Tidak puas dengan buku
pelajaran Sejarah yang ada, Zahra minta dibelikan buku dari pengarang dan
penerbit lain pada Mama. Ia mendapat perasaan bahwa Bu Tyo akan mengambil
bahan ulangan tidak hanya dari buku pegangan yang satu itu saja. Zahra tidak
berharap Mama akan memberikan uang pada Imin lalu meminta putra sulungnya itu
yang mengantar Zahra, tapi itulah yang Mama lakukan.
Urusan mereka di sentra
penjualan buku diskon ini sudah selesai. Yang dicari sudah di tangan. Zahra
ingin cepat sampai rumah lagi untuk mempelajarinya. Namun sang abang tersangkut
seseorang yang dikenalinya di salah satu kios.
“Zahra, ini Ali. Kenal
enggak?” Tentu saja kenal. Mereka semua satu sekolah. Zahra kelas X-7, sedang
Imin kelas XII IPA 9. Dan Ali rupanya bukan sekadar murid kelas XI IPS 1
melainkan keponakan dari pemilik kios yang sedang ditungguinya.
Zahra tidak tahu harus
apa sementara Imin ingin bercengkerama dulu, selain mendengarkan Ali bercerita
mengenai keisengannya menerjemahkan sebuah naskah berbahasa Jawa kuno. Paman
Ali baru menambah koleksi buku antiknya. Salah satunya berupa salinan naskah
yang diduga merupakan ramalan Jayabaya yang hilang. Ali sempat memfotokopi
naskah tersebut sebelum melaporkannya pada pihak yang berwenang.
“Wow. Jayabaya yang
Raja Majapahit itu bukan?”
“Wah, jauh Kang… Raja
Jayabaya itu dari Kerajaan Kediri. Habis itu muncul Kerajaan Singasari dulu,
baru Kerajaan Majapahit…”
“Oh… Tuh Zah, ini Kang
Ali pinter Sejarah. Belajar aja sama dia. Mau ulangan kan?”
Zahra mengalihkan
pandang. Ia malu sama abangnya. Lagipula materi pelajaran Sejarahnya baru
sampai pada kehidupan awal masyarakat di Indonesia.
“Jayabaya itu raja yang
suka ngeramal itu ya? Yang tentang ratu adil-ratu adil itu?”
“Nah… Itu bener Kang.”
Lebih lanjut Ali menjelaskan bahwa Jayabaya merupakan raja yang sangat
memerhatikan kesusastraan. Beberapa karya yang dihasilkan pada masa
pemerintahannya antara lain Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, dan Hariwangsa.
Kumpulan ramalan Jayabaya sendiri dikenal sebagai Jangka Jayabaya yang
merupakan hasil gubahan Pangeran Wijil I dari Keraton Surakarta pada tahun
1749. Gubahan tersebut sebetulnya bersumber dari Kitab Asrar yang dikarang oleh
Sunan Giri ke-3 pada tahun 1618 dengan mengambil pokok cerita tentang Jayabaya yang
diketahui dari Bharatayudha—kitab karangan Mpu Sedah pada tahun 1157. Mpu Sedah
menulis kitab tersebut atas titah Jayabaya.
Isi ramalan Jayabaya
antara lain menggambarkan masa depan Indonesia dalam keadaan yang serba jungkir
balik. “Yang kalau dipikir-pikir, kayaknya emang pas banget sama keadaan
sekarang. Manungsa padha seneng nyalah.
Orang-orang saling lempar kesalahan. Ora
ngendahake hukum Allah. Tak peduli hukum Allah. Barang jahat diangkat-angkat. Yang jahat dijunjung. Barang suci dibenci. Yang suci dibenci.”
Ali terus mengeja bahasa Jawa tanpa medhok
sama sekali dari sebuah buku kekuningan. “Makanya banyak yang yakin kalau
ramalan Jayabaya ini beneran, meski ada juga yang enggak percaya.”
Lanjutnya, “Kata orang
musem sih,” sambil menunjuk hasil salinannya, “ini ramalan Jayabaya yang enggak
masuk ke kitab-kitab manapun yang dikenal sekarang …” Sejenak ekspresi Ali
menyiratkan kekaguman luar biasa. “Penemuan baru dalam sejarah nusantara...”
“Isinya kayak gimana,
Li? Katanya lagi nerjemahin nih…” Telunjuk Imin menyeret kertas tersebut lalu
menyodorkannya pada Zahra. Ali bilang kalau yang Zahra pegang itu baru satu
dari lebih banyak lembar lain yang Ali tinggal di rumah.
“Kalau menurut
interpretasi saya, Kang, Jayabaya ngeramalin keturunannya bakal ada yang
tinggal di bekas Kerajaan Pajajaran pada zaman kalabendu—zaman kita sekarang ini. Keturunannya itu tiga dari
empat, perempuan, mandasarana—artinya
kekurangan kekuatan, tak berdaya. Dia bakal menghadapi masa sulit. Para
cendekiawan miskin harta karena kerbau yang naik tahta dengan sinar di
kupingnya. Mereka menurunkan pengetahuan di bawah kepala, tapi nurani mereka
lebih bawah lagi tempatnya. Delapan tujuh adalah angka kebanggaan dalam
pembelajaran masa yang telah lampau. Yang besar jadi susut, yang susut jadi
mengembang. Setelah datangnya kehancuran, pahabet,
artinya tenangkanlah hatimu!”
Baik Ali dan Imin
sama-sama mengerutkan kening. Mata mereka menekuri coret-coretan Ali. Zahra
mendesah. Pipinya menggembung karena pikiran bahwa Imin akan bertahan sampai
misteri ramalan tersebut terpecahkan. Jadi ia mulai menarik-narik kaos Imin.
“Entah kenapa saya jadi
kepikiran sama si Zahra, Li.” Dua cowok berkacamata itu sama-sama memandangi
Zahra. “Zahra itu satu-satunya anak perempuan di rumah. Anak ketiga dari empat
bersaudara. Nih cocok kan sama… tiga dari empat, perempuan, Kerajaan Pajajaran…
Kota kita dulunya termasuk Kerajaan Pajajaran kan, Li?”
“Oh…” Ali terkesima.
Zahra semakin keras menarik kaos Imin. Selanjutnya, Ali jadi salah tingkah
menyaksikan adu mulut di antara kakak beradik tersebut. Imin pun pamit pada
Ali. Zahra terlalu malu untuk menoleh pada kakak kelasnya itu lagi, namun ia
lega karena akhirnya mereka beranjak juga dari situ.
Namun itu tidak serta
merta menjadikan pikirannya tenang begitu ia sudah duduk di kamarnya lagi.
Diam-diam sesuatu telah merembes ke sana. Pasti gara-gara Imin mengkait-kaitkan
ramalan tidak jelas itu dengan dirinya, Zahra menggerutu dalam hati. Jayabaya dari Kerajaan Kediri. Begitu
ingat kalau moyang papanya berasal dari Jawa Timur, Zahra memikirkan
kemungkinan bahwa ia keturunan Jayabaya yang dimaksud. Interpretasi Ali bahwa ia akan mengalami masa sulit membikinnya
cemas. Pembelajaran masa yang telah
lampau, apakah itu ada hubungannya dengan ulangan Sejarah besok? Delapan tujuh, apakah itu nilai yang
akan didapatnya dari ulangan tersebut?
Dalam otak Zahra,
berbagai pertanyaan dan perkiraan mengenai arti ramalan tersebut beradu dengan
hapalan Sejarah semalaman itu. Ia berusaha menyingkirkan kemungkinan bahwa
ramalan itu memiliki keterkaitan dengan dirinya. Ia harus konsentrasi. Ia tidak
ingin mendapat nilai jelek dalam ulangan, apalagi Sejarah, yang kerap jadi
momok bagi anak-anak yang justru jago dalam Matematika, Fisika, dan Kimia.
Sejak ulangan Sejarah yang pertama, anak-anak itu jarang mendapat nilai lebih
dari 70. Selain karena soal Bu Tyo memang tidak mudah dipecahkan, seakan sudah
jadi kesepakatan bersama bahwa Sejarah bukan materi yang menarik untuk
dihapalkan. Zahra tidak mau menjadi bagian dari mereka. Nilainya harus lebih
dari itu, kalau bisa malah lebih dari 87!
Zahra menghirup aroma
buku pelajaran Sejarah yang dibelinya tadi. Ada beberapa hal yang tidak termuat
dalam buku pegangan yang biasa. Ia yakin ia bakal lebih menguasai materi
dibandingkan anak-anak yang lain. Semangatnya terpacu lagi meski ia tidak bisa
benar-benar melupakan masa sulit, delapan tujuh, angka kebanggaan, dan kerbau.
Mungkin yang dimaksud dengan
masa sulit adalah semalaman ini di mana ia berusaha keras menghapal
sebanyak-banyaknya materi. Ia mungkin akan mendapat nilai 87 besok dan itu
merupakan nilai tertinggi di kelas—prestasi yang patut dibanggakan! Lalu apa
artinya kerbau? Dan kehancuran?Zahra
baru ingat kalau tadi kata itu disebut juga.
Begitu terlelap, Zahra
memimpikan seekor kerbau dengan nyala bohlam menancap di kedua lubang
kupingnya. Lalu Imin datang untuk memporak-porandakan kamar Zahra.
***
Hari kemudian, ulangan
Sejarah dimulai setelah jam istirahat. Zahra tidak ke mana-mana selama itu.
Selain karena ia tidak punya teman yang cukup dekat untuk mengajaknya ke kantin
bareng, ia memang lebih suka untuk mempersiapkan ulangan—meski ia sudah hapal
di luar kepala apa itu Pithecanthropus
erectus, siapa yang menemukan kapak perimbas di daerah Punung, cara manusia
bercocok tanam mula-mula, dan lain-lain.
Memangnya ia Dean, yang
sedari jam pertama kelihatan mengantuk melulu? Kepala bocah itu menelungkup di
atas meja dengan earphone menancap di
kuping. Duduknya selalu di belakang. Dean tidak pernah dapat nilai bagus waktu
ulangan. Kalaupun nilainya mendingan, itu karena ia menyontek atau kerja sama
dengan anak-anak di dekatnya. Hampir di setiap pagi dan di setiap jam
istirahat, Dean mendekati Zahra untuk menyalin PR. Sering Zahra tidak bisa
menolak karena pendukung Dean banyak. Namun selama nilai-nilai Dean tidak
pernah melebihi nilai-nilainya, Zahra masih bisa merasa terhibur. Kalau sampai
nilai Dean lebih besar dari nilainya, Zahra akan merasa amat hancur.
Menjelang berakhirnya
jam istirahat, gerombolan kawan Dean yang telah kembali ke kelas membangunkan
Dean dari tidur. “Dean, kebo ih! Tidur melulu dari pagi!”
Dean mengangkat kepala
lalu menguap lebar-lebar. Kawan-kawannya tambah ramai mengatai ia “kebo”. Zahra
jadi terusik. Buyar perhatiannya pada buku pelajaran. Mungkin ia memang harus
istirahat sejenak. Namun bel tanda jam istirahat usai mengumandangkan lagu
wajib nasional dan mendatangkan Bu Tyo tidak lama kemudian.
Guru Sejarah tersebut mengacak
tempat duduk murid. Zahra mendapat tempat duduk paling belakang. Bangku di
depannya tepat diisi Dean. Soal ulangan yang diberikan Bu Tyo berupa 30 nomor
pilihan ganda. Waktu yang disediakan untuk mengerjakan hanya 30 menit. Zahra
memindai lembaran soalnya dan mendapati bahwa soal kali ini lagi-lagi menuntut
hapalan tingkat tinggi. Entah mengapa ia merasa agak gugup.
Baru mengerjakan
beberapa soal, Zahra mendapati bahwa gerak-gerik Dean begitu tenang. Biasanya
bocah itu tengok kanan-kiri saat ulangan, atau sesekali minta isyarat jawaban
dari kawan di sebelahnya. Mata Zahra menyorot kolong bangku Dean, barangkali
ada sesuatu di sana. Ada sebuah LKS milik penghuni asli bangku tersebut, namun
tertutup.
Yang makin bikin Zahra
tertegun adalah ketika ia mendapati Sari dan Eka berusaha untuk bertukar
jawaban. Mereka duduk bersebelahan. Sungguh Zahra tidak menduga karena keduanya
super dan percaya diri dalam setiap ulangan ilmu-ilmu eksakta. Di sisi kelas
yang lain, Hadyan membuka secarik kertas kecil setelah Bu Tyo melintas ke
depan. Hadyan juga setipe dengan Sari dan Eka. Beberapa anak lain juga
melakukan hal semacam, namun mereka sih biasa dapat nilai rata-rata, bahkan
rendah. Yang tambah bikin Zahra terperangah, Dipta—cowok yang duduk di
sampingnya—berusaha mengintip jawaban miliknya. Nilai Kimia cowok itu selalu
melebihi nilai Kimia Zahra padahal. Tidak berhasil, Dipta beralih pada Sumeru
yang berhasil menyelundupkan buku pelajaran di kolong bangku. Mereka menurunkan pengetahuan di bawah
kepala, tapi nurani mereka lebih bawah lagi tempatnya.
Sadarlah Zahra.
Tampaknya hampir seluruh anak di kelas ini telah berkonspirasi. Hanya ia dan
anak-anak tertentu saja yang sok konsentrasi dengan pekerjaan sendiri hingga
tidak ngeh akan isyarat berbagi jawaban. Dan Zahra mendapati kalau Dean juga
begitu. Tepat seperti yang Ali katakan kemarin, yang digambarkan oleh ramalan
Jayabaya akan masa depan Indonesia, keadaan
jadi jungkir balik.
“Waktunya sepuluh menit
lagi ya!”
Zahra baru mengerjakan
lima soal. Zahra menjerit dalam hati. Hapalannya amburadul. Peringatan Bu Tyo
pada mereka yang ketahuan berbuat curang kian mengacaukan daya ingat.
Zahra menyilang empat
soal sisa dengan asal-asalan. Kepanikan membuatnya sukar menggali hapalan.
Ramalan itu akan terwujud. Masa sulit,
kehancuran… kalutlah Zahra… karena
itu akan menimpanya sehabis ini. Kemampuan otaknya sudah tidak bisa dipercayai.
Delapan tujuh itu bukan miliknya…
Ia pasrah dan lemas
ketika Bu Tyo meminta setiap anak mengoreksi pekerjaan temannya. Ia mengoper
kertas jawabannya ke samping sedang ia sendiri mendapat kertas jawaban dari
depan, milik Dean. “Kamu sakit Zahra?” Setelah menoleh sekilas saat mengoper
kertasnya, Dean berbalik lagi. Zahra menggeleng cepat. “Kelihatannya kayak yang
pucat.” Karena Zahra tidak merespons, cowok ramping itu kembali menghadap ke
depan.
Sambil mengoreksi, Bu
Tyo membahas jawaban dari masing-masing soal. Sesekali Zahra menengok pada
kertas jawabannya yang sedang diamati anak di sampingnya. Sebagian dari apa
yang Bu Tyo terangkan bisa ia dapatkan dari buku pelajaran, namun saat
mengerjakannya tadi begitu kabur pikiran Zahra untuk mengingatnya. Hatinya
serasa ikut ditoreh saat jawabannya ditoreh pulpen karena tidak tepat. Dan ia
seakan tidak percaya saat melewatkan setiap jawaban Dean tanpa menandai apapun.
Jumlah tanda silang yang ia bubuhkan di sana bisa dihitung dengan satu tangan.
Jumlah jawaban betul dibagi total soal lalu dikali 100 menghasilkan angka… 83.
“Ada yang nilanya di
atas 90? Enggak ada? 80?”
Pelan-pelan Zahra
mengacungkan tangan. Hanya ia yang melakukannya.
***
Usai jam pelajaran
Sejarah, Dean dikeroyok kawan-kawannya. “Kok tumben sih lo tadi enggak
nyari-nyari jawaban, Yan?”, “Ah, curang, sok anteng tadi pas ngerjain padahal
mah…”, “Dean, traktir pokoknya habis ini! Kapan lagi kamu dapet nilai paling
gede di kelas?”, “Otak lo lagi korslet yah, Yan?”, “Lo bertapa di mana
semalem, Yan, biar dapet wangsit?”, “Jangan-jangan kamu punya mesin waktu ya
Yan?”, “Emang bocoran soal tadi udah ada gitu, Yan, enggak bagi-bagi ih!”, dan
lain sebagainya yang hanya bisa Zahra lontarkan dalam hati dengan bahasa yang
berbeda. Ini adalah fenomena bagi seluruh anak di kelas, bahkan bagi anak-anak
di kelas lain yang mengenal Dean, karena reputasi Dean sebagai murid berprestasi
jongkok selama ini. Zahra sendiri belum bisa merelakan kehancurannya selama penjelasan atas fenomena ini belum terjawab.
Ini sungguh sulit untuk diterima.
“Aduh… Mau nerusin tidur nih…” keluh Dean
karena kawan-kawannya mendesak. “Semalem tuh gue sampai malem banget nyari
orang yang mau bacain materi ulangan buat gue…” Karena tanda-tanda
ketidakmengertian dari kawan-kawan yang menyimaknya, Dean melanjutkan, “Selama
ini emang gue rada sulit kalau harus ngapalin sambil baca. Terus ada yang
bilang, kamu tipe belajarnya audio kali. Emang sih gue kayaknya lebih cepet
nangkep gitu kalau sambil ngedengerin ketimbang harus baca sendiri. Ya udah gue
coba aja minta dibacain, barangkali berhasil. Sekalian aja gue rekam biar bisa
didengerin lagi… Eh ternyata gue beneran masih inget loh pas ulangan tadi,
makanya gue bisa konsen banget gitu.”
“Niat banget sih lo,
Yan…”
“Ya iyalah… Kasian emak
gue ngomel melulu gara-gara nilai jelek gue seakan tiada akhirnya… Penasaran
juga gue gimana rasanya jadi teladan he he…”
Anak-anak lantas
menyalami Dean, bahkan ada yang mengacak-acak rambutnya.
…naik tahta dengan sinar di kupingnya…
***
Bertemu Imin di rumah
pada sore harinya, Zahra tidak tahan untuk melaporkan kegulanaan yang lantas
bikin Imin bengong. “Eh padahal si Ali itu ngartiinnya ngaco loh.” Zahra tidak
mengerti. “Iya, tadi kan Imin ketemu sama Ali. Jadi habis kita ketemu dia
kemarin, dia ngorek-ngorek naskah itu lagi sama bapaknya temen ibunya yang
emang ngerti sastra kuno. Jadi keturunan yang dimaksud di naskah itu bukan
keturunannya Jayabaya, tapi keturunan dari kerbau yang mau dikorbanin buat
upacara. Masa sulit itu maksudnya paceklik. Panen yang biasanya melimpah jadi
nyusut, hama yang biasanya sedikit jadi banyak. Sebelum panen hancur gara-gara
itu, ada delapan puluh tujuh kerbau dari Kerajaan Pajajaran yang harus
disiapin. Nah, tiga per empat dari keturunan kerbau-kerbau itu…”
Zahra bungkam.
“Jadi tadi dapet nilai
berapa?” tanya Imin setelah mengakhiri babadnya. Zahra mengangkat kedua
tangannya di depan muka dengan beberapa jari terlipat. Kenyataan bahwa Dean
bisa mengunggulinya masih terasa menyesakkan. Ia menyadari bahwa selama ulangan
tadi kekalutannya bertambah-tambah begitu mengingat kemungkinan terwujudnya
ramalan tersebut. Penjelasan logis di balik itu membuatnya kian menyesal. Lain
kali ia tidak akan biarkan ramalan mencemaskannya. [DSA]
060212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar