Senin, 06 Februari 2012

Ramalan Jayabaya yang Hilang

Tidak puas dengan buku pelajaran Sejarah yang ada, Zahra minta dibelikan buku dari pengarang dan penerbit lain pada Mama. Ia mendapat perasaan bahwa Bu Tyo akan meng­am­bil bahan ulangan tidak hanya dari buku pegangan yang satu itu saja. Zahra tidak berharap Mama akan memberikan uang pada Imin lalu meminta putra su­lung­nya itu yang mengantar Zahra, tapi itulah yang Mama lakukan.

Urusan mereka di sentra penjualan buku diskon ini sudah selesai. Yang dicari sudah di tangan. Zahra ingin cepat sampai rumah lagi untuk mempelajarinya. Namun sang abang tersangkut seseorang yang dikenalinya di salah satu kios.

“Zahra, ini Ali. Kenal enggak?” Tentu saja kenal. Mereka semua satu sekolah. Zahra kelas X-7, sedang Imin kelas XII IPA 9. Dan Ali rupanya bukan sekadar murid kelas XI IPS 1 melainkan keponakan dari pemilik kios yang sedang ditungguinya.

Zahra tidak tahu harus apa sementara Imin ingin bercengkerama dulu, selain mendengarkan Ali bercerita mengenai keisengannya menerjemahkan sebuah naskah berbahasa Jawa kuno. Paman Ali baru menambah koleksi buku antiknya. Salah satunya berupa salinan naskah yang diduga merupakan ramalan Jayabaya yang hilang. Ali sempat memfotokopi naskah tersebut sebelum melaporkannya pada pihak yang berwenang.

“Wow. Jayabaya yang Raja Majapahit itu bukan?”

“Wah, jauh Kang… Raja Jayabaya itu dari Kerajaan Kediri. Habis itu muncul Kerajaan Singasari dulu, baru Kerajaan Majapahit…”

“Oh… Tuh Zah, ini Kang Ali pinter Sejarah. Belajar aja sama dia. Mau ulangan kan?”

Zahra mengalihkan pandang. Ia malu sama abangnya. Lagipula materi pelajaran Sejarahnya baru sampai pada kehidupan awal masyarakat di Indonesia.

“Jayabaya itu raja yang suka ngeramal itu ya? Yang tentang ratu adil-ratu adil itu?”

“Nah… Itu bener Kang.” Lebih lanjut Ali menjelaskan bahwa Jayabaya merupakan raja yang sangat memerhatikan kesusastraan. Beberapa karya yang dihasilkan pada masa pemerintahannya antara lain Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, dan Hariwangsa. Kumpulan ramalan Jayabaya sendiri dikenal sebagai Jangka Jayabaya yang merupakan hasil gubahan Pangeran Wijil I dari Keraton Surakarta pada tahun 1749. Gubahan tersebut sebetulnya bersumber dari Kitab Asrar yang dikarang oleh Sunan Giri ke-3 pada tahun 1618 dengan mengambil pokok cerita tentang Jayabaya yang diketahui dari Bharatayudha—kitab karangan Mpu Sedah pada tahun 1157. Mpu Sedah menulis kitab tersebut atas titah Jayabaya.

Isi ramalan Jayabaya antara lain menggambarkan masa depan Indonesia dalam keadaan yang serba jungkir balik. “Yang kalau dipikir-pikir, kayaknya emang pas banget sama keadaan sekarang. Manungsa padha seneng nyalah. Orang-orang saling lempar kesalahan. Ora ngendahake hukum Allah. Tak peduli hukum Allah. Barang jahat diangkat-angkat. Yang jahat dijunjung. Barang suci dibenci. Yang suci dibenci.” Ali terus mengeja bahasa Jawa tanpa medhok sama sekali dari sebuah buku kekuningan. “Makanya banyak yang yakin kalau ramalan Jayabaya ini beneran, meski ada juga yang enggak percaya.”

Lanjutnya, “Kata orang musem sih,” sambil menunjuk hasil salinannya, “ini ramalan Jayabaya yang enggak masuk ke kitab-kitab manapun yang dikenal sekarang …” Sejenak ekspresi Ali menyiratkan kekaguman luar biasa. “Penemuan baru dalam sejarah nusantara...”

“Isinya kayak gimana, Li? Katanya lagi nerjemahin nih…” Telunjuk Imin menyeret kertas tersebut lalu menyodorkannya pada Zahra. Ali bilang kalau yang Zahra pegang itu baru satu dari lebih banyak lembar lain yang Ali tinggal di rumah.

“Kalau menurut interpretasi saya, Kang, Jayabaya ngeramalin keturunannya bakal ada yang tinggal di bekas Kerajaan Pajajaran pada zaman kalabendu—zaman kita sekarang ini. Keturunannya itu tiga dari empat, perempuan, mandasarana—artinya kekurangan kekuatan, tak berdaya. Dia bakal menghadapi masa sulit. Para cendekiawan miskin harta karena kerbau yang naik tahta dengan sinar di kupingnya. Mereka menurunkan pengetahuan di bawah kepala, tapi nurani mereka lebih bawah lagi tempatnya. Delapan tujuh adalah angka kebanggaan dalam pembelajaran masa yang telah lampau. Yang besar jadi susut, yang susut jadi mengembang. Setelah datangnya kehancuran, pahabet, artinya tenangkanlah hatimu!”

Baik Ali dan Imin sama-sama mengerutkan kening. Mata mereka menekuri coret-coretan Ali. Zahra mendesah. Pipinya menggembung karena pikiran bahwa Imin akan bertahan sampai misteri ramalan tersebut terpecahkan. Jadi ia mulai menarik-narik kaos Imin.

“Entah kenapa saya jadi kepikiran sama si Zahra, Li.” Dua cowok berkacamata itu sama-sama memandangi Zahra. “Zahra itu satu-satunya anak perempuan di rumah. Anak ketiga dari empat bersaudara. Nih cocok kan sama… tiga dari empat, perempuan, Kerajaan Pajajaran… Kota kita dulunya termasuk Kerajaan Pajajaran kan, Li?”

“Oh…” Ali terkesima. Zahra semakin keras menarik kaos Imin. Selanjutnya, Ali jadi salah tingkah menyaksikan adu mulut di antara kakak beradik tersebut. Imin pun pamit pada Ali. Zahra terlalu malu untuk menoleh pada kakak kelasnya itu lagi, namun ia lega karena akhirnya mereka beranjak juga dari situ.

Namun itu tidak serta merta menjadikan pikirannya tenang begitu ia sudah duduk di kamarnya lagi. Diam-diam sesuatu telah merembes ke sana. Pasti gara-gara Imin mengkait-kaitkan ramalan tidak jelas itu dengan dirinya, Zahra menggerutu dalam hati. Jayabaya dari Kerajaan Kediri. Begitu ingat kalau moyang papanya berasal dari Jawa Timur, Zahra memikirkan kemungkinan bahwa ia keturunan Jayabaya yang dimaksud. Interpretasi Ali bahwa ia akan mengalami masa sulit membikinnya cemas. Pembelajaran masa yang telah lampau, apakah itu ada hubungannya dengan ulangan Sejarah besok? Delapan tujuh, apakah itu nilai yang akan didapatnya dari ulangan tersebut?

Dalam otak Zahra, berbagai pertanyaan dan perkiraan mengenai arti ramalan tersebut beradu dengan hapalan Sejarah semalaman itu. Ia berusaha menyingkirkan kemungkinan bahwa ramalan itu memiliki keterkaitan dengan dirinya. Ia harus konsentrasi. Ia tidak ingin mendapat nilai jelek dalam ulangan, apalagi Sejarah, yang kerap jadi momok bagi anak-anak yang justru jago dalam Matematika, Fisika, dan Kimia. Sejak ulangan Sejarah yang pertama, anak-anak itu jarang mendapat nilai lebih dari 70. Selain karena soal Bu Tyo memang tidak mudah dipecahkan, seakan sudah jadi kesepakatan bersama bahwa Sejarah bukan materi yang menarik untuk dihapalkan. Zahra tidak mau menjadi bagian dari mereka. Nilainya harus lebih dari itu, kalau bisa malah lebih dari 87!

Zahra menghirup aroma buku pelajaran Sejarah yang dibelinya tadi. Ada beberapa hal yang tidak termuat dalam buku pegangan yang biasa. Ia yakin ia bakal lebih menguasai materi dibandingkan anak-anak yang lain. Semangatnya terpacu lagi meski ia tidak bisa benar-benar melupakan masa sulit, delapan tujuh, angka kebanggaan, dan kerbau.

Mungkin yang dimaksud dengan masa sulit adalah semalaman ini di mana ia berusaha keras menghapal sebanyak-banyaknya materi. Ia mungkin akan mendapat nilai 87 besok dan itu merupakan nilai tertinggi di kelas—prestasi yang patut dibanggakan! Lalu apa artinya kerbau? Dan kehancuran?Zahra baru ingat kalau tadi kata itu disebut juga.

Begitu terlelap, Zahra memimpikan seekor kerbau dengan nyala bohlam menancap di kedua lubang kupingnya. Lalu Imin datang untuk memporak-porandakan kamar Zahra.

***

Hari kemudian, ulangan Sejarah dimulai setelah jam istirahat. Zahra tidak ke mana-mana selama itu. Selain karena ia tidak punya teman yang cukup dekat untuk mengajaknya ke kantin bareng, ia memang lebih suka untuk mempersiapkan ulangan—meski ia sudah hapal di luar kepala apa itu Pithecanthropus erectus, siapa yang menemukan kapak perimbas di daerah Punung, cara manusia bercocok tanam mula-mula, dan lain-lain.

Memangnya ia Dean, yang sedari jam pertama kelihatan mengantuk melulu? Kepala bocah itu menelungkup di atas meja dengan earphone menancap di kuping. Duduknya selalu di belakang. Dean tidak pernah dapat nilai bagus waktu ulangan. Kalaupun nilainya mendingan, itu karena ia menyontek atau kerja sama dengan anak-anak di dekatnya. Hampir di setiap pagi dan di setiap jam istirahat, Dean mendekati Zahra untuk menyalin PR. Sering Zahra tidak bisa menolak karena pendukung Dean banyak. Namun selama nilai-nilai Dean tidak pernah melebihi nilai-nilainya, Zahra masih bisa merasa terhibur. Kalau sampai nilai Dean lebih besar dari nilainya, Zahra akan merasa amat hancur.

Menjelang berakhirnya jam istirahat, gerombolan kawan Dean yang telah kembali ke kelas membangunkan Dean dari tidur. “Dean, kebo ih! Tidur melulu dari pagi!”

Dean mengangkat kepala lalu menguap lebar-lebar. Kawan-kawannya tambah ramai mengatai ia “kebo”. Zahra jadi terusik. Buyar perhatiannya pada buku pelajaran. Mungkin ia memang harus istirahat sejenak. Namun bel tanda jam istirahat usai mengumandangkan lagu wajib nasional dan mendatangkan Bu Tyo tidak lama kemudian.

Guru Sejarah tersebut mengacak tempat duduk murid. Zahra mendapat tempat duduk paling belakang. Bangku di depannya tepat diisi Dean. Soal ulangan yang diberikan Bu Tyo berupa 30 nomor pilihan ganda. Waktu yang disediakan untuk mengerjakan hanya 30 menit. Zahra memindai lembaran soalnya dan mendapati bahwa soal kali ini lagi-lagi menuntut hapalan tingkat tinggi. Entah mengapa ia merasa agak gugup.

Baru mengerjakan beberapa soal, Zahra mendapati bahwa gerak-gerik Dean begitu tenang. Biasanya bocah itu tengok kanan-kiri saat ulangan, atau sesekali minta isyarat jawaban dari kawan di sebelahnya. Mata Zahra menyorot kolong bangku Dean, barangkali ada sesuatu di sana. Ada sebuah LKS milik penghuni asli bangku tersebut, namun tertutup.

Yang makin bikin Zahra tertegun adalah ketika ia mendapati Sari dan Eka berusaha untuk bertukar jawaban. Mereka duduk bersebelahan. Sungguh Zahra tidak menduga karena keduanya super dan percaya diri dalam setiap ulangan ilmu-ilmu eksakta. Di sisi kelas yang lain, Hadyan membuka secarik kertas kecil setelah Bu Tyo melintas ke depan. Hadyan juga setipe dengan Sari dan Eka. Beberapa anak lain juga melakukan hal semacam, namun mereka sih biasa dapat nilai rata-rata, bahkan rendah. Yang tambah bikin Zahra terperangah, Dipta—cowok yang duduk di sampingnya—berusaha mengintip jawaban miliknya. Nilai Kimia cowok itu selalu melebihi nilai Kimia Zahra padahal. Tidak berhasil, Dipta beralih pada Sumeru yang berhasil menyelundupkan buku pelajaran di kolong bangku. Mereka menurunkan pengetahuan di bawah kepala, tapi nurani mereka lebih bawah lagi tempatnya.

Sadarlah Zahra. Tampaknya hampir seluruh anak di kelas ini telah berkonspirasi. Hanya ia dan anak-anak tertentu saja yang sok konsentrasi dengan pekerjaan sendiri hingga tidak ngeh akan isyarat berbagi jawaban. Dan Zahra mendapati kalau Dean juga begitu. Tepat seperti yang Ali katakan kemarin, yang digambarkan oleh ramalan Jayabaya akan masa depan Indonesia, keadaan jadi jungkir balik.

“Waktunya sepuluh menit lagi ya!” 

Zahra baru mengerjakan lima soal. Zahra menjerit dalam hati. Hapalannya amburadul. Peringatan Bu Tyo pada mereka yang ketahuan berbuat curang kian mengacaukan daya ingat.

Zahra menyilang empat soal sisa dengan asal-asalan. Kepanikan membuatnya sukar menggali hapalan. Ramalan itu akan terwujud. Masa sulit, kehancuran… kalutlah Zahra… karena itu akan menimpanya sehabis ini. Kemampuan otaknya sudah tidak bisa dipercayai. Delapan tujuh itu bukan miliknya…

Ia pasrah dan lemas ketika Bu Tyo meminta setiap anak mengoreksi pekerjaan temannya. Ia mengoper kertas jawabannya ke samping sedang ia sendiri mendapat kertas jawaban dari depan, milik Dean. “Kamu sakit Zahra?” Setelah menoleh sekilas saat mengoper kertasnya, Dean berbalik lagi. Zahra menggeleng cepat. “Kelihatannya kayak yang pucat.” Karena Zahra tidak merespons, cowok ramping itu kembali menghadap ke depan.

Sambil mengoreksi, Bu Tyo membahas jawaban dari masing-masing soal. Sesekali Zahra menengok pada kertas jawabannya yang sedang diamati anak di sampingnya. Sebagian dari apa yang Bu Tyo terangkan bisa ia dapatkan dari buku pelajaran, namun saat mengerjakannya tadi begitu kabur pikiran Zahra untuk mengingatnya. Hatinya serasa ikut ditoreh saat jawabannya ditoreh pulpen karena tidak tepat. Dan ia seakan tidak percaya saat melewatkan setiap jawaban Dean tanpa menandai apapun. Jumlah tanda silang yang ia bubuhkan di sana bisa dihitung dengan satu tangan. Jumlah jawaban betul dibagi total soal lalu dikali 100 menghasilkan angka… 83.

“Ada yang nilanya di atas 90? Enggak ada? 80?”

Pelan-pelan Zahra mengacungkan tangan. Hanya ia yang melakukannya.

***

Usai jam pelajaran Sejarah, Dean dikeroyok kawan-kawannya. “Kok tumben sih lo ta­di enggak nyari-nyari jawaban, Yan?”, “Ah, curang, sok anteng tadi pas ngerjain padahal mah…”, “Dean, traktir pokoknya habis ini! Kapan lagi kamu dapet nilai paling gede di ke­las?”, “Otak lo lagi korslet yah, Yan?”, “Lo bertapa di mana semalem, Yan, biar dapet wang­sit?”, “Jangan-jangan kamu punya mesin waktu ya Yan?”, “Emang bocoran soal tadi udah a­da gitu, Yan, enggak bagi-bagi ih!”, dan lain sebagainya yang hanya bisa Zahra lontarkan da­lam hati dengan bahasa yang berbeda. Ini adalah fenomena bagi seluruh anak di kelas, bah­kan bagi anak-anak di kelas lain yang mengenal Dean, karena reputasi Dean sebagai murid berprestasi jongkok selama ini. Zahra sendiri belum bisa merelakan kehancurannya selama penjelasan atas fenomena ini belum terjawab. Ini sungguh sulit untuk diterima.

 “Aduh… Mau nerusin tidur nih…” keluh Dean karena kawan-kawannya mendesak. “Semalem tuh gue sampai malem banget nyari orang yang mau bacain materi ulangan buat gue…” Karena tanda-tanda ketidakmengertian dari kawan-kawan yang menyimaknya, Dean melanjutkan, “Selama ini emang gue rada sulit kalau harus ngapalin sambil baca. Terus ada yang bilang, kamu tipe belajarnya audio kali. Emang sih gue kayaknya lebih cepet nangkep gitu kalau sambil ngedengerin ketimbang harus baca sendiri. Ya udah gue coba aja minta dibacain, barangkali berhasil. Sekalian aja gue rekam biar bisa didengerin lagi… Eh ternyata gue beneran masih inget loh pas ulangan tadi, makanya gue bisa konsen banget gitu.”

“Niat banget sih lo, Yan…”

“Ya iyalah… Kasian emak gue ngomel melulu gara-gara nilai jelek gue seakan tiada akhirnya… Penasaran juga gue gimana rasanya jadi teladan he he…”

Anak-anak lantas menyalami Dean, bahkan ada yang mengacak-acak rambutnya.

…naik tahta dengan sinar di kupingnya…     

***

Bertemu Imin di rumah pada sore harinya, Zahra tidak tahan untuk melaporkan kegulanaan yang lantas bikin Imin bengong. “Eh padahal si Ali itu ngartiinnya ngaco loh.” Zahra tidak mengerti. “Iya, tadi kan Imin ketemu sama Ali. Jadi habis kita ketemu dia kemarin, dia ngorek-ngorek naskah itu lagi sama bapaknya temen ibunya yang emang ngerti sastra kuno. Jadi keturunan yang dimaksud di naskah itu bukan keturunannya Jayabaya, tapi keturunan dari kerbau yang mau dikorbanin buat upacara. Masa sulit itu maksudnya paceklik. Panen yang biasanya melimpah jadi nyusut, hama yang biasanya sedikit jadi banyak. Sebelum panen hancur gara-gara itu, ada delapan puluh tujuh kerbau dari Kerajaan Pajajaran yang harus disiapin. Nah, tiga per empat dari keturunan kerbau-kerbau itu…”

Zahra bungkam. 

“Jadi tadi dapet nilai berapa?” tanya Imin setelah mengakhiri babadnya. Zahra mengangkat kedua tangannya di depan muka dengan beberapa jari terlipat. Kenyataan bahwa Dean bisa mengunggulinya masih terasa menyesakkan. Ia menyadari bahwa selama ulangan tadi kekalutannya bertambah-tambah begitu mengingat kemungkinan terwujudnya ramalan tersebut. Penjelasan logis di balik itu membuatnya kian menyesal. Lain kali ia tidak akan biarkan ramalan mencemaskannya. [DSA]

060212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain