelajaran
Sejarah.
Toh museum pun tidak menyediakan
leaflet/booklet/apapun untuk kami bawa. Kalaupun ada biaya untuk itu,
seyogyanya digunakan dulu untuk perbaikan fisik museum. Ketika saya berkunjung
ke museum serupa di Kota Jogja beberapa bulan lalu, tepatnya Museum Dharma
Wiratama milik TNI AD yang letaknya di Jalan Sudirman, kertas-kertas semacam juga
tidak disediakan. Namun keadaan bangunan di sana lebih baik, tanpa kesan kumuh,
bahkan ada ruangan ber-AC. Namun pengunjung hanya dapat menikmati museum
tersebut sampai jam dua siang. Pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali
untuk memasukinya, bahkan sukarela sekalipun. Namun kami tetap harus mengisi
identitas dan menitipkan tas.
Ah saya jadi teringat museum-museum lainnya yang juga saya kunjungi belakangan ini.
Museum
Konperensi Asia Afrika (KAA)
Museum yang saya kunjungi Minggu
(19/02/12) ini sangat terawat, nyaman, luas, ber-AC, serta memiliki
perpustakaan, sahabat (maksudnya relawan yang mau bantu mengurusnya), juga suka
menghelat acara lain. Ketika tahun lalu (bertepatan dengan festival budaya MInang
di jalan di sebelahnya), saya ke sana dengan beberapa teman SMA, kami bisa
menonton film-film, ketemu cowok ganteng yang ingat solat, dan saya sendiri
dapat majalah gratis. Sedang ketika kemarin saya datang ke sana lagi dengan
teman-teman SMP, Pameran 50 Tahun Gerakan Non Blok (GNB) sedang
diselenggarakan.
Pameran tersebut berlangsung dari
tanggal 14 Desember 2011 – 24 April 2012. Pintu masuk pameran ini berupa uang
di mana kita bisa menonton sekilas tentang GNB sambil tidur-tiduran. Penjaganya
seorang bapak-bapak yang sangat ramah. Keluar dari ruangan tersebut, kita
memasuki lorong yang pada dindingnya terdapat kronologi mengenai gerakan ini
disertai berbagai propaganda perang dingin, profil para presiden negara-negara
non blok, hingga situasi di negara-negara tersebut saat ini.
Kita juga bisa berpose di sebuah
panggung kecil dengan perabot zaman dulu. Silahkan duduk di kursi, mengangkat
telepon klasik di atas meja, dan mendengarkan rekaman pembicaraan tokoh dunia.
Di samping panggung ada wastafel dengan keran yang dapat mengucurkan
air—lengkap dengan handuk dan sabun! Di sudut luar panggung, sebuah gantungan
pakaian berdiri. Kita boleh mencoba mantel dan topi yang tersangkut di sana.
Tidak hanya itu, kita bisa berlagak bak
jurnalis pada masa itu dengan mesin tik kuno yang boleh dicoba. Mesin fotokopi
klasik berada di samping kanan meja namun sayangnya tidak berfungsi dengan
baik.
Di ruangan dekat pintu keluar, ada
sebuah TV besar dan beberapa deret bangku empuk di hadapannya di mana kami
mengaso dan mengobrol dengan Sahabat Museum dan ibu pengelola pameran tersebut.
Pada ruangan itu pula terdapat peta
dunia. Sahabat Museum memberi kami sticky note untuk ditempelkan pada
negara-negara yang telah ditandai, yaitu negara-negara yang bergabung dalam
GNB. Pilih salah satu negara yang ingin kita kunjungi dan tulis bagaimana kita
terhadap negara itu. Saya pilih Arab Saudi karena saya ingin menunaikan ibadah
haji apabila saya mampu. Seorang anak SD menulis begini di sticky note-nya:
“Saya ingin Indonesia tidak ada. Penjajahan.”
Sahabat Museum yang kami tanya mengaku
sebagai siswa SMK. Ia mengetahui ada lowongan untuk jadi relawan di Museum KAA
dari koran. Ada juga pelajar dari berbagai instansi lain yang umumnya memang
mengambil jurusan sosial. Tugas Sahabat Museum antara lain menemani pengunjung,
barangkali ada yang perlu dijelaskan.
Selain TV besar dengan tempat duduk di
hadapannya, ada juga beberapa TV lain dengan ukuran lebih kecil yang ditempel
di dinding. Ketika kami minta dimainkan film yang ada di salah satunya, sayang
sekali Sahabat Museum tidak tahu cara mengoperasikannya karena setekernya
bermasalah atau apa.
Kecuali di pameran, Museum KAA tidak
menyediakan panduan baik dalam bentuk cetak maupun wujud manusia. Kita tidak
dipungut bayaran sama sekali. Namun tentu saja kita harus mengisi buku tamu
dulu.
Kita diperbolehkan menengok ruangan yang
biasa digunakan untuk acara-acara besar—perabotannya asli dari zaman dulu.
Selain kami, ada beberapa kelompok lain yang memanfaatkan ruangan luas tersebut
sebagai ruang mengaso. Tinggal dirikan kafe kcil saja di pojok ruangan,
sempurna. Mendekati jam dua belas siang, kami diminta keluar ruangan karena
museum akan tutup. Entah karena istirahat atau karena hari itu Minggu. Selama
di sana, kami bertemu tiga rombongan dengan orang berbahasa asing di
dalamnya—semua orang Asia.
…selanjutnya: Museum Pos Indonesia, Museum Batik
Pekalongan, dan Sejarah itu bagai es krim Canary…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar