Makam
Raymond Kennedy
Di balik rimbun bunga ini tersimpan sesosok sahabat Indonesia yang salah dimengerti |
Sekilas makam tersebut tampak bak batuan
dari zaman megalithikum di tengah rimbunnya semak. Padahal di balik semak
tersebut tersimpan informasi yang sudah aus mengenai orang yang suka disebut
John padahal Raymond. Bekas plakat tercetak pada batu tersebut. Sekali lagi
tukang martabak jadi tersangka. Tapi menurut Bang Ridwan, kali ini kerjaannya
kolektor karena hasilnya rapi.
Raymond Kennedy merupakan pendukung kemerdekaan
Indonesia. Dia seorang ilmuwan lagi humanis. Berdasarkan penelusuran Mang Asep,
Kennedy lahir pada 6 Desember 1906. Setelah lulus dari Yale pada tahun 1928, dia
bekerja di General Motor regional Asia Tenggara sebagai salesman. Dia mulai tertarik dengan kebudayaan dan orang Indonesia
ketika bekerja di Indonesia. Dia pun mengambil keputusan untuk mempelajari
teknologi dan antropologi di Yale. Dia merupakan pionir pusat studi Asia Tenggara
di Yale, mengumpulkan semua terbitan mengenai Indonesia di sana, serta menjadi
konsultan bagi AS mengenai pemerintahan Hindia Belanda.
Pada perjalanannya dari Bandung ke arah
timur pada tahun 1950, dia disergap oleh gerombolan tak dikenal di Sumedang. Satu
versi mengatakan bahwa gerombolan tersebut merupakan antek-antek Belanda yang
menganggap Kennedy menjelek-jelekkan pemerintahan Hindia Belanda (saat itu
sudah menjadi RIS alias Republik Indonesia Serikat kalau tidak salah).
Versi lain mengatakan bahwa gerombolan tersebut adalah para pejuang Indonesia
yang menganggap setiap bule adalah orang Belanda sehingga harus ditumpas,
padahal Kennedy dari AS. Kennedy pun meninggal sekitar tanggal 27 atau 28 April
pada tahun itu.
Makam
keluarga Tan
Salah satu orang terkaya di Bandung |
Marga Tan merupakan salah satu marga
China paling terkenal di Indonesia. Tan yang dimaksud di sini adalah seorang
pengusaha dari Semarang yang pindah ke Bandung. Istrinya membuka usaha batik
lalu perusahaan keluarga ini menjadi besar dan terkenal. Dia membangun rumah
megah dan termasuk orang pertama di Bandung yang memiliki mobil. Peninggalannya
bisa ditemui di Jalan Kebonjati, yaitu Hotel Surabaya. Menurut Bang Ridwan,
semua hotel ada di sisi selatan rel kereta api. Adalah biasa di semua kota
besar di Pulau Jawa apabila kita menemukan hotel dinamai dengan nama kota di
dekat stasiun utama. Misalnya jika orang Cirebon mampir ke Bandung, dia bakal
menginap di Hotel Cirebon. Yang agak aneh adalah di Bandung ternyata ada Hotel
Bandung juga.
Tan memiliki seorang anak gadis yang
terlibat dalam percintaan yang tidak dikehendaki orangtuanya. Kasus itu menjadi
aib dan omongan banyak orang, apalagi karena melibatkan keluarga terpandang.
Saking sensasionalnya, kisah ini dibukukan dengan judul “Rahasia Bandung” (atau
“Rasia Bandung”?).
Tan lahir di Amoy di China Selatan (?).
Di pulau inilah seorang pejuang Indonesia, Tan Malaka, tinggal cukup lama. Di
sana Tan Malaka mengajar bahasa Mandarin, Prancis, dan Jerman, serta menulis
buku “Menuju Republik Indonesia Merdeka” dalam bahasa Belanda.
Penutup
Gunung Tangkuban Perahu, ikon Kota Bandung, membayang di kejauhan |
Sebelum tahun 1917, warga Bandung bebas
memakamkan siapapun di manapun. Di pinggiran kota—Cimenyan ke atas
contohnya—masih banyak makam bayi yang baru lahir lalu meninggal dimakamkan di
depan rumah. Bagi orang Belanda, ini mengganggu baik dari aspek kesehatan serta
menyuburkan mistik. Tahun 1917, peraturan tentang pemakaman pun dibuat.
Kompleks makam Astana Anyar dibangun untuk menampung makam-makam yang tadinya
berada di halaman rumah. Astana Anyar juga menampung makam-makam yang
dipindahkan dari GOR Pajajaran maupun UNISBA (Universitas Islam Bandung, pen.)
sebelum keduanya jadi GOR maupun kampus.
Saya tidak tahu bagaimana menuliskannya,
tapi secara lisan kita bisa menyebutnya “kerkof”. “Ker” artinya gereja sedang
“kof” artinya lapangan atau taman. Di Eropa biasanya makam terletak di halaman
belakang gereja. Kota-kota besar pada masa kolonial biasanya punya satu
kompleks kerkof. Daya tarik wisata objek semacam ini dilihat dari bentuk makam,
ornamen, hingga inskripsi.
Konon kerkof di Jalan Pajajaran luar biasa
indahnya. Ketika pemerintah Kota Bandung hendak menjadikannya GOR, sebagian
makam tersebut dipindahkan ke Makam Pandu. Namun ada sebagian yang marmernya
diambili tukang martabak. Kata Bang Ridwan, martabak tahun 80-an menggunakan
marmer—teman baru saya yang rada mirip shaolin menambahkan—untuk meratakan
adonan martabak kayaknya. Kolektor
juga suka mengambili hiasan-hiasan pada makam seperti plakat tertentu,
simbol-simbol yang ditempel pada makam, dan semacamnya.
Kini kompleks Makam Pandu nyaris penuh
dijejali makam dengan arah hadap, bentuk, dan ukuran beragam. Sering kami
menginjak badan makam untuk mencapai satu tempat dari tempat lainnya. Ada yang
merasa kurang nyaman dengan hal ini, tapi ada juga yang dengan enak
meloncat-loncat di atasnya—ah itu anak salah satu peserta. Ada juga makam yang
tertutup tetumbuhan sehingga bisa jadi kami tidak ngeh kalau ada makam di situ.
Tidak sedikit makam yang menyimpan lebih
dari satu jenazah—paling tidak dua. Namun ada juga beberapa lahan kosong yang
memang sudah disiapkan, lengkap dengan nisan pula. Biasanya lahan tersebut
berdampingan dengan makam yang sudah ada sebelumnya dalam satu bangunan,
misalnya milik suami-istri. Tulisan pada nisan tersebut berwarna
merah—sementara yang sudah ‘isi’ dicat kuning—dan tinggal ditambahkan tanggal
meninggal yang bersangkutan saja. Lahan yang sudah disiapkan tersebut diberi
batas berupa pagar atau semacamnya.
Pagar yang disinyalir dipotong rata untuk dijual ke kiloan |
Yang menjamin jenazah agar tetap pada
makamnya adalah pajak. Setiap tahun pajak harus diperbarui pada Dinas Pemakaman
dan Pertamanan. Kalau tidak, makam tersebut terancam dibongkar untuk diisi oleh
pihak lain yang membutuhkan. Makam yang sudah dibayarkan pajaknya ditandai
dengan plang (dulu) atau stiker (sekarang).
Penanda pajak versi baru |
Jika keluarga orang yang dimakamkan
sudah tidak ingin bayar pajak atau pindah keluar negeri sehingga makam tersebut
tidak ada yang mengurus, makam akan dibongkar. Isinya diambil lalu dibakar di
Nana Rohana atau Bumi Baru. Makam tersebut lalu dikosongkan dan ditutup untuk
diisi yang baru.
Vandalisme makam |
Kalau ada makam baru sudah dibongkar,
itu berarti penjarahan. Bisa terjadi, sekarang dimakamkan malamnya dijarah.
Perubahan letak batu atau tanaman mengindikasikan itu. Kata Bang Ridwan,
orang-orang sini tahu bahwa harga peti bisa mencapai 10 – 30 juta rupiah. Toko
mau menerimanya seharga 5 jutaan—lebih murah daripada produksi sendiri—lalu
menjualnya lagi seharga 15 jutaan. “Makanya sekarang enggak musim lagi
memakamkan dengan perlengkapan yang mewah. Ada gantinya buatan yang murah. Mereka
bukan takut dicuri tapi membayangkan anggota keluarganya bakal diobrak-abrik.”
Siapa saja boleh melintas |
Pemakaman ini terbuka untuk umum tidak hanya
berarti siapapun boleh dimakamkan di situ. Ada ruas-ruas jalan selebar kurang
lebih satu sampai satu setengah meter untuk jalan umum. Warga bisa melintasinya
dengan motor atau sekadar jalan-jalan. Saat sesi sharing, ada yang cerita kalau dulu Makam Pandu adalah tempat
anak-anak bermain bola—bolanya tengkorak manusia.
Mari berbagi di samping tenda nasi kuning dan nasi uduk |
Memang sudah ritual Aleut untuk sharing di akhir perjalanan. Pada sesi
ini, siapapun wajib ngomong! Di sinilah kami merefleksikan pelajaran yang kami
dapat sepanjang perjalanan, juga berbagi informasi yang belum sempat disertakan.
Sebagaimana yang diungkapkan peserta
dari Ambarawa, di tempatnya juga terdapat pemakaman China yang disebut
“ngepong” atau “bong”. Dari sini, pengetahuan melebar pada berbagai sebutan
untuk pemakaman China. Peserta dari Surabaya juga membandingkan Makam Pandu
dengan pemakaman serupa di Surabaya, salah satunya Peneleh. Karena peserta
tersebut juga PNS di Surabaya, pembahasan merembet ke penerapan kebijakan deh.
Selain itu, sempat dibahas juga mengenai
tradisi pemakaman di berbagai tempat. Orang Arab “membuang” mayat di gurun
pasir. Orang Toraja menyimpan jasad sampai mereka punya uang untuk
mengantarkannya ke tebing. Orang Bali meletakkan mayat begitu saja di bawah
pohon. Orang Papua melipat mayat lalu menaruhnya di perbatasan kampung. Makam
di Dieng dan Ciamis berukuran kecil. Membawa orang mati dalam pesawat
membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada membawa orang hidup. Dan
legenda pocong serta kuntilanak tampaknya berasal dari tradisi pemakaman umat
Islam. Keduanya kan berpakaian kafan. Orang yang dimakamkan dengan tradisi lain
kan menggunakan pakaian biasa. Jadi ketika dia bangkit sebagai hantu,
sepertinya agak ribet kalau dia harus mengganti pakaiannya dengan kafan dulu.
Kalau saya sendiri mengaitkan fungsi
pemakaman sebagai ruang terbuka hijau. Sepanjang penjelajahan tadi, saya
menemukan beberapa anakan pohon dengan label berlogo P*rt*min*. Dari sini saya
jadi kepikiran soal makam ramah lingkungan dan makam yang kurang ramah
lingkungan. Apa boleh buat. Lapar lahan tidak hanya menjangkiti masyarakat desa
sekitar hutan tapi juga masyarakat perkotaan. Kondisi Makam Pandu yang relatif
gersang kala perjalanan bikin kami mengerahkan berbagai cara supaya tak
tersengat sinar mentari. Konon kondisi pemakaman di Cikadut lebih gersang dari
ini. Tapi jika saja makam dirindangi pepohonan besar, suasananya mungkin bakal
bikin kami lebih segan untuk berloncatan ke sana ke mari.
Salah satu bibit penghijauan |
Namun sebagaimana yang sudah saya uraikan
hingga sepanjang ini, fungsi pemakaman ternyata bukan sekadar ruang terbuka
hijau. Pemakaman juga museum budaya dan sejarah hingga refleksi atas kondisi
sosial masyarakat serta kepedulian pemerintah.
Masih banyak cerita menarik lainnya yang
beredar di forum pada siang selepas zuhur itu, yang dinikmati sambil menyeruput
cingcau dan bagi-bagi makanan, dan janganlah menuntut saya untuk membeberkan
semua. Gabung saja sama ngaleut berikutnya.
Sebagaimana kata sang koordinator, “Ketika
kita mengapresiasi suatu tempat untuk menghargai bersama-sama, terus sharing
bersama, itu sangat menyenangkan...” Setuju?
Tulisan ini disusun hanya berdasarkan
ingatan, foto-foto, dan rekaman
sepanjang 2 jam 35 menit 1 detik yang diambil secara terpotong-potong selama
perjalanan dilakukan. Validitas informasi tidak dijamin. Kesalahan ejaan mohon
dimaklumi. Pis ah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar