Minggu, 19 Februari 2012

Telusur Buku, Telusur Sejarah

Aleut edisi 19/02/12 adalah edisi spesial. Selain karena temanya adalah menelusuri toko buku tempo dulu yang pernah ada di Bandung, saya pribadi kedatangan beberapa tamu istimewa. Mereka yang pernah satu SD, satu SMP, hingga satu SMA dengan saya mengiringi jalan-jalan saya kali ini. Dengan demikian saya tidak terlalu menghayati ngaleut kali ini, juga karena banyaknya istilah dalam bahasa asing yang berseliweran dan saya tidak tahu bagaimana menuliskannya kembali. Setidaknya, dari ingatan, foto-foto, serta rekaman audio sepanjang kira-kira 81 menit, inilah beberapa hal yang bisa saya sarikan.

Lagi-lagi rute kali ini termasuk rute sangat pendek. Titik-titik pemberhentian kami membentuk rute Landmark – Hotel Royal Palace – Museum Mandala Wangsit Siliwangi – sekitar Jalan Kejaksaan – Yayasan Pusat Kebudayaan (Jalan Naripan) – seberang Majestic – sekitar Museum Konperensi Asia-Afrika (KAA) – Gedung PLN.

Landmark tampak depan dengan ornamen kala di sebelah kanannya

Bangunan Landmark diarsiteki oleh C. P. W. Schoemaker (lihat tulisan sebelumnya) dan didirikan pada tahun 1922. Bangunan ini dihiasi oleh ornamen-ornamen khas nusantara yang disebut kala. Berdasarkan tradisi Hindu, konon ornamen ini dibuat untuk menangkal sial.

Salah satu contoh halaman album gambar

Tahun 1940-an, toko buku ini mengeluarkan album gambar tumbuh-tumbuhan. Pemrakarsa album tersebut adalah orang yang sama dengan yang mendirikan kebun raya botani di Bogor sedang ilustrasinya dibuat oleh orang Indonesia. Pembeli album gambar tersebut akan diberikan bunga dan potnya. Ini dilakukan untuk mengajak warga Bandung menanam bunga. Pada waktu itu pasar bunga masih terletak di seberang bangunan ini—sebelum dipindah ke Jalan Wastukencana—sehingga suplai selalu tersedia.

Arkade di kejauhan

Kekhasan lain dari bangunan ini adalah adanya arkade alias gang/lorong beratap. Desain ini memberikan ruang yang lebar sekaligus terlindung bagi pedestrian. Bangunan di ITB juga memiliki desain seperti ini.

Hotel Royal Palace di kejauhan (haha ini mah kurang niat motret aja)

Dulu Hotel Royal Palace merupakan toko buku milik S. M. I Prawirawinata yang didirikan pada tahun 1920-an. Yang dijual di toko buku pertama milik pribumi ini adalah khusus bacaan Sunda semacam roman, novel, dan buku pelajaran. Dalam buku-buku terbitannya, S. M. I. Prawirawinata memuat foto dirinya dan peraturan mengenai hak cipta. Bila ingat Nyonya Meneer, tampaknya ini tradisi yang dilakukan orang-orang pada masa itu untuk mencirikan produknya.

Jadi penasaran menilik ke bagian belakang bangunan ini

Di belakang Yayasan Pusat Kebudayaan, konon terdapat bekas bangunan Medan Prijaji. Media ini dicetuskan oleh Raden Tirto Adhi Soewirjo yang merupakan model untuk Minke dalam tetralogi Pulau Buru karangan Pramoedya Ananta Toer. Karena kritik pedasnya terhadap pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1912 dia diasingkan. Cek buku "Sang Pemula" karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan sosok nyata Raden Tirto Adhi Soewirjo. Di dalamnya juga disertakan beberapa tulisan milik orang yang dikenal sebagai Bapak Pers Indonesia itu.

Ternyata tidak semuanya bersangkut-paut dengan industri perbukuan maupun sejarah sastra Sunda, melainkan juga gaya hidup orang pada zaman itu yang menggemari tonil dan mode pakaian terbaru.

Jika kini kita bisa mendapatkan informasi secepat mungkin melalui internet, termasuk jadwal film, maka informasi mengenai pertunjukan terbaru saat itu disebarkan ke jalan dengan kereta kuda. Pertunjukan berupa film bisu yang diproyeksikan pada layar kain dengan musik pengiring yang ditampilkan secara live di sampingnya. Sebelum tampil di ruang pertunjukan, grup musik bermain di luar untuk mengiringi pengunjung yang baru datang.

Di sekitar gedung pertunjukan berbentuk kaleng biskuit yang kini dikenal sebagai gedung AACC, ada toko yang menjual pakaian yang diimpor langsung dari Paris dan Belanda. Setelah desain pakaian diwujudkan jadi barang jadi, desain tersebut dibakar sehingga tidak ada model pakaian yang sama.

Lalu daripada repot menyeberang jalan, terowongan bawah tanah dibangun untuk menghubungkan Societet Concordia (kini Museum KAA) dengan bangunan di seberangnya. Terowongan tersebut kini sudah ditutup.

E maaf pegangan besinya enggak kefoto :p

Pegangan besi di tepi kaca luar apotik Kimia Farma (seberang Museum KAA) ternyata dibuat untuk mencegah agar orang yang mabuk tidak langsung menabrak kaca lalu muntah.

Agak jauh dari situ, kawasan yang kini bernama Jalan Kejaksaan merupakan kawasan prostitusi. Sebetulnya ada beberapa kawasan prostitusi lain di Bandung. Imbasnya adalah didirikan rumah sakit kelamin di samping Kantor Pos Besar. Pasien rumah sakit tersebut tidak hanya berasal dari Bandung. Para pencari nafkah di kawasan prostitusi itu sendiri konon merupakan hasil dari hubungan tidak resmi antara meneer perkebunan dengan kembang gunung. Cek novel “Paris van Java” oleh Remy Sylado (KPG).

Ekspektasi saya semula, kami akan dibawa ke toko buku tempo dulu yang masih bertahan atau setidaknya ke toko buku yang menjual buku-buku lama. Kami memang menemukan buku-buku lama pada sepanjang perjalanan, tapi itu bukan di etalase bangunan art deco melainkan di tangan narasumber. Saya juga membawa sebuah buku lama terbitan tahun 1948 yang judul bahasa Indonesianya adalah “Jalan ke Barat”. Buku ini merupakan buku pelajaran anak-anak pada masa itu dan kondisinya masih bagus. Saya kira itu punya omnya mama saya.

Pikiran Rakyat zaman baheula
Sang koordinator menceritakan bahwa buku-buku lama justru diperoleh dari pasar loak. Orang awam mungkin akan menganggap mereka rongsokan. Namun bagi yang tahu, harga satu karung benda yang menyimpan sejarah tersebut bisa mencapai empat puluh juta rupiah. Dan melalui perantaan orang Indonesia sendiri, sampailah sejarah tersebut ke Singapura hingga Belanda. Buat apa sih mereka mengoleksi barang-barang lapuk itu? Tidak tahu. Karena kita tidak tahu, maka kita membiarkannya diambil siapa saja yang barangkali bisa merawatnya dengan lebih baik, atau malah menjadikannya bungkus gorengan.

Inilah Sumur Bandung nan legendaris itu. Letaknya di dalam kompleks Gedung PLN. Masih dianggap memiliki kekuatan mistis hingga saat ini.
Perhatikan! Ada yang aneh pada teks ini.

“Jika di luar negeri masuk museum itu harus bayar, di Indonesia, sudah gratis saja belum tentu ada yang mau masuk,” begitu kira-kira wacana yang menggambarkan kondisi masyarakat payah sejarah. Tapi cukuplah sampai situ saja kepayahan kita. Mengapa kita tidak mulai menghargai sejarah dengan merawat buku-buku yang kita punya? Kelak jika Aleut masih eksis seabad kemudian, buku-buku kita akan jadi objek foto yang sangat menarik bagi para Aleutian.***


segala informasi yang ada pada tulisan di atas belum diverifikasi dengan sumber lain. cek tulisan Aleutian lainnya (yang lebih informatif) di sini dan di sini


Tips ngaleut dari Teteh CNA (mantan koordinator Aleut):
  1. Sebelum ngaleut, pelajari dulu objek yang kira-kira bakal dikunjungi. Setidaknya ini akan mempermudah dan melengkapi pemahaman kita ketika berada di lapangan.
  2. Sejarah itu multiinterpretasi, alangkah baiknya untuk mengumpulkan referensi sebanyak mungkin.
  3. Jika mengunjungi suatu tempat yang ada penjaganya, korek juga informasi langsung dari penjaga tersebut. Barangkali ada yang menarik.
  4. (tambahan dari saya): Sambil jalan atau ketika narasumber sedang tidak bicara, mengobrollah dengan sebanyak mungkin orang, apalagi dengan sesama Aleutian. Banyak silaturahmi panjang rezeki. :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...