Sepenggal suasana di Kamisan FLP Bandung, 16/02/12 |
Ada suatu masa di mana saya
mengoleksi fiksi islami terbitan DAR! Mizan. Saat itu, NORI alias Novel Remaja
Islami merupakan lini baru dari penerbit tersebut. Tidak disangka setelahnya
genre fiksi islami akan booming
hingga saya tidak mungkin lagi mengoleksi semua terbitan. Namun sebelum nama Forum Lingkar Pena (FLP) kian besar karenanya,
melalui terbitan-terbitan awal itulah saya mengenal organisasi kepenulisan ini.
Saat itu saya masih SMP. Saya
coba menelusuri kehadiran FLP di jagat maya, namun saya tidak menemukan hasil
yang memuaskan. Setelah itu saya sempat melupakannya sampai kebangkitan kembali
kepenulisan saya pada tahun pertama saya kuliah
di Jogja.
Saat itu FLP wilayah Yogyakarta (selanjutnya FLP Jogja) membuka pendaftaran
tiap satu semester dan saya tidak melewatkan kesempatan ini. Berbekal esai bertema “Kontribusi Saya dan
FLP dalam Dakwah Kepenulisan”, artikel yang pernah dimuat di suplemen belia
Pikiran Rakyat, dan persyaratan administratif lainnya, selanjutnya saya resmi
menjadi anggota FLP Jogja. Yang bikin bocah ini merasa “wah” adalah karena ada
sekian puluh pendaftar lainnya yang tidak lolos. Wah.
Syahdan, FLP pun mengiringi
tahun-tahun perkuliahan saya di Jogja. Di FLP Jogja, saya adalah peserta
berbagai forum dan kegiatan, panitia beragam acara, koordinator forum fiksi,
dan pegiat Klub Rabu. Maka “Aku dan FLP” adalah sebuah kisah biasa mengenai
seorang anak muda yang terlibat dalam suatu organisasi sekaligus komunitas.
Musyawarah nasional (selanjutnya Munas) FLP di Solo pada tahun 2009
mempertemukan saya dengan perwakilan FLP dari berbagai wilayah lain. Sebagai
orang yang lahir dan besar di Bandung dan beberapa bulan sekali pulang ke sana,
saya mencari perwakilan dari FLP Bandung. Saya bermaksud mengikuti forum mereka
saat saya berada di Bandung. Forum FLP kan terbuka bagi umum. Saya sempat
meminta kontak salah satu dari mereka. Namun ketika pada suatu kesempatan saya
mengirim sms padanya untuk menanyakan tentang forum FLP Bandung yang mungkin
saya bisa ikuti, nomor tersebut sudah tidak aktif.
Saya pun mencari lantas bergabung dengan grup FLP Bandung di Facebook. Dari
situ saya bisa mendapatkan informasi mengenai kegiatan FLP Bandung, terutama
forum Kamisannya.
Belakangan ini saya sudah tidak
aktif lagi di FLP Jogja dan lebih banyak berada di Bandung. Kehadiran komunitas
sebagai penyemangat dan pelipur lara kembali saya rindukan, apalagi ketika para
anggota Klub Rabu mulai berterbangan, sehingga menerbitkan keinginan saya untuk
mengikuti kembali forum FLP di Bandung—sekalian studi banding.
FLP Bandung biasa
mengadakan Kamisan di Salman ITB jam 16. Ini adalah waktu yang sama dengan
waktu untuk forum fiksi FLP Jogja yang biasa diadakan di Balairung selatan UGM.
Sekali saya iseng datang ke Salman ITB sekitar jam itu, saya bingung karena di
sana ternyata ada banyak orang mengelompok. Mana di antara kelompok-kelompok
tersebut yang merupakan forum FLP? Maksud saya pun batal. Saya malah menemui
teman-teman lama di ITB.
Semangat saya sempat
surut sampai beberapa hari lalu saya buka lagi halaman grup FLP Bandung.
Kamisan terdekat (16/02/12) bertema “Prosa Sastra Kontemporer” oleh Wildan
Nugraha. Ada teman saya yang suatu ketika pernah memuji tulisan-tulisan Wildan Nugraha. Tidak ingin pengalaman sebelumnya terulang, di bawah kiriman
tersebut saya tanyakan di sebelah mana Salman persisnya FLP Bandung ngariung. Seorang akang dari
perpustakaan Salman membalas komentar saya dengan sangat jelas: di bawah tangga atau kalau masih ragu datang
saja ke perpustakaan Salman terus tanya sama akang yang ada di sana.
Petunjuk itu pun
sungguh saya terapkan setibanya saya di Salman. Kebetulan sekali, di sana saya
bertemu dengan seorang teteh (kalau di Jogja ya “mbak” hehe) dengan pin FLP
Bandung di jilbabnya. Kami pun berbarengan menuju tempat forum akan
dilaksanakan. Saat itu sudah lebih dari jam 16.
Saya rada takjub
mendapati kumpulan tersebut ternyata baru diisi perempuan. Ini hampir tidak
ubahnya forum fiksi FLP Jogja yang biasa saya hadiri. Kendati baru pertama kali
saya bersua mereka, saya sok nimbrung saja.
Setelah beberapa lama
membicarakan apa saja, hadirlah pria-pria. Saya sudah pernah bertemu salah
satunya di Munas. Beliau sudah menikah dan membawa istrinya juga sore itu.
Akang-akang satu lagi pasti Kang Wildan sang pembicara.
Sebetulnya saya sangat
tertarik membandingkan kultur forum antara FLP Bandung dengan FLP Jogja—meski
saya sudah lama tidak menghadiri forum fiksi FLP Jogja. Dari alur kaderisasinya
saja, konon FLP Jogja yang paling ketat. Demikian pun dari komposisi
anggotanya. Ini jadi salah satu perhatian saya saat menjadi panitia-diperbantukan
pada Munas. Setelah lama tidak melihat perempuan berjilbab tapi tidak pakai rok
di lingkungan FLP Jogja, akhirnya saya melihatnya lagi di sini. Bahkan ada pula
peserta perempuan yang tidak berjilbab.
Jarak antara kubu
perempuan dengan kubu laki-laki tidak begitu renggang, mungkin hanya setengah
meter atau kurang. Tapi ini karena ruang yang bisa dimanfaatkan memang terbatas.
Kami bercampur dengan sekian kelompok lain di koridor tepi masjid ini.
Jumlahnya mungkin belasan (atau bahkan puluhan?). Kelompok-kelompok tersebut
umumnya berupa kelompok belajar yang terdiri dari seorang pengajar (sepertinya
mahasiswa ITB juga) dan beberapa murid SMA—bahkan lebih muda. Kelompok-kelompok
belajar ini dilengkapi lembaran papan putih serta meja rendah. Selain itu,
suara yang berasal dari mereka juga cukup ramai. Belum lagi kalau ada
pengumuman tertentu dari speaker
masjid.
Kalau hujan tidak
sedang menyambangi, forum ini mungkin memanfaatkan lahan berumput yang
membentang di samping masjid. Eh tunggu. Di ITB kan sudah terbit peraturan
dilarang menginjak rumput. Mahasiswa ITB yang melanggar bakal diskors 3
sks—entah kalau bukan. Saya tidak tahu
apakah peraturan yang sama berlaku juga untuk rumput di kawasan ini.
Beda dengan keadaan
forum FLP Jogja yang memiliki ruang lebih leluasa di Balairung UGM—meski
sesekali ada orang menembus kumpulan kami sambil bilang “permisi” atau
semacamnya dalam bahasa Jawa. Kalaupun ada orang-orang lainnya berdiam di dekat
kami, mereka tidak lebih riuh dari kami. Umumnya mereka kelompok PKM yang sedang
merumuskan proposal (contoh saja) atau pengguna wi fi yang anteng dengan laptop
masing-masing.
Ada yang unik pula di
forum FLP Bandung. Setelah moderator menyampaikan pembukaan dilengkapi tilawah
dari salah satu peserta laki-laki, salah seorang peserta perempuan yang saya
kenali sebagai Nurul membacakan puisi Lian Kagura tanpa membaca teks sama
sekali. Saya juga tidak begitu mengerti jika ada tradisi lainnya, tapi
maklumlah, ini pertama kali saya mengikuti forum ini dan bukan anggota wilayah
sini pula.
Saya bahkan
memerhatikan apa saja yang tercantum dalam daftar hadir yaitu edisi tanggal,
materi, pemateri, nama, buku yang sudah dibaca, tulisan yang dihasilkan (genre
dan judul), serta nomor HP. Daftar hadirnya dikumpulkan dalam map plastik lo. O
Day, kamu sudah bukan koordinator forum fiksi lagi. Ampun deh.
Mengenai sastra
kontemporer sendiri, sehari sebelum hari itu saya sudah menanyakannya pada Teh
Nanda—alumni Pendidikan Bahasa Indonesia UPI yang juga kakak teman saya. Berhubung
ingatan saya pendek, saya hanya ingat kalau Teh Nanda menyebutkan Putu Wijaya
sebagai contoh tokoh sastra kontemporer. Pada minggu lalu sebetulnya forum ini
sudah membahas tentang sastra kontemporer. Maka pada forum minggu ini, Kang
Wildan menyuguhkan pembahasan tentang “Olenka” dari Budi Darma sebagai contoh
sastra kontemporer. Contoh lainnya adalah buku Seno Gumira Ajidarma berjudul "Insiden, Jazz, dan Parfum.” Baik
dari penjelasan Teh Nanda maupun Kang Wildan yang kurang begitu saya tangkap
itu, saya menyimpulkan bahwa sastra kontemporer adalah sastra yang “beda” dalam
artian pengarangnya menawarkan sesuatu yang baru dari yang biasanya ada. Bentuk
sastra jenis ini bisa jadi absurd, dan menurut saya, bisa pula eksperimental.
Sepertinya saya harus mempelajari ini lebih jauh barangkali ada karya saya yang
tergolong demikian hehe (#yangmanaya?).
Dalam
forum tersebut, ternyata hanya saya yang sudah menamatkan “Olenka” selain Kang
Wildan. Saya bahkan sudah memajang ulasan sederhana tentang novel tersebut dan
buku Budi Darma lainnya di blog. Saya juga sudah membaca “Rafilus” dan beberapa
cerpen Budi Darma yang terserak di berbagai kumpulan.
Kang
Wildan pun menguraikan jalan cerita dalam “Olenka”, hal-hal menarik yang meliputinya,
sekaligus menggali pengalaman saya dengan novel tersebut. Banyak hal unik yang
bisa ditemukan di sana seperti tokoh-tokoh yang bicara dalam dialek Jawa Timur,
pemuatan foto maupun artikel koran yang mendukung latar cerita, kutipan ayat
Quran, maupun esai mengenai proses kreatif yang dialami Budi Darma dalam
penggarapan novel tersebut. Jika bagi Kang Wildan hal ini meruntuhkan imajinasi
yang sudah terbangun dalam kepalanya, bagi saya hal ini justru melengkapi
karya.
Saya justru merasa
lebih lekat dengan esai-esai Budi Darma, baik tentang proses kreatif maupun
pandangannya mengenai kepengarangan, ketimbang fiksi-fiksinya. Atau mungkin
juga karena esainya lebih lugas ketimbang fiksinya sehingga lebih bisa saya
mengerti (:p). Ketika saya membaca esai-esai tersebut, saya merasa diberikan
penjelasan mengenai kepengarangan saya sendiri. Apa yang dijabarkannya pas
dengan apa yang saya alami meski ada juga yang bertentangan. Sebagaimana Budi
Darma, saya merasa tokoh-tokoh saya sangat memengaruhi saya. Mereka bisa begitu
mengganggu ketika sedang menginginkan perhatian saya.
Mentang-mentang sudah
pernah baca “Olenka”, saya ditodong untuk ikut berbagi begitu Kang Wildan
menyudahi materinya. Apalah yang bisa saya tambahi, Kang Wildan menyampaikannya
lebih lengkap ketimbang ulasan saya sendiri mengenai novel tersebut. Setelahnya
yang lain juga mulai menanggapi atau bertanya. Sesi tanya-jawab disusul dengan
sesi pengumuman dan sesi perkenalan akan wajah-wajah baru—termasuk saya. Saya
pun buka kedok.
Dari segi atmosfer, sebetulnya
forum ini relatif sama dengan forum FLP Jogja yang biasa saya hadiri. Penganan
untuk dijual juga sama-sama ada. Sepanjang forum, di tengah kami tersaji
plastik dan wadah berisi roti dan cokelat, bahkan beberapa gelas Frutang
lengkap dengan kardusnya.
Ketika hari mulai
gelap, jumlah orang yang melingkar sudah mencapai 20 jiwa dengan komposisi 7
pria dan 13 wanita—kalau saya tidak salah hitung. Kalau di FLP Jogja forum
biasa disudahi jam 17.30, di FLP Bandung forum diakhiri saat azan maghrib
berkumandang—hal mana bikin saya terkejut karena maghrib di Bandung bisa sampai
jam setengah tujuh petang. Itupun saya tidak bisa memastikan apakah forum sudah
resmi ditutup apa belum karena prosesi doa tutup majelis dan salam belum
diungkit moderator. Sebagian peserta sudah asyik mengobrol satu sama lain,
bahkan ada yang pamit. Kang Wildan pun sempat menanyakan Desi alias Desi Puspitasari a.k.a. Mbak Desi pada saya. Dulu Mbak Desi juga pernah aktif di FLP
Jogja. Ketika saya mengkonfirmasi soal resminya pembubaran forum pada moderator—kebetulan
dia duduk di sebelah saya—ternyata dia lupa. Oke deh.
Menurut moderator yang
mengaku sebagai anggota baru, FLP Bandung akan mengadakan suatu acara pada
April mendatang. Ketika forum sungguhan bubar bersamaan dengan kumandang azan
pada sekitar jam enam seperempat (dalam artian tidak melalui prosesi resmi
melainkan dengan sendirinya), kiranya sebagian peserta sekaligus panitia acara
tersebut berkumpul untuk mengurus persiapan. Saya pun menyalami beberapa
peserta perempuan yang tersisa di sekitar saya. Saya cukup senang. Saya merasa
diterima di sini—o moga-moga sungguh demikian! Boleh ya kalau saya ingin mampir
lagi kapan-kapan… Terima kasih FLP Bandung. :D
Apa yang Kang Wildan
sampaikan di forum kurang lebih sama dengan apa yang ia tuliskan dalam esai sepanjang 10
halaman berjudul “Kebebasan dan Keterbatasan Manusia: obrolan singkat tentang Olenka” yang dibagikan pada peserta saat permulaan Kang Wildan bicara (difotokopinya bolak-balik lo). Melalui esai yang
baru saya baca malamnya ini, saya bisa menangkap maksud Kang Wildan dengan
lebih jelas. Gaya bahasanya yang seakan bercerita membuat esai ini nikmat
dibaca. Seolah Budi Darma melalui Kang Wildan sekali lagi memberitahu saya
mengenai esensi dari suatu karya yang bagi saya amat patut dijadikan pelajaran.
Bukan sekadar “memanusiakan” tokoh, melainkan pemikiran apa yang melandasi
tokoh tersebut dalam berbuat. Apa yang dialami para tokoh dalam “Olenka”
merupakan manifestasi filsafat eksistensialisme ala Sartre. Dan ini bikin saya
tersentil secara pribadi.
Sekadar intermeso, saya
mencari suatu novel di Palasari dulu sebelum lanjut ke Salman ITB. Alih-alih
novel tersebut ketemu, saya malah menjumpai “Manifesto Khalifatullah”-nya
Achdiat K. Mihardja. Setelah terkesan dengan “Atheis”, tidak begitu puas dengan
“Debu Cinta Bertebaran”, akhirnya saya berjodoh juga dengan buku yang
membangkitkan rasa penasaran saya sejak pertama kali mengetahui keberadaannya.
Saya pun membelinya. Di angkot, saya membaca beberapa halaman pertama yang
memberitahu saya bahwa menjelang ajalnya Sartre akhirnya mengakui keberadaan
Tuhan. Ternyata Sartre adalah pengusung eksistensialisme sebagaimana yang
menjadi dasar pemikiran dalam “Olenka”. Saya punya buku tentang filsafat
eksistensialisme di rumah tapi itu tentang Kierkegaard—gaya bahasanya membuat
saya tidak lanjut membacanya. Selain itu, beberapa hari lalu mama saya
menyerahkan esai Budi Darma yang berjudul “Olenka dan Rafilus” pada saya. Mama
mengira saya mencari tentang itu padahal saya tidak merasa. Esai kali ini masih
sama menyentuhnya sebagaimana esai-esai Budi Darma lain yang saya pernah baca.
Dan di forum FLP Bandung ini lagi-lagi saya dipertemukan dengan Budi Darma dan “Olenka”-nya.
Penggalan-penggalan ini serasa berhubungan dan hendak memahamkan sesuatu pada
saya.
Akhir-akhir ini memang
saya lagi sangat galau sama kepengarangan dan kepenulisan saya. Biasanya saya
galau saja, tidak pakai “sangat”, dan bagi saya mengarang dan menulis adalah
dua hal yang berbeda meski saling mengisi. Mengarang adalah sesuatu yang tidak
terhindarkan sedang menulis adalah kebiasaan sekaligus sarana untuk mewujudkan
sesuatu yang tidak terhindarkan itu.
Kegalauan saya antara
lain disebabkan oleh tokoh-tokoh di dalam kepala saya yang lagi “menghilang”
dan bahwa saya belum cukup merasa berarti dari aktivitas yang sudah saya tekuni
selama belasan tahun ini. Beberapa media, baik yang berinsentif maupun yang tidak,
memang sudah memuat beragam karya saya. Beberapa karya saya juga sudah
diapresiasi oleh teman-teman dekat. Tapi
ada saja hal-hal yang bikin tidak puas. Tapi itu wajar. Itu hanya semacam
sinyal yang menunjukkan bahwa saya perlu memperbaiki yang ada—kalau bukan
karena saya belum beruntung.
Saya sudah terlanjur
mencetak jejak cukup panjang di sini, meski masih lebih jauh lagi jarak yang
belum saya tempuh. FLP sekadar penggalan dari proses menyenangkan sekaligus
menjemukan yang barangkali akan berlangsung sepanjang hidup saya.
Saya pernah bilang pada
orang-orang kalau saya ingin jadi pengarang, orang-orang pun menganggap saya penulis,
tapi ternyata itu salah. Ternyata saya hanya ingin mengarang dan menulis. Dan
saya tersiksa ketika sudah eneg melahap teks, yang belum tentu dapat dikunyah
itu, tapi tidak bisa melepehkannya kembali.
Kalau saja Allah tidak
mengilhamkan letupan-letupan yang berpotensi menjadi cerita ke dalam kepala saya;
kalau saja beragam hasrat terpendam saya tidak terefleksikan menjadi tokoh-tokoh
yang begitu mempengaruhi emosi saya; kalau saja orangtua saya tidak sudi
membelikan saya ratusan buku dan sepupu saya tidak menghadiahi saya buku harian;
kalau saja saya tidak tahu kalau tetangga dan teman sekelas saya menulis cerita; saya mungkin tidak sedang menapaki jalan ini. Saya hanya
mengikuti sesuatu yang dimudahkan Allah buat saya—yang ternyata tidak selalu
mudah juga. Saya sudah mencapai tingkat lanjut rupanya. Pelajaran di tingkat
ini jelas lebih rumit dari pelajaran di tingkat sebelumnya.
Maka sebagaimana Sartre
menemukan Tuhan pada akhir hayatnya, serta beberapa ayat Quran yang dikutip
Fanton Drummond dalam “Olenka”, eksistensialisme adalah perkara bertanya pada
Yang Maha Menciptakan: Tuhan, Kau maunya
aku ngapain sih di dunia ini?
Assalamualaikum dyah
BalasHapus