Perkenalkan duo pengacara ajib, Peter Bash dan Jared Franklin! sumber: http://www.nypost.com/rw/nypost/2011/05/29/tv/web_photos/tvw_franklin_bash--300x300.jpg |
Seorang wanita tidak terima dikeluarkan
dari pekerjaannya untuk majalah Stirred sehingga ia mengajukan tuntutan. Ia
menganggap dirinya dikeluarkan karena ia terlalu seksi. Jelas dua pengacara
nyeleneh, Jared Franklin dan Peter Bash, bersemangat untuk menangani kasus ini.
Keluar dari ruang penugasan, mereka
bertemu seorang wanita dengan penampilan sederhana. Wanita itu berambut pirang,
tidak kurus tapi tidak bisa dibilang gendut juga, serta memakai atasan lengan
panjang yang dipadu rompi rajut dan rok selutut bernuansa kalem. Wanita inilah
klien mereka. Franklin dan Bash kaget.
Stirred sendiri merupakan majalah
sekelas Playboy. Sampul-sampulnya mempertontonkan wanita nyaris bugil atau
bugil sama sekali. Ketika meninjau langsung kantor majalah tersebut, wanita-wanita
seksi yang sesuai persepsi mereka berseliweran. Jennifer Putnam, klien mereka,
tidak seperti itu. Namun ia mengaku bahwa pria-pria suka mendatangi mejanya, membukakan pintu untuknya, dan menunjukkan berbagai bentuk perhatian lainnya.
Franklin dan Bash bertemu Katherine
Mack, petinggi Stirred yang memecat Jennifer. Katherine menyerahkan laporan
kinerja Jennifer yang menjadi alasan baginya untuk memecat wanita itu. Ketika
Franklin dan Bash menunjukkannya pada yang bersangkutan, ia menyangkalnya. Ia
pun menjelaskan bahwa alasan ia dikeluarkan lebih karena ia menolak tunjangan
untuk melakukan operasi plastik. Menurutnya, ketika seorang wanita yakin bahwa
dirinya cantik, orang lain pun akan melihatnya demikian. Jennifer merasa
dirinya sudah cantik apa adanya.
Franklin dan Bash mengira Jennifer hanya
terlalu percaya diri. Namun sudah jelas bagi mereka kalau Jennifer telah
mendapat diskriminasi.
Sementara itu, kepribadian Jennifer
telah menarik simpati Stanton Infield (pemilik Infield Daniels, firma tempat
Franklin dan Bash bekerja), Hanna Linden (rekan Franklin dan Bash di Infield
Daniels), serta para juri wanita di persidangan awal. Hanna pun mengintervensi
upaya Franklin dan Bash agar mereka bisa memenangkan kasus tersebut. Menurut
Hanna, para juri wanita bersimpati pada Jennifer karena Jennifer
merepresentasikan mereka. Maka di persidangan berikutnya, Bash berlagak sangat
terpesona pada pembawaan Jennifer sampai-sampai ia mencium bibir wanita
itu—cium biasa, bukan french kiss.
Namun selanjutnya tampak bahwa Bash pun sudah menaruh simpati pada Jennifer.
Kemudian Franklin, Bash, Jennifer, dan
Carmen (anak buah Franklin dan Bash di firma mereka sebelumnya) mendatangi
pesta untuk penggalangan dana majalah. Katherine menolak kehadiran Jennifer,
meski Jennifer sebetulnya juga punya andil dalam persiapan pesta tersebut.
Di tengah pesta kolam di mana wanita-wanita
berbikini lalu lalang, Jennifer lain sendiri. Pakaian yang ia
gunakan hanya kaos dan celana pendek selutut. Namun tanpa canggung ia bergaul
dengan orang-orang, bahkan ia loncat ke kolam. Ia kelihatan sangat akrab dengan Big
Mack, ayah Katherine, sang pemilik Stirred.
Sementara itu, Carmen berhasil
menggiring mantan asisten Big Mack pada Franklin dan Bash. Pria itu memiliki
kesan baik terhadap Jennifer. Ketika ia mendapat pekerjaan lain sehingga tidak
bisa menjadi asisten Big Mack lagi, Big Mack ingin Jennifer yang menggantikan
posisinya.
Dalam kesempatan sebelumnya, kembali ke
adegan di kantor Stirred, Franklin dan Bash tidak dapat berbincang dengan Big
Mack karena Katherine telah menggiring pria itu menjauh. Dalam kesempatan kali
ini, Bash berhasil mendekati Big Mack dan membicarakan Jennifer dengannya. Big
Mack menyebut Jennifer dengan panggilan khusus. Kesannya terhadap Jennifer juga
amat baik. Ia ingin Jennifer menjadi asistennya, namun putrinya mengatakan
bahwa kinerja wanita itu jelek. Jadi Big Mack menurut saja. Perbincangan itu
terputus karena Jennifer mengajak Big Mack untuk mengikuti lomba tiga kaki.
Di persidangan terakhir, Hanna berhasil
membuat Big Mack mengatakan secara tidak langsung kalau ia sudah menganggap
Jennifer sebagai anaknya sendiri. Keakraban Jennifer padanya bahkan melebihi
putrinya sendiri. Sampai sini pemirsa dapat menyimpulkan bahwa kasus ini
merupakan konflik pribadi antara seorang putri yang cemburu dengan bawahannya
yang seakan lebih disayangi sang ayah.
Di akhir cerita, Big Mack ingin agar
kasus itu segera diselesaikan. Apapun yang Jennifer minta, ia akan berikan agar
hal buruk tidak menimpa putrinya. Jennifer rupanya hanya ingin pekerjaannya
kembali—Big Mack pun langsung mengangkatnya jadi asisten—serta menghibahkan
dana tunjangan operasi plastik untuk Operation Smile, yaitu suatu program untuk
penyandang bibir sumbing agar mereka bisa mengoptimalkan potensi mereka
sebagaimana Joaquin Phoenix.
Sebagaimana Stanton Infield, Hanna
Linden, dan para juri wanita di tiap persidangan, saya juga sangat terkesan
akan kepribadian Jennifer Putnam. Sejak awal, saya menganggap penampilan
Jennifer tidaklah buruk. Ia manis dan cantik, namun tidak dalam kriteria yang
acap diharapkan. Ia tidak menonjolkan lekuk fisiknya maupun memiliki wajah
memikat, memang. Daya pikatnya justru terletak pada bagaimana ia memperlakukan
orang lain. Ia wanita yang gemar memuji dan itu terdengar tulus bagi orang yang
mendengarnya. Ia juga berpikiran positif dan suka tersenyum. Dengan demikian ketika ia mengatakan bahwa para pria suka mendekatinya, itu bukanlah suatu ada-ada. Sikapnya membuat orang lain pun ingin memperlakukannya dengan baik. Sampai-sampai, Franklin dan Bash
sukar untuk mengatakan apa yang mereka pikirkan terhadapnya—bukan hal
yang cukup mengenakkan—dan ini jadi adegan yang begitu menggelikan.
Jennifer mengakui bahwa wanita-wanita
lain yang bekerja untuk Stirred memang cantik secara tradisional. Mereka sudah
berkorban untuk itu sehingga mereka patut dikagumi. Namun kecantikannya tidak
sama dengan kecantikan mereka. Sebagaimana argumen yang ditujukan Bash pada
seorang juri wanita, “Hanya karena kau tidak ditampilkan dalam majalah, bukan
berarti kau tidak cantik.”
Jika Miund dalam stand up comedy edisi
Valentine lalu di Metro TV mengatakan bahwa inner beauty itu omong kosong tanpa
ditunjang high maintenance, maka episode Franklin & Bash kali ini
menunjukkan bahwa inner beauty does make
sense. Namun tentu saja di samping pembawaannya yang ceria, positif, tulus,
dan menyenangkan, Jennifer juga berpenampilan rapi, bersih, sopan, sekaligus sederhana. Ia tidak khawatir
untuk berburkini (istilah Franklin untuk pakaian yang dikenakan Jennifer saat
terjun ke kolam), sementara wanita-wanita lainnya berbikini. Ia
mengedepankan perspektif baru yang membuat Franklin dan Bash jadi bingung akan
wanita sementara deretan para wanita berbikini berjemur di hadapan mereka.
Menurut saya episode ini sangat bagus
dan menginspirasi, baik bagi laki-laki dan perempuan, meski saya bertanya-tanya
juga mengapa Jennifer bekerja untuk majalah sekelas Stirred dan bukannya
majalah lain yang lebih low profile sebagaimana dirinya.
“Jennifer of Troy”, judul cerita ini,
merupakan episode ketiga dari serial Franklin & Bash Episode ini
mendapat rating 7,6 dalam skala 10 dari 50 pengguna situs Internet Movie Database, begitulah yang saya
cek pada malam saya mengetik ini. Tinjauan lain terhadap episode ini bisa dilihat di sini.
OOT:
Mark-Paul Gosselaar alias Peter Bash
“Jennifer” telah tayang di FOX beberapa kali
dalam minggu ini. Sebetulnya Franklin & Bash telah memasuki musim kedua,
namun saluran yang disuguhkan operator langganan keluarga saya baru menayangkan
musim pertama.
Serial Franklin & Bash sendiri
secara umum mengisahkan tentang sepasang pengacara yang lain daripada yang
lain. Saya belum pernah mengikuti serial hukum apapun sebelumnya, namun
sepertinya sosok pengacara kocak, konyol, dan seenaknya—tak hanya dalam
kehidupan sehari-hari namun juga di persidangan—baru dimunculkan melalui serial
ini. Kemasannya yang beda membuat serial ini memiliki penggemarnya tersendiri.
Franklin dan Bash semula memiliki firma
sendiri dengan dua orang karyawan, Carmen Phillips dan Pindar Singh, hingga
suatu ketika Stanton Infield merekrut mereka untuk bekerja di firmanya yang
sudah jauh lebih mapan dan ternama, Infield Daniels. Tingkah duo tersebut
mengingatkannya akan ia dan rekannya saat mereka baru memulai usaha firma
tersebut. Meski sudah bekerja untuk firma lain, Franklin dan Bash tetap
mempekerjakan Carmen dan Pindar. Keduanya terbukti memiliki peran penting
dalam membantu Franklin dan Bash memecahkan kasus-kasus yang sedang dihadapi.
Yang menarik saya untuk mengikuti serial
ini sebetulnya adalah sosok “om ganteng” Mark-Paul Gosselaar yang memerankan
Peter Bash. Kendati Franklin tak kalah nyeleneh darinya, saya merasa Bash lebih
emosional. Saya suka ketika ia menunjukkan ekspresi polos dengan mulut membulat.
Namun yang paling bikin takjub adalah,
Mark-Paul Gosselaar ternyata seperempat Indonesia! Ibunya, Paula Gosselaar,
setengah Belanda dan setengah Indonesia. Dalam sebuah wawancara lawas,
Mark-Paul Gosselaar mengaku tertarik untuk mengkaji latar belakangnya. Ia bahkan mengoleksi banyak benda dari Indonesia meski ia belum pernah ke sana. Ia berencana untuk melawat kampung halaman ibunya, alias Indonesia, suatu saat nanti. Entah apakah ia sudah
mewujudkan hal tersebut apa belum. Potret Mark-Paul Gosselaar muda dan ibunya
bisa dilihat di sini.
halo om! sumber: http://images4.fanpop.com/image/photos/16300000/Mark-Paul-Gosselaar-mark-paul-gosselaar-16348965-2560-1922.jpg |
Tidak seperti Matt Bomer nan menawan
dalam serial kriminal “White Collar”, kendati digemari oleh kaum belok Mark-Paul Gosselaar heteroseksual kok. Ia memiliki sepasang putra-putri yang merupakan buah pernikahannya
dengan seorang model, Lisa Ann Russell. Namun mereka telah bercerai. Mantan
istrinya sudah menikah lagi sedang ia sendiri bertunangan dengan Catriona McGinn tidak lama setelah
mereka dinyatakan resmi bercerai. (#mulaigosip)
Sebelum membintangi Franklin & Bash,
Mark-Paul Gosselaar telah bermain dalam beberapa film dan serial. Namun yang
membuatnya amat tenar adalah kemunculannya sebagai pemeran utama, Zack Morris,
dalam serial populer “Saved by the Bell” (1989 – 1993). Ah jadi penasaran nih
menyaksikan Mark-Paul Gosselaar remaja… X9***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar